Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah kematangan emosi dan sosial seseorang disertai

dengan adanya kesesuaian dengan dirinya dan lingkungan sekitar.

Ketidakmampuan individu dalam menjalankan peran sebagai makhluk sosial,

perilaku tidak pantas, dan sikap maladaptif dalam masyarakat dapat disebut

sebagai gangguan jiwa. Salah satu perilaku menyimpang dari klien gangguan jiwa

adalah perilaku kekerasan.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang memilki makna terapeutik

bagi pasien dan dilakukan oleh perawat (helper) untuk membantu pasien

mencapai kembali kondisi yang adaptif dan positif. Komunikasi terapeutik

termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan

pengertian antara perawat dan pasien. (1)

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan defenisi ini,

perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, di arahkan pada diri sendiri,

orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk,

yaitu perilaku kekerasan pada saat sedang berlangsung atau perilaku kekerasan

terdahulu (riwayat perilaku kekerasan). (2)

Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan

utama pada proses fikir serta sharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses

pikir, efek/emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama

1
2

karena waham dan halusinasi; asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul

inkoherensi. Skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang memengaruhi persepsi

klien, cara berfikir, emosi, dan perilaku sosialnya. (3)

Berdasarkan World Health Organization (WHO), memperkirakan tidak

kurang dari 450 juta penderita gangguan jiwa skizofrenia ditemukan di dunia.

Sekitar 1 dari setiap 100 orang penduduk Amerika Serikat (2,5 juta) mengalami

skozofrenia, tanpa memperhatikan ras, kelompok, etnik, atau gender.

Menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat, termasuk skizofrenia mencapai 1,7

per mil atau 1-2 orang dari 1.000 warga di Indonesia. Prevalensi penderita

gangguan jiwa di Provinsi Jawa Tengah sebesar 2,3 per mil penduduk, prevalensi

tertinggi di Kabupaten Sragen yaitu 7,4‰ penduduk, Wonogiri sebesar 6,1‰

penduduk, Purworejo sebesar 6‰. (4)

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Kementrian Kesehatan pada

tahun 2007, menunjukan sebesar 4,6 per mil (empat sampai lima dari 1000

penduduk indonesia menderita gangguan jiwa berat). Sedangkan Rikesdas Tahun

2013 Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil.

Departemen kesehatan tahun 2009, mengungkapkan jumlah penderita gangguan

jiwa di Indonesia saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori

gangguan jiwa ringan 11,16% dan 0,46% menderita gangguan jiwa berat.

Menurut data statistik direktorat Kesehatan jiwa menunjukkan klien dengan

gangguan jiwa berat terbesar di Indonesia adalah skizofrenia yakni 70%. Sesuai

dengan data yang telah di laporkan di atas, bahwa gangguan jiwa berat yang

mempunyai prevelensi paling tinggi adalah skizofrenia. (5)


3

Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya

timbul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11-12

tahun sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta

jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia, dimana sekitar

99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia. Penderita

skizofrenia sering mendapat stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari

masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit medis

lainnya. Mereka sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya

perlakuan kekerasan, diasingkan, diisolasi atau dipasung. Mereka sering sekali

disebut sebagai orang gila (insanity atau madness). (6)

Dari 13 ribu penduduk sumatera utara, 130 ribu orang diperkirakan

menderita skizofernia (gangguan jiwa). Khusus Medan dengan jumlah penduduk

2 juta, 22 ribu diantaranya mengalami gangguan jiwa tersebut. Minimnya yang

megalami skizofernia yang berobat ke rumah sakit, dianggap lebih baik

meletakkanya di rumah sendiri agar tidak menggangu orang lain. Keengganan

berobat ke rumah sakit ini, dikarenakan takut ketahuan bahwa anaknya gila, selain

itu, masalah biaya karena pengobatannya jangka panjang. Perlu mengampanyekan

dengan gencar bahwa pasien gangguan jiwa bisa sembuh, bisa diobati apabila

mereka dibawa ke ahli yang sesuai bidangnya di rumah sakit.

Berdasarkan hasil survei awal yang di lakukan peneliti di Rumah Sakit

Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem total jumlah pasien dari data Rekam Medik,

peneliti mendapatkan jumlah pasien skizofrenia sebanyak 40 orang dari periode

Januari-Desember Tahun 2016. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan
4

penelitian Hubungan komunikasi terapeutik terhadap penurunan perilaku

kekerasan pasien dengan skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad

Ildrem 2017.

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas adapun, yang menjadi rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “ apakah ada hubungan komunikasi terapeutik

terhadap penurunan tingkat perilaku kekerasan pasien skizofernia di Ruangan

Sibual-buali Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera

Utara Tahun 2017

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi komunikasi terapeutik di Ruangan

Sibual-buali Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2017.

