Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan


pada masyarakat baik di Negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia.
Hipertensi merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih
dari sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg. Dari
populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan
10% HT berat. 1
Pada setiap jenis hipertensi ini dapat timbul krisis hipertensi dimana tekanan
darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120-130 mmHg yang merupakan
suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk
menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis hipertensi menurut laporan
dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2-7% dari populasi
hipertensi terutama pada usia 40-60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur
selama 2-10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan
ini karena kemajuan dalam pengobatan hipertensi, seperti di Amerika hanya lebih
kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum
ada laporan tentang angka kejadian ini. 1
Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis hipertensi dan
secara garis besar, The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis
hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi emergensi (darurat) dan
hipertensi urgensi (mendesak). Membedakan kedua golongan krisis HT ini
bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang
sangat tinggi pada seorang penderita dipikirkan suatu keadaan emergensi bila
terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal,
dan ginjal. HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara penaggulangan
keduanya berbeda. 2
Gambaran kilnis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD
diastolik > 120 mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggi dan terjadi dalam
waktu yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat. Seberapa besar
TD yang dapat menyebabkan krisis HT tidak dapat dipastikan, sebab hal ini juga
bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya nomortensi atau HT ringan/sedang.
Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan HT, namun para kilinisi harus
tetap waspada akan kejadian krisis HT, sebab penderita yang jatuh dalam keadaan
ini dapat membahayakan jiwa/kematian bila tidak ditanggulangi dengan cepat dan
tepat. Pengobatan yang cepat dan tepat serta intensif lebih diutamakan daripada
prosesur diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis HT bersifat reversibel.
1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn H
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Pulo Blang Kuta Blang
Suku : Aceh
Agama : Islam
Nomor RM : 1-13-83-02
Masuk RS : 08/08/2017
Tgl Periksa : 10/08/2017

2.2 Anamnesis
 Keluhan Utama : Nyeri kepala
 Keluhan tambahan : Pandangan kabur, sesak nafas
 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala
sejak 2 jam SMRS, nyeri kepala dirasakan terus menerus, pasien mengaku
nyeri kepala berat dirasakan dibagian tengkuk dan disertai dengan
pandangan kabur sehingga pasien kesulitan untuk melihat sekitar.
Kemudian pasien juga mengeluhkan sesak nafas, sesak nafas timbul apabila
pasien melakukan aktivitas ringan dan tidak hilang dengan istirahat. Pasien
juga mengaku keluhan sesak disertai dengan rasa nyeri di dada.
 Riwayat penyakit dahulu : - Hipertensi sejak 3 tahun tidak terkontrol
- DM disangkal.
 Riwayat penyakit keluarga : Ayah dan adik pasien juga menderita
penyakit yang sama
 Riwayat kebiasaan : Merokok
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 200/100 mmHg
Nadi : 98 kali per menit
Frekuensi pernafasan : 29 kali per menit
Temperatur : 36,9 C
Pemeriksaan fisik
Kulit : dalam batas normal
Mata : konjungtiva pucat (-/-), ikterus (-/-)
T/H/M : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-), TVJ : tidak ada peningkatan
Pulmo
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, jejas ( - )
Palpasi : suara fremitus taktil kanan = suara fremitus taktil kiri
Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikular (+/+), Ronki (- / -), wheezing (- / -)
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicular sinistra
Perkusi : atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 > bunyi jantung 2, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : simetris (+), distensi ( - )
Palpasi : nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik usus (+)
Ekstremitas
Superior : akral hangat (+), edema (-)
Inferior : akral hangat (+), edema (-)
Motorik
5555𝐼5555
Kekuatan otot :5555𝐼5555

Refleks patologis : - /-

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan EKG
 Irama : Bukan sinus
 Heart rate : 63x/menit
 Regularitas : Regular
 Aksis : Normoaksis
 Gelombang P : tidak bisa dinilai
 Kompleks QRS : 2 kotak kecil = 0,08 detik
 Segmen ST : isoelektris
 Gelombang T : inverted (-)
 Interval PR : Tidak bisa dinilai
 Hipertrofi : LVH (-), RVH (-)
 Gelombang T : T inverted (+) II, III, aFV
 ST depresi : -
 ST elevasi : II, III, aFV
 Q patologis :-
 Kesimpulan : irama bukan sinus dan reguler, HR 63x/menit,
Normo Axis , infark inferior, dengan total AV blok

