Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang merupakan suatu


masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat
bersifat menetap mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian.
Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-
5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%.
sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma
pada suatu saat selama masa kanak-kanak. Di Indonesia prevalensi asma belum
diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun
dengan menggunakan kuesioner ISAAC (Internationla Study on Asthma and
Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada
tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta
penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus
bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain
menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia
dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi
yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang.
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya
penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama
adalah menghindari faktor penyebab.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, yang menimbulkan gejala episodik
berulang dan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan
kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan
lumen saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak
menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang. Global Initiative
for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi
kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut
menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari.

B. Etiologi
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang
peranan utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus
(hipereaktivitas bronkus). Hipereaktivitas bronkus itu belum diketahui
dengan jelas penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan sebagian
sistem adrenergik, kurangnya enzim adenilsiklase dan meningginya tonus
sistem parasimpatik. Keadaan demikian menyebabkan mudah terjadinya
kelebihan tonus parasimpatik bila ada rangsangan, hingga terjadi spasme
bronkus. Banyak faktor yang turut menentukan derajat reaktivitas atau
iritabilitas tersebut. Faktor genetik, biokimia, saraf otonom, imunologis,
infeksi, endokrin, psikologis, dan lingkungan lainnya, dapat turut serta
dalam proses terjadinya manifestasi asma. Karena itu asma disebut
penyakit yang multifaktorial.
Asma ekstrinsik atau alergik, ditemukan pada sejumlah kecil
pasien dewasa, dan disebabkan oleh alergen yang diketahui. Bentuk ini
biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dengan riwayat keluarga yang
mempunyai penyakit atopik seperti demam jerami, ekzema, dermatitis,
dan asma sendiri. Asma alergik disebabkan karena kepekaan individu
terhadap alergen, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang dihirup,
bulu halus binatang, kain pembalut, atau yang lebih jarang, terhadap
makanan seperti susu atau coklat. Paparan terhadap alergen, meskipun
hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat mengakibatkan serangan
asma.
Pada asma intrinsik atau idiopatik, sering tidak ditemukan faktor-
faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor yang nonspesifik seperti flu
biasa, latihan fisik, atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma jenis
ini lebih sering timbul sesudah usia 40 tahun, dengan serangan yang
timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronkial.
Bentuk asma yang paling banyak menyerang pasien adalah asma
campuran, yang mana terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik
dan intrinsik.

C. Klasifikasi
Asma menurut Konsensus Internasional diklasifikasikan berdasarkan
etiologi, beratnya penyakit, dan pola waktu terjadinya obstruksi saluran
nafas.
1. Klasifikasi berdasarkan etiologi
a. Asma bronkial tipe non atopi (Intrinsik/cryptogenic)
Pada asma golongan ini, keluahan tidak ada hubungannya dengan
paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya ialah:
1) Serangan timbul setelah dewasa
2) Pada keluarga tidak ada yang menderita asma
3) Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan
4) Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik
5) Rangsangan atau stimuli psikis mempunyai peran untuk
menimbulkan serangkaian reaksi asma
6) Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik
merupakan keadaan yang peka bagi penderita
b. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik)
Pada golongan ini keluahan ada hubungannya dengan paparan
(exposure) terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan
ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi
bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat:
1) Timbul sejak kanak-kanak
2) Pada family ada yang menderita asma
3) Adanya eksim pada waktu bayi
4) Sering menderita rinitis
c. Asma bronkial campuran (mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh factor-faktor
intrinsik maupun ekstrinsik.
2. Klasifikasi berdasarkan pola waktu serangan
Klasifikasi asma juga bisa dibuat berdasarkan pola waktu terjadinya
serangan yang dipantau dengan pemeriksaan APE. Termasuk dalam
klasifikasi ini adalah:
a. Asma Intermitten
Pada jenis ini serangan asma timbul kadang-kadang. Di antara dua
serangan, APEnya normal, tidak terdapat atau ada hipereaktivitas
bronkus ringan.
b. Asma Persisten
Terdapat variabilitas APE antara siang dan malam hari, serangan
sering terjadi dan terdapat hipereaktivitas bronkus. Pada beberapa
penderita asma persisten yang berlangsung lama, faal paru tidak
pernah kembali normal meskipun diberikan pengobatan
kortikosteroid yang intensif.
c. Brittle Asthma
Penderita brittle asthma memiliki saluran nafas yang sensitif, dan
variabilitas obstruksi seluruh saluran nafas dari hari ke hari sangat
ekstrim. Penderita ini mempunyai resiko tinggi untuk mengalami
eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa.
3. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis

Derajat Asma Gejala Gejala Faal Paru


Malam

I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80 %

 Gejala < 1x/minggu ≤ 2 kali  VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi


 Tanpa gejala diluar sebulan  APE ≥ 80 % nilai terbaik
serangan  Variability APE < 20 %
 Serangan singkat
II. Persisten APE > 80 %
ringan
 Gejala > 1x/minggu, > 2 kali  VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi
tetapi < 1x/hari sebulan  APE ≥ 80 % nilai terbaik
 Serangan dapat  Variability APE 20-30 %
mengganggu aktiviti dan
tidur
III. Persisten APE 60 – 80 %
sedang
 Gejala setiap hari > 1 kali  VEP1 60-80 % nilai prediksi
 Serangan mengganggu seminggu  APE 60-80 % nilai terbaik
aktiviti dan tidur  Variability APE > 30 %
 Membutuhkan
bronodilator setiap hari
IV. Persisten APE ≤ 60 %
berat
 Gejala terus-menerus sering  VEP1 ≤ 60 % nilai prediksi
 Sering kambuh  APE ≤ 60 % nilai terbaik
 Aktiviti fisik terbatas  Variability APE > 30 %
4. Tingkat Kontrol Asma

Karakteristik Kontrol Penuh Terkontrol Sebagian Tidak Terkontrol


(Semua Kriteria) (Salah satu/minggu)
Gejala harian Tidak ada (≤2x/mgg) >2x/mgg ≥3
Keterbatasan Aktivitas Tidak ada Ada Gambaran asma
terkontrol sebagian
Gejala Tidak ada Ada
Ada dalam setiap
nokturnal/terbangun
minggu
karena asma
Kebutuhan pelega
Tidak ada (≤2x/mgg) >2x/mgg
Fungsi paru (APE/VEP1)
Normal <80%prediksi/nilai terbaik 1x/mgg
Eksaserbasi
Tidak ada ≥1/tahun

D. Faktor Resiko
1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan
foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga
bisa diturunkan.
2. Faktor preipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan,
logam dan jam tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita
asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

E. Patogenesis
Asma ditandai dengan 3 kelainan utama pada bronkus yaitu
bronkokonstriksi otot bronkus, inflamasi mukosa, dan bertambahnya
sekret yang berada di jalan nafas.
Pada asma ekstrinsik, alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada
mukosa bronkus yang mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia,
serta sekresi lendir yang tebal. Mekanisme terjadinya reaksi ini telah
diketahui dengan baik, walaupun sangat rumit. Penderita yang telah
disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat
antibodi terhadap alergen yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan
imunoglobulin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada permukaan sel mast
pada mukosa bronkus. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada
permukaan sel mast menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut
akan memisahkan diri dan melepaskan sejumlah bahan yang menyebabkan
konstriksi bronkus. Salah satu contohnya yaitu histamin dan prostaglandin.
Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor β-2 adrenergik, yang bila
dirangsang dengan obat anti asma salbutamol β-2 mimetik akan
menghambat pelepasan histamin. Aminofilin juga dapat menghalangi
pembebasan histamin. Pada mukosa bronkus, darah tepi, dan sputum
terdapat sangat banyak eosinofil. Dulu fungsi eosinofil dalam sputum tidak
diketahui, tapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula
eosinofil terdapat enzim yang menghancurkan histamin dan prostaglandin.
Jadi eosinofil memberikan perlindungan terhadap asma. Dengan demikian
jelaslah bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah tepi.
Asma intrinsik memiliki patogenesa yang berbeda dengan asma ekstrinsik.
Mungkin diawali oleh kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari
serabut-serabut nervus vagus yang akan merangsang bahan-bahan iritan
dalam bronkus sehingga timbul refleks batuk dan sekresi lendir. Serabut
nervus vagus ini demikian sensitifnya hingga langsung menimbulkan
refleks konstriksi bronkus. Selain itu, lendir yang sangat lengket akan
disekresi sehingga pada kasus-kasus berat dapat menimbulkan sumbatan
saluran nafas yang hampir total, sehingga menimbulkan status asmatikus,
gagal nafas, dan kematian. Rangsangan yang paling penting untuk refleks
ini ialah infeksi saluran pernafasan oleh flu (common cold), adenovirus,
dan juga oleh bakteri seperti Haemophilus influenzae. Selain itu, polusi
udara oleh gas iritatif asal industri, asap, dan udara dingin juga dapat
berperanan. Faktor emosi juga memiliki peran penting pada semua jenis
asma.
F. Diagnosis
1.Anamnesis
Secara klinis asma diduga bila ada gejala mengi, batuk, sesak
nafas, dan riwayat pneumonia atau bronkitis yang berulang. Batuk
yang menetap dan berulang terutama sesudah pajanan berbagai zat
tertentu, aktivitas, gangguan emosi, dan infeksi virus. Batuk pada
asma menjadi lebih berat pada malam hari. Namun kadang-kadang
gejala asma hanya berupa batuk-batuk kronik. Penting juga diketahui
dalam anamnesis adalah gejala-gejala yang membaik secara spontan
atau dengan bronkodilator dan anti inflamasi, dan faktor-faktor yang
dapat mencetuskan asma dan atopi dalam keluarga.
2.Pemeriksaan Fisik
Hasil yang didapat tergantung stadium serangan, lamanya serangan
serta jenis asmanya. Pada asma yang ringan dan sedang, tidak
ditemukan kelainan fisik di luar serangan. Kadang-kadang dapat
ditemukan penyakit lain sebagai penyakit penyerta berupa otitis
media, konjungtivitis, rinitis, polip hidung, sinusitis atau hiperplasia
tonsil.
Pada inspeksi terlihat pernafasan yang cepat dan sukar, disertai
batuk-batuk paroksismal, dan ekspirium memanjang. Saat inspirasi
terlihat retraksi daerah supra klavikular, suprasternal, epigastrium, dan
sela iga. Pada asma kronik, terlihat bentuk toraks emfisematus,
bongkok ke depan, sela iga melebar, dan diameter anteroposterior
toraks bertambah. Saat serangan berat terlihat tanda-tanda kegelisahan
sampai penurunan kesadaran, kesukaran berbicara, takikardi,
penggunaan otot bantu nafas, sianosis, hiperinflasi, dan pulsus
paradoksus. Pada perkusi terdengar hipersonor di seluruh toraks,
terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati
mengecil.
Pada auskultasi, awalnya terdengar bunyi nafas kasar/mengeras.
Bila penyakit makin berat, mengi dapat terdengar baik saat ekspirasi
maupun inspirasi. Dalam keadaan normal, fase ekspirasi 1/3-1/2 dari
fase inspirasi. Saat serangan, fase ekspirasi memanjang. Terdengar
juga ronki kering dan ronki basah serta suara lendir bila banyak
sekresi bronkus.
Tanda-tanda yang berhubungan dengan tingkat obstruksi jalan
nafas pada saat pemeriksaan umumnya sangat tergantung pada
kemampuan pengamat. Hal yang lebih baik adalah mencari tanda-
tanda yang berhubungan dengan hiperinflasi dada, seperti
hiperresonansi, retraksi subkostal, tarikan trakea dan tegangnya otot-
otot skalenus.
3.Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada penderita asma sering ditemukan eosinofilia. Uji kulit
dengan alergen merupakan pemeriksaan diagnostik pada asma
alergi. Pemeriksaan IgE spesifik dalam serum juga berguna dalam
diagnostik asma alergi
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto toraks tidak begitu penting untuk diagnosis
asma. Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan penyakit lain
yang mempunyai gejala mirip asma atau untuk melihat komplikasi
penyakit seperti atelektasis, pneumotoraks, pneumonia, dan fraktur
iga.
c. Uji Faal Paru
Uji faal paru yang paling sederhana adalah pemeriksaan arus
puncak ekspirasi (APE) dengan alat Mini Wright Peak Flow
Meter. Pemeriksaan ini memiliki arti bila dilakukan secara serial.
Variabilitas nilai APE sebesar 20% atau lebih antara pagi dan sore
merupakan diagnostik asma. Pemeriksaan paru yang lebih akurat
adalah dengan spirometri, yaitu menentukan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1 terhadap kapasitas
vital paksa (KVP). Reversibilitas asma dapat dilihat dengan
pengukuran faal paru (APE atau VEP1) sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator, misalnya inhalasi agonis β-2.
Peningkatan APE atau VEP1 sebesar 15% atau lebih sesudah
inhalasi bronkodilator menunjukkan adanya reversibilitas
penyakit.
d. Uji Provokasi Bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memperlihatkan dan mengukur
derajat hipereaktivitas bronkus yang terdapat pada penderita asma.
Selain itu juga dilakukan bila ada kecurigaan asma namun tidak
ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik dan faal paru. Uji
provokasi ini dapat dilakukan dengan beban kerja, hiperventilasi
isokapnik, udara dingin, maupun dengan inhalasi spesifik atau
nonspesifik

