Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATANANAK DENGAN KEJANG DAN DEMAM

Dosen Pembimbing :
Ns. Vivi Yosafianti Pohan, M.Kep

Disusun Oleh :
1. Nita Febrianingrum (G0A016016) 9. Ulil Albab (G0A016024)
2. Nurul Hidayah (G0A016017) 10. Risaldi Prabowo (G0A016025)
3. Vidia Fitria D. (G0A016018) 11. Agung Tilaksono (G0A016026)
4. Sri Rahayu (G0A016019) 12. Nurul Afwa S. (G0A016027)
5. Fanisa Azka Q. (G0A016020) 13. Siti Fatimah (G0A016028)
6. Niken Tresih R.T (G0A016021) 14. Indira Imtiyazun (G0A016029)
7. Elya Miftah A. (G0A016022) 15. Ayu Nadia (G0A016030)
8. Erik Nufia (G0A016023)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2016/2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN ANAK, dengan materi
Asuhan Keperawatan Anak dengan Kejang Demam. Dalam penyusunan tugas atau materi ini,
tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan anda semua, sehingga kendala-kendala
yang penulis hadapi teratasi.

Makalah ini disusun dengan berbagai rintangan. Baikitu yang datang dari diri penulis
maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongandari
Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.Pada akhirnya penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung tersusunnya makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran
kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Semarang, 19 Maret 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................................1

B. Tujuan Penulisan.......................................................................................................1

C. Metode Penulisan......................................................................................................1

D. Sistematika Penulisan................................................................................................2

BAB II KONSEP DASAR.......................................................................................................3

A. Anatomi dan Fisiologi...............................................................................................3

B. Pengertian..................................................................................................................5

C. Klasifikasi..................................................................................................................5

D. Etiologi......................................................................................................................6

E. Patofiiologi dan Pathways.........................................................................................7

F. Manifestasi Klinik......................................................................................................8

G. Pemeriksaan Diagnostik............................................................................................9

H. Penatalaksanaan.......................................................................................................10

I. Pengkajian Fokus......................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau
anak mengalami demam tanpa infeksi system syaraf pusat. Kejang demam biasanya
terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,kemuadian
kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsive untuk beberapa waktu,
napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah
kejang,anak akan segera normal kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1
menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih 15 menit.
B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
system syaraf yaitu kejang demam
2. Tujuan khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan :
1. Definisi penyakit kejang demam pada anak
2. Etiologi kejang demam pada anak
3. Manifestasi klinis penyakit kejang demam pada anak
4. Patofisiologi kejang demam pada anak
5. Komplikasi kejang demam pada anak
6. Pemeriksaan diagnostic penyakit kejang demam pada anak
7. Penatalaksanaan penyakit kejang demam pada anak
8. Asuhan keerawatan yang harus diberikan pada klien dengan kejang demam
C. Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu
dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan
dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.

4
D. Sistematika penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
1. BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penulisan,
metode penulisan dan sistematika penulisan
2. BAB II : Konsep dasar, terdiri dari anatomi dan fisiologi, pengertian, klasifikasi,
etiologi/predisposisi, patofisiologi dan pathwasy keperawatan, manifestasi
klinik,pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan, pengkajian focus, diaganosa
keperawatan, focus interfensi dan rasional
3. BAB II : Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran

5
BAB II

KONSEP DASAR

A. ANATOMI FISIOLOGI

Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan


Seperti yang dikemukakan Syaifuddin (1997), bahwa system saraf terdiri dari system
saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum, medulla oblongata dan
pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi
(peripheral nervous system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan
semua cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous system) yang
terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput
otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama
terhadap resiko benturan atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater,
arachnoid dan piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :

1. Cerebrum (otak besar)


Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan superior rongga
tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis
media.Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri.
Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat
pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat pengecap dan pembau serta
pusat pemikiran.Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia
alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah
medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah yang disebut sebagai ganglia
basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1. Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang
langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk
integrasi semua impuls sensorik. Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa
nyeri.
2. Hypothalamus

6
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari
beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai kegiatan fisiologi yang
berbeda. Hypothalamus merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat
demam seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh,
rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada
tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam,
hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang
mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya proses-proses
patologik ekstrakranium.
3. Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan
pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada
daerah formatio reticularis ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls
yang akan dikirim ke cortex cerebri.

2. Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa cranial posterior.
Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi
kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau
batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :
1. N. I : Nervus Olfaktorius
2. N. II : Nervus Optikus
3. N. III : Nervus Okulamotorius
4. N. IV : Nervus Troklearis
5. N. V : Nervus Trigeminus
6. N. VI : Nervus Abducen
7. N. VII : Nervus Fasialis
8. N. VIII : Nervus Akustikus
9. N. IX : Nervus Glossofaringeus
10. N. X : Nervus Vagus
11. N. XI : Nervus Accesorius
12. N. XII : Nervus Hipoglosus

7
System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan system saraf
otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent.
Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya mempunyai serat pre
dan post ganglionik yaitu system simpatis dan parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
1. Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2. Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus symphatis
3. Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:

1. Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak

2. Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis


B. PENGERTIAN

Istilah kejang perlu secara cermat dibedakan dari epilepsy. Epilepsy menerangkan
suatu penyakit pada seseorang yang mengalami kejang rekuren non metabolic yang
disebabkan oleh suatu proses kronik yang mendasarinya. (Sylvia A.price)

Kejang adalah suatu kejadian paroksismal yang disebabkan oleh lepas muatan
hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron SSP. Kejang demam (kejang tonik-
klonik demam) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh mencapai
>38°C. Kejang demam dapat terjadi karena proses intrakranial maupun ektrakranial.
Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan s/d 5 tahun. Paling
sering pada anak usia 17-23 bulan menurut NANDA (2015).

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi internasional terhadap kejang (smeltze, suzanna, 2002 )

1. Kejang parsial ( kejang yang dimulai setempat)


 Kejang persial sederhana ( gejala-gejala dasar , umumnya tanpa gangguan
kesadaran )
 Kejang persial kompleks ( dengan gejala kompleks , umumnya dengan gangguan
kesadaran )
 Kejang parsial sekunder menyeluruh
2. Kejang umum / generalisasi ( simetrik bilateral , tanpa awitan local )

8
 Kejang tonik- klonik
 Absence
 Kejang mioklonik ( epiylepsi bilateral yang luas )
 Kejang atonik
 Kejang klonik
 Kejang tonik

Keadaan demam diklasifikasikan menjadi dua , yaitu :

1. Kejang demam sederhana ( simple febrile seizure )


 Kejang berlangsung singkat
 Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu <10 menit
 Tidak berulang dalam 24 jam
2. Kejang demam kompleks ( complex febrile seizure )
 Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit
 Kejang fokal atau parsial stu sisi , atau kejang umum didahului kejang parsial
 Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam

Kejang demam menurut proses terjadinya

1. Intrakranial :
 Trauma ( Perdarahan ) : perdarahan subarachnoid , subdural atau ventrikuler
 Infeksi : bakteri, virus , parasit misalnya meningitis
 Kongenital : disgenesis , kelainan serebri
2. Ekstrakranial :
 Gangguan metabolik : Hipoglikemia , hipokalsemia , hipomagnesia , gangguan
elektrolit , ( Na dan K ) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
 Toksit : intoksikasi anestesi local , sindroma putus obat.
 Kongenital ganggaun metabolisme asam atau basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.

D. ETIOLOGI

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi
neuron yang sangat mudah terpicu sehingga mengganggu fungsi normal otak dan juga
dapat terjadi karena keseimbangan asam basa atau elektrolit terganggu. (Sylvia A.price)

9
Kejang demam disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan
dengan infeksi virus atau bakteri. Umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat
predisposisi familial.

Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu:

 -Riwayat kejang dalam keluarga


 -Usia kurang dari 18 bulan
 -Tingginya suhu badan sebelum kejang makin tinggi suhu sebelum kejang demam,
semakin kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
 -Lamanya demam sebelum kejang semakin pendek jarak antara mulainya demam
dengan kejang, maka semakin besar risiko kejang demam berulang.

E. PATOFISIOLOGI DAN PATWAYS KEPERAWATAN

1. Patofisiologi
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media
akut, bronkritis penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik
dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen
maupun maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya
secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan
suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan
kontraksi otot.Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit dan jaringan tubuh yang lain
akan di sertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan protaglandin.
Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi neuron.
Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion Natrium, ion Kalium
dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang di duga dapat
menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang.
Serangan yang cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami
penurunan respon kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami
spasma sehingga anak berisiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus.

