Anda di halaman 1dari 13

Demensia di Usia Lanjut

Ravelia Samosir
102016191
F1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta Barat
Email: ravelia.2016fk191@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak: Insidens demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Secara
keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6%. Demensia
merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai berbagai macam penyebab. Penyebab tersering demensia
di Amerika Serikat dan Eropa adalah demensia Alzheimer, sedangkan di Asia diperkirakan demensia
vaskular merupakan penyebab tersering demensia. Untuk menegakkan diagnosis harus dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang
tepat. Pasien dengan demensia mempunyai gangguan memori dan kemampuan mental. Defisit yang
terjadi cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial. Tujuan utama penatalaksanaan
pasien dengan demensia adalah mengobati penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan
situasi yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya (caregivers). Penanganan yang
dilakukan adalah pendekatan holistik/global berupa kombinasi terapi farmakologis ( obat ) dan non
farmakologis sehingga dapat meningkatkan status kesehatan umum pasien dan meningkatkan kualitas
hidup pasien dengan demensia.

Kata kunci : demensia Alzheimer, gangguan memori, caregivers, terapi farmakologis.

Abstract : The incidence of dementia increased significantly with increasing age. Overall prevalence
of dementia in the population over the age of 60 years is 5.6%. Dementia refers to clinical
syndromes The most common cause of dementia in the United States and Europe is Alzheimer's disease,
whereas in Asia is estimated to vascular dementia is a common cause of dementia. To make a diagnosis
must be made through anamnesis and thorough physical examination, and supported by appropriate
investigation. Deficit severe enough to affect work and social activities.The main purpose of the
management of patients with dementia is to treat the causes of dementia that can be corrected and
provide a comfortable situation and support for patients and pramuwerdhanya (Caregivers). Handling
is done is a holistic approach to the global form of combination pharmacological therapy (drug) and
non pharmacological so as to improve the general health status of patients and improve the quality of
life of patients with dementia.

Key words : dementia Alzheimer, impaired memory, caregivers, pharmacology therapy.


Pendahuluan
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan
telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degenaratif ( yang
beberapa di antaranya merupakan faktor risiko timbulnya demensia )serta makin meningkatnya
usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi menunjukkan bahwa di
Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase dengan penyakit Alzheimer
(penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur 5 tahun.
Tanpa pecegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah pasien dengan penyakit Alzheimer
di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi 13,2 juta orang pada tahun
2050. Dari segi sosial, keterlibatan emosional pasien dan keluarganya juga patut menjadi
pertimbangan karena akan menjadi sumber morbiditas yang bermakna, antara lain akan
mengalami stress psikologis yang bermakna.

Tipe demensia yang paling sering selain Alzheimer adalah demensia vaskular, yaitu
demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular. Demensia
vaskular berjumlah 15-30 persen dari semua kasus demensia. Demensia vaskular paling sering
ditemukan pada orang yang berusia antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki
dibandingkan wanita. Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit. Pada
tahun 1970 Tomlinson dan temannya, melalui penelitian klinis-patologik, mendapatkan bahwa
bila demensia disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini biasanya terjadi karena adanya infark
di otak, dan hal ini melahirkan konsep “demensia multi-infark”. Untuk menegakkan diagnosis
demensia juga dibutuhkan adanya gangguan memori sebagai suatu saraf. Hal ini dapat
dibenarkan pada penyakit Alzheimer, karena gangguan memori merupakan gejala dini. Namun
pada demensia vaskular saraf ini kurang tepat.

