Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan yang disebabkan
oleh berbagai banyak penyebab. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah
melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh
perubahan otot dan fasia di dasar panggul. (1)

National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE), program yang meneliti inkontinensia


urin pada 5204 orang dewasa di Amerika Serikat memperkirakan jumlah perempuan di negara
tesebut yang mengalami inkontinensia urin sebesar 14,8 juta orang, sepertiga diantaranya
merupakan inkontinensia urin tipe campuran (34,4%) (2).
Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia belum ada angka yang pasti, dari hasil
beberapa penelitian didapatkan angka kejadian berkisar antara 20% sampai 30%. Inkontinensia
urin sangat berdampak pada ekonomi karena menghabiskan banyak biaya lebih dari 10,3 milyar
US$ pertahunnya untuk perawatan (3).
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya
urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan adanya
inkontinensia desakan (urge inkontinensia), dimana didapatkan keinginan miksi mendadak.
Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita
telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada
kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomic yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati
inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan (4). Trauma bisa terjadi pada uretra dan
kandung kemih selama proses melahirkan, yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir (5).
Tujuan penyajian referat ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai inkontinensia
urine, jenis-jenis dan cara penanganannya. Pemahaman yang lebih baik akan membantu usaha
mengatasi gangguan ini.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Vesika dan uretra dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pertumbuhannya
yang berasal dari jaringan sekitar sinus urogenitalis. Oleh karena itu lapisan otot polos
keduanya sama, lapisan dalam merupakan lapisan longitudinal dan lapisan luar membentuk
anyaman sirkuler yang mengelilingi lubang uretra. Anyaman sirkuler ini yang berperan pada
keadaan tekanan istirahat atau tekanan penutupan dalam uretra. (1)
Anyaman otot vesika ini menjadi satu lapisan dengan kelanjutan serabut-serabutnya
ditemukan pula di dinding uretra sebagai otot-otot uretra, dikenal sebagai muskulus sfingter
vesicae internus atau muskulus lisosfingter. Otot-otot tersebut terletak di bawah lapisan jaringan
yang elastis dan tebal dan disebelah luar dilapisi jaringan ikat. Di dalam lapisan elastis
yang tebal ditemukan lapisan mukosa dengan jaringan submukosa yang spongius. (1)
Disamping muskulus sfingter vesikae internus dan lebih ke distal sepanjang 2 cm, uretra
dilingkari oleh suatu lapisan otot tidak polos dikenal sebagai muskulus sfingter uretra ekstranus
atau muskulus rabdosfingter eksternus. Otot ini dapat meningkatkan fungsi sfingter vesika
dengan menarik uretra ke arah proksimal sehingga urethra lebih menyempit. Otot-otot polos
vesika dan uretra berada dibawah pengaruh saraf para simpatis dan dengan demikian berfungsi
serba otonom. Muskulus rabdosfingter merupakan sebagian dari otot-otot dasar panggul
sehingga kekuatannya dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan dasar panggul tertentu.
Muskulus bulbokaver-norsus dan ishiokavernosus juga dapat aktif ditutup bila vesika penuh dan
ada perasaan ingin berkemih, sehingga tidak terjadi inkontinensia. (1)

Gambar 1: A. uretra tertutup. B. uretra terbuka. (1) jaringan spongius; (2) muskulus lisosfingter; (3) muskulus rhabdosfingter
3

Terdapat 3 komponen anatomis dari mekanisme kontinensia, yaitu penyangga uretra,


sfingter internus dan eksternus. Sfingter internus yang terletak setinggi leher vesika, bila
terganggu menimbulkan inkontinensia stres walaupun penyangga normal, sedang sfingter
eksternus mempunyai kemampuan untuk kontraksi volunter. (6)
Bila vesika berisi urine mencapai kurang lebih 300 ml maka otot dinding vesika mulai
direnggangkan dan perasaan ini disalurkan melalui saraf sensorik ke bagian sakral sumsum
tulang belakang. Disini rangsangan disalurkan ke bagian motorik yang kemudian dapat
menimbulkan kontraksi ringan pada otot dinding vesika atau muskulus detrusor. (6)
Bila isi vesika hanya sedikit maka kontraksi ringan itu tidak menimbulkan pengeluaran
kemih, akan tetapi bila vesika terus direnggangkan maka muskulus detrusor berkontraksi lebih
kuat dan urin dikeluarkan. Tekanan dirongga vesika pada waktu air kencing dikeluarkan dengan
deras adalah antara 25-50 cm tekanan air. Pada keadaa patologik, tekanan intra vesika itu dapat
menarik sampai 150-250 cm air untuk mengatasi rintangan di sfingter vesisae dan sfingter
uretrae. Muskulus lisosfingter melingkari bagian atas urethra dan menentukan sudut antara
urethra dan dasar vesika. Otot-otot dasar panggul seperti muskulus levator ani ikut menentukan
posisi leher vesika. Bila dasar panggul mengendor maka uretra dan leher vesika akan bergeser ke
belakang dan vesika dapat dikosongkan. Bila uretra ditarik ke depan maka mulut vesika ditutup.
(1)