Laboratorium

Jenis 09/08/17 Nilai Rujukan


Pemeriksaan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 15,5 14,0 – 17,0 g/dl

Hematokrit 46 45 – 55 %

Eritrosit 5,8 4,7 – 6,1 106/mm3

Leukosit 13,4* 4,5 – 10,5 106/mm3

Trombosit 370 150 – 450 103/mm3

MCH 27* 80 – 100 fL

MCV 79* 27 – 31 Pg

MCHC 34 32 – 36 %
RDW 15,8* 11,5 – 14,5 %

MPV 11,2* 7,2 – 11,1 fL

Eosinofil 2 0–6%

Basofil 0 0 – 2%

Neutrofil batang 0* 2–6%

Neutrofil segmen 74* 50 – 70 %

Limfosit 18* 20 – 40 %

Monosit 6 2–8%

GINJAL – HIPERTENSI

Ureum 40 13 – 43

Creatinine 0,86 0,67 – 1,17

Natrium 140 132 – 146 mmol/L

Kalium 3,6* 3,7 – 5,4 mmol/L

Klorida 104 98 – 106 mmol/L

2.5 Diagnosis
Diagnosa kerja :
 Hipertensi Emergensi
 CHF NYHA II-III
 Hipokalemia

2.6 Tatalaksana
 Bedrest
 Drip NTG 30 mcg (via siringpam)
 Inj. Arixtra 2,5 mg
 Diovan 2 x 100mg
 Amlodipin 1 x 5mg
 Concor 2 x 2,5mg
 Alprazolam 1 x 0,5mg
 Plavix 1 x 75mg
 Aspilet 1 x 80mg
 Atorvastatin 1 x 40mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Hipertensi Emergensi


Hipertensi emergensi adalah peningkatan akut tekanan darah sistolik > 180
mmHg atau diastolik >120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target.
The Seventh Report of the Joint National Comitte on Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCVII) membagi krisis
hipertensi berdasarkan ada atau tidaknya bukti kerusakan organ sasaran yang
1
progresif (hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi). Bukti kerusakan organ
sasaran yang dimaksud antara lain ensefalopati hipertensif, infark miokard akut,
gagal jantung kiri disertai edema paru, diseksi aneurisma aorta, dan eklamsia.
Klasifikasi ini berdampak pada tata laksana pasien. Upaya penurunan tekanan darah
pada kasus hipertensi emergensi harus dilakukan segera (< 1 jam) sedangkan pada
kasus hipertensi urgensi dapat dilakukan dalam beberapa kurun waktu beberapa jam
hingga beberapa hari. 3

3.2 Epidemiologi
Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT
sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi
dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 – 130 mmHg
yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat
dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis HT menurut
laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari
populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak
teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun
belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya
lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi (6,10). Di
Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini. 4
Secara global, angka kejadian hipertensi primer yang mengalami progresi
menjadi krisis hipertensi hanya kurang dari 1%. Rendahnya angka yang tampaknya
disebabkan oleh makin terjangkaunya terapi hipertensi sebaiknya tidak membuat
kita puas sebab semua hipertensi memiliki potensi untuk berkembang menjadi
krisis hipertensi. 3
3.3 Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi
renal.

1. Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui


penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus.
Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas
sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na,
peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko
seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya
timbul pada umur 30 – 50 tahun. 5

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus.


Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing,
feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan
dan lain-lain. 5

3.4 Pat ofisiologi

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian


tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar: 6

(Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer) Mekanisme patofisiologi yang


berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial antara lain :

1. Curah jantung dan tahanan perifer

Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh


terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial
curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah
ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil.
Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin
lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin
dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible

2) Sistem Renin-Angiotensin

Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan


ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau
penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatik. Mekanisme
terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I
oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis
penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah
menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di
paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat
aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat
sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu: 7

a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH


diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya.
Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan
dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya
volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.

