Anda di halaman 1dari 3

Peranan MPR Orde baru dan Era Reformasi

Selasa, 05 Januari 2010 | 06:16 WIB 1561 Kali Dibaca


Oleh Ir. Gadrianto, MS.c | Widyaiswara Bandiklatda Provinsi
Lampung

Sejak reformasi hingga kini, UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. Pertama
dilakukan pada 1999, kedua pada 2000, ketiga pada 2001, dan keempat pada 2002. Keempat
kali amandemen itu dilakukan oleh MPR. Hal ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 bahwa
mengubah dan menetapkan UUD adalah kewenangan MPR.
Amandemen itu menyebabkan berbagai perubahan, baik dalam penyelenggaraan negara
maupun penyelenggaraan pemerintahan. Lembaga negara yang merupakan aktor utama
dalam penyelenggaraan negara juga mengalami perubahan yang signifikan. Antara lain yang
berkenaan dengan susunan keanggotaan, kedudukan, kewenangan, maupun peran yang
dilaksanakannya.
Menurut ketentuan UUD 1945 yang telah diamandemen, ada enam institusi yang
berkedudukan sebagai lembaga negara. Yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung
(MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan presiden.

MPR Masa Orde Baru


Sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.
Berdasarkan pasal 2 ayat 1 UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota DPR
ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
Unsur anggota DPR mencerminkan prinsip demokrasi politik yang didasarkan atas
prosedur perwakilan politik untuk menyalurkan aspirasi serta kepentingan seluruh bangsa dan
negara. Sedangkan utusan daerah diadakan untuk menjamin agar kepentingan daerah-daerah
tidak terabaikan hanya karena orientasi yang mengutamakan kepentingan nasional.
Kemudian utusan golongan mencerminkan demokrasi ekonomi yang didasarkan atas
prosedur perwakilan fungsional. Sistem perwakilan fungsional dimaksudkan untuk
mengatasi atau menutupi kelemahan sistem demokrasi politik. Dengan demikian, keberadaan
para anggota MPR benar-benar mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat.
Sehingga dapat dianggap sebagai perwujudan atau merupakan representatif dari seluruh
rakyat Indonesia.
Pasal 1 ayat 2 menyatakan: ’’Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR.” Hal ini mengandung makna bahwa yang memegang dan
melaksanakan kedaulatan rakyat adalah MPR. Dengan demikian, MPR berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi negara. Kemudian MPR mendistribusikan kekuasaan ke bawah yakni
kepada lembaga-lembaga tinggi negara, seperti presiden, DPR, DPA, MA, dan BPK.
Lembaga-lembaga tinggi negara itu bertanggung jawab kepada MPR.
Sebagai lembaga tertinggi yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan
representatif rakyat, adalah logis jika MPR mempunyai kewenangan memilih dan
mengangkat presiden serta menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
GBHN inilah yang merupakan arah kebijakan penyelenggaraan negara dan menjadi pedoman
bagi penyelenggara negara, termasuk lembaga tinggi negara dan seluruh rakyat Indonesia.
Kewenangan MPR yang lain adalah mengubah UUD.
Sangat disayangkan pada masa Orde Baru (Orba) bahwa fungsi dan peranan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. MPR yang seharusnya
melakukan pengawasan dan memberikan koreksi bila diperlukan, pada kenyataannya hanya
berfungsi sebagai pendukung semua kebijakan rezim Orba, termasuk mempertahankan
kekuasaan rezim itu.
Hal ini disebabkan campur tangan pemerintah dalam rekrutmen anggota MPR sangat
dominan, baik dalam proses rekrutmen anggota DPR melalui penyelenggaraan pemilu
yang diupayakan dimenangkan oleh Partai Golkar maupun dalam proses rekrutmen utusan
daerah dan utusan golongan.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kebijakan penting rezim Orba adalah bertekad
untuk mempertahankan UUD 1945 dalam bentuk aslinya sebagaimana yang ditetapkan pada
18 Agustus 1945. Pada masa Orba, ada kesan seolah-olah UUD 1945 dipandang sebagai
kitab suci. Dalam arti tidak diperkenankan sedikit pun untuk diubah. Siapa pun yang
mempunyai gagasan untuk mengubahnya, maka dianggap sebagai lawan pemerintah yang
segera harus ditindak.
Salah satu bukti penting pada masa Orba bahwa MPR hanya alat legitimasi bagi
pemerintah adalah dikeluarkannya TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang
bertujuan menutup kemungkinan diadakannya amandemen terhadap UUD.
Ketetapan MPR itu sangat bertentangan dengan semangat yang tersirat pada pasal 37 UUD
1945 yang intinya menyatakan bahwa MPR mempunyai wewenang sepenuhnya untuk
mengubah UUD.
Kalau dikaji dengan lebih mendalam tentang mengapa rezim Orba begitu kuat
kebijakannya mempertahankan UUD 1945 dalam bentuk yang asli, ada beberapa alasan yang
dapat dikemukakan. a) Kekuasaan yang sangat besar pada presiden. b) Kewenangan pada
presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan UU. c) UUD tersebut tidak membatasi
sampai berapa periode seseorang dapat menduduki jabatan presiden. Hal inilah yang
memungkinkan (alm.) mantan Presiden Soeharto dapat menjadi presiden selama 32 tahun. d)
Dengan pasal-pasalnya yang terlalu luwes yang dapat dimultitafsirkan
menjadikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakannya.

