SLE Pada Gilut Revised
SLE Pada Gilut Revised
Oleh:
Agil Noviar Alvirosa G99152034
Penguji:
Dr. Risya Cilmiaty, drg., Msi, Sp.KG
PENDAHULUAN
2
bermanfaat dalam menambah wawasan mengenai manifestasi
penyakit sistemik dalam rongga mulut dan penatalaksanaannya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
4
nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak
diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan
dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit,
kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Teori lainnya
menyatakan autoantibodi lupus eritematosus merupakan lanjutan dari
reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA. Faktor-faktor
seperti paparan sinar matahari, infeksi dan obat-obatan dapat menjadi
pencetus terjadinya reaksi lupus eritematosus sistemik (European
Assosiation of Oral Medicine, 2011).
Apapun etiologinya selalu terdapat predisposisi genetik yang
menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human
Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek
utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B,
begitu juga supresor limfosit T yang berkurang sehingga memudahkan
terjadinya peningkatan autoantibodi (European Assosiation of Oral
Medicine, 2011).
2.1.3 Patafisiologi Systemic Lupus Erythematosus
Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear
(ANA dan anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan
kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit
dan ginjal. Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas
patogenesis lupus yaitu: faktor genetik, lingkungan dan kelainan pada
sistem imun (Marks dan Miller, 2006; Wolff et al, 2008).
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus
dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot (Kumar et al, 2005). Studi lain mengenai faktor genetik ini
yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte
Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik
(Wolff et al, 2008). Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen seperti C2, C4, atau C1q. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh
sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi
5
jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan
sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon
imun (Kumar et al, 2005).
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus
seperti radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan dan virus. Sinar UV
mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena
menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita lupus dan memegang peranan
dalam fase induksi yang secara langsung merubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan
lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok
memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang
terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh
obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.
Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis
keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius
terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan
apoptosis (Wolff et al, 2008).
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
imunologis. Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B
menjadi dasar dari patogenesis lupus eritematosus sistemik (Kumar et
al, 2005). Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen
termasuk dsDNA (double-stranded DNA) yang berperan dalam
membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan (Wolff et
al, 2008).
6
Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada
ginjalnya. Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya
morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit
ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian
berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif disertai
dengan gagal ginjal (Greenberg dan Glick M, 2008).
Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada
muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi
temporomandibular dan nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada
pasien SLE. Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis.
Lupus dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus
(DLE) dan subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE).
Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang
umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada
wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena
membentuk seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah
leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5%
individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan
SLE, sebanyak 20% memiliki DLE (Greenberg dan Glick M, 2008;
Fidanoski, 2003).
7
terjadi pada sekitar 20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh
vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP
terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk
keseluruhan prognosis dari penyakit SLE (Greenberg dan Glick M,
2008; Denbo, 2006). SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa
vaskulitis dan perikarditis. Selain itu, kerusakan endokardium,
miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama
kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat
dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, dan hal ini telah
menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan sebuah studi,
dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah
8,5, 13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE
dibandingkan dengan populasi umum. Kecenderungan peningkatan
trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan pada fibrinolisis,
protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid.
SSP dan trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama
morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE
membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi (Greenberg dan Glick M,
2008; Denbo, 2006).
2.1.5 Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain
dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari
penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap
penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto
sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar limfe yang membengkak,
dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada
tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain
misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan
sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini
penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini
sama dengan penyakit lain (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011; Little et al, 2008).
8
Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat
suatu kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai
ketepatan 98% dan pada tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan
tabel kriteria SLE yang telah direvisi (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011).
9
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011; Greenberg dan Glick, 2008).
Berikut pilar terapi SLE:
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar
sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien
dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE,
antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit,
cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi
kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan
jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak
kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang
dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering
melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian
melakukan latihan ortotik, dan lain-lain (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011).
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari NSAID (Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria,
steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis
yang dialami (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011;
Kumar, 2005; Bartels, 2013).
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE
pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan
rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat :
aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut
dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran
pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung
10
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011; Kumar,
2005).
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci
utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat
terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit
untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat
dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena.
Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan
dalam waktu yang lama. Beberapa efek samping dari
mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat
badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko
infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal,
memperberat hipertensi dan moon face (Kumar, 2005).
3. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari hydroxychloroquinon dan kloroquin.
Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah.
Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique,
kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa
meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata
berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga
selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien
dianjurkan untuk memeriksakan
ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini
kelainan mata selama pengobatan (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011).
4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan adalah obat yang berfungsi untuk
menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat
immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti
azathioprine, mycophenolate mofetil, methotrexate,
11
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
12
akan menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman, namun pada pasien lupus,
ulser biasanya timbul pada saat lupus teraktifasi (flare up) (Gambar 2).
Biasanya, ulser pada pasien lupus lebih lama mengalami masa
penyembuhan. Penyembuhan lesi ini cenderung membentuk jaringan parut
dan fibrosis (Gauford, 1993).
c. Lesi Diskoid
Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah
bagian tepi vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari
(Gambar 4), sementara itu bibir bagian atas juga dapat terkena akibat
perluasan langsung dari lesi diskoid yang terdapat pada kulit. Lesi
biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lamakelamaan berubah
menjadi lesi keratotik dan bersisik. Bila sisik diangkat, maka bibir akan
perih dan menimbulkan perdarahan (Lourenco et al, 2007).