3) Sistem Saraf Otonom

Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan


dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam
mempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara
sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama-sama dengan faktor
lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormone. 6

4) Disfungsi Endotelium

Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam


pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif
lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium
banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan
antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit. 7

5) Substansi vasoaktif

Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam


mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan
vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat
meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem
renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang
diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini
dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat
meningkatkan retensi cairan dan hipertensi. 7

6) Hiperkoagulasi

Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding


pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi
dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan
8
semakin parah dan merusak organ target.

7) Disfungsi diastolik

Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat


ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium
kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel. 8

3.5 Faktor Resiko

Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui
dengan jelas. Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang
teridentifikasi antara lain : 9

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi


a. Keturunan
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang
tua atau salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai risiko
lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya
normal (tidak menderita hipertensi). Adanya riwayat keluarga terhadap hipertensi
dan penyakit jantung secara signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya
hipertensi pada perempuan dibawah 65 tahun dan laki – laki dibawah 55 tahun.

b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.
Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin.
Secara umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada
perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa menopause yang
mununjukkan adanya pengaruh hormone.

c. Umur
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin
tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini
disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun dengan
bertambahnya umur. Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65
tahun. Sebelum umur 55 tahun tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi
daripada perempuan. Setelah umur 65 tekanan darah pada perempuan lebih
tinggi daripada laki-laki. Dengan demikian, risiko hipertensi bertambah dengan
semakin bertambahnya umur.

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


a. Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan
darah. Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan
tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan
kesehatan, karena nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam
pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh
darah. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik, denyut jantung
bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian O2 bertambah, aliran
darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada pembuluh darah perifer.

b. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan
hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya
penambahan berat badan. Peningkatan risiko semakin bertambah parahnya
hipertensi terjadi pada penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak semua
obesitas dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing – masing individu.
Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler.

c. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis
yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres
berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap.
Pada binatang percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres menyebabkan
binatang tersebut menjadi hipertensi.
d. Aktivitas Fisik
Orang dengan tekanan darah yang tinggi dan kurang aktifitas, besar
kemungkinan aktifitas fisik efektif menurunkan tekanan darah. Aktifitas fisik
membantu dengan mengontrol berat badan. Olahraga secara teratur dapat
menurunkan tekanan darah pada semua kelompok, baik hipertensi maupun
normotensi
e. Asupan

1. Asupan Natrium
Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum normal
adalah 136 sampai 145 mEg / L, natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan
dalam kompartemen tersebut dan keseimbangan asam basa tubuh serta berperan
dalam transfusi saraf dan kontraksi otot. Perpindahan air diantara cairan
ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh kekuatan osmotik.

Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi


terutama di usus halus. Mekanisme penngaturan keseimbangan volume pertama –
tama tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi efektif
adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular yang
melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat volume cairan
ekstraseluler umumnya berubah – ubah sesuai dengan sirkulasi efektifnya dan
berbanding secara proporsional dengan natrium tubuh total. Natrium diabsorpsi
secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran darah ke ginjal, disini natrium disaring
dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan
taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang jumlahnya mencapai 90-99 %
dari yang dikonsumsi, dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh
hormon aldosteron yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar Na darah menurun.
Aldosteron merangsang ginjal untuk mengasorpsi Na kembali. Jumlah Na dalam
urin tinggi bila konsumsi tinggi dan rendah bila konsumsi rendah (Kaplan, 1999).

2. Asupan Kalium
Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler, cara kerja kalium adalah
kebalikan dari Na. konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan
konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan
dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah.
3) Asupan Magnesium
Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler otot
halus dan diduga berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan darah. The
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of
High Blood Presure (JNC) melaporkan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara magnesium dan tekanan darah.

Sebagian besar penelitian klinis menyebutkan, suplementasi magnesium


tidak efektif untuk mengubah tekanan darah. Hal ini dimungkinkan karena
adanya efek pengganggu dari obat anti hipertensi. Meskipun demikian,
suplementasi magnesium direkomendasikan untuk mencegah kejadian
hipertensi.

