PENDAHULUAN
A. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, yang menimbulkan gejala episodik
berulang dan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan
kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan
lumen saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak
menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang. Global Initiative
for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi
kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut
menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
B. Etiologi
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang
peranan utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus
(hipereaktivitas bronkus). Hipereaktivitas bronkus itu belum diketahui
dengan jelas penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan sebagian
sistem adrenergik, kurangnya enzim adenilsiklase dan meningginya tonus
sistem parasimpatik. Keadaan demikian menyebabkan mudah terjadinya
kelebihan tonus parasimpatik bila ada rangsangan, hingga terjadi spasme
bronkus. Banyak faktor yang turut menentukan derajat reaktivitas atau
iritabilitas tersebut. Faktor genetik, biokimia, saraf otonom, imunologis,
infeksi, endokrin, psikologis, dan lingkungan lainnya, dapat turut serta
dalam proses terjadinya manifestasi asma. Karena itu asma disebut
penyakit yang multifaktorial.
Asma ekstrinsik atau alergik, ditemukan pada sejumlah kecil
pasien dewasa, dan disebabkan oleh alergen yang diketahui. Bentuk ini
biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dengan riwayat keluarga yang
mempunyai penyakit atopik seperti demam jerami, ekzema, dermatitis,
dan asma sendiri. Asma alergik disebabkan karena kepekaan individu
terhadap alergen, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang dihirup,
bulu halus binatang, kain pembalut, atau yang lebih jarang, terhadap
makanan seperti susu atau coklat. Paparan terhadap alergen, meskipun
hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat mengakibatkan serangan
asma.
Pada asma intrinsik atau idiopatik, sering tidak ditemukan faktor-
faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor yang nonspesifik seperti flu
biasa, latihan fisik, atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma jenis
ini lebih sering timbul sesudah usia 40 tahun, dengan serangan yang
timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronkial.
Bentuk asma yang paling banyak menyerang pasien adalah asma
campuran, yang mana terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik
dan intrinsik.
C. Klasifikasi
Asma menurut Konsensus Internasional diklasifikasikan berdasarkan
etiologi, beratnya penyakit, dan pola waktu terjadinya obstruksi saluran
nafas.
1. Klasifikasi berdasarkan etiologi
a. Asma bronkial tipe non atopi (Intrinsik/cryptogenic)
Pada asma golongan ini, keluahan tidak ada hubungannya dengan
paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya ialah:
1) Serangan timbul setelah dewasa
2) Pada keluarga tidak ada yang menderita asma
3) Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan
4) Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik
5) Rangsangan atau stimuli psikis mempunyai peran untuk
menimbulkan serangkaian reaksi asma
6) Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik
merupakan keadaan yang peka bagi penderita
b. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik)
Pada golongan ini keluahan ada hubungannya dengan paparan
(exposure) terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan
ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi
bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat:
1) Timbul sejak kanak-kanak
2) Pada family ada yang menderita asma
3) Adanya eksim pada waktu bayi
4) Sering menderita rinitis
c. Asma bronkial campuran (mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh factor-faktor
intrinsik maupun ekstrinsik.
2. Klasifikasi berdasarkan pola waktu serangan
Klasifikasi asma juga bisa dibuat berdasarkan pola waktu terjadinya
serangan yang dipantau dengan pemeriksaan APE. Termasuk dalam
klasifikasi ini adalah:
a. Asma Intermitten
Pada jenis ini serangan asma timbul kadang-kadang. Di antara dua
serangan, APEnya normal, tidak terdapat atau ada hipereaktivitas
bronkus ringan.
b. Asma Persisten
Terdapat variabilitas APE antara siang dan malam hari, serangan
sering terjadi dan terdapat hipereaktivitas bronkus. Pada beberapa
penderita asma persisten yang berlangsung lama, faal paru tidak
pernah kembali normal meskipun diberikan pengobatan
kortikosteroid yang intensif.
c. Brittle Asthma
Penderita brittle asthma memiliki saluran nafas yang sensitif, dan
variabilitas obstruksi seluruh saluran nafas dari hari ke hari sangat
ekstrim. Penderita ini mempunyai resiko tinggi untuk mengalami
eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa.
3. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
D. Faktor Resiko
1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan
foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga
bisa diturunkan.
2. Faktor preipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan,
logam dan jam tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita
asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
E. Patogenesis
Asma ditandai dengan 3 kelainan utama pada bronkus yaitu
bronkokonstriksi otot bronkus, inflamasi mukosa, dan bertambahnya
sekret yang berada di jalan nafas.
Pada asma ekstrinsik, alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada
mukosa bronkus yang mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia,
serta sekresi lendir yang tebal. Mekanisme terjadinya reaksi ini telah
diketahui dengan baik, walaupun sangat rumit. Penderita yang telah
disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat
antibodi terhadap alergen yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan
imunoglobulin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada permukaan sel mast
pada mukosa bronkus. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada
permukaan sel mast menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut
akan memisahkan diri dan melepaskan sejumlah bahan yang menyebabkan
konstriksi bronkus. Salah satu contohnya yaitu histamin dan prostaglandin.
Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor β-2 adrenergik, yang bila
dirangsang dengan obat anti asma salbutamol β-2 mimetik akan
menghambat pelepasan histamin. Aminofilin juga dapat menghalangi
pembebasan histamin. Pada mukosa bronkus, darah tepi, dan sputum
terdapat sangat banyak eosinofil. Dulu fungsi eosinofil dalam sputum tidak
diketahui, tapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula
eosinofil terdapat enzim yang menghancurkan histamin dan prostaglandin.
Jadi eosinofil memberikan perlindungan terhadap asma. Dengan demikian
jelaslah bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah tepi.
Asma intrinsik memiliki patogenesa yang berbeda dengan asma ekstrinsik.
Mungkin diawali oleh kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari
serabut-serabut nervus vagus yang akan merangsang bahan-bahan iritan
dalam bronkus sehingga timbul refleks batuk dan sekresi lendir. Serabut
nervus vagus ini demikian sensitifnya hingga langsung menimbulkan
refleks konstriksi bronkus. Selain itu, lendir yang sangat lengket akan
disekresi sehingga pada kasus-kasus berat dapat menimbulkan sumbatan
saluran nafas yang hampir total, sehingga menimbulkan status asmatikus,
gagal nafas, dan kematian. Rangsangan yang paling penting untuk refleks
ini ialah infeksi saluran pernafasan oleh flu (common cold), adenovirus,
dan juga oleh bakteri seperti Haemophilus influenzae. Selain itu, polusi
udara oleh gas iritatif asal industri, asap, dan udara dingin juga dapat
berperanan. Faktor emosi juga memiliki peran penting pada semua jenis
asma.
F. Diagnosis
1.Anamnesis
Secara klinis asma diduga bila ada gejala mengi, batuk, sesak
nafas, dan riwayat pneumonia atau bronkitis yang berulang. Batuk
yang menetap dan berulang terutama sesudah pajanan berbagai zat
tertentu, aktivitas, gangguan emosi, dan infeksi virus. Batuk pada
asma menjadi lebih berat pada malam hari. Namun kadang-kadang
gejala asma hanya berupa batuk-batuk kronik. Penting juga diketahui
dalam anamnesis adalah gejala-gejala yang membaik secara spontan
atau dengan bronkodilator dan anti inflamasi, dan faktor-faktor yang
dapat mencetuskan asma dan atopi dalam keluarga.
2.Pemeriksaan Fisik
Hasil yang didapat tergantung stadium serangan, lamanya serangan
serta jenis asmanya. Pada asma yang ringan dan sedang, tidak
ditemukan kelainan fisik di luar serangan. Kadang-kadang dapat
ditemukan penyakit lain sebagai penyakit penyerta berupa otitis
media, konjungtivitis, rinitis, polip hidung, sinusitis atau hiperplasia
tonsil.
Pada inspeksi terlihat pernafasan yang cepat dan sukar, disertai
batuk-batuk paroksismal, dan ekspirium memanjang. Saat inspirasi
terlihat retraksi daerah supra klavikular, suprasternal, epigastrium, dan
sela iga. Pada asma kronik, terlihat bentuk toraks emfisematus,
bongkok ke depan, sela iga melebar, dan diameter anteroposterior
toraks bertambah. Saat serangan berat terlihat tanda-tanda kegelisahan
sampai penurunan kesadaran, kesukaran berbicara, takikardi,
penggunaan otot bantu nafas, sianosis, hiperinflasi, dan pulsus
paradoksus. Pada perkusi terdengar hipersonor di seluruh toraks,
terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati
mengecil.
Pada auskultasi, awalnya terdengar bunyi nafas kasar/mengeras.
Bila penyakit makin berat, mengi dapat terdengar baik saat ekspirasi
maupun inspirasi. Dalam keadaan normal, fase ekspirasi 1/3-1/2 dari
fase inspirasi. Saat serangan, fase ekspirasi memanjang. Terdengar
juga ronki kering dan ronki basah serta suara lendir bila banyak
sekresi bronkus.
Tanda-tanda yang berhubungan dengan tingkat obstruksi jalan
nafas pada saat pemeriksaan umumnya sangat tergantung pada
kemampuan pengamat. Hal yang lebih baik adalah mencari tanda-
tanda yang berhubungan dengan hiperinflasi dada, seperti
hiperresonansi, retraksi subkostal, tarikan trakea dan tegangnya otot-
otot skalenus.