10
2. Pathways
Infeksi pada bronkus, tonsil, telinga

Toksik mikroorganisme menyebar secara hematogen dan limfogen

Kenaikan suhu tubuh di hipotalamus dan jaringan lain (hipertermi)

Pelepasan mediator kimia oleh neuron seperti prostaglandin, epinfrin

Peningkatan potensial membran

Peningkatan masukan ion natrium, ion kalium ke dalam sel neuron dengan cepat

Fase depolarisasi neuron dan otot dengan cepat

Penurunan respon rangsang dari luar Spasma otot mulut, lidah,


bronkus

Resiko cidera resiko penyempitan atau penutupan jalan nafas

F. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi Klinik yang muncul pada penderita kejang demam:

1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.


2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi
beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran).

11
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut living stone juga dapat kita
jadikan pedoman untuk menentukan manifestasi klinik kejang demam. Ada 7 kriteria
antara lain:

1. Umur anak saat kejang anatara 6 bulan sampai 4 tahun.


2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3. kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
6. Pemeriksaan Elektro Enchephaloghrapy dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih
setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan.
7. Frekwensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi lengkap,elektrolit, dan


glukosa darah dapat dilakukan walaupun kadang tidak menunjukkan kelainan yang
berarti.
2. Iindikasi lumbal pungsi pada kejang demam adalah untuk
menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis. Indikasi lumbal punsi pada
pasien dengan kejang demam meliputi :
 Bayi <12 bulan harus dilakukan lumbal pungsi karena gejala meningitis sering
tidak jelas.
 Bayi antara 12 bulan -1 tahun dianjurkan untuk melakukan umbal pungsi kecuali
pasti bukan meningitis.
3. Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas.
4. Pemeriksaan foto kepala, CT-Scan, dan atau MRI tidak dianjurkan pada anak tanpa
kelainan neurologist karena hamper semuanya menunjukkan gambaran normal. CT-
Scan atau MRI direkomendasikan untuk kasus kejang fokal untuk mencari lesi
organic di otak.

12
H. PENATALAKSANAAN

1. Dirumah Sakit

Penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien di rumah sakit antara lain:

1. Saat timbul kejang maka penderita diberikan di anak diazepam intravena secara
perlahandengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya
0,5-0,75 mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan
adalah 0,3 mg/kg BB/kali pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada
anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg pada anak yang berumur lebih dari 5
tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan.
2. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian
dapatdiberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila
masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam
ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskular.
3. Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiper ektensi miring,
pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan
intubasi endotrakel atau trakeostomi.
4. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
5. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam
pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake
dan output cairan selama 24 jam perlu dilakukan, karena pada penderita yang
berisiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat
memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial juga pemberian cairan yang mengandung natrium
(Na Cl) perlu dihindari. Kebutuhan cairan rata-rata untuk anak terlihat pada tabel
sebagai berikut:

UMUR BB Kg KEBUTUHAN CAIRAN/


Kg BB
0-3 hari 3 150
3-10 hari 3,5 125-150
3 bulan 5 140-160
6 bulan 7 135-155
9 buan 8 125-145

13
1 tahun 9 120-135
2 tahun 11 110-120
4 tahun 16 100-110
6 tahun 20 85-100
10 tahun 28 70-85
14 tahun 35 50-60

6. Pemberian kompres air es untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat yang tinggi (suhu tuhuh) ke benda yang
mempunyai derajat lebih rendah (kain kompres). Kompres diletakkan pada jaringan
penghantar panas yang banyak seperti anyaman kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan
paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti dileher. Tindakan ini dapat
dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg / Kg BB/
hari (terbagi dalam 3 kali pemberian).
7. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan
untuk mengurangi edem otak seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik. Posisi kepala hiperektensi tetapi lebih tinggi dari anggota tuhuh
yang lain dengan cara menaikkan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang lebih
15° (posisi tubuh pada garis lurus).
8. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian
diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada
neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1 tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas
dengan tekhnik pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan
fenobartial dengan dosis pertama 8-10 mg / kg BB / hari (terbagi dalam 2 kali
pemberian), hari berikutnya 4-5 mg / kg BB / hari yang terbagi dalam 2 kali
pemberian.
9. Pengobatan penyebab. Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah
kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran nafas, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan kultur jaringan,
pemeriksaan gram bakteri serta pemeriksaan penunjang lain untuk mengetahui jenis
mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak
dengan kejang demam.

