PENDAHULUAN
1
Batak dan Jawa. Sedangkan lokasi pasar yang besar, yaitu pasar Tugu, Pasar
Tengah, Pasar Kedaton, Pasar Telukbetung, Bandarjaya, Pekalongan, , Kalianda,
dan Metro dapat dikatakan sebagai pasar yang ramai. Pasar Untung ini memiliki
karakter yang berbeda. Pasar Untung banyak disewa oleh penduduk beretnis Bali
dan pedagang beretnis Jawa. Berlawanan dengan pernyataan sebelumnya bahwa
pasar mewakili etnisnya, pasar, di saat yang sama, adalah miniatur interaksi antar
berbagai elemen masyarakat di suatu daerah. Hal ini disebabkan karena setiap
penduduk memerlukan pasar untu mendapatkan kebutuhannya sehingga membuka
interaksi antarpenjual dan pembeli. Ini berarti adanya interaksi antar suku.
Situasi pasar tersebut sangat menarik karena ternyata pasar yang masuk
dalam kategori besar di Lampung justru didominasi oleh dua etnis yang
merupakan pendatang pada awalnya. Etnis Bali, selain memiliki ciri khas rumah
makan sebagai sumber pencarian anggota etnisnya ternyata dapat membangun
eksistensi di pasar ini. Begitu juga dengan etnis Jawa. Menonjol dengan pertanian
tidak membuat etnis ini kehilangan pasar sebagai tempat mereka berinteraksi.
Keadaan ini adalah fenomena sosial yang sangat menarik dan perlu diamati lebih
jauh. Adapun melalui fokus akademik peneliti yang berbasis pada komunikasi
budaya melalui bahasa, secara linguistik hal ini dapat diteliti fenomena
kebahasaannya yang bertujuan untuk melihat sisi-sisi budaya Minang dan Jawa
dalam interaksi sehari-hari antara pedagang dan pembeli dan antara para pedagang
itu sendiri. Apakah mereka masih menggunakan bahasa Jawa dan Bali? Kapan
mereka lakukan? Untuk itu, perlu diadakan penelitian yang berjudul:
ANALISIS ALIH KODE DAN CAMPUR KODE JAWA-BALI
WACANA PERCAKAPAN DI PASAR UNTUNG
Penelitian ini menganalisis fenomena kebahasaan yang terjadi sehari-hari
di pasar dan melihat refleksi budaya yang dimiliki masyarakatnya, terutama
kebudayaan Bali dan Jawa sebagai pendatang yang cukup dominan di
Bandarlampung. Kedua etnis ini dikenal memegang teguh karakter budayanya
walaupun mereka tidak lagi berada di daerah asal mereka. Melalui analisis ini
diharapkan dapat dilihat apa saja upaya mereka dalam mempertahankan budaya
Bali atau Jawa.
2
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang ingin diteliti dalam penelitian ini sebagai
berikut.
1. Apa saja bentuk percakapan antarpedagang di Pasar Untung?
2. Apa saja bentuk percakapan antara pedagang dan pembeli di Pasar Untung?
3. Kode/bahasa apa yang dipakai saat mereka melakukan percakapan?
4. Apakah terjadi alih kode atau campur kode saat melakukan percakapan?
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
4
A. Pengertian Campur Kode dan Alih Kode
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup
juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya
ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari dialek satu ke dialek
yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo inggil (bahasa jawa) ke
tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.
Penggunaan dua bahasa (atau lebih) dalam alih kode menurut Suwito
(1996:80) ditandai oleh : (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-
fungsi secara tersendiri sesuai konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa
disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Ciri-ciri itu
menunjukan bahwa di dalam alih kode, masing-masing bahasa masih mendukung
fungsinya secara esklusif, dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa
bahwa situasi relevan dengan peralihan kodenya. Tanda-tanda demikian oleh oleh
Kachru (dalam Suwito, 1996:80) disebut ciri-ciri unit kontekstual.
Suwito (1996:81) membedakan alih kode menjadi dua yaitu alih kode
intern dan alih kode ekstern : Apabila alih kode itu terjadi antara bahasa-bahasa
daerah dalam satu bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa
daerah, atau antar babarapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih
kode seperti itu bersifat intern. Apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli
dengan bahasa asing maka disebut alih kode ekstern. Menurut Suwito, apabila
dalam suatu peristiwa tutur tertentu terdapat peralihan kode antar bahasa dalam
satu negara atau masih serumpun, maka peralihan kode tersebut bersifat intern.
Sedangkan apabila peralihan kode yang terjadi tersebut antar bahasa asli dengan
bahasa asing atau tidak serumpun, maka peralihan kode tersebut bersifat ekstern.
Dalam prakteknya mungkin saja dalam suatu peristiwa tutur tertentu terjadi alih
kode intern dan ekstern secara beruntun apabila fungsi kontekstual dan situasi
relevansinya dinilai oleh penutur cocok umtuk melakukannya.
