Anda di halaman 1dari 4

Ada Ironi Di Puskesmas Kami

Oleh: Muhammad Syukri Kurnia Rahman

Puskesmas telah berbenah. Kini tak ada lagi yang berani membercandainya dengan
“pusing, kesleo, masuk angin”. Puskesmas pun tak lagi menjadi tempat sampah bagi penyakitnya
Embah-Embah yang bahkan sebelum dokter bertanya, “apa yang dirasakan, mbah?” beliau sudah
bertitah “kados biasane, pak dokter.”

Itu semua hanyalah potret zaman dulu. Kini dunia punya wajah baru. Puskesmas pun juga
seperti itu. Seiring berlakunya sistem Jaminan Kesehatan Nasional dengan wajah BPJS, tak
sembarang orang boleh menginjakkan kaki ke rumah sakit. Harus ada ACC dari PPK 1, dimana
puskesmas adalah bagian daripada itu. Puskesmas akhirnya punya peran sentral terhadap
keteraturan sistem kesehatan nasional secara umum. Perannya besar. Dari puskesmaslah
“nasib”pasien-pasien itu ditentukan. Akan diselesaikan disana, dirujuk ke pelayanan diatasnya,
atau seperti apa. Maka tentu, dibalik peran besar yang diberikan ini, ada tanggung jawab besar
pula yang harus dipikul oleh puskesmas.

Semua orang kini menggeruduk puskesmas. Sedikit-sedikit lari ke puskesmas. Hidung


meler sedikit, lari ke puskesmas. Mulut sariawan sedikit, main ke puskesmas. Sah-sah saja
memang. Wong mereka butuh obat. It doesn’t matter. Maka ini perlu penyikapan. Dan
pemerintah pun segera membuat kebijakan. Lahirlah BLUD. Sebuah bentuk baru yang
diharapkan mampu membuat kinerja dan pelayanan puskesmas makin optiomal.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan


Daerah, pengertian Badan Layanan Umum Daerah yang disingkat dengan BLUD adalah Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau unit kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah
yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Kini dengan adanya BLUD, pengelolaan keuangan puskesmas menjadi lebih fleksibel.
Mereka tak perlu lagi memikirkan tentang pendapatan yang akhirnya harus disetor ke pihak lain.
Uang yang mereka peroleh dari pelayanan kesehatan itu dapat langsung digunakan untuk
membiayai operasional puskesmas dan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Maka lihatlah wajah baru puskesmas saat ini. Di puskesmas rawat jalan yang kami
tempati, fasilitasnya sudah pantas disebut mumpuni. Alat-alat yang tersedia di poli cukup
lengkap, ruang pemeriksaan full AC, ada pemeriksaan laboratorium, sistem pelayanan dan
pengolahan data berbasis computer, ambulan tersedia (walau cuma satu), dan berbagai
perlengkapan yang bisa membuat orang mengangkat topi.

Namun dibalik itu semua, ada sebuah ironi yang tak bisa ditutupi. Bagaimanapun,
puskesmas punya keterbatasan. Baik pegawai, tempat, hingga waktu pelayanan. Dan disaat peran
besar yang harus ditanggung puskesmas itu tumbuh dengan cepat, nyatanya keterbatasan itu tak
kunjung berkurang dengan cepat. Disitulah letak ironinya. Bahkan di beberapa puskesmas,
keterbatasan pegawai, tempat, dan waktu itu akhirnya membuat puskesmas membuka 2 ronde
pelayanan. Pagi dan Sore. Mereka berangkat di pagi hari, istirahat di siang hari, dan harus
berjibaku lagi di sore hari. Dan untuk semua itu, berapa yang bisa mereka bawa pulang?

Bahkan telinga kami pernah menangkap sebuah kisah tentang seorang kepala puskesmas
yang tidak mengambil uang jasa pelayanan miliknya, dan memilih untuk membagi-bagi ke anak
buahnya, hanya karena tak tega melihat mereka bekerja dengan gaji yang tak seberapa.

Ironi ini menjadi makin menyayat hati saat di sebuah apel pagi, kepala puskesmas kami
mengumumkan bahwa Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) di puskesmas kami mencapai
angka ratusan juta. Uangnya lebih dan sisa. Padahal itu juga bukan sebuah prestasi. Kalau ada
uang sisa, artinya perencanaannya kurang matang, kan?. Lalu kenapa kok tidak dipakai? Semua
orang sudah tahu jawabannya: mencairkannya susah! Uang itu tidak bisa dipakai sembarangan.
Aturannya banyak. Belanja ada pengawasnya, ada katalognya, ada batasannya, dan harus ada
ACC dari DKK (Dinas Kesehatan Kota).

Maka saat ini, selain menjalankan pelayanan, pegawai-pegawai puskesmas itu justru
punya kerjaan tambahan: membuat program untuk penyerapan anggaran. Waktu mereka yang
sudah habis untuk memuliakan pasien, harus ditambah dengan memikirkan caranya
menghabiskan uang. Ujung-ujungnya mumet. Uang banyak salah, dipakai ini-itu juga nggak
boleh. Lantas bagaimana?
Kenapa uang itu tak dipakai untuk menyejahterakan pegawai-pegawai puskesmas?

Rawan korupsi! Maka dalam aturannya, uang itu tak boleh dibagi-bagi ke pegawai.
Mereka sudah mendapat gaji. Hak mereka sudah terpenuhi.

Betul. Aturan itu harus dibuat untuk menghindari adanya peluang korupsi. Apalagi jika
berkaitan dengan pemberian uang kepada pegawai diluar gaji. Namun, mari berfikir sejenak.
Implementasi dari program-program yang telah dirancang itu sangatlah bergantung pada orang-
orang yang melaksanakannya. Makin semangat pelaksananya, makin lancar program itu berjalan.
Pun sebaliknya. Maka saat para pelaksana tugas di puskesmas itu semakin makmur, bukankah
akan semakin baik pula tingkat pelayananya? Siapa yang pada akhirnya mendapat keuntungan?
Masyarakat juga, kan?

Setidaknya agar pegawai-pegawai puskesmas itu tidak berfikir “halah, dapet duit kecil
aja, ngapai kerja ngoyo-ngoyo?”

Itu yang pertama. Mari kita tengok contoh yang lainnya. Waktu itu hari rabu, menjelang
pukul 12 siang. Pelayanan di puskesmas kami hampir tutup. Tanpa ba-bi-bu, tiba-tiba ada pasien
henti jantung tepat didepan pintu masuk puskesmas. Pupil matanya midriasis, nafas spontannya
telah berhenti, arteri karotisnya tak teraba lagi. Kami lakukan RJP sambil menyiapkan
perlengkapan seadanya agar pasien bisa segera dibawa ke IGD Rumah Sakit terdekat. Saat
semua perlengkapan dan tim sudah siap, ada satu masalah yang baru kami sadari: ambulannya
tidak ada! Kemana? Sedang dipakai keluar!

Oh My God! Akhirnya kami memakai mobil standart yang kami modifikasi secepat kilat
agar pasien bisa kami RJP di dalam mobil sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Kami bersyukur
karena pasien masih bisa diselamatkan. Saat kembali puskesmas, tema pertanyaan saya tak jauh-
jauh dari “kenapa SiLPA itu tidak dipakai untuk membeli ambuilan lagi? Dan jawabannya
kembali lagi pada “dibatasi oleh aturan.”

Mari kita buka mata lebih lebar. Aturan yang rumit terhadap pengelolaan keuangan itu
telah membuat sisi-sisi yang harusnya bisa dimaksimalkan menjadi buntu. Dia menyisakan
sebuah ironi yang harus segera diatasi. Merumitkan aturannya, sama saja membuat ironi itu
makin menyayat hati.
Lalu bagaimana? Perlonggar poin-poin tentang jenis serapannya, lalu perketat auditnya.

Kebijakan yang baik harus dibuat dengan fondasi nilai-nilai kebijaksanaan. Dan
kebijaksanaan itu selalu berusaha membuat orang-orang yang ada di dalamnya merasa nyaman
dan bahagia.

Anda mungkin juga menyukai