 Kerusakan Organ Target

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung


maupun secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah:

1. Penyakit Ginjal Kronis


2. Jantung ( Hipertrofi Ventrikel Kiri, Angina atau Infark Miokard)
3. Otak (Stroke, TIA)
4. Penyakit Arteri Perifer
5. Retinopati

Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ


tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ,
atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor
ATI angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide
synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam
dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ
target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi
transforming growth factor-β (TGF-β).
3.6 Diagnosis Hipertensi Emergensi

Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena


hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang
minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi. 9

Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat Hal yang


penting ditanyakan :

a. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.


b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya
c. Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
d. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas).
e. Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
f. Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif da
oedem paru, nyeri dada ).
g. Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
h. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

Pemeriksaan Fisik :

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD (baring dan berdiri)


mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, payah jantung
kongestif, altadiseksi). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan
kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu
dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.

Pemeriksaan Penunjang :

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu : 10

1. Pemeriksaan yang segera seperti :

a. Darah : rutin, BUN, creatine, elektrolik, KGD.


b. Urine : Urinalisa dan kultur urine.
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada : apakah ada oedema paru
2. Pemeriksaan lanjutan tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan
yang pertama: sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography (kasus tertentu),
biopsi renald (kasus tertentu). Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah
neurologi : Spinal tab, CT Scan. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam
untuk Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat
dibedakan hipertensi emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi
krisis hipertensi. Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya
krisis hipertensi, antara lain: 10

a. Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis essensial


(tersering)
b. Hipertensi renovaskular.
c. Glomerulonefritis akut.
d. Sindroma withdrawal anti hypertensi.
e. Cedera kepala dan ruda paksa susunan syaraf pusat.
f. Renin-secretin tumors.
g. Progresif sistematik sklerosis, SLE.
3.7 Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi
 Dasar-dasar penanggulangan krisis HT :
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena
penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun
lambat. Tetapi dipihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan
berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan
ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah diturunkan? Untuk menurunkan TD
sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhaikan berbagai faktor antara lain
keadaan hipertensi sendiri TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan
problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan
autoregulasi TD pada organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi yang efektif
untuk krisis hipertensi dan monitoring efek samping obat. 8
 Autoregulasi
Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh
terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada
resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi /
dilatasi pembuluh darah. 10
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak
dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemik.
Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti dan diterangkan. Bila TD turun, terjadi
vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran
darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure ( MAP ) 60 – 70
mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan
manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. 10

Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas
ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,
sehingga pengurangan aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi.
( gambar 1 dan 2 ). 5

Straagaard pada penelitiannya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada


13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg pada
orang normotensi. Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantar
group normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD
terkontrol cenderung menggeser autoregulasi kearah normal. 5

Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun


hipertensi, ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira
25% dibawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi,
pengurangan MAP sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut
ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30
menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya.
Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien
dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD
dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah
dari 170 – 180/100 mmHg. 5

Gbr. I : Auto regulasi Pada orang normotensi. Gbr. II : Auto regulasi pada orang
Aliran darah otak dipertahankan pada hipertensi aliran darah otak pada TH
MAP antara 60 – 120 – 140 mmHg. krinis dipertahankan pada MAP
tinggi yaitu 120 – 160 – 180 mmHg.
Kurva bergeser ke kanan.

 Gangguan Hemodinamik Pada Krisis Hipertensi

Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu : Cardiac output ( C.O )
dan systemic vasculer resistance ( SVR ). Cardiac output ditentukan oleh Stroke
Volume ( SV ) dan Hearth Rate ( HR ). Resistensi perifer terjadi akibat peripheral
vascular resistensi ( PVRB) dan renal vascular resistence ( RVR ). 6