G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma (dewasa)
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
2. Bronkitis kronik
3. Gagal Jantung Kongestif
4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Disfungsi larings
6. Obstruksi mekanis (misal tumor)
7. Emboli Paru
Diagnosis banding asma (anak)
1. Benda asing di saluran napas
2. Laringotrakeomalasia
3. Pembesaran kelenjar limfe
4. Tumor
5. Stenosis trakea
6. Bronkiolitis
H. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan


mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari- hari. Terdapat tujuh
komponen program penatalaksanaan asma yaitu:

1. Edukasi
Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu pasien agar
dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Edukasi
terkait dengan cara dan waktu penggunaan obat, menghindari
pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur
pada pengobatan asma. Bentuk pemberian edukasi dapat berupa
komunikasi saat berobat, ceramah, latihan, diskusi, sharing, leaflet,
dan lain-lain.
2. Menilai dan memonitor derajat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1 – 6 bulan dan monitoring asma
oleh pasien dilakukan pada penatalaksanaan asma. Ini dikarenakan
berbagai faktor yaitu gejala dan berat asma berubah sehingga
membutuhkan perubahan terapi, pajanan pencetus menyebabkan
perubahan pada asma, dan daya ingat serta motivasi pasien perlu
direview sehingga membantu penanganan asma secara mandiri.
Pemeriksaan faal paru, respon pengobatan saat serangan akut, deteksi
perburukan asimptomatik sebelum menjadi serius, respon pengobatan
jangka panjang, dan identifikasi pencetus perlu dimonitor secara
berkala

3. Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor pencetus


Pasien asma ada yang dengan mudah mengenali faktor pencetus
namun ada juga yang tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya.
Identifikasi faktor pencetus perlu dilakukan dengan berbagai pertanyaan
mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan seperti
alergen yang dihirup, pajanan lingkungan kerja, polutan dan iritan di
dalam dan di luar ruangan, asap rokok, refluks gastroesofagus dan
sensitif dengan obat-obatan

4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang


Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu
inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Obat-
obatan asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas yang terdiri atas pengontrol dan pelega. Pengontrol
merupakan medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan
asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol (controllers) sering
disebut pencegah yang terdiri dari
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Merupakan pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma dan merupakan pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat). Berbagai penelitian menunjukkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan serta
memperbaiki kualitas hidup.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Pemberian melalui oral atau parenteral, digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau
selang sehari), namun penggunaanya terbatas mengingat risiko efek
sistemik yaitu osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak,
glaukoma, obesitas dan kelemahan otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan
mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantai IgE yang
bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi
tertentu (makrofag, eosinofil, manosit) serta menghambat saluran
kalsium pada sel target. Pemberian secara inhalasi pada asma
persisten ringan dan efek samping minimal berupa batuk dan rasa
obat tidak enak saat melakukan inhalasi.

d. Teofilin

Teofilin merupakan bronkodilator yang memiliki efek


ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Digunakan untuk
menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dengan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah
pulmonal. Efek samping berupa mual, muntah, diare, sakit kepala,
insomnia dan iritabilitas.
e. Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam).
Memiliki efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
f. Leukotriene modifiers
Merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan latihan berat.
Selain itu juga memiliki efek antiinflamasi.

Pelega pada prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi


otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, batuk dan rasa berat di dada,
serta tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas. Pelega (reliever) terdiri dari:
a. Agonis beta-2 kerja singkatGolongan terdiri dari salbutamol,
terbutalin, fenoterol dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi
memiliki kerja lebih cepat dan efek samping minimal. Efek
samping dapat berupa rangsangan kardiovaskular, tremor otot
rangka dan hipokalemia.
b. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi, mekanisme kerjanya memblok efek
pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan
rasa pahit.
c. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak ada agonis beta-2 atau tidak merespon dengan agonis
beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus hati-hati
pada usia lanjut atau pada pasien gangguan kardiovaskuler.

Selain pemberian obat pelega dan pengontrol asma, beberapa cara


digunakan sebagai terapi pelengkap untuk mempercepat proses
penyembuhan asma seperti homeopati, terapi herbal, ayuverdik medicine,
ionizer, osteopati dan manipulasi chiropractic, spleoterapi, teknik
pernapasan Buteyko, akupuntur, hipnosis, dan lain-lain. Salah satu terapi
pelengkap untuk pasien asma adalah teknik pernapasan Buteyko. Teknik
pernapasan ini didasarkan pada usaha mengembalikan cara bernapas
yang benar pada pasien asma.

5. Menetapkan terapi penanganan terhadap gejala

Terapi dilakukan sesuai dengan keadaan pasien, terapi ini


dianjurkan kepada pasien yang memiliki pengalaman buruk terhadap
gejala asma dan dalam kondisi darurat. Penanganan dilakukan di rumah
pasien dengan menggunakan obat bronkodilator seperti β2-agonis inhalasi
dan glukokortikosteroid oral

6. Kontrol secara teratur


Penatalaksanaan jangka panjang harus memperhatikan tindak lanjut
(follow up) teratur dan rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau
penanganan lebih lanjut. Pasien dianjurkan untuk kontrol tidak hanya saat
terjadi serangan akut, namun kontrol teratur sesuai jadwal yang telah
ditentukan, interval berkisar 1-6 bulan tergantung pada keadaan asma. Ini
dilakukan untuk memastikan asma tetap terkontrol dengan
mengupayakan penurunan terapi seminimal mungkin

7. Pola hidup sehat


Dalam penatalaksanaan asma, pola hidup sehat sangat penting
seperti melakukan olahraga secara teratur untuk meningkatkan kebugaran
fisik, menambah rasa percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh.
Bagi pasien yang memiliki jenis asma dimana serangan timbul setelah
exercise (Exercise-Induced Asthma/EIA) dianjurkan menggunakan beta-2
agonis sebelum melakukan olahraga. Berhenti atau tidak merokok dan
menghindari faktor pencetus juga dapat dilakukan oleh pasien asma
untuk mencegah terjadinya serangan asma.

Penatalaksanaan serangan akut


Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat
fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan
asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan kata lain penanganan asma
ditekankan pada penanganan jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
serangan asma akut atau perburukkan gejala dengan memberikan pengobatan
yang tepat.
Penilaian berat serangan merupakan kunci utama dalam penanganan
serangan akut. Langkah berikutnya adalah memerikan pengobatan tepat,
selanjutnya menilai respon pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa
yang sebaiknya dilakukan pada penderita.
Table. Klasifikasi serangan asma akut
Gejala dan Berat serangan akut Kedaan
tanda Ringan sedang berat mengancam jiwa
Sesak nafas berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dpat tidur Duduk Duduk
terlentang membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi
kata
Kesadaran Mungkin gelisah gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi <20x/menit 20-30x/menit >30x/menit
nafas
Nadi <100 100-120 >120 bradikardia
Pulsus - 10 mmHg ± 10-20 + > 25 mmHg -
paradoksus mmHg
Otot bantu - + + Kelelahan otot
nafas dan Torakoabdominal
retraksi Paradoksal
suprasternal
Mengi Akhir ekspirasi Akhir Inspirasi dan Silent Chest
paksa ekspirasi ekspirasi
APE >80% 60-80 % < 60 %
PaO2 >80 mmHg 80-60 mmHg <60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%

Penatalaksanaan di rumah sakit


Serangan akut berat adalah gawat darurat dan membutuhkan bantuan
medis segera, penangan harus cepat dan sebaiknya dilakukan diruamh sakit/gawat
darurat. Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan, untuk
selanjtnya diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan
pemeriksaan faal paru dan laboratorium menjadikan keterlambatan dalam
pengobatan/tindakan.
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah
dilakukan, respon pengobatan, waktu mulai terjadinya dan penyebab/ pencetus
serangan saat itu, dan ada tidaknya seriko tinggi untuk mendapatkan keadaan
fatal/kematian.
a. Kriteria pulang atau rawat inap
Pertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit (rawat inap)
pada penderita di gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respon
pengobatan baik klinis maupun faal paru. Berdasarkan penilaian fungsi,
pertimbangan pulang atau rawat inap adalah :
1) Penderita rawat inap bila VEP 1 atau APE sebelum pengobatan awal
<25% nilai terbaik/prediksi; atau VEP 1/APE <40% nilai terbaik/prediksi
setelah pengobatan awal diberikan
2) Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan bila VEP 1/APE 40-60%
nilai terbaik/prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak
lanjut dan adekuat dan kepatuhan berobat.
3) Penderita dnegan respon pengobatan awal memberikan VEP 1/APE
>60% niali terbaik/prediksi, umumnya dapat dipulangkan
b. Kriteria perawatan intesif/ICU :
1) Serangan berat dan tidak respon walau telah diberikan pengobatan
adekuat
2) Penurunan kesadaran, gelisah
3) Gagal nafas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu PaO2 <60 mmHg dan
atau PaCO2>45 mmHg, saturasi O2 ≤ 90% pada penderita anak. Gagal
nafas dapat terjadi dengan PaCO2 rendah atau meningkat.
c. Intubasi dan ventilasi mekanis
Intubasi dibutuhkan bila terjadinya perburukan klinis walau dengan
pengobatan optimal, penderita tampak kelelahan dan atau PaCO2 meningkat
terus. Tidak ada kriteria absolut untuk intubasi, tetapi dianjurkan sesuai
dengan pengalaman dan keterampilan dokter dalam penanganan masalah
pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA

Adeniyi BO., Awopeju OF., Erhabor GE., 2009. Acute Severe Asthma. African
Journal of Respiratory Medicine.

Arif M., 2010. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan.


Surakarta:UNS Press hal. 71-131.

Atmoko W., Khairina H., Faisal O., Bobian E. F., 2011. Prevalens Asma Tidak
Terkontrol dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kontrol
Asma di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. J Respir
Indo.31 (2):53-60 (Desember, 2017)

Bachtiar D., Wiyono W. H., Yunus F., 2011. Proporsi Asma Terkontrol di Klinik
Asma RS Persahabatan Jakarta 2009. J Respir Indo. 31(2):90-100
(Desember,2017)

Cicak B., Verona E., Stefanovic M., 2008. An Individualized Approach in The
Education of Asthmatic Children. Acta Clinica Croatica. 47(4):231-8
(Desember, 2017)

Departemen Kesehatan RI., 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.

Departemen Kesehatan RI., 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.

Djojodibroto D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Penerbit


BukuKedokteran EGC hal. 105-15.

Gan WQ., Man P., Sin DD., 2005. The Interactions Between Cigarette Smoking
and Reduced Lung Function on Systemic Inflamation. CHEST. 127: 558-
56442

Global Initiative for Asthma (GINA)., 2006. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention.

Global Initiative for Asthma (GINA)., 2017. Pocket Guide For Asthma
Management and Prevention (for Adult and Children Older than 5 Years).

Global Initiative for Asthma (GINA)., 2012. At-A-Glance Asthma Management


Reference.

Ilyas M., Yunus F., Wiyono W. H., 2010. Correlation Between Asthma Control
Test(ACT) and Spirometry as Tool of Assessing of Controlled Asthma. J
Respir Indo. 30(4):190-6 (Oktober, 2010)
Marco R., Locatelli F., Sunyer J., Burney P., 2000. Differences in Incidence of
Reported Asthma Related to Age in Men and Women. Am J Respir Crit
Care Med. 162: 68-74

Nguyen K., Peng J, Boulay E., 2010. Effect of Smoking on the Association
Between Environmental Triggers and Asthma Saverity Among Adults in
NewEngland. Journal of Asthma & Allergy Educators. 9 (9)

Price A., Wilson M., 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC hal. 177.

Rengganis I., 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah


Kedokteran Indonesia. 58(11):444-51 (Nopember, 2008)

Anda mungkin juga menyukai