13
Gambar 4. Lesi Diskoid pada Bibir
14
Gambar 6. Trush pada Pasien SLE
f. Masalah gigi
Penggunaan kortikostreoid untuk mengontrol penyakit autoimun
termasuk SLE harus dilakukan terus-menerus. Hal ini dapat
memungkinkan pasien SLE terkena efek samping dari terapi kortikotreroid
jangka panjang. Penggunaan kortikostreroid yang panjang dilaporkan
dapat mengakibatkan masalah pada gigi diantaranya kurangnya tinggi
tulang alveolar, yang menjadi osteoporotik karena berkurangnya jumlah
osteoblas dan berkurangnya jumlah matriks osteoid dan fibrous,
terlambatnya erupsi gigi, kalsifikasi akar gigi, dan root dilaceration.
Proses pembentukan dentin juga dierpengaruhi oleh kortikostreroid
(Fidanonski, 2013).
Penggunaan kortikostreroid jangka panjang dilaporkan tidak
menghambat pembentukan lapisan dentin secara normal, tapi dapat
membuat nekrosis lapisan pulpa superfisial yang akhirnya mengalami
kalsifikasi. Odontoblas matang menunjukkan reaksi yang berbeda dengan
level hormon yang sedikit dan memulai pembentukan dentin baru lebih
cepat namun proses deposisi dentin terus berlanjut. Efek kortikosteroid
secara spesifik pada pembentukan lapisan dentin adalah percepatan proses
pembentukan lapisan predentin secara berlebihan, yang diikuti mineralisasi
predentin yang terjadi secara sempurna. Akibatnya terjadi kalsifikasi akar
gigi (Ashwini et al, 2010).
Proses ini berlanjut terus sehingga terjadi penyempitan pulpa.
Penyempitan pulpa membuat kerusakan sirkulasi darah yang
mengakibatkans tatus gizi buruk terhadap rongga pulpa gigi, growth factor
tak dapat tereksoresikan fungsinya, dan regenerasi odontoblas sulit terjadi
untuk memperbaiki komponen fibrousnya (Ashwini et al, 2010).
15
Gambar 7. Dekalsifikasi dan Delaserasi Gigi
16
Thalidomide 100-200 mg sehari dengan atau tanpa hydroxychloroquine
(Plaquenil) 200 mg dua kali sehari sangat efektif. Pemberian terapi
sistemik imunosupresif seperti azathioprine, mycophenolate mofetil atau
leflunomide (Arava) biasa diberikan pada kasus yang lebih berat meskipun
jarang terjadi (Fidanoski, 2013; Wood dan Goaz, 1997).
Penatalaksanaan lesi oral non spesifik seperti lesi herpes simplex
labialis adalah dengan mengurangi paparan obat kortikosteroid sistemik
dan menggantinya dengan corticosteroid-sparing drugs seperti
azathioprine, mycophenolate mofetil dan cyclophosphamide yang
diberikan sejak awal. Pada beberapa penderita lupus eritematosus perlu
juga memberikan terapi herpes dengan obat antivirus seperti valacyclovir
(valtrex) atau famciclovir (Famvir), sedangkan untuk penatalaksanaan
Steven Jhonson’s Syndrome tidak ada terapi yang efektif karena
penggunaan dosis tinggi obat kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan
kematian karena infeksi. Penatalaksanaan lesi non spesifik lainnya yaitu
untuk kandidiasis pada penderita lupus dapat diberikan prednisone dengan
dosis yang diturunkan, nystatinoral lozenges atau pil, dan obat antifungal
seperti fluconazole (Diflucan), sedangkan penatalaksanaan lesi prekanker
seperti leukoplakia atau eritroplakia dapat dilakukan dengan operasi,
electrocautery dan freezing. Selain itu dapat diberikan krim topical
imiquimod (Aldara). Kanker rongga mulut dapat dilakukan
penatalaksanaan dengan operasi pengangkatan secara luas dengan radiasi
atau kemoterapi. Cara terbaik untuk mencegah komplikasi ini pada
penderita lupus eritematosus adalah dengan penggunaan yang tepat agen
imunosupresif (Fidanoski, 2013). Selain ditemukan lesi-lesi oral spesifik
maupun non spesifik, biasanya penderita lupus eritematosus mengeluhkan
rasa mulut kering, rasa sakit dan rasa terbakar pada rongga mulut. Dry
mouth atau mulut kering pada penderita lupus eritematosus dapat terjadi
salah satunya dari penggunaan obat sistemik. Untuk membantu
menstimulasi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah permen karet
(yang mengandung sorbitol, bukan sukrosa) atau pemberian obat
kolinergik (sialogogues), tetapi terapi ini hanya boleh diberikan oleh
dokter spesialis mengingat efek samping yang bisa menyebabkan
17
bradikargi, berkeringat dan berkemih. Pyridostigmine dapat juga diberikan
karena memberi efek samping yang lebih kecil (Little et al, 2008).
Penatalaksanaan untuk keluhan rasa sakit dan rasa terbakar pada
penderita lupus eritematosus adalah yang pertama dengan pemberian
terapi untuk faktor organik yang menyebabkan ketidaknyamanan,
misalnya terapi untuk kandidiasis atau lichen planus baik secara sistemik
maupun topikal, kemudian dapat dicoba pemberian vitamin B1 300 mg
dan vitamin B6 50 mg sebanyak tiga kali sehari selama empat minggu
sebagai placebo (Little et al, 2008).
18
BAB III
PENUTUP
19
DAFTAR PUSTAKA
Denbo JA. 2006. Dental Problems and the Lupus Patient. Michigan
lupus Information and Resources.
Greenberg MS, Glick M. 2008. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment
11th ed. Hamilton: BC Decker Inc., hal 442-7
Kumar V, Abul KA, Nelson F. 2005. Pathologic Basis of Disease. 7th ed.
Philadelphia: Elsevier saunders
Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL. 2008. Dental management of the
medically compromised patient. 7th ed, St. Louis, Elsevier Inc hal 327-9
20
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan
pengelolaan lupus eritematosus sistemik: Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011: 1-9
Wolff K,Goldsmith LA,Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ.
2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.
New york: McGraw Hill Medical..
21