TD = CO >< SVR
SV HR PVR RVR
 Status volume cairan

Umumnya kebanyakan penderita krisis hipertensi mempunyai intravaskuler


volume depletion, oleh karena itu jangan diberi terapi diuretika, kecuali bila secara
klinis dibuktikan adanya volume overload seperti payah jantung kongestif atau
oedema paru. Perlu diketahui bahwa pembatasan cairan dan garam ( natrium ) serta
diretika pada hipertensi maligna akan menyebabkan bertambahnya volume
depletion sehingga bukannya menurunkan TD malah meningkatkan TD. Pemberian
diuretika dapat dilakukan bila setelah diberikan obat anti hipertensi non diuretikal
beberapa hari dan telah terjadi reflex volume retention. 7

 Penaggulangan Hipertensi Emergensi:

Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera


diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : 7

1. Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether
(bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume
intravaskuler.
2. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik.
a. tentukan penyebab krisis hipertensi
b. singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
c. tentukan adanya kerusakan organ sasaran
3. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD
sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang
menyertai dan usia pasien.
a. penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD
sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang
dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis
hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ).
Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
b. Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal
pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak,
jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari
permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting
anneurysma aorta.
c. TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau
dua minggu.
 Pemakaian Obat-obatan Untuk Krisis Hipertensi

Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis
hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi.
Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka
penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari
obat anti hipertensi intravena ( IV ). 7,9,10

a. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun


venous. Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6
ug / kg / menit.
Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.

b. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila


dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5 menit,
duration of action 3 – 5 menit.
Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus i. V.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
c. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V
bolus.Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action
4 – 12 jam.
Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit
sampai TD yang diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen,
hiperuricemia, aritmia, dll.

d. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri.


Onset of action : oral 0,5 – 1 jam, i.v : 10 – 20 menit duration of action :6–
12 jam.
Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta
Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk
mengurangi volume intravaskular.

Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan


cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.

e. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action


15 – 60 menit.
Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.

f. Phentolamine (regitine) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers.


Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.
Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m.

Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit.

g. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi


sistem simpatis dan parasimpatis.
Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v.

Onset of action : 1 – 5 menit.

Duration of action : 10 menit.

Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma,


hipotensi, mulut kering.
h. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara
infus i.v.

Onset of action 5 – 10 menit

Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala,


bradikardi, dll.

Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action
10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih
sering dijumpai.

i. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem


syaraf simpatis.
Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam.

Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.

Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal


sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten,
obat ini kurang disukai untuk terapi awal.

j. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.


Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam
100 cc dekstrose dengan titrasi dosis.

Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa
jam.

Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat
oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih
aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat
diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur
tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik
kembali dalam beberapa menit. Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide
secara bolus intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang
diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila
digunakan obat parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang
berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali. 10

Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu


pengawasan yang tepat bagi pasien di ICU. Van Der Hem (Belanda,1973)
menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi pasien yang tidak respons dengan
satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 – 1,05 mg dalam 500 ml Dekstrose dan disis
ditittrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang minimal. 7

Penelitian lain di Australia (1974) menggunakan clonidine intra vena 150 mg


atau 300 mg dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik
dan efek samping maksimum dalam 30-60 menit. ( 2 ) Di bagian penyakit Dalam FK
USU Medan ( 1989 ), telah diteliti pemakaian clonidine pada krisis hipertensi dengan
cara : ( 19 ) Dosis yang digunakan adalah 150mcg ( 1 ampul ) dalam 1000ml deksmenit
5% didalam mikrodrid dan dimulai dengan 12 tetes/menit. Setiap 15 menit dosis
dititrasi dengan menaikkan tetesan dengan 4 tetes setiap kalinya sampai TD yang
diingini diperoleh. Bila TD ini telah dicapai diawasi selama 4 jam dan selanjutnya
dengan obat per oral. Dengan tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat dicapai TD
yang diingini dan penderita tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan. 10
Hasil yang diperoleh yaitu TD diastolik dapat diturunkan <120mmHg dalam 1 jam dan
respons yang baik pada 90,5% kasus.

Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering timbul seperti mulut kering,
mengantuk dan depresi. Pada hipertensi dengan tand iskemi cerebral ataupun stroke,
obat ini akan memperberat gejala. 10

 Obat Oral Untuk Hipertensi


Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan
obat oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi
emergensi. Bertel dkk 1983 mengemukakan hal yang baik pada 25 penderita dengan
dengan pemakaian dosis 10mg yang dapat ditambah 10mg lagi menit. Yang menarik
adalah bahwa 4 dari 5 penderita yang diperiksa, aliran darah cerebral meningkat,

sedang dengan clonidine yang diselidiki menurun, walaupun tidak mencapai tahap
bermakna secara statistik. 5

Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual
kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga
dicatat tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan nonrespons bila
penurunan TD diastolik <10 mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respons bila TD
diastolik mencapai <120 mmHg atau MAP <150 mmHg dan adanya perbaikan
simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60
menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit pemberian obat.
Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120 mmHg atau MAP masih >150
mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran. 5
3.8 Prognosis

Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita


hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah jantung
kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%),payah jantung kongestif disertai
uremia (48%), infrak Mio Card (1%), diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik
berkat ditemukannya obat yang efektif dan penaggulangan penderita gagal ginjal
dengan analysis dan transplanta ginjal. Whitworth melaporkan dari penelitiannya sejak
tahun 1980, survival dalam 1 tahun berkisar 94% dan survival 5 tahun sebesar 75%.
Tidak dijumpai hasil perbedaan diantara retionopati KWIII dan IV. Serum creatine
merupakan prognostik marker yang paling baik dan dalam studinya didapatkan bahwa
85% dari penderita dengan creatinite <300 umol/l memberikan hasil yang baik
10
dibandingkan dengan penderita yang mempunyai fungsi ginjal yang jelek yaitu 9%.
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien merasakan nyeri kepala diakibatkan oleh tingginya tekanan darah


atau biasanya disebut dengan autoregulasi dimana didalam pembuluh darah terjadi
proses yang memungkinkan organ untuk menentukan suplai darah sendiri, jadi
proses ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang merupakan alasan
utama mengapa nyeri kepala.
Pasien merasakan pandangannya kabur dikarenakan pasien dengan
hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh darah
(disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor
homeostasis, platelet, dan fibrinolysis, jadi hipertensi ini dapat menyebabkan
protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan
merusak organ target.
Gejala sesak nafas dan nyeri dada pada pasien hipertensi disebabkan oleh
ventrikel kiri dari jantung tidak berfungsi dengan baik, seharusnya mengalirkan
darah yang optimal ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah arteri. Namun
karena ada kerusakan maka terjadilah peningkatan tekanan darah pada bilik kiri
dan pembuluh darah sekitarnya. Kondisi ini akan menciptakan penumpukan
cairan di paru-paru (edema).
Penanganan pasien hipertensi emergensi ini dengan autoregulasi yaitu
dimana proses penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah.
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak
dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemik. Dari
penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan
MAP sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah
emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun
edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan
bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya.
Pasien diberikan terapi Diovan 2 x 100mg. Berdasarkan guideline
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung penanganan pertama untuk pasien ini adalah
Ace inhibitor atau ARB kemudian dikombinasikan dengan Beta Blocker. Jika
NYHA masih berlanjut maka tambahkan MR antagonist.
DAFTAR PUSTAKA

1. Elsanti S. 2009. Panduan Hidup Sehat Bebas Kolestrol, Stroke, Hipertensi &
Serangan Jantung. Yogyakarta : Araska
2. Riwidikdo H. 2010. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Offset
3. Rohaendi. 2008. Treatment Of High Blood Pressure. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
4. Notoadmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Asdi
Mahasatya
5. Sustrani L. 2006. Hipertensi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
6. Syaifuddin. 2011. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC
7. Guliz. 2008. The Effect Body Mass Index On Blood Pressure Response
During Exercise Treadmill Test. Journal Of Physical Activity. Turkey
8. Gibson J. 2001. Anatomi dan Fisiologi Modern Untuk Perawat. Jakarta :
EGC
9. Sugiharto A. 2007. Faktor-faktor Resiko Hipertensi Grade II Pada
Masyarakat. Tesis Semarang : Universitas Diponegoro
10. Kuswardhani T. 2007. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut Usia. Jurnal
Denpasar : Unud

Anda mungkin juga menyukai