Tekanan dalam uretra meningkat bila tekanan abdomen meningkat, misalnya pada waktu
batuk. Fenomena ini disebut transmisi tekanan. Ini berarti uretra proksimal terletak di atas dasar
pelvis. Disini peningkatan tekanan intraabdominal akan menyebabkan peingkatan secara
simultan tekanan uretra, sedang di bawah dasar panggul peningkatan tekanan tidak berpengaruh
pada uretra. (2)

Gambar 2: ( 1 ) Uretra terbuka; ( 2) Uretra ditutup dalam posisi berdiri; ( 3) Uretra ditutup dalam posisi berbaring
4

Gambar 3: (1) muskulus bulbokavernosus; (2) muskulus iskiokavernosus. Keduanya memperkuat muskulus rabdosfingter

2.2 Fisiologi Berkemih


Proses berkemih normal dibagi menjadi 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase
pengosongan. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa, dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung
kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau
proses berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis
yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sfingter uretra internal menyebabkan
uretra tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin. (2)
Makanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medulla spinalis, dan pusat saraf
yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang
saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis kepusat saraf kortikal dan subkortikal.
Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi
sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih.
Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung kemih disadari, dan
pusat kortikal pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat
kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda
pengeluaran urin. (2)
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui medulla
spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian
menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.
Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan penguranagn kontraktilitas otot. (2)
5

Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis.
Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin-inhibiting drugs dapat
mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium-channel dependent.
Oleh karena itu, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontraksi kandung kemih.
Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan pengobatan
dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti dasar inervasi
adrenergik dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung kemih. (2)
Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter ureter berkontraksi. Untuk itu,
pengobatan dengan agonis adrenergi-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter,
sedangkan zat alpha-blocking (terazosin [hytrin]) dapat mengganggu penutupan sfingter.
Inervasi adrenergik-beta blocking(propanolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi
uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergik-alfa. (2)
Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan
kendung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat
antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang
tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif
ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat
terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. (2)
Mekanisme dasar proses dasar berkemih diatur oleh reflek-reflek yang berpusat di
medula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian
(penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktifitas saraf otonom simpatis yang
mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta
penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar
panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatik dan somatik menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung
kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak,
korteks serebri, dan serebelum. Bagaimana proses neurofisiologik ini beroperasi dalam proses
miksi belum diketahui dengan jelas. Umumnya dikatakan bahwa peranan korteks serebri adalah
menghambat sedangkan batang otak dan supra spinal memfasilitasi. (7)
2.3 Inkontinensia Urin
2.3.1 Definisi
6

Menurut International Continence Society inkontinensia urin adalah keluarnya kemih