MPR Masa Reformasi


Mengingat pada 2001 MPR mengalami perubahan status dari lembaga tertinggi negara
menjadi lembaga negara, maka pada masa reformasi pembahasan tentang MPR akan dibagi
dalam dua periode. Yakni periode 1998–2001 (MPR berstatus sebagai lembaga tertinggi
negara) dan periode 2001 sampai sekarang (MPR berstatus sebagai lembaga negara).

a) MPR Periode 1998–2001


Pada periode ini, susunan keanggotaan MPR, kedudukannya, maupun kewenangannya
sama dengan pada masa Orba. Namun, perlu dicatat dalam periode ini peranan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, pemegang, dan pelaksana kedaulatan rakyat benar-benar dapat
dilaksanakan dengan sepenuhnya.
Dapat dikatakan bahwa pada periode itu MPR berada pada puncak kejayaan dalam fungsi
dan peranannya sebagai lembaga tertinggi negara. Hal ini dapat dilihat dari peranannya dalam
menindaklanjuti amanat reformasi, mengevaluasi kinerja presiden, serta mengambil tindakan
terhadap presiden bila presiden melakukan pelanggaran terhadap konstitusi atau GBHN.
Sebagai bukti dapat dilihat dari beberapa kebijakan dan tindakan yang dilakukan MPR
yang dapat dicatat di dalam sejarah penyelenggaraan negara sebagai berikut: 1) TAP MPR
No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum
yang merupakan jalan untuk menuju amandemen UUD. 2) Amandemen terhadap UUD 1945
sebanyak empat kali sebagaimana tersebut di atas. 3) TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN merupakan tekad untuk
memfungsikan lembaga-lembaga negara yang selama masa Orba tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Di samping itu, ketetapan ini merupakan langkah awal dalam
pemberantasan KKN di negeri ini. Yang tidak kalah menariknya bahwa pada ketetapan itu
mencantumkan nama (alm.) mantan Presiden Soeharto. 4) TAP MPR No. III/MPR/1999
tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie. Dalam
ketetapan ini dinyatakan bahwa MPR menolak pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie.
5) TAP MPR No. II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia
K.H. Abdurrahman Wahid. Ketetapan MPR itu memberhentian Presiden K.H. Abdurrahman
Wahid dari jabatannya sebagai presiden RI.

b) Periode 2001–Sekarang
Sejak amandemen ketiga yang ditetapkan pada 9 November 2001, MPR mengalami
perubahan status dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara.
Perubahan status MPR menjadi lembaga negara disebabkan oleh perubahan pasal 1 ayat 2
UUD 1945. Sebelum diamandemen berbunyi: ’’Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” Setelah diamandemen: ’’Kedaulatan di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD.”
Dengan perubahan itu, kedaulatan kembali kepada rakyat dan tidak lagi dilakukan oleh
MPR. Dengan kata lain, MPR tidak lagi dapat dianggap sebagai representatif dari seluruh
rakyat Indonesia. Karena itu, MPR tidak lagi memilih presiden. Melainkan rakyatlah yang
memilih presiden secara langsung. Presiden juga tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR,
melainkan bertanggung jawab kepada rakyat.
Kewenangan MPR sekarang adalah sebagai berikut: a) Melantik presiden dan wakil
presiden; b) Mengubah dan menetapkan UUD; c) Memberhentikan presiden menurut
prosedur yang ditetapkan oleh UUD; d) Bila presiden berhalangan tetap, MPR akan melantik
Wapres untuk menjadi presiden dan akan memilih Wapres dari dua orang calon yang
diajukan oleh presiden yang baru dilantik. e) Bila presiden dan Wapres berhalangan semua,
MPR akan mengadakan pemilihan presiden-Wapres dari dua pasangan capres-cawapres
dari hasil pemilu lalu yang meraih suara terbanyak.
Sejak 9 November 2001, kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara.
Melainkan sama dengan lembaga negara yang lain, seperti DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan
presiden sebagai Lembaga negara. (*)

Anda mungkin juga menyukai