Anamnesis
Anamnesis merupakan kumpulan informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang
dipaparkan oleh pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien mengadakan
kunjungan ke dokter. Anamnesis diperoleh dari komunikasi aktif antara dokter dan pasien atau
keluarga pasien. Anamnesis yang baik untuk seorang dewasa mencakupi keluhan utama,
informasi mengenai kelainan yang dialami sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat
keluarga, dan informasi mengenai keadaan tiap sistem tubuh pasien.
Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal- hal
berikut:
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien
(kemungkinan diagnosis)
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab
munculnya keluhan pasien (diagnosis banding)
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut
(faktor predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien
(faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk
menentukan diagnosisnya.
Epidemiologi

Insidens demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65
tahun, prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara
keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6%.
Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer,
sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab tersering demensia.1

Sebuah penelitian pada populasi usia lanjut di AS mendapatkan lebih dari 45% mereka yang
berusia 85 tahun atau lebih menderita penyakit Alzheimer. Hasil ini dikonfirmasi oleh
penelitian di Swedia yang menyebutkan 44% dari usia lanjut yang berusia lebih dari 85 tahun
mengalami penyakit Alzheimer. Di Jepang dari seluruh penduduk sentenarian ( usia 100 tahun
atau lebih ), 70% mengalami demensia dengan 76% nya menderita penyakit Alzheimer.
Berbagai penelitian menunjukkan laju insidens penyakit Alzheimer meningkat secara
eksponensial seiring bertambahnya umur, walaupun terjadi penurunan insidens pada usia 95
tahun yang diduga karena terbatasnya jumlah subyek diatas 90 tahun. Secara umum dapat
dikatakan bahwa frekuensi penyakit Alzheimer meningkat seiring usia, dan mencapai 20-40%
populasi berusia 85 tahun atau lebih.1

Proporsi perempuan yang mengalami penyakit Alzheimer lebih tinggi dibandingkan dengan
laki-laki ( sekitar 2/3 pasien adalah perempuan ), hal ini disebabkan perempuan memiliki
harapan hidup lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah menderita penyakit ini.
Faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan penyakit
Alzheimer adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, serta berbagai faktor risiko
timbulnya arterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak. Faktor pendidikan dan
genetik juga berpengaruh terhadap munculnya penyakit ini.1

Patofisiologi & Etiologi

Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,
neurofibrillary tangles, hilangnya neuron sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano
bodies. Plak neuritik mengandung β-amyloid ekstraseluler yang dikelilingi neuritis distrofik,
sementara plak difus ( non neuritik ) adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi
amyloid tanpa abnormalitas neuron.2 Deteksi adanya Apu-E di dalam plak β-amyloid dan studi
mengenai ikatan high-avidity antara Apo-E dengan β-amyloid menunjukkan bukti hubungan
antara amyloidegenesis dan Apo- E. Plak neuritik juga mengandung protein komplemen,
mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein fase akut, sehingga komponen inflamasi
juga diduga terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode the amyloid
precursor protein terletak pada kromosom 21, menunjukkan hubungan potensial patologi
penyakit Alzheimer dengan sindrom Down, yang diderita oleh semua penyakit Alzheimer yang
muncul pada usia 40 tahun.1,3

Sebenarnya jumlah plak senilis meningkat seiring usia, dan plak ini juga muncul di jaringan
otak usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa satu dari tiga orang berusia 85
tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang cukup di korteks serebri untuk
memenuhi kriteria diagnosis penyakit Alzheimer, namun apakah ini mencerminkan fase
preklinik dari penyakit masih belum diketahui.

Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung tau yang


terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Individu usia lanjut yang normal juga
diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks
entorhinal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neurokorteks pada seseorang tanpa demensia.
Neurofiubrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer.

Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah infark multipel dan abnormalitas
substansia alba. Infark jaringan otak yang terjadi pasca stroke dapat menyebabkan demnsia
bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian (hemisfer) mana yang terkena.
Sementara abnormalitas substansia alba biasanya terjadi berhubungan dengan infark lakunar.
Abnormalitas substansia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaaan MRI pada daerah sub
korteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormalyang umunya tampak di beberapa
tempat. Abnormalitas substansia alba ini juga dapat timbul pada suatu kelainan genetik yang
dikenal sebagai CADASIL ( cerebral autosomal dominant arteriopathy with subaortical infarcts
and leukoencephalopathy, yang secara klinis terjadi demensia yang progresif yang muncul
pada dekade kelima sampai ketujuh kehidupan pada beberapa anggota keluarga yang
mempunyai riwayat migren dan stroke berulang tanpa hipertensi.2-4