tanpa disadari (involunter) dan pada situasi yang berbeda yang disebabkan karena sejumlah
(4)
penyakit sehingga berakibat pada gangguan fungsi saluran kemih bagian bawah . Menurut
Dorland inkontinensia adalah seseorang yang tidak dapat mengendalikan fungsi ekskretorik
seperti urin (8). Sedangkan menurut Setiati dan Pramantara, inkontinensia urin adalah “keluarnya
urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi
dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya” (2)
. Dengan
demikian, inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan yang
disebabkan oleh berbagai banyak penyebab.
2.3.2 Etiologi
Trauma pada persalinan adalah sebab utama dari pada inkontinensia urin. Pada persalinan
dasar panggul didorong dan diregangkan dan sebagian robek. Kerusakan ini menimbulkan
kelainan letak vesika. Pula otot-otot sekitar dasar vesika dan leher vesika mengalami cidera. Hal
tersebut dapat menimbulkan inkontinensia dalam masa nifas dan akan hilang sendiri bila
jaringan-jaringan cidera akibat partus sembuh kembali. Yang lebih jarang ditemukan adalah
inkontinensia yang mempunyai kausa serebral tanpa adanya kelainan anatomic. Salah satu yang
terkenal adalah enuresis nokturna atau ngompol pada malam hari. Bila juga terjadi pada siang
hari disebut enuresis diurnal. (1)
2.3.3 Faktor Resiko
Faktor resiko yang memicu inkontinensia urin: (4)
1. faktor kehamilan dan persalinan
 inkontinensia urin pada perempuan hamil dapat terjadi dari awala kehamilan hingga masa
nifas
 prevalensi inkontinensia urin meningkat selama kehamilan dan beberap minggu setelah
persalinan
 pemakaian forseps selama persalinan dapat memicu inkontinensia urin
 bila inkontinensia urin timbul lebih dari tiga bulan paskasalin (post-partum) maka ini
dapat dipandang sebagai indikator prognostik untuk masalah kontinensia dimasa depan
 tingginya usia, paritas, dan berat badan bayi tampaknya berhubungan dengan
inkontinensia urin
7

2. perempuan dengan indeks masa tubuh lebih tinggi akan cenderung lebih banyak
mengalami inkontinensia urin
3. menopause cenderung bertindak sebagai kontributor (turut menambah resiko) daripada
faktor kausatif
Tabel 2.3.1 Perubahan-perubahan Fisiologik Terkait Proses Menua pada Saluran
Kemih Bawah

Kandung Kemih Perubahan Morfologis


 trabekulasi ꜛ
 fibrosis ꜛ
 saraf autonom ꜜ
 pembentukan divertikula
Perubahan Fisiologis
 kapasitas ꜜ
 kemampuan menahan kencing ꜜ
 kontraksi involunter ꜛ
 volume residu paska berkemih ꜛ
Uretra Perubahan Morfologis
 komponen selular ꜜ
 Deposit kolagen ꜛ
Perubahan Fisiologis
 Tekanan penutupan ꜜ
 Tekanan akhiran keluar ꜜ
Prostat Hyperplasia dan membesar
Vagina  Komponen seluler ꜜ
 Mukosa atrofi
Dasar Panggul Deposit kolagen ꜛ
Rasio jaringan ikat-otot ꜛ
Otot melemah
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III

Delirium merupakan gangguan kognitif akut dengan latar belakang yang beragam seperti
dehidrasi, infeksi paru, gangguan metabolism, dan elektrolit. Inkontinensia yang bersifat
sementara timbul akibat delirium yang menyababkan proses hambatan refleks miksi berkurang.
Menurut Setiati dan Pramantara, “usia lanjut dengan kecenderungan mengalami frekuensi,
urgensi, dan nokturia akibat proses menua akan mengalami inkontinensia kalau terjadi gangguan
mobilitas oleh karena berbagai sebab seperti gangguan musculoskeletal, tirah baring, dan
perawatan di rumah sakit. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan meningkatkan
kejadian frekuensi, urgensi, dan data mengakibatkan inkontinensia. Kondisi-kondisi yang
mengakibatkan poliuria seerti hiperglikemia, hiperkalsemia, pemakaian diuretik, dan minum
banyak dapat mencetuskan inkontinensia akut. Kondisi kelebihan cairan seperti gagal jantung
kongestif, insufisiensi vena tungkai bawah, akan mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut
8

malam” (2)
. Penyebab inkontinensia urin dapat dikenal dengan akronim DRIP (table 2.3.2). Ahli
lain memakai akronim yang lebih pengkap yaitu DIAPPERS (table 2.3.3).
Tabel 2.3.2 Akronim untuk Penyebab Reversibel Inkontinensi Urin Akut
D Delirium
R Restricted mobility, retention
I Infection, inflammation, impaction
P Polyuria, pharmaceuticals
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III

Tabel 2.3.3 Penyebab Inkontinensia Urin


D Delirium or acute confusional state
I Infection, urinary
A Atrophic vaginitis or urethritis
P Pharmaceutical
 Sedative hypnotic
 Loop diuretics
 Anti-cholinergic agents
 Alpha-adrenergic agonist and antagonist
 Calcium channel blochers
P Psychologic disorders; depression
E Endocrine disorders
R Restricted mobility
S Stooli impaction
Sumber: Jurnal Majalah Kedokteran Indonesia