3.Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada penderita asma sering ditemukan eosinofilia. Uji kulit
dengan alergen merupakan pemeriksaan diagnostik pada asma
alergi. Pemeriksaan IgE spesifik dalam serum juga berguna dalam
diagnostik asma alergi
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto toraks tidak begitu penting untuk diagnosis
asma. Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan penyakit lain
yang mempunyai gejala mirip asma atau untuk melihat komplikasi
penyakit seperti atelektasis, pneumotoraks, pneumonia, dan fraktur
iga.
c. Uji Faal Paru
Uji faal paru yang paling sederhana adalah pemeriksaan arus
puncak ekspirasi (APE) dengan alat Mini Wright Peak Flow
Meter. Pemeriksaan ini memiliki arti bila dilakukan secara serial.
Variabilitas nilai APE sebesar 20% atau lebih antara pagi dan sore
merupakan diagnostik asma. Pemeriksaan paru yang lebih akurat
adalah dengan spirometri, yaitu menentukan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1 terhadap kapasitas
vital paksa (KVP). Reversibilitas asma dapat dilihat dengan
pengukuran faal paru (APE atau VEP1) sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator, misalnya inhalasi agonis β-2.
Peningkatan APE atau VEP1 sebesar 15% atau lebih sesudah
inhalasi bronkodilator menunjukkan adanya reversibilitas
penyakit.
d. Uji Provokasi Bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memperlihatkan dan mengukur
derajat hipereaktivitas bronkus yang terdapat pada penderita asma.
Selain itu juga dilakukan bila ada kecurigaan asma namun tidak
ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik dan faal paru. Uji
provokasi ini dapat dilakukan dengan beban kerja, hiperventilasi
isokapnik, udara dingin, maupun dengan inhalasi spesifik atau
nonspesifik
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma (dewasa)
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
2. Bronkitis kronik
3. Gagal Jantung Kongestif
4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Disfungsi larings
6. Obstruksi mekanis (misal tumor)
7. Emboli Paru
Diagnosis banding asma (anak)
1. Benda asing di saluran napas
2. Laringotrakeomalasia
3. Pembesaran kelenjar limfe
4. Tumor
5. Stenosis trakea
6. Bronkiolitis
H. Penatalaksanaan
1. Edukasi
Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu pasien agar
dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Edukasi
terkait dengan cara dan waktu penggunaan obat, menghindari
pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur
pada pengobatan asma. Bentuk pemberian edukasi dapat berupa
komunikasi saat berobat, ceramah, latihan, diskusi, sharing, leaflet,
dan lain-lain.
2. Menilai dan memonitor derajat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1 – 6 bulan dan monitoring asma
oleh pasien dilakukan pada penatalaksanaan asma. Ini dikarenakan
berbagai faktor yaitu gejala dan berat asma berubah sehingga
membutuhkan perubahan terapi, pajanan pencetus menyebabkan
perubahan pada asma, dan daya ingat serta motivasi pasien perlu
direview sehingga membantu penanganan asma secara mandiri.
Pemeriksaan faal paru, respon pengobatan saat serangan akut, deteksi
perburukan asimptomatik sebelum menjadi serius, respon pengobatan
jangka panjang, dan identifikasi pencetus perlu dimonitor secara
berkala
d. Teofilin
Adeniyi BO., Awopeju OF., Erhabor GE., 2009. Acute Severe Asthma. African
Journal of Respiratory Medicine.
Atmoko W., Khairina H., Faisal O., Bobian E. F., 2011. Prevalens Asma Tidak
Terkontrol dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kontrol
Asma di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. J Respir
Indo.31 (2):53-60 (Desember, 2017)
Bachtiar D., Wiyono W. H., Yunus F., 2011. Proporsi Asma Terkontrol di Klinik
Asma RS Persahabatan Jakarta 2009. J Respir Indo. 31(2):90-100
(Desember,2017)
Cicak B., Verona E., Stefanovic M., 2008. An Individualized Approach in The
Education of Asthmatic Children. Acta Clinica Croatica. 47(4):231-8
(Desember, 2017)
Gan WQ., Man P., Sin DD., 2005. The Interactions Between Cigarette Smoking
and Reduced Lung Function on Systemic Inflamation. CHEST. 127: 558-
56442
Global Initiative for Asthma (GINA)., 2006. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention.
Global Initiative for Asthma (GINA)., 2017. Pocket Guide For Asthma
Management and Prevention (for Adult and Children Older than 5 Years).
Ilyas M., Yunus F., Wiyono W. H., 2010. Correlation Between Asthma Control
Test(ACT) and Spirometry as Tool of Assessing of Controlled Asthma. J
Respir Indo. 30(4):190-6 (Oktober, 2010)
Marco R., Locatelli F., Sunyer J., Burney P., 2000. Differences in Incidence of
Reported Asthma Related to Age in Men and Women. Am J Respir Crit
Care Med. 162: 68-74
Nguyen K., Peng J, Boulay E., 2010. Effect of Smoking on the Association
Between Environmental Triggers and Asthma Saverity Among Adults in
NewEngland. Journal of Asthma & Allergy Educators. 9 (9)
Price A., Wilson M., 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC hal. 177.