Diagnosis

Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia harus dilakukan dari berbagai segi,
karena selain menetapkan seorang pasien mengalami demensia atau tidak, juga harus
ditentukan berat-ringannya penyakit, serta tipe demensianya ( penyakit Alzheimer, demensia
vaskuler, atau tipe yang lain ). Hal ini berpengaruh terhadap penatalaksanaan dan prognosisnya.

 Demensia Alzheimer
Gejala penyakit Alzheimer dibagi dalam stadium awal, ringan, sedang, berat, dan lanjut
dengan gejala yang semakin berat. Gejala gangguan daya ingat yang berat berupa
disorientasi-tidak mengenal tempat, waktu, orang lain dan halusinasi. Pada stadium
awal gejala klasik yang diidap oleh penyandang Alzheimer dan dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk dilakukan sebagai evaluasi berikut :
- Kemunduran memori jangka pendek
- Kemunduran kemampuan mempelajari dan mempertahankan informasi baru
- Penyandang mengulang-ulang sesuatu dan lupa pembicaraan atau janji
- Kemunduran dalam membuat alasan atau berpikir abstrak, seperti kesulitan
menunjuk waktu, tempat (disorientasi) atau memahami sebuah lelucon atau tugas
lain yang membutuhkan tindakan berurutan.
- Kemunduran dalam perencanaan, pertimbangan dan membuat keputusan
- Keterampilan berbahasa terganggu
- Perubahan kepribadian dan perilaku. Kehilangan inhibisi dan kontrol impuls.
Penyandang yang mulanya sabar ( pasif ) menjadi pemarah, agresif, mudah
tersinggung, tidak percaya diri, dan kadang-kadang tidak pantas perilakunya.
- Berkurangnya inisiatif. Tidak ada motivasi untuk mengikuti aktivitas sosial.
Diagnosis Banding
Mild Cognitive Impairment: suatu kondisi di mana seseorang memiliki masalah dengan
memori, bahasa, atau fungsi lain mental yang cukup parah untuk menjadi terlihat untuk orang
lain dan muncul pada tes, tetapi tidak cukup serius untuk mengganggu kehidupan sehari-hari.

Proses Menua
Proses Menua adalah penurunan seiring-waktu yang terjadi pada sebagian besar
makhluk hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan
perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang
terkait usia.5
Beberapa teori yang terkain dengan proses menua yaitu:
 Teori ”Radikal Bebas” yang menyebutkan bahwa produk hasil metabolism oksidatif
yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai komponen penting
selular, termasuk protein, DNA, dan lipid, menjadi molekul-molekul yang tidak
berfungsi namun bertahan lama dan mengganggu fungsi sel lainnya
 Teori ”glikolisasi” yang menyatakan bahwa proses glikosilasi nonenzimatik yang
menghasilkan pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai advanced glycation end
products (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain
yang termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi pada hewan atau manusia yang
menua
 Teori ”DNA Repair” yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju ‘repair’
kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai fibroblast yang
dikultur

Namun teori – teori tersebut belum mampu mebuktikan proses menua tersebut.5

Karies gigi pada lansia

Kesehatan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia.6 Kesehatan gigi


merupakan bagian dari kesehatan tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan tubuh secara
keseluruhan.7 Kesehatan gigi atau kesehatan mulut merupakan keadaan rongga mulut
termaksud gigi geligi dan struktur serta jaringan pendukungnya yang bebas dari penyakit dan
rasa sakit yang berfungsi secara optimal menjadikan rasa percaya diri serta hubungan
interpersonal dalam tingkatan paling tinggi. penyakit dan rasa sakit yang berfungsi secara
optimal menjadikan rasa percaya diri serta hubungan interpersonal dalam tingkatan paling
tinggi. Gigi merupakan bagian dari tubuh yang berfungsi untuk proses pengunyahan,
memotong, menghaluskan makanan dan membantu pembentukan konsonan berbicara dan
penyangga rahang secara keseluruhan. Selain itu, gigi juga berfungsi sebagai estetika wajah.
Fungsi gigi dapat berkurang dalam peranannya jika terjadi gangguan pada kesehatan gigi.
Keadaan mulut yang buruk, misalnya banyak gigi yang hilang sebagai rusak atau trauma yang
tidak dirawat maka akan menganggu fungsi dan aktifitas rongga mulut sehingga akan
mempengaruhi status gizi serta akan mempunyai dampak pada kualitas hidup lansia. Kualitas
hidup lansia merupakan suatu komponen yang kompleks mencakup usia harapan hidup,
kepuasan dalam kehidupan, kesehatan psikis dan mental, fungsi kognitif kesehatan dan fungsi
fisik, pendapatan, kondisi tempat tinggal, dukungan sosial dan jaringan sosial.6

Masalah kesehatan gigi dan mulut yang sering terjadi pada lansia, yaitu masalah
kehilangan gigi akibat karies gigi. Karies gigi berasal dari bahasa latin yang artinya lubang
gigi. Karies gigi umumnya disebabkan oleh kebersihan mulut yang buruk sehingga
menyebabkan terjadinya akumulasi plak yang mengandung berbagai macam bakteri diataranya
streptococcus mutans sebagai penyebab utama penyakit karies gigi.7 Karies gigi merupakan
proses demineralisasi yang disebabkan oleh suatu interaksi antara mikroorganisme, ludah,
bagian-bagian yang berasal dari makanan dan email. Karies ini paling sering terjadi pada
dewasa muda dan tua sehingga apabila tidak dirawat maka akan bertambah buruk dan dapat
menimbulkan. Rasa sakit yang berpotensi menyebabkan kehilangan gigi.8 Di Indonesia
berdasarkan Riskesdas tahun 2007 diketahui pravalensi kehilangan gigi pada kelompok usia
55- 64 tahun sebesar 5,9% dan pada usia 65 tahun sebesar 17,6% . Sedangkan pravalensi karies
gigi sebesar 90,90% penduduk Indonesia.9

Penatalaksanaan Demensia

Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati
penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan
mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya ( caregivers ). Menghentikan obat-obat yang
bersifat sedatif dan mempengaruhi fungsi kognitif banyak memberikan manfaat. Antidepresi
yang mempunyai efek samping minimal terhadap fungsi kognitif, seperti serotonin selective
reuptakeinhibitor ( SSRI ), lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.1
Agitasi, halusinasi, delusi, dan kebingungan ( confusion ) seringkali sulit ditatalaksana, dan
sering menjadi alasan utama memasukkan seorang usia lanjut dengan demensia ke panti
werdha atau rumah rawat usia lanjut. Sebelum memberikan obat untuk berbagai gangguan
perilaku tersebut, harus disingkirkan faktor lingkungan atau metabolik yang mungkin dapat
dikoreksi atau dimodifikasi. Imobilisasi, asupan makanan yang kurang, nyeri, konstipasi,
infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor yang dapat mencetuskan gangguan
perilaku, dan bila diatasi maka tidak perlu memberikan obat-obatan antipsikosis. Obat-obatan
yang dapat digunakan untuk meredam agitasi dan insomnia tanpa memperberat demensia
diantaranya haloperidol dosis rendah ( 0,5 sampai 2 mg ), trazodone, buspiron, atau propanolol.
Beberapa penelitian yang membandingkan terapi obat ( farmakoterapi ) dengan intervensi
perilaku ( behavioral intervention ) menunjukkan kedua pendekatan tersebut sama efektifnya.
Walaupun demikian, karena terkadang terapi perilaku yang dilakukan secara benar dan
dilakukan setiap hari dengan intensif sulit dilakukan, maka pilihan terapi medikamentosa lebih
disukai. Terapi kolinesterase inhibitor sebagai terapi terpilih untuk meningkatkan fungsi
kognitif pada pasien demensia, seringkali dapat pula mengurangi gejala apati, halusinasi visual,
dan beberapa gejala psikiatrik lain.3

Dalam mengelola pasien dengan demensia, perlu pula diperhatikan upaya-upaya


mempertahankan kondisi fisis atau kesehatan pasien. Seiring dengan progresi demensia, maka
banyak sekali komplikasi yang akan muncul seperti pneumonia dan infeksi saluran napas
bagian atas, septikemia, ulkus dekubitus, fraktur, dan berbagai masalah nutrisi. Kondisi-
kondisi ini terkadang merupakan sebab utama kematian pasien dengan demensia, sehingga
pencegahan dan penatalaksanaan menjadi sangat penting. Pada stadium awal penyakit, seorang
dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas dalam rangka mempertahankan status kesehatan
pasien, seperti melakukan latihan ( olahraga ), mengendalikan hipertensi, dan berbagai
penyakit lain, imunisasi terhadap pneumokok dan influenza, memperhatikan higiene mulut dan
gigi, serta mengupayakan kaca mata dan alat bantu dengar bila terdapat gangguan penglihatan
ataupun pendengaran. Pada fase lanjut demensia, merupakan hal yang sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan dasar pasien seperti nutrisi, hidrasi, mobilisasi, dan perawatan kulit untuk
mencegah ulkus dekubitus. Yang juga penting dalam pengelolaan secara paripurna pasien
dengan demensia adalah kerjasama yang baik antara dokter dengan pramuwerdha ( caregivers
).10 Pramuwerdha pasien dengan demensia merupakan orang yang sangat mengerti kondisi
pasien dari hari ke hari dan bertanggung jawab terhadap berbagai hal seperti pemberian obat
dan makanan, mengimplementasikan terapi non farmakologis kepada pasien, meningkatkan
status kesehatan umum pasien, serta mampu memberikan waktu-waktu yang sangat berarti
sebgai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan demensia.

Penanganan yang dilakukan adalah pendekatan holistik/global berupa kombinasi terapi


farmakologis ( obat ) dan non farmakologis.

 Terapi farmakologis dengan parasetam, gingko biloba, vitamin E, kolinesterase


inhibitor, antioksidan, antiinflamasi ( NSAID ), hormon estrogen.
 Terapi non farmakologis mencakup terapi suportif ( pendidikan dan pelatihan ),
psikoterapi dan rekreasi terapeuitik ( terapi stimulasi kognitif , terapi fisik, terapi
really orientation ).

Prognosis dari demensia ini buruk karena sebagian besar kasus demensia menunjukkan
penurunan yang progresif dan tidak dapat pulih ( irreversible ) dan tidak jarang menyebabkan
kematian.

Pengkajian paripurna pasien geriatri

Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun atau
lebih) berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki karakteristik
multipatologi, daya cadang faal yang rendah, gejala dan tanda klinis yang menyimpang,
menurunnya status fungsional, dan gangguan nutrisi. Selain itu, perbaikan kondisi medis
kadangkala kurang dramatis dan lebih lambat timbulnya.5

Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaiotu pada satu pasien
terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah
menurunya daya cadangan faali, yang menyebabkan pasien geriatri amat mudah jatuh dalam
kondisi gagal pulih (failure to thrive). Hal ini terjadi akibast penurunan fungsi barbagai oragan
sesuai dengan bertambahnya usia, yang walaupun normal untuk usianya namun menandakan
menipisnya daya cadang faali. Ketiga adalah penyimpangan gejala dan tanda penyakit dari
yang klasik, misalnya pada pneumonia mungkin tidak akan dijumpai gejala khas seperti batuk,
demam, dan sesak, melainkan terdapat perubahan kesadaran atau jatuh. Keempat adalah
terganggunya status fungsional pasien geriatri. Status fungsional adalah kemampuan seseorang
untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari. Status fungsional menggambarkan
kemampuan umum seseorang dalam memerankan fungsinya sebagai manusia yangt mandiri,
sekaligus menggambarkan kondisi kesehatan secara umum. Kelima adalah adanya gangguan
nutrisi, gizi kurang, atau gizi buruk, gangguan nutrisi ini secara langsung akan mempengaruhi
proses penyembuhan dan pemulihan.5

Jika karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti pneumonia, maka
pasien geriatri juga seringkali muncul dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas,
imobilisasi,dan inkontinesia (sindrom geriatri). Kondisi tersebut akan semakin kompleks jika
secara psikososial terdapat hendaya seperti pengabaian (neglected) atau kemiskinan (masalah
finansial). Berdasarkan uraian di atas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan dalam
evaluasi medis bagi pasien geriatri mutlak harus bersifat holostik atau paripurna yang tidak
semata – mata dari sisi bio-psoko-sosial saja, namun juga harus senantiasa memperlihatkan
aspek kuratif.,rehabilitatif,promotif,dan preventif. Komponen dari pengkajian paripurna pasien
geriatri meliputi status fungsional, status kognitif, status emosional, dan status nutrisi. Selain
itu, anamnesis yang dilakukan adalah anamnesis sistem organ yang secara aktif ditanyakan
oleh dokter (mengingat seringkali pasien geriatri memiliki hambatan dalam menyampaikan
keluhahan atau tidak mengangap hal tersebut sebagai suatu keluhan) dan pemeriksaan fisik
lengkap yang mencangkup pula pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal.5
Beberapa P3G berdasarkan status:5
 Status Fungsional
Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri tidak
akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi akutnya
sudah teratasi, tetapi pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum mampu duduk,
apalagi berdiri dan berjalan, pasien belum mampu makan dan minum serta
membersihkan diri tanpa bantuan. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi
berbagai hendaya menjadfi penting, bahkan seringkali menjadi prioritas penyelesaian
masalah. Nilai dari kebanyakan intervensi medis pada oirang usia lanjut dapat diukur
dari pengaruhnya pada kemandirian atau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi
hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan
secara keseluruhan. Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan
pemeriksaan dengan instrumen tertentu untuk membuat penilaian menjadi objektif,
antara lain dengan indeks aktivitas kehidupan sehari – hari (activity of daily living /
ADL) Brarthel dan katz. Pasien dengan status fungsional tertentu akan memerlukan
berbagai program untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan
kembali pulih, mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan
pasien.
 Status Kognitif
Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol terutama
saat mereka sakit. Faal kognitif yang paling sering terganggu pada pasien geriatri yang
dirawat inap karena penyakit akut anatara lain memori segera dan jangka pendek,
persepsi, proses pikir, dan fungsi eksekutif, gangguan tersebut dapat menyulitkan
dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak
lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan
pasien untuk melaksanakan program yang telah direncanakan sehingga pada akhirnya
pengelolaan secara keseluruhan akan terganggu juga. Gangguan faal kignitif bisa
ditemukan pada derajat ringan (mild cognitive impairment/MCI dan vascular cognitive
impairment/NCI) maupun yang lebih berat (demensia ringan sedang dan berat) hal
tersebut tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan terapeutik tersendiri.
Penipisan adanya ganguan faal kognitif secara objektif antara lain dapat dilakukan
dengan pemeriksaan neuropsikioatri seperti Abbreviated Mental Test, The Mini-Mental
State Exmination (MMSE), The Global Deterioration Scale (GDS), dan The Cinical
Dementia Ratings (CDR).
 Status Emosional
Kondisi psikologik, seperti gangguan penyesuaian dan depresi, juga dapat
mempengaruhi hasil pengelolaan. Pasien yang depresi akan sulit untuk diajak bekerja
sama dalam kerangka pengelolaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif atau
apatis terhadap berbagai program pengobatan yang akan diterapkan. Hal ini tentu akan
menyulitkan dokter dan paramedik untuk mengikuti dan mematuhi berbagai modalitas
yang diberikan. Keinginan bunuh diri secara langsung maupun tidak, cepat atau lambat
akan mengencam proses penyembuhan dan pemulihan. Instrumen untuk mengkaji
status emosional pasien misalnya geriatric depression scale (GDS) yang terdiri atas 15
atau 30 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya gangguan depresi
atau gangguan penyesuaan. Pendekatan secara profesional dengan bantuan psikiater
amat diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.
 Status Nutrisi
Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada seorang pasien
geriatri. Gangguan nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum pasien.
Adanya gangguan nutrisi seringkali terabaikan mengingat gejala awal seperti
rendahnya asupan makanan disangka sebagi kondisi normal yang akan terjadi pada
pasien geriatri. Sampai kondisi status gizi turunmenjadi gizi buruk baru tersadar bahwa
memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya sudah terlambat atau
setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi buruk.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesisi asupan),
pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Dari anamnesis harus dapat dinilai
berapa kilometer energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak yang rata – rata
dikonsumsi pasien. Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter cairan yang
dikonsumsi. Jumlah vitamin dan mineral biasanya dilihat secara lebih spesifik sehingga
memerlukan perangkat instrumen lain dengan bantuan seorang ahli gizi. Pemeriksaan
antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks massa tubuh dengan
memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia dewasa muda. Rumus
tinggi lutut yang disesuaikan denagn ras Asia dapat dipakai untuk dikalkulasi tinggi
badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat diperiksa hemoglobin dan
kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara biokimiawi. Instrumen untuk
mengkaji status fungsional, kognitif, dan emosional dapat dilihat pada lampiran