2.3.4 Klasifikasi
1. Stres inkontinensia
Stress inkontinensia terjadi ketika tekanan vesika melebihi tekanan uretra dalam
peningkatan mendadak tekanan intra abdomen. Hal ini dapat disebabkan oleh kelemahan dasar
panggul atau sfingter. Faktor resiko terjadinya stress inkontinensia termasuk melahirkan, involusi
pasca menopause, sebagai komplikasi operasi panggul, atau trauma. Inkontinensia stress
biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan
urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah
berbaring atau duduk. Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan
karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan
keluarlah urine. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan
setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini (2).
9

Gambar 4: Anatomi Sudut Vesikouretra:


(a) Normal : Sudut vesikouretra 1200; 1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 1200
0 0
(b)Patologik : Sudut vesikouretra 180 ; 1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 180

2. Urge inkontinensia
Dikenal juga istilah overactive bladder syndrome (OAB). Berhubungan dengan aktifitas
detrusor disebut juga instabilitas detrusor. Bila penyebabnya neurologik, maka disebut sebagai
hiperefleksia detrusor. Urge inkontinensia adalah keadaan dimana ada dorongan kuat untuk
berkemih tanpa adanya alasan, yang tidak dapat ditahan. Kelainan sering akibat kontraksi yang
tidak dapat dihindari karen otot-otot vesika sangat aktif berkontraksi. Urin yang keluar lebih
banyak, sering buang air kecil pada malam hari dan pada waktu tidur dapat keluar, karena otot-
otot vesika berkontraksi tergantung dari jumlah urin didalam vesika urinaria. Urge inkontinensia
dapat disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan pada detrusor, yang ditandai dengan kontraksi
detrusor selama pengisian. Aktivitas yang berlebihan dari detrusor bisa karena neurologik atau
idiopatik. Aktivitas yang berlebihan dari detrusor dapat berasal dari epitel kandung kemih atau
otot detrusor itu sendiri. Teori neurogenik menunjukan kelebihan aktivitas detrusor dapat
disebabkan denervasi pada tingkat tulang belakang atau kortikal, menyebabkan berkemih
berlebihan. Penyakit Parkinson atau stroke dapat menyebabkan hilangnya neuron penghambat,
menyebabkan neurogenic detrusor overactivity (4).
3. Overflow inkontinensia
Inkontinensia luapan (overflow) yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal uretra akibat dari distensi kandung kemih tanpa adanya
aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi
terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi
sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
10

Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra, sklerosis
multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor otak dan
medula spinalis (9).
2.3.5 klinik
Inkontinensia dapat dibagi dalam beberapa tingkat untuk memudahkan membuat
diagnosis dan terapinya (1).
 Tingkat I: adanya air kemih keluar meskipun sedikit pada waktu batuk atau bersin atau
ketawa, atau kerja berat
 Tingkat II: telah keluar air kemih bila kerja ringan, naik tangga atau jalan-jalan
 Tingkat III: terus keluar air kemih tidak tergantung dari berat ringannya bekerja, malahan
pada berbaring juga keluar air kemih.
Inkontinensia urin tingkat I dan II dinamakan pula stress inkontinensia. Untuk membuat
diagnose yang tepat agar pengobatannya juga tepat maka perlu difirkan hal-hal yang telah
diuraikan diatas. Dengan anamnesis terarah pemeriksaan-pemeriksaan yang rumit dan memakan
waktu dan biaya dapat dihindarkan. Pemeriksaan air kencing secara kimiawi, mikroskopik dan
bakteriologik perlu dilakukan. Kemudian uji ngedan (1):
 Pasien disuruh duduk dibangku, pahanya dibuka dan disuruh mengedan atau batuk. Bila
ada inkontinensia fungsional maka dari uretra akan keluar air kencing. Bila dengan
disuruh membungkuk kedepan baru keluar air kencing maka kerusakan letak dibagian
atas uretra atau dileher vesika.
 Vesika diisi dengan cairan metilenbiru atau indigokarmin. Penderita diberi banduk dan
disuruh jalan, batuk, atau mengedan. Bila banduk menjadi biru atau berwarna
indigokarmin maka ini menunjukan adanya inkontinensia urin.
Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dapat dilakukan:
 Sistoskopi: dipakai untuk menentukan adanya radang, tumor, striktur, perubahan struktur
vesika, yang kiranya dapat menimbulkan inkontinensia
 Uretrosistografi: dapat memperlihatkan keadaan uretra, vesika urinaria, dan sudut antara
uretra dan vesika untuk menemui etiologi inkontinensia
 Sfingterometri: menunjukan bahwa tahanan dari muskulus rhabdosfingter lebih tinggi
dari pada muskulus lisosfingter dengan memanfaatkan elekmiografi
2.3.6 Diagnosis
11