1.3.2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penurunan tingkat perilaku

kekerasan pasien skizofrenia di Ruangan Sibual-buali Rumah Sakit Jiwa

Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017.

1.3.3. Untuk mengetahui distribusi Frekuensi hubungan komunikasi terapeutik

terhadap penurunan tingkat perilaku kekerasan pasien skizofrenia di

Ruangan Sibual-buali Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem

Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017.


5

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi responden

Hasil penelitian ini di harapkan dapat meningkatkan komunikasi terapeutik

terhadap penurunan tingkat perilaku kekerasan pada setiap pasien

skizofrenia.

1.4.2. Bagi Tempat Penelitian

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi dan bahan

masukkan pada di Ruangan Sibuali-buali Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.

Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017.

1.4.3. Bagi institut pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber bacaan bagi mahasiswa/i

Akademi Keperawatan Helvetia dalam menerapkan ilmu dan sebagai

masukan bagi peneliti berikutnya.

1.4.4. Bagi Peneliti selanjutnya

Dapat menambah wawasan serta pengetahuan penulis dalam penerapan

ilmu yang di peroleh selama mengikuti program pendidikan di Akademi

Keperawatan Helvetia Medan yang berkaitan dengan penelitian tentang

hubungan komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat perilaku

kekerasan pasien skizofrenia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dyah Wahyuningsi,

Budi Anna Keliat dan Susanto Priyo Hastono, penelitian ini menggunakan kuasi

eksperimen prepost test with control group dengan intervensi assertiveness

training (AT). Hasil penelitian menunjukan bahwa klien skizofrenia dengan

perilaku kekerasan lebih dominan laki-laki sebanyak 50 responden (69%),

frenkuansi dirawat 3 kali atau lebih sebanyak 30 responden (41,7%). Sedangkan

tipe skizofrenia paranoid diperoleh sebanyak 51 responden (70,8%) dan memiliki

riwayat kekerasan, baik sebagai pelaku, korban atau saksi lebik banyak yaitu 45

responden (62,5%). (7)

Penelitian ini dilakukan oleh Ns. Abdul Jalil, M.Kep, Sp.Kep.J Penelitian

ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain Crossectional. Populasi sampel

adalah klien yang dirawat di RSJ Prof dr. Soeroyo Magelang periode Desember

2014 sampai dengan Juli 2015. Sampel penelitian adalah sebesar 284 klien yang

mempunyai diagnosis medis skizofrenia (F.20) berdasarkan diagnosis medis DPJP

(Dokter Penanggung Jawab Pasien) Rawat Inap. Pengambilan sampel

menggunakan teknik Simple Random Sampling. Pengukuran kemampuan 156

Jurnal Keperawatan Jiwa. (8)

perawatan diri dilakukan menggunakan lembar observasi tanda dan gejala

defisit perawatan diri. Kuesioner telah memiliki validitas dan reliabilitas konstruk

6
7

dan telah digunakan selama Residensi I s/d III dan dapat mengukur kemampuan

perawatan diri. Pengumpulan data dilakukan melalui telusur dokumen rekam

medik klien, observasi dan wawancara pada setiap klien yang telah terpilih secara

acak. Analisis dilakukan dengan bantuan komputer. Uji hipotesis dilakukan uji

regresi logistik untuk data nominal. Jumlah sampel berimbang antara lakilaki dan

perempuan, perempuan lebih banyak yaitu 59,9% dan laki-laki 40,1%, sebagian

besar berpendidikan rendah 171 (60,4%), bahkan terdapat 6,7% yang tidak

sekolah, sebagian besar tidak bekerja (70,4%) dan 61,3% tidak menikah. Klien

yang menunjukkan perilaku isolasi sosial adalah 205 (72,2%) dan

mengungkapkan pengalaman halusinasi berjumlah 262 (92,3%). (8)

2.2. Skizofrenia

2.2.1. Defenisi skizofrenia

Skizofernia sebagai penyakit neurologis yang mempengaruhi presepsi

klien, cara berfikir, bahasa emosi, perilaku sosialnya. Skizofrenia adalah suatu

bentuk psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses fikir serta

disharmoni (kertakan, perpecahan) antara proses pikir, afek/emosi, kemauan dan

psikomotor disertai distorsi kenyataan,terutama karena waham dan halusinasi ;

asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi. Skizofrenia merupakan bentuk

psikosa yang banyak dijumpai dimana-mana namun faktor penyebabnya belum

dapat diidentifikasi secara jenis (9)


8

2.2.2 Penyebab Skizofrenia.

a. Faktor genetik.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena quantitative

traid loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh

beberapa gen yang berloasi ditempat-tempat yang berbeda diseluruh kromosan.

Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang

orang yang mengalami gangguan ini(dari ringan sampai berat) dan mengapa

resiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya

jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini. (9)

b. Faktor biokimia.

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidak seimbangan kimia otak yang di

sebut neuotranmitter, yaitu kimia otak yang memungkinkan neuron-neuron

berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia

berasal dari aktifitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan dibagian-bagian

otak atau dikarenakan sensifitas abnormal terhadap dopamine. (9)

c. Faktor psikologis sosial

Faktor psikologis meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama

semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua

anak yang patagenik serata interaksi patogenik dalam keluarga.

2.2.3. Tanda dan Gejala.

Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 2, yaitu gejala

positif dan negatif.


9

a. Gejala positif

Halusinasi selalu terjadi saat ransangan terlalau kuat dan otak tidak

mampu mengiterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang dating.

Klien skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang

sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada

tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala atau berbicara sendiri denga keras tanpa

memeperdulikan sekelilingnya. (9)

b. Gejala negatif.

Klien skizofrenia kehilangan motifasi dan apatis berarti kehilanagan

energy dan minat dalam hidup yang memebuat klien menjadi orang yang malas.

Karena klien skizofrenia hanya memiliki energy yang sedikit. Mereka tidak biasa

melakukan hal-hal yang lain selain tidur dan makan. Perasaan yang tumpul

membuat emosi klien skizofrenia menjadi datar.Klien skizofrenia tidak memiliki

ekspresi baik dari raut muka maupun gerakan tangannya, seakan-akan dan tidak

memiliki emosi apa pun. Mereka mungin biasa menerima pemberian dan

perhatian orang lain, tetapi tidak bisa mengespresikan perasaan mereka. (3)

2.2.4. Tipe-Tipe Skizofrenia

a. Skizofrenia paranoid

Ini adalah Jenis skizofrenia yang palin sering di jumpain di Negara mana

pun. Gambaran klinis didominasi oleh waham-waham yang secara relative stabil,

sering kali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusianasi,

terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan presepsi. Gangguan


10

afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicara serta gejala-gejala katatonik

tidak menonjol.

b. Skizofrenia hebefrnik

Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang tampak jelas, dan

secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang

serta terputus-putus (fragmentary), perilaku yang tak bertanggung jawab dan tak

dapat diramalakan, serta umumnya mannerism. Suasana perasaan (mood) pasien

dangkal dan tidak wajar (inappropriate), Sering disertai oleh cekikikan(giggling)

atau perasaan puas-diri( self-statisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling),

atau sikap angkuh/ agung (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),

manerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan yang hipokondrik,

dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases). Proses pikir

mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling), serta

inkohoren. Ada kecenderungan untuk tetap menyendiri (solitary) dan perilaku

tanpa hampa tujuan dan hampa perasaan. Bentuk skizofrenia ini biasanya mulai

antara umur 15 dan 25 tahun, cenderung mempunyai prognosis yang buruk akibat

berkembangnya secara cepat gejala “negatif”. Terutama mendatanya afek dan

semakin berkurangnya dorongan kehendak (loss of volution)

c.Skizofrenia Katatonik

Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang esensial

dan dominan dan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti hiperkinesis dan

stupor, atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativism. Sikap dan posisi

tubuh yang di paksakan dapat dipertahankan untuk waktu jangka lama. Episode
11

kegelisahan disertai kekerasan mungkin merupakan gambaran keadaan ini yang

mencolok.

d. Skizofrenia tak terinci

Kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnosis umum untuk

skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan satupun suptipe diatas seperti (Skizofrenia

paranoid dan skizofrenia katakonik) atau memperlihatkan gejala lebih dari suptipe

tanpa ada gambaran predomiasi yang jelas untuk kelompok diagnosis yang khas.

e. Depresi pasca skizofrenia

Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul

sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenia harus

tetap ada tapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gejala-gejala yang

menetap ini dapat posiwc .tif atau negative, walaupun biasanya yang terakhir itu

lebih sering.

f. Skizofrenia residual

Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenia

dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau

lebih episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum skizofrenia

diatas) ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala

negative jangka panjang, walaupun belum tentu ireversibel. (3)

g. Skizofrenia simpleks

Suatu kelainan yang tidak lazim di mana ada perkembangan yang bersifat

perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan

untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kineja secara menyeluruh.


