Anda di halaman 1dari 12

Pemekaran Daerah: Dilema Kebutuhan Demokrasi1

Oleh Aris Supriyadi2

Pengantar
Laju desentralisasi di indonesia dalam beberapa tahun terakhir terbilang
sangat mengesankan. Wacana-wacana tentang desentralisasi seakan menjadi
“primadona” dalam euforia demokrasi yang semakin mengglobal. Desentralisasi
diyakini secara general merupakan ekspresi demokrasi yang mampu
mengejawantahkan kepentingan rakyat secara terpadu. Hal itu pulalah yang
mendorong mencuatnya konsep kebijakan pemekaran daerah sebagai
implementasi dari konsep desentralisasi tersebut. Istilah pemekaran sendiri bukan
merujuk pada perluasan teritori sebuah daerah, melainkan merujuk pada
pemekaran jumlah daerah otonom, yang dari sisi internal daerah justru luas daerah
dan jumlah penduduk mengalami pengurangan, namun jikalau dilihat dalam level
nasional jumlah daerah otonom mengalami penambahan (Pratikno 2006, hh. 177).

Pemekaran daerah akhirnya menjadi suatu dinamika yang unik dalam


pengimplementasian desentralisasi di Indonesia. Dimulai dengan hadirnya UU
No. 22/1999 dilanjutkan PP No. 129/2000, dinilai kurang efektif dan terlalu
longgar sehingga terjadilah pembengkakan usulan-usulan pemekaran wilayah
sebagai dampak “decentralization boom” ibarat cendawan di musim penghujan.
Hal ini tentu saja berdampak pada kurang fokusnya tujuan pemekaran daerah,
yakni untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena motivasi pemekaran
daerah hanya berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu.

Cerita terus berlanjut ketika dikeluarkannya UU No. 32/2004 yang lebih


ketat dalam mengawal pemekaran daerah sehingga hasil dari pemekaran daerah

1
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hubungan Pusat dan Daerah yang diampu
Oleh Josef Riwu Kaho dan Nur Azizah.
2
Aris Supriyadi adalah Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM.
memang benar layak untuk menjadi daerah otonom baru. Hal ini tentunya
membawa angin segar untuk perkembangan iklim check and balances dalam
bingkai disentralisasi-demokrasi di Indonesia. Lebih jauh hadirnya Undang-
undang ini juga sebagai “sang pencerah” dari Peraturan Perundang-undangan
sebelumnya, yakni UU No. 22/1999 dan PP No. 129/2000 yang masih gagap
merespon dinamika masyarakat yang begitu cepat (Djohan 2006, hh. 119).

Pemekaran daerah sebagai salah satu pengejawantahan disentralisasi di


Indonesia, ternyata masih harus bergelut duka dengan euforia desetralisasi semata.
Menjadi menarik untuk ditelusuri lebih lanjut ketika pemekaran daerah dipadukan
dinamikanya, baik dari pergeseran fokus pemekaran daerah sampai kajian praktik
pemekaran daerah yang terjadi di daerah-daerah. Ada daerah yang berhasil
meletakkan poin penting dari pemekaran daerah, ada pula yang gagal karena
hanya terjangkit virus euforia saja. Untuk itulah menjadi penting kiranya, tulisan
sederhana ini ikut pula mengawal desentralisasi dan ikut berkontribusi bagi
terciptanya desentralisasi yang benar-benar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Melalui studi pustakalah penulis akan mengelaborasi semua tentang
kebijakan pemekaran daerah di Indonesia.

Tulisan ini akan membahas segala dinamika yang terjadi seputar kebijakan
pemekaran daerah dengan melihat fenomena ini dari beberapa pertanyaan dasar,
yakni apa kontribusi dan tujuan pemekaran daerah? Bagaimana seharusnya
pemekaran daerah dijabarkan dan dipraktikkan sehingga dianggap penting,
bahkan dikatakan sebagai kebutuhan demokrasi?

Pemekaran Daerah dan Segala Dinamikanya

Pembentukan daerah baru, melalui pemekaran daerah, sering dimaknai


secara sempit dan bahkan berkonotasi negatif dalam benak masyarakat, khususnya
masyarakat Indonesia. Menjadi negatif karena bungkus yang melekat pada
pemekaran daerah selalu dicekoki warta-warta konflik oleh media, misalnya
konflik antara daerah induk dengan daerah yang ingin mekar. Akibatnya,
sentimen anti pemekaran daerah semakin luas. Padahal kalau kita telaah lebih
dalam, Pemekaran daerah akan berimplikasi positif terhadap laju demokrasi,
kemakmuran rakyat, kemandirian, dan bahkan akan berkorelasi positif pula pada
dunia perekonomian. Hal ini tentu saja menjadi sesuatu yang sangat riskan,
mengingat kebijakan pemekaran daerah ini ingin mendorong terciptanya checks
and balances.