Tujuan diagnosis inkontinensia urin adalah (2):


 Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversibel
 Menentuka kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus
 Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku
Dari anamnesis kita harus dapat meperkirakan karakteristik inkontinensia, problem medik
dan medikasi yang sedang dijalani, gejala-gejala lain yang sangat mengganggu, dan dampak
(2)
inkontinensia urin terhadap kualitas hidup pasien dan orang yang merawatnya . Perlu
ditanyakan durasi dan gejala inkontinensia. Sejumlah gejala terkait seperti disuria, penurunan
aliran, nyeri supra pubik, atau hematuria harus digali lebih lanjut. Demikian pula riwayat
(4)
pemakaian obat atau tatalaksana yang pernah diperoleh harus dikaji lebih lanjut. Pada
pemeriksaan fisik sangat penting dilakukan pemeriksaan ginekologi, juga pemeriksaan abdomen,
rectum, dan evaluasi persarafan lumbosakral (2,4).
Pemeriksaan urinalisis bertujuan untuk menghindarkan adanya infeksi saluran kemih,
batu bilu-buli, dan tumor kandung kemih. Pada uji batuk, kandung kemih diisi dengan cairan
steril kurang lebih 250 ml melalui kateter. Kemudian kateter dicabut dan diminta untuk batuk,
dilihat apakah urin keluar atau tidak pada saat batuk. Pemeriksaan uretroskopi diperlukan untuk
mengetahui keadaan mukosa kandung kemih dan uretra, serta kemungkinan adanya atrofi, polip,
radang, divertikel, keganasan, sekaligus menilai kapasitas kandung kemih. Ultrasonografi (USG)
untuk mengidentifikasi kelainan pada leher kandung kemih dan juga untuk mendiagnosis
instabilitas otot detrusor (2).
2.3.7 Penatalaksanaan
Gaya hidup seseorang dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia urin, oleh sebab itu
orang tersebut harus merubahnya seperti:
 Menjaga kebersihan diri dan kebersihan kulit terutama pada sekitar perineum, vulva, agar
tidak terjadi iritasi dan infeksi
 Mengontrol kenaikan berat dadan, sebab orang yang obesitas mempunyai resiko lebih
besar terjadninya inkontinensia urin
 Manjaga pola makan dengan banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung serat,
sebab konstipasi dapat memicu timbulnya inkontinensia urin
 Pembatasan intake cairan
12

 Menghindari asupan makanan dan minuman yang mengandung kafein, alkohol, makan
pedas, coklat, pemanis buatan, makanan yang mengandung karbonat, gula, madu, dan
susu (4).
Penatalaksanaan non-farmakologis yang digunakan adalah (2):
 Bladder Training
Merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi non farmakologis lainnya. Terapi
ini bertujuan untuk memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik
relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien
diharapkan menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih
diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik ini
terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stress, namun untuk itu diperlukan
motivasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya
berkemih pada interval waktu tertentu saja.
 Latihan otot dasar panggul
Merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stress atau campuran dan tipe
urgensi. Latihan dilakukan tiga sampai lima kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan
hingga 10 detik. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot
dasar panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat
meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien
menjalani latihan, harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rectum untuk
menetapkan apakah mereka dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.
 Habit training
Memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai
dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia
urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh
pasien.
 Biofeedback
Bertujuan agar pasien mampu mengontrol atau menahan kontraksi involunter otot
detrusor kandung kemihnya. Cara ini mempunyai kendala karena penderita perlu
mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya,
13

sementara pelatihannya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi
karena waktu yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dnegan cara ini
cukup lama.
Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik.
Pada semua obat yang digunakan untuk terapi inkontinensia urin, efek samping harus
diperhatikan apabila dipergunakan.
Tabel 2.3.4 Obat-obat yang dipakai untuk inkontinensia urin
Obat Dosis Tipe inkontinensia Efek samping
Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urge atau campuran Mulut kering, mata kabur,
glaucoma, delirium, konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi dan OAB Mulut kering, konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Delirium, hipotensi ortostatik
Pseudoephedrine 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, tekanan
darah tinggi
Topical estrogen Urgensi dan stress Iritasi local
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan urgensi Hipotensi postural
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8 mg
Terazosin 4 x 1-5 mg
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
14
15

BAB III
KESIMPULAN

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan yang disebabkan
oleh berbagai banyak penyebab. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah
melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Trauma pada persalinan adalah
sebab utama dari pada inkontinensia urin. Pada persalinan dasar panggul didorong dan
diregangkan dan sebagian robek. Kerusakan ini menimbulkan kelainan letak vesika. Penyebab
inkontinensia urin dapat dikenal dengan akronim DRIP. Ahli lain memakai akronim yang lebih
pengkap yaitu DIAPPERS. Klasifikasi inkontinensia adalah stress inkontinensia, urge
inkontinensia, dan overflow inkontinensia.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Winkjosastro H. Ilmu Kandungan Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo; 2009.

2. Setiati S, Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Jakarta: FKUI; 2007.

3. Mustofa A, Widyaningsih W. Pengaruh Latihan Kegel Terhada Frekuensi Inkontinensia Urin Pada
Lansia di Panti Wreda Pucang Gading Semarang. FIKKES. 2009; 2: p. 42-48.

4. Santoso BI. Inkontinensia Urin pada Perempuan. Maj Kedokt Indon. 2008; 58.

5. Ermiati , Rustini , Rachmawati , Sabri. Efektivitas Bladder Training Terhadap Fungsi Eliminasi Buang Air
Kecil (BAK) Pasa Ibu Post Partum Spontan. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. 2008; 32.

6. Snell R. Anatomi Klinik. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006.

7. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Jakarta: EGC; 2001.

8. Dorland WAN. Kamus Kedokteran Dorland Jakarta: EGC; 2010.

9. Agustina , Santoso , Junizaf. Prevalensi Penderita Overactive Bladder Pada pegawai Perempuan di
Lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Majalah
Obstetri Ginekolog Indonesia. 2008; 32.

Anda mungkin juga menyukai

  • Inkontinensia Urin Post Partum
    Inkontinensia Urin Post Partum
    Dokumen9 halaman
    Inkontinensia Urin Post Partum
    Kurnia Febriana
    50% (4)
  • COVER Aswaja
    COVER Aswaja
    Dokumen1 halaman
    COVER Aswaja
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Telaah Jurnal
    Telaah Jurnal
    Dokumen1 halaman
    Telaah Jurnal
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen1 halaman
    COVER
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen1 halaman
    COVER
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Cover Utama
    Cover Utama
    Dokumen1 halaman
    Cover Utama
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • K3 Kel.3 Fix
    K3 Kel.3 Fix
    Dokumen29 halaman
    K3 Kel.3 Fix
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Sosbud Fix
    Sosbud Fix
    Dokumen6 halaman
    Sosbud Fix
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Jiwa Ficky
    Jiwa Ficky
    Dokumen20 halaman
    Jiwa Ficky
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen9 halaman
    Jurnal
    FierdaOvita
    Belum ada peringkat
  • PEMBAHASAN
    PEMBAHASAN
    Dokumen7 halaman
    PEMBAHASAN
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Soal Falsafah Kls. 1D
    Soal Falsafah Kls. 1D
    Dokumen12 halaman
    Soal Falsafah Kls. 1D
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Purin-Pirimidin
    Purin-Pirimidin
    Dokumen19 halaman
    Purin-Pirimidin
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar, Daftar Isi
    Kata Pengantar, Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar, Daftar Isi
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Sosbud Fix
    Sosbud Fix
    Dokumen6 halaman
    Sosbud Fix
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • PEMBAHASAN
    PEMBAHASAN
    Dokumen7 halaman
    PEMBAHASAN
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Soal Falsafah Kls. 1D
    Soal Falsafah Kls. 1D
    Dokumen12 halaman
    Soal Falsafah Kls. 1D
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • BAB 4 kmb-1
    BAB 4 kmb-1
    Dokumen2 halaman
    BAB 4 kmb-1
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • PEMBAHASAN
    PEMBAHASAN
    Dokumen7 halaman
    PEMBAHASAN
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • PEMBAHASAN
    PEMBAHASAN
    Dokumen7 halaman
    PEMBAHASAN
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar, Daftar Isi
    Kata Pengantar, Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar, Daftar Isi
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
    Dokumen2 halaman
    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
    ficky erika
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    ficky erika
    Belum ada peringkat