14
2. Penatalaksanaan Di Rumah

Karena penyakit kejang demam sulit diketahui kapan muculnya, maka orang tua atau
pengauh anak perlu diberikan bekal untuk memberikan tindakan awal pada anak yang
mengalami kejang demam. Tindakan awal itu antara lain:

1. Saat timbul serangan kejang segera pindahkan anak ke tempat yang aman seperti
dilantai yang diberi alas lunak tapi tipis, jauh dari benda-benda berbahaya seperti
gelas, pisau.
2. Posisi kepala anak hiperektensi, pakaian dilonggarkan. Kalau takut lidah anak
menekuk atau tergigit maka diberikan tong spatel yang dibungkus dengan kassa atau
kain bersih.
3. Ventilasi ruangan harus cukup. Jendela dan pintu dibuka supaya terjadi pertukaran
oksigen lingkungan.
4. Kalau anak mulutnya masih dapat dibuka sebagai pertolongan awal dapat diberikan
antipiretik seperti aspirin dengan dosis 60 mh / tahun / kali (maksimal sehari 3
kali).Kalau memungkinkan sebaiknya orangtua atau pengasuh di rumah
menyediakan diazepam (melalui dokter keluarga) peranus sehingga saat serangan
kejang anak dapat segera diberikan. Dosis peranus 5 mg untuk berat badan kurang
dari 10 kg, Kalau berat badan lebih dari 10 Kg maka dapat dberikan dosis 10 mg.
Untuk dosis rata-rata pemberian peranus adalah 0,4-0,6 mg / KgBB.Kalau beberapa
menit kemudian tidak membaik atau tidak tersedianya diazepam makasegera bawa
anak ke rumah sakit.

15
I. Pengkajian Fokus

1. Pengkajian

a. Riwayat Penyakit

1. Pada anak kejang demam riwayat yang menonjol adalah adanya demam yang
dialami oleh anak (suhu rektal diatas 38° celcius).
2. Demam ini dilatar belakangi adanya penyakit lain yang terdapat pada luar
kranial seperti tonsilitis, faringitis. Sebelum serangan kejang pada pengkajian
status kesehatan biasanya anak tidak mengalami kelainan apa-apa. Anak masih
menjalani aktifitas sehari-hari seperti biasa seperti bermain dengan teman
sebaya, pergi sekolah.

b. Pengkajian fungsional

Pengkajian fungsional yang sering mengalami gangguan adalah terjadi


penurunan kesadaran anak dengan tiba-tiba sehingga kalau dibuktikan dengan tes
Glasgow Coma Scala skor yang dihasilkan berkisar anatara 5 sampai 10 dengan
tingkat kesadaran dari apatis sampai somnolen atau mungkin dapat koma.
Kemungkinan ada gangguan jalan nafas yang dibuktikan dengan peningkatan
frekwensi pernafasan > 30 x / menit dengan irama cepat dan dangkal, lidah terlihat
menekuk menutup faring. Pada kebutuhan rasa aman dan nyaman anak mengalami
gangguan kenyamanan akibat hipertermi, sedangkan keamanan terjadi ancaman
karena karena anak mengalami kehilangan kesadaran yang tiba-tiba yng berisiko
terjadinya cedera seacara fisik maupun fisiologis. Untuk pengkaijian pola kebutuhan
atau fungsi yang lain kemungkinan belum terjadi gangguan kalau ada mungkin
sebatas ancaman seperti penurunan personal hygiene, aktifitas, intake nutrisi.

c. Pengkajian tumbuh kembag anak

Secara umum kejang demam tidak menganggu pertumbuhan dan


perkembangan anak. Ini dipahami dengan catatan kejang yang dialami anak tidak
terlalu sering terjadi atau masih dalam batasan yang dikemukakan oleh Livingstone
(1 tahun tidak lebih dari 4 kali) atau penyakit yang melatarbelakangi timbulnya
kejang seperti tonsilitis, faringitis segera dapat diatasi. Kalau kondisi tersebut tidak
terjadi anak dapat mudah mengalami keterlambatan pertumbuhan misalnya berat
badan yang kurang karena ketidakcukupan supan nutrisi sebagai dampak anoreksia,

16
tinggi badan yang kurang dari umur semestinya sebagai akibat penurunan asupan
mineral.