Kesimpulan
Munculnya demensia pada usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak
jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Tujuan utama
penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati penyebab demensia
yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan
pramuwerdhanya ( caregivers ). Penanganan yang tepat dan cepat akan memperlambat proses
demensia ke arah yang lebih lanjut. Tatacara diagnosis pada penderita geriatrik berbeda dengan
tatacara diagnostik pada populasi lainnya. Penatalaksanan tidak hanya bersifat farmakologis
tetapi juga harus dengan non farmakologis dari berbagai aspek, sehingga dapat meningkatkan
status kesehatan umum pasien, serta mampu memberikan waktu-waktu yang sangat berarti
sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan demensia.
Daftar Pustaka
1. Van de Flier WM, Scheltens P. Epidemiology and risk factors of dementia. J Neurol
Neurosurg Pschiatry; 2005 :762-7.
2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci S et all, penyunting. Harisson’s principles of internal
medicine, edisi ke-16. New york: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005. P.
2393-406.
3. Cummings JL. Alzheimer disease. N Engl J Med; 2004 : 1010-7.
4. Hazzard WR, Blass JP, Halter Jb et all. Principles of geriatric medicine and
gerontology. Edisi ke-4. New york; Oxford University Press ; 2000 :922-31.
5. W.Sudoyo, Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-lima Jilid I. Pusat
penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
6. Sutikno E. Hubungan antara fungsi keluarga dan kualitas hidup lansia. Jurnal
Kedokteran Indonesia. 2011 ; 2(1) : 73-7.
7. Notohartojo IT, S Made Ayu L, R Woro, N Olwin. Nilai karies gigi pada karyawan
kawasan industry di Pulo Gadung Jakarta. Jurnal Media Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan 2011 ; 21 (4) : 166.
8. Anshary MF, Cholil, Arya WI. Gambaran pola kehilangan gigi sebagian pada
masyarakat desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar Dentino Jurnal Kedokteran Gigi
2014 ; II(2) : 138-9, 189-90, 193-4.
9. Ratmini NK, Arifin. Hubungan kesehatan mulut dengan kualitas hidup lansia. Jurnal
Ilmu Gizi 2011 ; 2(2) : 140-5.
10. Padmo Santjojo. Masalah kesehatan di hari tua. FKUI; 2003 :32 No.4; 191-99.

Anda mungkin juga menyukai