Menurut Abdul Chaer dan Leony Agustina (1995: 141) alih kode adalah
peristiwa pergantian bahasa atau berubahnya satu ragam bahasa ke ragam lainnya
karena sebab-sebab tertentu. Penyebabnya bisa karena adanya orang ketiga yang
baru datang, situasi percakapan yang berubah, atau karena berubahnya topik
pembicaraan. Campur kode bercampurnya dua kode; satu kode menjadi dasar
5
percakapan sedangkan kode lainnya hanya digunakan serpihan-serpihannya saja
tanpa menggunakan fungsi atau keotonomiannya sebagai kode yang otonom.
(1995:151)
6
C. Wujud Campur Kode
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, Suwito
(1996: 92) membedakan wujud campur kode menjadi beberapa macam, antara
lain:
1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata. Kata merupakan unsur terkecil
dalam pembentukan kalimat yang sangat penting peranannya dalam tata
bahasa, yang dimaksud kata adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri
dari morfem tunggal atau gabungan morfem.
2. Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa: Frasa adalah gabungan dua kata
atau lebih yang sifatnya tidak prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat
renggang.
3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster: Baster merupakan hasil
perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna (Harimurti,
1993: 92).
4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata: Perulangan kata
merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi.
5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom: Idiom
merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, tiap-tiap anggota
mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau
dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak
sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya.
D. Komunikasi Interkultural
Dalam perspektif wacana, komunikasi interkultural dapat dilihat ketika
dua penutur dari dua budaya yang berbeda bergabung dalam suatu percakapan.
Setiap budaya memiliki pola wacana yang berbeda dan hal ini sering
menyebabkan terjadinya kesalahfahaman. Aspek-aspek wacana yang
mempengaruhi keberhasilan komunikasi antar budaya sebagai berikut.
a. Ideologi, yaitu nilai budaya, agama, dan keyakinan-keyakinan
b. Bentuk wacana; fungsi bahasa dan komunikasi non verbal
c. Sosialisasi; bagaimana belajar menjadi anggota masyarakat budaya tertentu
(Scollon and Scollon 1995: 148)
7
d. Face system atau organisasi masyarakat secara sosial, bagaimana hubungan
kekerabatan, konsep diri, hubungan dalam dan luar kelompok, dan konsep
komunitas dan masyarakat (Scollon and Scollon 1995:127).
8
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data berbentuk wacana lisan
yang diambil dengan merekam percakapan antar sesama pedagang dan ketika
terjadi transaksi jual beli. Rekaman ini berbentuk audio dan catatan. Adapun
rekaman data yang dimasukkan dalam tulisan ini adalah rekaman dalam bentuk
catatan. Informan atau penutur ujaran yang menjadi sumber data diambil secara
acak. Data ini kemudian ditranskripsikan agar menjadi lebih teratur dan lebih
mudah dianalisis lalu dipilah-pilah agar terpilih data yang diperlukan karena besar
kemungkinan dalam proses perekaman terjadi gangguan-gangguan percakapan,
adanya ujaran-ujaran yang tidak signifikan, dan juga karena data berbentuk ujaran
dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Setelah terseleksi, data dianalisis
dengan menggunakan kerangka teori yang relevan. Hasilnya akan ditemukan
sejumlah pengelompokan jenis-jenis wacana lisan yang terjadi, kode/bahasa yang
digunakan, dan ada atau tidak adanya alih kode dan campur kode dalam
percakapan tersebut.
9
Fungsi ujaran Fungsi ujaran respon
pembuka
Mendukung mengkonfrontasi
Tawaran Penerimaan Penolakan
Perintah Konfirmasi Menolak
Pernyataan Menyetujui Tidak setuju
Pertanyaan Menjawab Menidakkan/membantah
C. Prosedur Penelitian
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu
Prapenelitian yang terdiri dari penelusuran referensi dan survey lokasi
pengambilan data, yang kedua peneliitian itu sendiri adalah pengambilan,
pengolahan, dan analisis data.
Analisis data dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah analisis
struktur wacana percakapan. Setelah melakukan analisis terhadap strukturnya baru
dilanjutkan dengan analisis secara sosiolinguistik. Analisis data ini adalah analisis
urutan dari transkrip percakapan yang akan menunjukkan apakah ada interpretasi
makna sosial dari ujaran atau percakapan. Apakah ada keberadaan budaya dari
etnis Jawa dan Minang yang tergambar dari transkrip percakapan tersebut.
Transkrip yang telah dianalisis ini kemudian dikubungkan dengan
situasinya, apakah percakapan terjadi antar pedagang, antara penjual dan pembeli,
dan untukpembeli bisa dipilah lagi menjadi pelanggan-bukan pelanggan, beretnis
sama-berbeda etnis. Dari sini hipotesis penelitian tentang pilihan kode, hubungan
sosial antar anggota pasar, dapat dibentuk.
10
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
11
34 B4 Seribuan ya? Pertanyaan
35 B5 Ini loh .. eh Pertanyaan
36 J Ini sayurnya tiga ribu Pernyataan
37 B2 Ini bude berapa itu, hitung perintah
ulang !
38 J Ta itung ya… Satu, dua tiga, konfirmasi
ini lapan ribu
39 B5 setunggal iki punten bude? pertanyaan
40 J Setunggal sewu mas jawaban
41 B5 serebuan Bantahan
42 J Dah ini aja Pernyataan
43 B5 Telo ngewuan Pernyataan
44 J terimakasih Menutup percakapan
45 B3 Tengkyu Menutup percakapan
Pembeli 1 6 0 0 2 0 0 0 0
Pembeli 3 6 3 0 2 0 0 0 1 0 1
12
Dari analisis struktur, terlihat bahwa ujaran berpasangan tidak selalu
berbanding secara simetris.
B. Analisis Sosiolinguistik
Wacana percakapan adalah refleksi interaksi sosial dari masyarakat yang
menggunakannya. Wacana ini dapat menjelaskan kepada pendengarnya sikap para
penutur dalam berinteraksi. Suatu saat penutur menjadi bagian dari dunia yang
tidak terpisah-pisah oleh budaya dan tradisi tertentu tetapi di saat lain mereka
menarik diri ke dalam keanggotaan etnis atau ras tertentu.
Inilah yang terjadi dalam percakapan antara pedagang di pasar dan antara
pedagang dengan pembeli. Untuk menganalisis fenomena ini, data wacana
percakapan ini dapat dianalisis dengan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan
sosiolinguistik yang dimaksud adalah pendekatan yang menggunakan fenomena
adanya alih kode dan campur kode dalam percakapan.
Alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau berubahnya satu ragam
bahasa ke ragam lainnya karena sebab-sebab tertentu (Abdul Chaer dan Agustina
1995). Romaine (1995) mendefinisikan alih kode sebagai pemilihan kode yang di
dalamnya penutur mengganti ragam ujaran berdasarkan konteks dan domain
pmbicaraan, biasanya perubahan ragam standar ke ragam daerah, tetapi juga dari
satu bahasa ke bahasa yang lain.
Pada bagian ini disajikan bagian dari korpus data sebagai contoh analisis
pola-pola alih kode.
Transkrip 1 Percakapan di pasar untung suropati labuhan dalam,tanjung
senang Bandar Lampung
Pembeli (B) : bude kangkungnya berapa?
Penjual (J) : seribu lima ratus
Penjual (J) : piro mas ?
(Berapa mas?) berbicara kepada pembeli lain
B2 : nggak bisa seribu aja tah bude?
J : aku tawari tiga malah nyempruk e … ojo seng gede-gede
(Berbicara kepada B “aku menawarkan tiga malah merengut.. tidak boleh yang
besar-besar”)
13
B2 : seribu aja ya
J : jangan geh..
B2: boleh sih bude
J : dua setengah
J: ya ojo
(berbicara kepada B “ya tidak boleh”)
J : ngene carok ngene loh..
(berbicara kepada rekan kerja “begini ngambilnya gini loh)
J : neng njobo tiga puluh loh mas
(berbicara dengan B “diluar sana harganya mencapai tiga puluh mas”)
J : males isuk-isuk’i sibuk arep tuku koyo ngono
(berbicara dengan rekan J “capek pagi-pagi sibuk mau beli yang seperti itu”)
B2: nih bude dua aja
J : kan digowo balek arepan
(berbicara dengan rekan J “kan mau diabawa pulang”)
B2 : kalau genjernya berapa bude? Sama aja ya ?
J : ambil dua ?
B2 : iya
J : yaudah.. mana kembangnya atau genjernya ?
B2 : nggak lah itunya aja lah kangkungnya aja lah
B : loh katanya genjer
B2 : ngak jadi mau Tanya aja
J : nggak jadi ?
B2 : nggak Tanya aja
J : kalau genjer itu vitaminnya di kembang
B2 : berapa tadi bude ?
J : dua setengah
B2 : makasih bude
14
ini datang membeli kangkung kepada penjual. Pada pembeli B, si penjual tetap
menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda halnya dengan pembeli B2 si penjual
menggunakan bahasa Jawa. Dengan begitu secara otomatis J melakukan alih kode
dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa karena menyesuaikan dirinya kepada
pembeli dan rekannya. Jadi faktor pelanggan yang datang dan beretnis Dayak
mendorong penjual untuk melakukan alih kode situasional.
15
BAB V
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Edwards, John. 1985. Language, Society, and Identity. Basil Blackwel Ltd
Oxford.
Eggins, Suzanne and Diana Slade. 1997. Analysing Casual Conversation. Cassell.
London
17
KAPITA SELEKTA
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Disusun oleh:
18
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini untuk tugas mata kuliah Kapita Selekta Bahasa Dan Sastra Indonesia. Makalah
ini disusun untuk mendeskripsikan tentang Alih Kode Dan Campur Kode
Percakapan Di Pasar Untung
Penulis
19
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 19
B. Saran ................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA
20