Selain gangguan pertumbuhan sebagai dampak kondisi diatas anak juga dapat
mengalami gangguan perkembangan seperti penurunan kepercayaan diri akibat
sering kambuhnya penyakit sehimgga anak lebih banyak berdiam diri bersama
ibunya kalau di sekolah, tidak mau berinteraksi dengan teman sebaya. Saat dirawat
dirumah sakit anak terlihat pendiam, sulit berinteraksi dengan orang yang ada di
sekitar, jarang menyentuh mainan. Kemungkinan juga dapat terjadi gangguan
perkembangan yang lain seperti penurunan kemampuan motorik kasar seperti
meloncat, berlari.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh
lidah, spasme otot bronkus.
b. Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah

INTERVENSI DAN RASIONAL

NO Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawatan Kriteria
Hasil

17
1. Risiko tinggi Hasil yang Monitor jalan nafas, Frekwensi pernafasan
obstruksi diharapkan: frekwensi yang meningkat tinggi
jalan nafas frekwensi pernafasan, irama dengan irama yang cepat
berhubungan pernafasan pernafasan tiap 15 sebagai salah satu
dengan meningkat 28-35 menit pada saat indikasi sumbatan jalan
penuutupa x/mnt, irama penurunan kesadaran nafas oleh benda asing,
faring oleh pernafasan reguler contohnya lidah.
lidah, dan tidak cepat,
spasme otot anak tidak terlihat Tempatkan anak
Posisi semifowler akan
bronkus. terengah-engah. pada posisi
menurunkan tahanan
semifowler dengan
tekanan intra abdomen
kepala hiperekstensi.
terhadap paru-paru.
Hiperektensi membuat
jalan nafas dalam posisi
lurus dan bebas dari
hambatan.

Pasang tongspatel Mencegah lidah terkekuk


saat timbul serangan yang dapat menutup
kejang. jalan nafas.

Bebaskan anak dari Mengurangi tekanan


pakaian yang ketat. terhadap rongga thorak
sehingga terjadi
keterbatasan
pengembangan paru.

18
Kolaborasi Diazepam membantu
pemberian anti menurunkan tingkat fase
kejang. Contohnya depolarisasi yang cepat
pemberian diazepam di sistem persarafan
dengan dosis rata- pusat sehingga terjadi
rata 0,3 penurunan penurunan
mg/KgBB/kali spasma otot dn
pemberian. persarafan perifer.
Hasil yang
2. Risiko diharapkan:
gangguan jaringan perifer Kaji tingkat Kapiler kecil mempunyai
perfusi (kulit) terlihat pengisian kapiler volume darah yang
jaringan merah dan segar, perifer. relative kecil dan cukup
berhubungan akral teraba sensitive sebagai tanda
dengan hangat. terhadap penurunan
penurunan Hasil pemeriksaan oksigen darah.
oksigen AGD: PH darah
darah. 7,35-7,45, PO2
80-104 MmHg, Pemberian oksigen Oksigen tabung
PCO2 35-45 dengan memakai mempunyai tekanan
MmHg, HCO3° masker atau nasal yang lebih tinggi dari
21-25. bicanul dengan dosis oksigen lingkungan
rata rata 3liter/menit. sehingga mudah masuk
ke paru-paru.

Rangsangan akan
Hindarkan anak dari
meningkatkan fase
rangsangan yang
eksitasi persyarafan
berlebihan baik
yang dapat menaikan
suara, mekanik
kebutuhan oksigen
maupun cahaya.
jaringan.

Tempatkan pasien
Meningkatkan jumlah

19
pada ruangan udara yang masuk dan
dengan sirkulasi mencegah hipoksemia
udara yang jaringan
baik(ventilasi
memenuhi ¼ dari
luas rungan).

20
DAFTAR PUSTAKA

Sukarmin, Sujono Riyadi. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Anak.Yogyakarta :
Graha Ilmu.

Nurarif, Amin Huda. Hardhi Kusuma. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA. Yogyakarta : MediAction.

21

Anda mungkin juga menyukai