12

Tidak terdapat waham dan halusinasi, serta gangguan ini bersifat kurang nyata

psikotik jika dibandingkan dengan skizofrenia subtipe hebefrenik, paranoid dan

katatonik. Ciri-ciri “negtif” yang khas dari skizofrenia residual (misalnya afek

yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak) timbul tanpa didahului oleh

gejala-gejala psikotik yang overt. Bersama dengan bertambahnya kemunduran

social, maka pasien dapat berkembang lebih lanjut menjadi gelandangan

(psikotik), pendiam, malas dan tanpa tujuan. (3)

5. Terapi Skizofrenia.

Skizofrenia merupakan interaksi dari tiga faktor (biogenik-psikogenik-

sosiogenik), maka pengobatan gangguan skizofrenia juga diarahkan ketiga faktor

tersebut yaitu samototerapi, psikoterapi, dan sosioterapi. dengan kata lain, tidak

ada pengobatan tunggal yang dapat memperbaiki keanekaragaman gejala dan

disabilitas berkaitan dengan skizofrenia, tetapi harus dilakukan secara

komprehensif.

a. Farmakoterapi

b. ECT (Electro Convulsive Therapy)

c. Terapi koma insulin

d. Psikoterapi. (9)

2.3. Perilaku Kekerasan

2.3.1. Defenisi Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stresor yang di hadapi oleh

seseorang, yang di tunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik

pada diri sendiri maupun orang lain, secara verbal maupun non verbal, bertujuan
13

untuk melukai orang secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan

merupakan salah satu respons marah yang di ekspresikan dengan melakukan

ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan. (10)

Berdasarkan hasil penelitian, klien perilaku kekerasan yang menerima

komunikasi terapeutik perawat dengan kategori tuntas sebanyak 3 orang (18,8 %),

dan kategori tidak tuntas sebanyak 5 orang (31,3 %). Sedangkan, responden klien

perilaku kekerasan yang menerima komunikasi terapeutik pekerja sosial dengan

kategori tuntas sebanyak 5 orang (31,3 %), dan kategori tidak tuntas sebanyak 3

orang (18,8 %). Hasil uji Chi-square pada perbandingan ketuntasan perawatan

klien perilaku kekerasan antara yang menerima komunikasi terapeutik perawat

dan pekerja sosial, diperoleh nilai p = 0,317 lebih besar dari taraf signifikansi

(0,05) (11)

Kemarahan adalah suatu perasaan atau emosi yang timbul sebagai reaksi

terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman.

Pengungkapan marah yang konstruktif dapat membuat perasaan lega. Perilaku

kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan defenisi ini maka

perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal dan fisik. Sedangkan marah

tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebik merujuk kepada suatu perangkat

perasaan-perasaan tertentu yang bisa disebut dengan persaan marah. Dengan kata

lain kemarahan adalah persaan jengkel yang muncul sebagai respon terhadap

kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman oleh individu. (10)


14

Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah

atau ketakutan (panik). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering

dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif verbal suatu sisi dan perilaku

kekerasan (violence) disisi lain. Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku

yang bertujuan untuk melukain seseorang secara fisik maupun psikologis dan

dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-

barang perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang

berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan. (10)

2.3.2. Masalah Terjadinya Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan

kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut

merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu.

Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa

“ia” tidak setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituru atau

diremehkan’. Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal

(assertif) sampai pada respon yang tidak normal (maladaptif).

2.3.3. Faktor-Faktor Terjadinya Perilaku Kekerasan

A. Faktor Predisposisi

1. Beragam komponen dari sistem syaraf seperti synap, neurotransmetter,

dendrite, axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat

rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbic

sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan

respon agresif.
15

2. Faktor Genetik adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi

potensi perilaku agresif.

3. Faktor Biokimia faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter diotak

(epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetilkolin dan serotonin). Peningkatan

hormone androgen dan norepinephrin serta penurunan serotonin dan GABA

pada cairan cerebrospinal vartebra dapat menjadi faktor predisposisi

terjadinya perilaku agresif.

4. Instinctual drive theory (teori dorongan naluri)

Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu

dorongan kebutuhan dasar yang kuat. (10)

B. Factor Psikologis

1. Teori Psikoanalisa

Agresivitas dan kekrasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang

seseorang(life span hystori). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan

fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan

pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap

agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya

ketidakpercayaan pada lingkungan.

a. Imitation, modeling, and information processing theory

Menurut teori ini perilaku biasa berkembang dalam lingkungan yang

monolelir kekerasan. Adanya contoh, model perilaku yang ditiru dari media

atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut.


16

b. Learning theory, perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu

terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat

menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah

atau sebaliknya. Ia juga belajar bahwa agresivitas lingkungan sekitar

menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya

eksis dan patut untuk diperhitungkan.

c. Existensi theory (theory lingkungan), bertindak sesuai perilaku adalah

kebutuhan dasar manusia apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi

melalui perilaku konstruksi maka individu akan memenuhi kebutuhan

melalui perilaku destruktif. (10)

C. Faktor Social Cultural

a. Social environment theory (theory lingkungan), Lingkungan social akan

mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Budaya

tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan control social yang

tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah

perilaku kekerasan diterima.

b. Social learning theory (theory belajar social), perilaku kekerasan dapat

dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi.