Diterbitkannya UU No. 22/1999 pada awal-awal reformasi, sebenarnya


ingin memberi kesempatan luas pada daerah yang punya kualitas untuk
berotonom supaya fokus menyejahterakan rakyatnya. Tentu saja hal ini akan
mendorong adanya kedekatan antara pemimpin dan rakyatnya sehingga esensi
demokrasi itu benar-benar dirasakan nyata adanya. Dimensi saling
mengingatkan—amar ma’ruf nahi munkar—akan menjadi modal besar dalam
rangka checks and balances. Namun demikian, keluarnya UU No. 22/1999
tersebut seakan bertepuk sebelah tangan terhadap maksud dan tujuannya.
Keluarnya peraturan perundang-undangan tersebut ternyata malah terdefinisikan
secara salah dan seakan-akan Undang-Undang tersebut memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada daerah untuk memekarkan diri. Akibatnya, usulan
pemekaran daerah mengalami ledakan luar biasa sehingga esensi pemekaran
daerah menjadi sesuatu yang kabur.

Kurang optimalnya UU No. 22/1999 tidak lain karena


ketidakmampuannya dalam menetapkan kriteria-kriteria selektif untuk menjaring
daerah yang benar-benar pantas untuk dimekarkan menjadi daerah otonom baru.
Pun demikian dengan PP No. 129/2000 yang merupakan penjabaran lebih lanjut
UU No. 22/1999 tersebut. Walaupun PP ini agaknya telah lebih selektif
ketimbang UU No. 22/1999, namun elaborasi yang dikembangkan oleh PP ini
terkesan sangat formal-prosedural karena hanya terjebak berdasar pada prasyarat
fisik-statistik semata, seperti sumber daya alam dan jumlah penduduk saja.
Kriteria sosial yang sebenarnya juga menjadi dimensi utama penilaian kepantasan
berotonom, menjadi sesuatu yang abai karena kriteria sosial malah lebih
cenderung bersifat mobilisasi masyarakat saja (Pratikno 2006, hh. 181).

Di sisi lain, setelah UU No. 22/1999 dan PP No. 129/2000 dianggap gagal
dalam menjalankan misi pemekaran daerah, muncullah UU No. 32/2004 yang
dimaksudkan sebagai koreksi terhadap undang-undang sebelumnya. Untuk
menilik lebih jauh melihat dinamika politik yang terjadi seputar pemekaran
daerah, penulis mengutip uraian dari Prof. Drs. Purwo Santoso, M.A., Ph. D. yang
menjelaskan:

Bagi pemerintah pusat, UU No. 32/2004 dimaksudkan sebagai koreksi


terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bagi sejumlah
pejabat daerah dan tokoh-tokoh masyarakat daerah, penetapan Undang-
Undang tersebut dimaknai upaya untuk menggembosi semangat daerah ntuk
berotonomi. Bagi mereka, kalaulah UU No. 32/2004 bukan senjata
pemerintah pusat untuk melakukan resentralisasi, Undang-Undang ini sarat
dengan misi deradikalisasi pelembagaan otonomi daerah. Implementasi
Undang-undang ini akan tetap berhadapan dengan realitas bahwa daerah
tetap memiliki semangat yang tinggi untuk mengelola otonomi (Santoso
2006, hh. 189).

Dalam uraian tersebut, agaknya telah membuka mata kita perihal dinamika
pemekaran daerah. Dari kemunculan UU No. 32/2004, kita bisa mengidentifikasi
bahwa terdapat dua titik berbeda yang menggambarkan berbagai dinamika pelik
dalam proses desentralisasi atau dalam hal ini adalah pemekaran daerah, yakni
dari sisi penguasa yang tidak ingin kewenangannya terbagi (sentralistik); dan dari
sisi bawah (buttom) dimaknai sebagai sesuatu yang menyalahi prinsip
desentalisasi dan menghambat check and balances yang notabene merupakan
maskot demokrasi. Namun demikian, jika ditilik dari latar belakang
dikeluarkannya UU No. 32/2004 yang merupakan Undang-Undang revisi dari
Undang-Undang sebelumnya yang dinilai terlalu longgar sehingga seakan menjadi
sangat selektif, sebenarnya dimaksudkan agar pembentukan daerah baru melalui
kebijakan pemekaran daerah, merupakan daerah yang benar-benar konsekuen
sehingga tidak menjadi ‘daerah baru yang gagal’ (Santoso 2006, hh.189).

