Imobilisasi
Imobilisasi
Aulia Rizka, Edy Rizal W, Arya Govinda, Siti Setiati
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM
Imobilisasi merupakan sebagai ketidakmampuan transfer atau berpindah posisi atau tirah
baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan
fungsi fisiologik. Imobilisasi sering dijumpai pada pasien usia lanjut. Penelitian di ruang
rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan prevalensi
imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%.
Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada
pasien usia lanjut. Beberapa penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Penyakit Parkinson, artritis
reumatoid, gout, dan obat‐obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan
kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Paget’s disease,
metastase kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot
(polimalgia, pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi.
Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti
pada depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran
keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan
orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun di rumah
sakit. Efek samping beberapa obat misalnya obat hipnotik dan sedatif dapat pula
menyebabkan gangguan mobilisasi.
Pendekatan klinis terhadap imobilisasi: Peran Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G)
Dalam mengkaji imobilisasi, perlu dilakukan anamnesis menenai riwayat penyakit sekarang,
lamanya mengalami disabilitas, penyakit yang dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi
dan obat‐obatan yang dapat menyebabkan imobilisasi. Keluhan nyeri, skrining depresi dan
rasa takut jatuh serta pengkajian lingkungan, termasuk kunjungan rumah bila perlu, penting
dilakukan.
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa status kardiopulmonal, pemeriksaan muskuloskeletal
yang mendetil misalnya kekuatan otot dan gerak sendi, pemeriksaan status neurologis dan
juga pemeriksaan kulit untuk identifikasi ulkus dekubitus. Status imobilisasi pasien harus
selalu dikaji secara terus‐menerus.
Komplikasi imobilisasi
Komplikasi gastrointestinal yang dapat timbul adalah anoreksia, konstipasi dan luka tekan
(ulkus dekubitus). Pada sistem saraf pusat, dapat terjadi deprivasi sensorik, gangguan
keseimbangan dan koordinasi.
Pencegahan komplikasi imobilisasi
Non Farmakologis
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara
teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan
latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah
dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan
penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan
perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal
berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau
diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke
kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus.Pemberian
minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi.
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya hipotensi.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian
terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Farmakologis
Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan terhadap terjadinya
trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight
heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri dengan
imobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat
lain.
Referensi:
1. Anderson LC, Cutter NC.Immobility. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB,
th
Ouslander JG. Principles of geriatric medicine and gerontology. 4 ed. New
York:McGraw‐Hill;1999.p.1565‐75.
2. Govinda A. Setiati S. Imobilisasi pada Usia Lanjut. Dalam: Alwi I, Setiati S, Simadibrata
M, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PIP. 2009.
3. Kane RL, Ouslander JG, Abras IB. Immobility. In : Kane RL. Editors. Essential of clinical
Geriatrics. New York: McGraw Hill; 2004.p. 245‐77.
4. Setiati S. Pedoman pengelolaan imobilisasi pada pasien geriatri. Dalam: Soejono CH,
Setiati S, Wiwie M, Silaswati S. Editor. Pedoman pengelolaan kesehatan pasien
geriatri untuk dokter dan perawat. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit
Dalam – FKUI; 2000.p. 115‐22.