2. Faktor Presipitasi

Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali

berkaitan dengan :
17

a. Ekspresi diri, ingin menunjukan eksis diri atau simbol solidaritas seperti

dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian

massal dan sebagainya.

b. Ekspresi diri tidak terpenuhi kebutuhan dasar dan kondisi social ekonomi.

c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak

kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

d. Ketidaksiapan membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung

melakukan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan

menempatkan dirinya sebagai seorang dewasa.

e. Adanya riwayat perilaku anti social meliputi penyalahgunakan obat,

alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat mengahadapi

rasa frustasi.

f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,

perubahan tahap perkembangan keluarga.

3. Penilaian Terhadap stressor

Penilaian stressor melibatkan makna dan pemahaman dampak dari situasi

stres bagi individu. Itu mencakup kognitif, efektif, fisiologis, perilaku, dan respon

sosial. Penilaian adalah evaluasi tentang pentingnya sebuah peristiwa dalam

kaitannya dengan kesejahteraan seseorang. Stressor mengasumsikan makna,

intensitas, dan pentingnya sebagai konsekuensi dari interpretasi yang unik dan

makna yang diberikan kepada orang yang beresiko. Respon perilaku adalah hasil

dari respon emosional dan fisiologis, serta analisis kognitif seseorang tentang
18

situasi stres. Camplan menggambarkan empat fase dari respon perilaku individu

untuk menghadapi stress yaitu:

a. Perilaku yang mengubah lingkungan stres atau memungkinkan individu

untuk melarikan diri dari itu.

b. Perilaku yang memungkinkan individu untuk mengubah keadaan eksternal

dan setelah mereka.

c. Perilaku intrapsikis yang berfungsi untuk mempertahankan rangsangan

emosional yang tidak menyenangkan.

d. Perilaku intrapsikis yang membantu untuk berdamain dengan masalah dan

gejala sisa dengan penyesuaian internal. (10)

4. Sumber koping dapat berupa eset ekonomi, kemampuan dan keterampilan,

teknik defensif, dukungan sosial, dan motivasi. Hubungan antara individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat sangat berperan penting pada saat ini.

Sumber koping lainya termasuk kesehatan dan energi, dukungan sipritual,

keyakinan positif, keterampilan menyelesaikan masalah dan sosial, sumber daya

sosial dan material, dan kesejahteraan fisik.

Keyakinan spiritual dan melihat diri positif dapat berfungsi sebagai dasar

harapan dan dapat mempertahankan usaha seseorang mengatasi hal yang paling

buruk. Keterampilan pemecahan masalah termasuk kemampuan untuk mencari

informasi, mengidentifikasi masalah, menimbang alternatif, dan melaksanakan

rencana tindakan. Keterampilan sosial memfasilitasi penyelesaian masalah yang

melibatkan orang lain, meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan kerja

sama dan dukungan dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial individu yang
19

lebih besar. Akhirnya, aset materi berupa barang dan jasa yang bisa dibeli dengan

uang. (10)

5. Mekanisme koping yang dipakai klien marah untuk melindungi diri antara lain :

a. Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya

dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan

penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah

melampiaskan kemarahanya pada objek lain seperti meremas adonan kue,

meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan

akibat rasa marah.

b. Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau

keinginannya yang tidak baik. Misalnya seorang wanita muda yang menyangkal

bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik

menuduh bahwa temanya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.

c. Represi, yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan

masuk ke alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang

tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang

diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak

baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan

akhirnya ia dapat melupakannya.

d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila

diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan

menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seoarang yang tertarik pada teman

suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.


20

e. Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya

bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya

yang membangkitkan emosi itu. Misalanya anak berusia empat tahun marah

karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di

dinding kamarnya. (10)

2.3.4. Tanda dan Gejala

Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala

perilaku kekerasan :

1. Fisik

a. Muka merah dan tegang

b. Mata melotot/pandangan tajam

c. Tangan mengepal

d. Rahang mengatup

e. Wajah merah dan tegang

f. Postur tubuh kaku

g. Pandangan tajam

h. Mengatup rahang dengan kuat

i. Mengepalkan tangan

j. Jalan mondar mandir

2. Verbal

a. Bicara kasar

b. Suara tinggi, membentak atau berteriak

c. Mengancam secara verbal atau fisik


21

d. Mengumpat dengan kata-kata kotor

e. Suara keras

f. Ketus

3. Perilaku

a. Melempar atau memukul benda/orang lain

b. Menyerang orang lain

c. Melukai diri sendiri/orang lain

d. Merusak lingkungan

e. Amuk/agresif

4. Emosi

Tidak adekuat, tidak nyaman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan

jengkel tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan

menuntut.

5. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.

6. Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,

menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli dan kasar.

7. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran

8. Perhatian

Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual. (10)


22

2.3.5. Tinjauan Umum Tentang Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup

yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis semua makhluk hidup

termasuk binatang dan manusia, mempunyai kativitas masing-masing. Manusia

sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang sangat

luas, sepanjang kegiatan yang dilakukanya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara,

bekerja, menulis, membaca, berpikir dan seterusnya.(15)

Menurut Skinner (1938), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa

perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan

dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses (Stimulus-

Organisme-Respons). Sehingga teori Skinner ini disebut teori “S-O-R”.

Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelopokan

menjadi dua yaitu:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih

belum diamati oleh orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih

terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap

terhadap stimulus yang bersangkutan.

2. Perilaku terbuka (over behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut berupa

tindakan, atau praktik ini dapat diamati oleh orang lain dari luar atau “observable

behavior”.
23

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan

adanya 3 area, wilayah, ranah atau domain perilaku ini, yakni kognitif (cognitive),

afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Kemudian dalam

perkembangan selanjutnya, berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dan

untuk kepentingan praktis, dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku

sebagai berikut :

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi

terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera

pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang

terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda beda. Secara garis

besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memangil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa buah tomat banyak

mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang air besar, penyakit

demam berdarah ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes Agepti, dan sebagainya.

Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan

pertanyaan- pertanyaan, misalnya: apa tanda-tanda anak yang kurang gizi, apa
24

penyebab penyakit TBC, bagaimana cara melakukan PSN (pemberantasan sarang

nyamuk), daqn sebagainya.

a. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak

sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan

secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya, orang yang

memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar

menyebutkan 3 M (mengubur, menutup, dan menguras,), tetapi harus dapat

menjelaskan mengapa harus menutup, menguras, dan sebagainya tempat-tempat

penampungan air tersebut.

b. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui

tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham tentang

proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan program kesehatan di

tempat ia bekerja atau dimana saj. Orang yang telah paham metodologi penelitian

ia akan mudah membuat proposal penelitian dimana saja dan seterusnya.

c. Analisis (analysis)

Analisi adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen- komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa

pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila

orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokan,


25

membuat diagram (bagan) terhadap atas objek tersebut. Misalnya, dapat

membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat

diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya.

d. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakan dalam satu hubungan yang logis dari komponen pengetahuan yang

dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya, dapat membuat

atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah

dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah

dibaca.

2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek

tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan

(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik tidak baik, dan sebagainya).

Cambell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yakni: “An individual attitude

is syndrome of response consistency with regard to object.” Jadi jelas, disini

dikatakan bahwa sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam respons

stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian,

dan gejala kejiwaan yang lain.

Newcomba adalah seorang ahli psikologi sosial menyatakan, bahwa sikap

merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan

pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan
26

tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi

perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup.

3. Tindakan atau Praktik (Pratice)

Seperti telah disebutkan diatas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk

bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk

terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau

sarana dan prasarana. Seorang ibu hamil sudah tahu bahwa periksa hamil itu

penting untuk kesehatanya dan janinya, dan sudah ada niat (sikap) untuk periksa

hamil. Agar sikap ini meningkat menjadi tindakan, maka diprlukan bidan,

Posyandu, Puskesmas yang dekat dari rumahnya, atau fasilitas tersebut mudah

dicapainya. Apabila tidak, kemungkinan ibu tersebut tidak akan memeriksakan

kehamilanya.

Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut

kualitasnya, yaitu

a. Praktik terpimpin (guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih

tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan. Misalnya, seorang ibu

memeriksakan kehamilanya tetapi masih menunggu diingatkan oleh bidan atau

tetangga-nya. Seorang anak kecil menggosok gigi namun masih selalu diingatkan

oleh ibunya, adalah masih disebut praktik atau tindakan terpimpin.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikan sesuatu

hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya,
27

seorang ibu selalu membawa anaknya ke posyandu untuk ditimbang, tanpa harus

menunggu perintah dari kader atau petugas kesehatan. Seorang anak secara

otomatis menggosok gigi setelah makan, tanpa disuruh oleh ibunya.

c. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang.

Artinya, apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi

sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

Misalnya menggosok gigi, bukan sekedar gosok gigi, melainkan dengan teknik-

teknik yang benar. Seorang ibu memasak memilih bahan masakan bergizi tinggi

meskipun bahan makanan tersebut murah harganya.

2.4. Komunikasi Terapeutik

2.4.1. Defenisi komunikasi terapeutik

Kata komunikasi berasal dari kata “to commune” yang berarti “menjadi

milik bersama”. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan

secara sadar, tujuan dan kegiatannya difokuskan untuk menyembuhkan klien.

Komunikasi teraupetik adalah komunikasi yang memiliki makna terapeutik bagi

pasien dan dilakukan oleh perawat (helper) untuk membantu pasien mancapai

kembali kondisi yang adaptif dan positif. Komunikasi adalah proses ketika

seorang individu (komunikator) mengoper perangsang (biasanya lambing bahasa)

untuk mengubah tingkah laku individu yang lain (komunikan). (3)


28

2.4.2. Model Komunikasi

a. Model komunikasi satu arah

Model ini adalah model yang melibatkan tiga unsur dasar dalam

komunikasi, yaitu pengirim (komunikator), pesan, dan penerima pesan

(komunikan).

b. Model komunikasi dua arah

Model ini, fungsi sumber ialah mempersiapkan dan mengirim pesan.

Pesan adalah produk aktual yang di hasilkan sumber atau komunikan. Pesan

berupa kata-kata, pembicaraan, percakapan telfon, grafik dan gambar, gerak tubuh

(gestur), atau memo (tulisan).

c. Model komunikasi heliks

Model komunikasi ini menyatakan bahwa komunikasi yang dilakukan

manusia dan dapat dilakukan secara terus menerus dan bersifat dinamis, sehingga

komunikasi yang terbentuk antara satu manusia dan manusia lain dapat

berkembang, baik dalam tema maupun dalam konteks yang terjadi.

d. Model komunikasi Ellis & Mcclintok

Berdasarkan model komunikasi Ellis & Mcclintok, komunikasi tidak

hanya melibatkan unsur penyampaian pesan (direct message), tetapi juga ada

pesan tambahan yang menyertai suatu proses komunikasi. (3)

2.4.3. Tujuan Kominikasi Terapeutik

1. membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan

dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang

ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan.


29

2. Mengurangi keraguan, mebantu dalam hal mengambil tindakan yang

efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.

3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri. (1)

2.4.4. Fungsi Komunikasi Terapeutik

Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan perawat-klien.

Perawat berusaha untuk mengungkapkan perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji

masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan. Proses

komunikasi yang baim dapat memberikan pengertian tingkah laku pasien dan

membantu pasien dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap

perawatan. (3)

2.2.5. Unsur-unsur Komunikasi Terapeutik

Model struktural dari komunikasi mengidentifikasi lima komponen

fungsional berikut:

1. komunikator

Komunikator merupakan sumber utama dari pesan

2. komunikan

Komunikan merupakan individu yang akan mempersepsikan pesan yang

mana perilakunya nanti akan dipengaruhi oleh pesan yang tersampaikan

3. massage

Massage merupakan suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim

kepada penerima
30

4. umpan balik

Umpan balik merupakan suatu respon yang diberikan oleh penerima pesan

kepada pengirim pesan

5. konteks

Konteks dalam hal ini adalah berhungan dengan lingkungan dan waktu

saat komunikasi berlangsung, meliputi saluran penyampaian dan penerimaan

pesen serta lingkungan alamiah saat pesan disampaikan. (1)

2.4.6. Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik meningkatkan pemahaman dan membantu

terbentunya hubungan yang konstruktif diantara perawat-pasien. Tidak seperti

komunikasi sosial, komunikasi terapeutik mempunyai tujuan untuk membantu

pasien mencapai suatu tujuan dalam asuhan keperawatan. Oleh karenanya sangat

penting bagi perawat untuk memahami prinsip dasar komunikasi terapeutik

berikut ini:

1. hubungan perawat dan pasien adalah hubungan terapeutik yang saling

menguntungkan, didasarkan dalam prinsip ‘humanity ofnurses andclients’.

Hubungan ini tidak hanya sekedar hu8bunganseorang penolong (helper/perawat)

dengan pasiennya, tetapi hubungan antara manusia yang martabat

2. perawat harus mengahargai keunikan pasien, menghargai perbedaan

karakter, memahami perasaan dan perilaku pasien dengan melihat perbedaan latar

belakang keluarga, budaya, dan keunikan setiap individu.


31

3. semua kominikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi

maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga

dirinya dan harga diri pasien.

4. komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya (trust)

harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan

alternatif pemecahan masalah. (1)

2.5. Hipotesis

Ha: ada Hubungan hubungan komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat

perilaku kekerasan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.

Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017.

Ho: tidak Hubungan hubungan komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat

perilaku kekerasan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.

Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan bagian penelitian yang berisi uraian-uraian

tentang gambaran alur penelitian yang menggambarkan pola pikir penelitian

dalam melakukan penelitian yang lajim disebut paradigma penelitian. Pada bagian

ini juga diuraikan jenis atau bentuk penelitian. Pada penelitian ini peneliti

menggunakan metode survei analitik yang mencoba menggali bagaimana dan

mengapa fenomena itu terjadi. (12)

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi secara analitik kuantitatif

dengan Cross Sectional, yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen. Pada penelitian ini untuk melilihat

bagaimana Hubungan KomunikaIsi Terapeutik Terhadap Penurunan Tingkat

Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad

Ildrem Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017. (12)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem

Provinsi Sumatera Utara, adapun alasan dipilihnya lokasi tersebut sebagai tempat

penelitian adalah: Tingginya angka kejadian penyakit Skizofrenia di Rumah Sakit

Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

32
33

1.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam waktu 3 bulan dimulai dari bulan Mei sampai

dengan Juli Tahun 2017 di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem

Provinsi Sumatera Utara.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek/objek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian di tarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini

adalah pasien penderita gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad

Ildrem Provinsi Sumatera Utara sebanyak 40 orang rawat inap.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu

untuk bisa memenuhi atau mewakili populasi. Pengambilan sampel pada

penelitian ini adalah dengan menggunakan metode total sampling yaitu sebanyak

40 orang dari bulan Januari sampai bulan April.’ (12)


34

3.4. Keragka Konsep

Kerangka konsep yang dibuat sehubungan dengan Hubungan Komunikasi

Terapeutik Terhadap Penurunan Tingkat Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia

Di Ruangan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera

Utara Tahun 2017. Berdasarkan tinjauan pustaka serta kerangka teori penelitian

Gambar 3.1. Kerangka konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

 Komunikasi  Perilaku Kekerasan


terapeutik pasien Skizofrenia

3.5. Definisi Operasional Dan Aspek Pengukuran

Defenisi operasional adalah batasan batasan yang digunakan untuk

mendefenisikan variabel-vari EHPabel atau faktor-faktor yang mempengaruhi

variabel penelitian. Aspek pengukuran adalah aturan-aturan yang meliputi alat

ukur, hasil ukur dan skala pengukuran.


35

TABEL 3.1

IDefenisi Operasional
Variabel Defenisi Alat ukur Hasil Katego Skala
Independ Operasional ukur ri Ukur
en
Komunika komunikasi yang Kuesioner Skor ≥ 10 2 Ordinal
si memiliki makna 9 Baik
terapeutik terapeutik bagi pasien Pertanyaan
dan 2dilakukan oleh Skor ≤ 9 1
perawat untuk Ya (2) Buruk
membantu pasien Tidak (1)
mencapai kembali
kondisi yang adaptif
dan positif
Variabel Defenisi Alat ukur Hasil Katego Skala
Dependen Operasional ukur ri Ukur
Perilaku respon terhadap stresor Kuesioner Skor ≤ 6 1 Ordinal
kekerasan yang di hadapi oleh 6 Baik
seseorang, yang di Pertanyaan
tunjukkan dengan Skor ≥ 7 2
perilaku aktual Ya (1) Buru
melakukan kekerasan, Tidak (2)
baik pada diri sendiri
maupun orang lain,
secara verbal maupun
non verbal, bertujuan
untuk melukai orang
secara fisik maupun
psikologis.

3.6.Teknik Pengumpulan data

3.6.1. Data primer diperoleh dengan wawancara dan pengamatan langsung

dengan keluarga dan pasien dengan menggunakan kuesioner penelitian

yang telah disiapkan.

3.6.2. Data sekunder diperoleh dari profil Rumah Sakit atau diperoleh dari hasil

dokumentasi.
36

3.6.3. Data tersier diperoleh dari naskah yang sudah dipublikasikan atau jurnal

penelitian terdahulu sebagai panduan penelitian.

3.7. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data menurut dilakukan dengan 4 langkah sebagai berikut:

a. Proses Editing

Penyuntingan (editing) adalah kegiatan untuk pengecekan isian kuisioner

dengan memperhatikan kelengkapan dan kebenarannya.

b. 23YJProses Coding

Data yang sudah disunting diberi kode atau coding, yakni mengubah data

berbentuk kalimat menjadi data angka atau bilangan.

c. Memasukkan Data (Processing)

Data dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program

software komputer.

d. Pembersihan Data (Cleaning)

Data yang sudah dimasukkan dicek kembali untuk melihat kemungkinan

kesalahan kode, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

3.8. Teknik Analisa Data

Analisa data diolah dengan menggunakan komputer dengan perangkat

lunak paket statistik SPSS dengan langkah-langkah analisa datanya yaitu :

3.8.1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk memperoleh distribusi frekuensi dari

suatu jawaban responden terhadap variabel berdasarkan masalah penelitian

yang dituangkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. (12)


37

3.8.2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara

variable independent (variabel bebas) dengan variable dependent (variabel

terikat) dengan menggunakan statistik chi-square. (12)

Anda mungkin juga menyukai