Selain itu, dinamika lain yang tidak kalah penting terkait pemekaran
daerah adalah maraknya usulan pemekaran daerah yang hanya didasarkan euforia
demokrasi saja, bahkan ada pula usulan yang hanya bersifat remeh temeh karena
didasarkan kepentingan sesaat dan segelintir elit saja. Akibatnya, konflik terjadi
dimana-mana, baik konflik dengan daerah induk, maupun konflik masyarakat
kepada pemerintah daerah otonom baru yang tidak mampu mengejawantahkan
kebutuhan masyarakatnya.

Parameter dan Prosedur Pemekaran Daerah

Kesempatan bagi daerah untuk mengusulkan pemekaran daerah,


sebenarnya selalu terbuka sejauh memang memenuhi kriteria layak untuk menjadi
suatu daerah otonom. Pembentukan daerah yang ditetapkan dengan undang-
undang dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari satu
daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan syarat daerah tersebut sudah
mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Tiga aspek penting
yang harus diperhatikan sesuai apa yang termaktub didalam UU No. 32/2004,
pasal 5 bahwa dalam proses pembentukan daerah yang di dalamnya juga terdapat
kriteria pemekaran dan penggabungan daerah adalah administratif, teknis, dan
fisik kewilayahan.

Untuk syarat administratif, ada perbedaan mekanisme antara mekanisme


administratif Propinsi dan kabupaten. Mekanisme administratif propinsi meliputi
adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati dan Walikota yang menjadi
cakupan wilayah Propinsi yang akan dimekarkan, Persetujuan DPRD Propinsi
induk dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan
mekanisme kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota
dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Propinsi dan
Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, syarat
teknisnya mengenai hal ihwal tentang faktor-faktor pendukung otonomi daerah,
seperti kemampuan ekonomi, potensi wilayah, sosial politik, kependudukan, luas
daerah, pertahanan dan lain-lain. Sementara itu, syarat fisiknya meliputi paling
sedikit lima kabupaten/kota untuk pemekaran Propinsi dan lima kecamatan untuk
membentuk kabupaten dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon
ibukota, sarana dan prasarana pemerintah (Pratikno 2006, hh. 180).

Selain mengikuti syarat dan kriteria, pemekaran daerah harus mengikuti


proses dasar yang diatur dalam PP No. 129/2000 pasal 16 yang mengatakan
bahwa prosedur pemekaran daerah meliputi :
- Adanya kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang
bersangkutan
- Harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh pemerintah
daerah
- Usul pembentukan provinsi disampaikan kepada pemerintah Menteri
Dalam Negeri dan otonomi daerah dengan disampaikan hasil penelitian
daerah dan persetujuan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang
berada dalam wilayah provinsi dimaksud yang dituangkan dalam
keputusan DPRD.
- Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada pemerintah
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui gubernur dengan
dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD kabupaten/kota
serta persetujuan DPRD provinsi yang dituangkan dalam keputusan
DPRD.
- Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri, dan
Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan tim untuk
melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi
kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
- Berdasarkan rekomendasi diatas, ketua Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah meminta tanggapan para anggota dan dapat menugaskan tim teknis
Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke daerah Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah.
- Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran
dan pendapat secara tertulis kepada ketua Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah.
- Berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah.
- Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan daerah, Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan daerah
tersebut beserta rancangan undang-undang pembentukan daerah ke pada
Presiden.
- Apabila Presiden telah menyetujui usul yang dimaksud dalam rancangan
UU pembentukan daerah, maka selanjutnya disampaikan kepada DPR RI
untuk mendapat persetujuan.

Pemekaran Daerah: Implementasi dan Dampak

Pada bagian ini, secara khusus akan jauh menilik pengimplementasian


kebijakan pemekaran daerah. Ada daerah yang benar-benar konsekuen dalam
rangka pembangunan daerah sekaligus fokus untuk menyejahterakan masyarakat
sehingga kebijakan ini menjadi tepat sasaran, misalnya implementasi pemekaran
daerah di Kabupaten Puncak Jaya. Disisi lain, terdapat juga berbagai
implementasi kebijakan yang berujung konflik sehingga arah kebijakan
pemekaran menjadi kabur bahkan gagal, misalnya implementasi kebijakan
pemekaran daerah Kabupaten Tebo.

A. Kabupaten Puncak
Implementasi kebijakan pemekaran daerah di Kabupaten Puncak
Jaya menjadi Kabupaten Puncak merupakan salah satu yang bisa
dikatakan sesuai dengan misi dan harapan dari kebijakan pemerintah
daerah dalam rangka menyejahterakan rakyat. Selain karena
memenuhi kriteria dan syarat, baik syarat administratif, teknis dan
syarat fisiknya, juga melalui prosedur/mekanisme yang sesuai dengan
Undang-Undang (Pratikno & Hanif 2006, hh. 6-7).

B. Kabupaten Tebo
Konflik dengan daerah induk sering mewarnai perjalanan
kebijakan pemerintah daerah. Hal serupa juga terjadi antara
Kabupaten Muaro Bungo dengan Kabupaten Tebo “tragedi 9
September 2002”. Pemekarannya telah disahkan sejak tahun 1999,
berdasar UU No. 54/1999. Diperkirakan konflik pemekaran ini terjadi
karena masalah tapal batas, yakni tapal batas di desa Bebeko dan Ala
Ilir yang melibatkan banyaknya korban karena pertikaian itu (Chalid
2005, hh. 137).

Dari implementasi kebijakan pemekaran daerah di Kabupaten


Tebo, menunjukkan bahwa Kabupaten Tebo tidak atau belum
sepenuhnya memenuhi syarat sebagai daerah yang siap untuk
dimekarkan, misalnya kurang memenuhi syarat teknis, seperti luas
daerah yang belum saklek dipenuhi, keadaan sosial-politik yang belum
optimal diartikulasikan, dan lain-lain, serta masih ada beberapa
prosedur yang belum dilakukan oleh Kabupaten Tebo sehingga
‘gagal’ mengimplementasikan kebijakan pemekaran daerah secara
terpadu.

Dari praktik pemekaran daerah, kita bisa petakan apa saja dampak dari
pemekaran daerah. Dalam hal ini, tentulah terdapat keunggulan dan kelemahan.
Dari sisi keunggulannya ketika kebijakan pemekaran daerah dilakukan, antara lain
menurut (Simabura 2006, hh. 173) adalah:
1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat sehingga pemerintah pusat
tidak terbebani bertumpuknya agenda pada daerah-daerah;
2. Mendekatkan pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakat
sehingga bisa mendorong partisipasi dari masyarakat;
3. Mendekatkan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga
masyarakat dapat secara langsung mengawasi dalam rangka check and
balances;
4. Mendorong kemandirian pemerintah daerah dan masyarakat karena diberi
ruang untuk mengeksplor daerahnya;
5. Menciptakan suasana kompetitif antar daerah sehingga antar daerah
otonom akan berlomba-lomba dalam menyejahterakan masyarakatnya;
6. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.

Sementara itu terdapat pula kelemahannya, yakni:


1. Struktur pemerintahan menjadi kompleks
2. Bisa membangkitkan ego masyarakat/kedaerahan (daerahisme)
3. Biaya untuk pengimplementasiannya mahal
4. Memperkecil kekuasaan daerah induk, baik secara kualitas maupun
kuantitas
5. Meningkatkan disparitas antara daerah kaya dan miskin

Lebih jauh, setelah asyik membahas implementasi dan dampak, kita bisa
memetakan mengapa banyak daerah yang gagal mengimplementasikan kebijakan
pemekaran daerah dari pada daerah yang berhasil. Menurut (Pratikno & Hanif
2006, hh. 6), faktor-faktor kegagalan tersebut antara lain:
a. Politik uang
Dipicu oleh panjangnya mata rantai prosedur yang berbelit-belit dalam
proses suatu daerah menjadi daerah baru yang otonom.
b. Politik Identitas
Nuansa mobilisasi masyarakat sering kali mewarnai tuntutan untuk
pemekaran daerah.
c. Free rider
Terdapat aktor lokal yang memanfaatkan situasi untuk turut andil
mengalokasikan sumber daya keuangannya untuk motif/kepentingan
tertentu.

Manajemen Pengelolaan Pasca Pemekaran

Ketika pemekaran sudah menjadi pilihan bulat, dan tidak bisa ditawar-
tawar lagi, mekanisme yang patut untuk dikembangkan adalah manajemen transisi
daerah yang baru berotonom ini harus dibantu dan difasislitasi agar tetap mampu
menyelenggarakan pemerintahan, baik dalam bidang pembangunan, ekonomi, dan
pelayanan publik. Pengelolaannya, diperlukan inovasi manajemen dan
kelembagaan, yang tentu saja pemfasilitasnya adalah pemerintah nasional dan
lembaga lainnya, termasuk daerah induk agar pemerintahan daerah otonom yang
baru saja terbentuk dapat berkembang dengan baik (Pratikno 2006, hh. 186-187).

Menjadi sebuah jalan yang harus dipikirkan dengan sangat jeli, mengingat
kebijakan pemekaran daerah sangat sensitif dengan adanya “politik etnis”. Namun
demikian, politik etnis yang notabene mengedepankan kontestasi etnis, bisa
diminimalisir dengan penerapan kebijakan pemekaran daerah berdasarkan
segregasi etnis dan agama. Artinya menimbang dengan matang bagaimana
memanajemeni lingkungan yang plural dengan “bumbu demokrasi
konsosiasional” yang tidak mendzalimi kaum minoritas.

Kesimpulan
Adanya kecenderungan setiap daerah untuk berotonom, sebagai buah dari
demokrasi yang semakin mengglobal, ternyata diikuti pula dengan adanya
dinamika dalam pengejawantahan disentralisasi, khususnya tentang kebijakan
pemekaran daerah. Dinamika-dinamika yang mewarnainya, misalnya adanya
pergeseran dari UU No. 22/199 diikuti PP No. 129/2000, dan terakhir UU No.
34/2004. Semakin menarik ketika pergeseran itu dilihat dalam perannya
mengawal kebijakan pemekaran daerah. Ada yang bilang UU No. 22/1999 dan PP
No. 129/2000 sangat “longgar” sehinggga terjadi ledakan usulan pemekaran
daerah yang tidak sesuai dengan cita-cita pemekaran daerah. Terakhir, adanya
wacana kalau UU No. 32/2004 menutup “lubang” pemekaran daerah secara rapat-
rapat karena dinilai sulit untuk proses kelayakannya.

Sebagai akibat dari melubernya usulan-usulan pemekaran daerah yang


pada saat itu UU No. 22/1999 kurang begitu intensif dalam mengawal kebijakan
ini, dalam implementasiannya pun tidak begitu menggembirakan. Selain karena
‘kriteria layak’ belum secara tegas mengawal kebijakan saat itu, juga karena
begitu banyak pemekaran yang hanya didasarkan pada lobi-lobi politik semata,
bahkan parahnya, pemekaran daerah di beberapa daerah hanya dilatarbelakangi
oleh kepantingan sesaat dan segelintir elit yang ingin berkuasa di daerah otonom
yang baru itu. Namun demikian, seiring keluarnya UU No. 32/2004 yang semakin
berhasrat saja untuk fokus pada tataran ‘kriteria layak’ sebagai upaya untuk
menjaring daerah yang benar-benar siap untuk menjadi daerah otonom baru.

Lebih jauh lagi kalau kita lihat lebih dalam, sebenarnya kebijakan
pemekaran daerah itu semata-mata dalam rangka pengejawantahan desentralisasi
sebagai ekspresi dari demokrasi. Artinya, ada nilai cheks and balances yang ingin
dituju oleh kebijakan ini, yakni mendorong demokrasi menjadi semakin
berkualitas. Hal inilah yang mendasari kalau pemekaran daerah adalah suatu
kebutuhan demokrasi.
Referensi

Chalid, P 2005, Otonomi daerah: masalah, pemberdayaan, dan konflik,


Kemitraan, Jakarta.

Djohan, D 2006, ‘Mengkaji kembali konsep pemekaran daerah otonom’, dalam


Blue print otonomi daerah Indonesia, eds. Mubarak, MZ, Susilo, MA & Pribadi,
A, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta.

Pratikno & Hanif, H 2006, ‘Kerangka pikir kebijakan pemekaran’, dalam


Perjuangan menuju puncak kajian akademik rencana pembentukan Kabupaten
Puncak Jaya Propinsi Papua, eds. Lay, C & Santoso, P, Program Pascasarjana
(S2) Politik dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pratikno 2006, ‘Politik kebijakan pemekaran daerah’, dalam Blue print otonomi
daerah Indonesia, eds. Mubarak, MZ, Susilo, MA & Pribadi, A, Yayasan Harkat
Bangsa, Jakarta.

Santoso, P 2006, ‘Pembentukan unit-unit pemerintahan lokal, problem


pengembangan infrastruktur dan pengelolaan kawasan khusus’, dalam Blue print
otonomi daerah Indonesia, eds. Mubarak, MZ, Susilo, MA & Pribadi, A, Yayasan
Harkat Bangsa, Jakarta.

Simabura, C 2006, ‘Problematika Pemekaran daerah dalam semangat


desentralisasi’, dalam Membangun Indonesia dari daerah, eds. Djadijono, M,
Wiratma, IML & Legowo, TA, Kanisius, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai