Anda di halaman 1dari 30

Case Report Session

FRAKTUR TERTUTUP TIBIA FIBULA

oleh :

Erix Firmando (1210313081)

Ervin Maulana (1210313047)

Pembimbing:

dr. Ewi Astuti, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH RUMAH PROF. DR. MA. HANAFIAH BATUSANGKAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2017

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Fraktur adalah suatu keadaan dimana tulang mengalami patah / dikontinuitas

jaringan. Fraktur biasanya diakibatkan oleh trauma.1 Berdasarkan jenisnya, fraktur dibagi

dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Sebuah fraktur dikatakan fraktur tertutup

(sederhana) apabila jaringan kulit diatasnya masih utuh, sehingga tidak ada kontak antara

fragmen tulang yang patah dengan lingkungan luar. Namun bila fragmen tulang yang

mengalami fraktur terekspos ke luar, maka disebut fraktur terbuka (compound). Fraktur

terbuka lebih yang cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi daripada fraktur

tertutup.2 Jenis fraktur biasanya berhubungan dengan mekanisme trauma, misalnya trauma

angulasi yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal oblik pendek, sedangkan trauma

rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral.3

Prinsip penanganan fraktur tidak terlepas dari primary survey untuk meneemukan

dan mengatasi kondisi life threatening yang ada pada pasien, terutama pada layanan primer.

Penatalaksaan yang tepat pada pasien fraktur menentukan outcome nya. Bila dalam

penatalaksanaan dan perawatan tepat, tulang yang patah dapat menyatu kembali dengan

sempurna (union). Namun bila penatalaksanaan tidak tepat, maka fraktur dapat menyatu

tidak sempurna (malunion), terlambat menyatu (delayed union), ataupun tidak menyatu (non

union). Perawatan yang baik juga perlu untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien

fraktur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi

menyanggah berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus femoris dan caputfibulae,

di bawah dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas yang melebar

dan ujung bawah yang lebih kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung atas terdapat condyli

lateralis dan medialis (kadang-kadang disebutplateau tibia lateral dan medial), yang bersendi

dengan condyli lateralis dan medialis femoris, dan dipisahkan oleh menisci lateralis dan

medialis. Permukaan atas facies articulares condylorum tibiae terbagi atas area

intercondylus anterior dan posterior; di antara kedua area ini terdapat eminentia

intercondylus.

Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis circularis

yang kecil, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior condylus medialis

terdapat insertio m. semimembranosus.

Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan melintangnya, dan mempunyai tiga

margines dan tiga facies. Margines anterior dan medial, serta facies medialis diantaranya

terletak subkutan. Margo anterior menonjol dan membentuk tulang kering. Pada pertemuan

antara margo anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat

ligamentum patellae. Margo anterior di bawah membulat, dan melanjutkan diri sebagai

malleolus medialis. Margo lateral atau margo interosseus memberikan tempat perlekatan

untuk membrane interossea. Facies posterior dan corpus tibiae menunjukkan linea oblique,

yang disebut linea musculi solei, untuk tempatnya m.soleus.

Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat permukaan

sendi berbentuk pelana untuk os.talus. ujung bawah memanjang ke bawah dan medial untuk

3
membentuk malleolus medialis. Facies lateralis dari malleolus medialis bersendi dengan

talus. Pada facies lateral ujung bawahtibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk

bersendi dengan fibula. Musculi dan ligamenta penting yang melekat pada tibia.6

Gambar 2.1. Anatomi cruris.

4
Gambar 2.2 Otot - otot regio kruris13

2.2 Fraktur

2.2 Definisi Fraktur

Fraktur merupakan suatu patahan pada struktur jaringan tulang atau tulang rawan

yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun tidak langsung1. Akibat

dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan dan arahnya

trauma. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau

perimpilan korteks. Biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Bila kulit

diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup (fraktur sederhana), namun bila

kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus keadaan ini disebut fraktur terbuka (fraktur

compound) yang cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi.3

5
Os Tibia adalah salah satu tulang yang sering mengalami fraktur dibandingkan tulang

panjang lainnya. Hal ini disebabkan karena jaringan lunak di atasnya relatif lebih tipis

sehingga lebih mudah mengalami fraktur.6

2.2.2 Klasifikasi

Patah tulang dapat dibagi menurut garis frakturnya, misalnya fisura, patah

tulang segmental, patah tulang sederhana, patah tulang kominutif, patah tulang

segmental, patah tulang kompresi, impresi, dan patologis.5

Gambar 2.4 Jenis patah tulang: A. Fisura, B. Oblik, C. Tranversal (lintang),


D. Kominutif, E. Segmental.10

2.3 Klasifikasi Fraktur Tibia Fibula

Fraktur tibia dapat terjadi pada bagian proksimal (kondiler), diafisis atau persendian

pergelangan kaki.

2.3.1 Fraktur Kondiler Tibia

Fraktur kondiler tibia lebih sering mengenai kondiler lateralis daripada

medialis serta fraktur kedua kondiler. Banyak fraktur kondiler tibia terjadi akibat

kecelakaan antara mobil dan pejalan kaki di mana bemper mobil menabrak kaki

bagial lateral dengan gaya kearah medial (valgus). Ini menghasilkan fraktur depresi

atau fraktur split dari kondiler lateralis tibia apabila kondiler femur didorong kearah

tersebut. Kondiler medial memiliki kekuatan yang lebih besar, jadi fraktur pada

6
daerah ini biasanya terjadi akibat gaya dengan tenaga yang lebih besar (varus). Jatuh

dari ketinggian akan menimbulkan kompresi aksial sehingga bisa menyebabkan

fraktur pada proksimal tibia.

2.3.2 Fraktur Diafisis Tibia

Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan

menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi

akan menimbulkan fraktur tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas antara

1/3 bagian tengah dan 1/3 bagian distal.Tungkai bawah bagian depan sangat sedikit

ditutupi otot sehingga fraktur pada daerah tibia sering bersifat terbuka. Penyebab

utama terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas.

Gambar 2.3: Fraktur diafisis tibia.

2.3.3 Fraktur Distal Tibia

Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan penopang badan

dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis yang diikat

dengan ligament.

7
Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi dalam

beberapa macam trauma.8

1. Trauma abduksi

Trauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang

bersifat oblik, fraktur pada maleolus medialis bersifat avulsi atau robekan pada

ligamen bagian medial.

2. Trauma adduksi

Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat

oblik atau avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya

menyebabkan strain atau robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya

trauma.

3. Trauma rotasi eksterna

Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi

fraktur pada fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial

atau fraktur avulsi pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai

dengan dislokasi talus.

4. Trauma kompresi vertikal

Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai

dengan dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur kominutif disertai dengan

robekan diastesis.

8
Gambar 2.5 : Mekanisme terjadinya trauma pada fraktur maleolus. (A. trauma abduksi, B.

trauma adduksi, C. Trauma rotasi dan eksternal, D. Trauma kompresi )

2.4 Epidemiologi

Fraktur tibia merupakan jenis fraktur yang sering terjadi pada tulang panjang.

Insiden fraktur tulang panjang adalah 11,5 per 100000 penduduk, 40 % nya merupakan

kasus fraktur ekstremitas bawah. Fraktur terbanyak yang terjadi pada ekstremitas

bawaha adalah pada diafisis tibia. Fraktur tibia pada umumnya disertai dengan fraktur

fibula, karena energi yang ditransmisikan melalu membran interosseous ke fibula.12

2.5 Etiologi dan Patofisiologi

Fraktur umumnya terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan akibat trauma.

Trauma tersebut dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Trauma langsung

menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur

yang terjadi biasanya bersifat komunitif ataupun transverse dan jaringan lunak juga

mengalami kerusakan. Sementara itu, pada trauma yang tidak langsung trauma dihantarkan

ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur dan biasanya jaringan lunak tetap utuh.5

Meskipun hampir sebagian besar fraktur disebabkan kombinasi beberapa gaya

(memutar, membengkok, kompresi, atau tegangan), pola garis fraktur pada hasil

pemeriksaan sinar X akan menunjukkan mekanisme yang dominan.5

9
Tekanan pada tulang dapat berupa:

1. Berputar (twisting) yang menyebabkan fraktur bersifat spiral

2. Kompresi yang menyebabkan fraktur oblik pendek

3. Membengkok (bending) yang menyebabkan fraktur dengan fragmen segitiga

‘butterfly’

4. Regangan (tension) cenderung menyebabkan patah tulang transversal; di

beberapa situasi dapat menyebabkan avulsi sebuah fragmen kecil pada titik

insersi ligamen atau tendon.5

Gambar 2.6 : Mekanisme cedera: (a) spiral (twisting); (b) oblik pendek (kompresi); (c) pola
‘butterfly’ segitga (bending); (d) transversal (tension). Pola spiral dan oblik
panjang biasanya disebabkan trauma indirek energi rendah; pola bending dan
transversal disebabkan oleh trauma direk energi tinggi.5

Setelah terjadinya fraktur komplit, biasanya fragmen yang patah akan mengalami

perpindahan akibat kekuatan cedera, gravitasi, ataupun otot yang melekat pada tulang

tersebut.

Perpindahan yang terjadi yaitu sebagai berikut:

1. Translasi (shift) – fragmen bergeser ke samping, ke depan, atau ke belakang.

2. Angulasi (tilt) – fragmen mengalami angulasi dalam hubungannya dengan yang

lain.

3. Rotasi (twist) – Satu fragmen mungkin berbutar pada aksis longitudinal; tulang

terlihat lurus.

10
4. Memanjang atau memendek – fragmen dapat terpisah atau mengalami overlap.5

Daya rotasi menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang pada tingkat yang

berbeda, daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada

tingkat yang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu fragmen tulang dapt menembus

kulit, pada yang cedera langsung dapat merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan sepeda

motor adalah penyebab tersering.5

2.6 Proses Penyembuhan Fraktur5

Proses penyembuhan fraktur adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada

setiap fraktur.

1. Destruksi jaringan dan pembentukan hematom

Pada permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang, yang

disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periosteum yaitu fase

hematom (2-8 jam sesudah trauma).

2. Inflamasi dan proliferasi seluler

Dalam 8 jam sesudah terjadinya fraktur terjadi reaksi inflamasi akut yaitu dengan

adanya migrasi sel-sel inflamasi dan inisiasi proliferasi sel, dibawah periosteum dan

didalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen tulang dikelilingi oleh jaringan

seluler yang menghubungkan lokasi fraktur. Hematom yang membeku perlahan- lahan

diabsorbsi kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan

vaskuler hingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler baru yang

halus di dalamnya. Jaringan ini menyebabkan fragmen tulang saling menempel yang

dinamakan kalus fibrosa

11
3. Pembentukan Kalus

Di dalam jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan mesenkim yang

bersifat osteogenic dan kondrogenik. Sel ini berubah menjadi sel konroblast yang akan

membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan, sedangkan di tempat

yang jauh dari patahan tulang yang vaskularisasinya relative banyak, sel ini berubah

menjadi osteoblast dan membentuk osteoid yang merupakan bahan dasar tulang.

Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium sehingga tidak terlihat

pada foto rontgen. Pada fase ini juga terbentuk osteoklas yang mulai membersihkan

tulang yang mati. Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya

ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang yang lebih padat dan pada

empat minggu setelah cedera fraktur menyatu. Pada foto rontgen, proses ini terlihat

sebagai bayangan radio-opak, tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat. Fase ini

disebut fase penyatuan klinis.

4. Konsolidasi

Bila aktivitas osteoblas dan osteoklas berlanjut, sel tulang ini mengatur diri secara

lamellar seperti sel tulang normal. Selanjutnya, terjadi pergantian sel tulang secara

berangsur-angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan

tarikan yang bekerja pada tulang. Akhirnya Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan

tulang biasa yang cukup kaku sehingga tidak memungkinkan osteoklas menerobos

melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dibelakangya osteoblast mengisi celah- celah

sisa antara fragmrn tulang yang baru. Proses ini berjalan cukup lambat dan mungkin butuh

beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban normal (6-12 minggu).

12
5. Remodeling

Pada fase ini fraktur telah dijembatani oleh tulang yang solid. Selama beberapa

bulan bahkan tahun, tulang yang baru terbentuk tersebut akan kembali diubah oleh proses

pembentukan dan resorpsi tulang, lamela yang lebih tebal pada tempat yang tekanannya

tinggi, dinding – dinding yang tak perlu dibuang, rongga sumsum dibentuk sehingga tidak

akan tampak lagi garis fraktur, terutama pada anak- anak dapat memperoleh bentuk yang

mirip dengan normalnya.5,10

Gambar 2.7 : Fase Penyembuhan Fraktur: (a) Hematoma; (b)Inflamasi; (c) Kalus;

(d) Konsolidasi; (e) Remodeling.5

2.7 Diagnosis4,6

2.7.1 Anamnesis

Biasanya penderita datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun

trauma ringan dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena jelasnya keadaan patah

tulang tersebut bagi pasien atau ketidakmampuan untuk menggunakan anggota

gerak. Sebaliknya juga mungkin, patah tulang tidak disadari oleh penderita dan

mereka datang dengan keluhan “keseleo”, terutama patah yang disertai dengan

dislokasi fragmen yang minimal ataupun dengan keluhan lain seperti nyeri, bengkok,

bengkak.Anamnesis harus dilakukan dengan cermat karena fraktur tidak selamanya

terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain Setelah

mengetahui keluhan utama pasien, harus ditanyakan mekanisme trauma dan seberapa

13
kuatnya trauma tersebut. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh

dari ketinggian, atau jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa

benda berat, kecelakaan pada kerja., atau trauma olahraga.9,10

2.7.2 Pemeriksaan fisik

1. Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:

a. Syok, anemia atau perdarahan.

b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang

atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.

c. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.

2. Pemeriksaan lokal

a. Inspeksi (Look)

 Bandingkan dengan bagian yang sehat.

 Perhatikan posisi anggota gerak.

 Keadaan umum penderita secara keseluruhan.

 Ekspresi wajah karena nyeri.

 Lidah kering atau basah.

 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.

 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan

fraktur tertutup atau fraktur terbuka.

 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari.

 Perhatikan adanya pembengkakan, deformitas berupa angulasi, rotasi dan

kependekan, gerakan yang tidak normal.

 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ

lain.

 Perhatikan kondisi mental penderita.

14
 Keadaan vaskularisasi.

b. Palpasi (Feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh

sangat nyeri.

 Temperatur setempat yang meningkat.

 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh

kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang. Nyeri dapat

berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu sewaktu

menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah searah

dengan sumbunya.10

 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-

hati.

 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,

arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang

terkena.

 Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah

trauma , temperatur kulit.

 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya

perbedaan panjang tungkai.

c. Pergerakan (Move)

Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan

pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma untuk menilai

apakah terdapat nyeri dan krepitasi ketika sendi digerakkan. Selain itu dilakukan juga

penilaian Range of Movement (ROM). Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan

akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara

15
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti

pembuluh darah dan saraf.

3 Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan

motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau

neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat

menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan

patokan untuk pengobatan selanjutnya.

4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi

fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka

sebaliknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi

sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis. Syarat pemeriksaan radiologis

yang dilakukan adalah:1

Two view: Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar X tunggal,

dan sekurang-kurangnya harus dilakukan dua sudut pandang (antero posterior dan

lateral)

Two Joint: Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur dan

angulasi. Tetapi, angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga

patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi di atas dan di bawah fraktur

keduanya harus disertakan pada foto sinar-X.

Two limbs: Pada sinar X tulang anak-anak, epifisis yang normal dapat mengacaukan

diagnosis fraktur, foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.

16
Two injuries: Kekuatan yang hebat sering sering menyebabkan cedera pada lebih dari

satu tingkat. Karena itu, bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur, perlu juga diambil

foto sinar-X pada pelvis dan tulang belakang.

Two occasions: Segera setelah cedera, suatu fraktur (misalnya pada skafoid karpal)

mungkin sulit dilihat. Kalau ragu-ragu, sebagai akibat reposisi tulang, pemeriksaan

lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan diagnosis.

2.9 Tatalaksana4,7

1. Tatalaksana Umum

Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada suatu fraktur, maka diperlukan

tatalaksana kondisi umum pasien. Berdasarkan protokol ATLS, prinsip penanganan

trauma dibagi menjadi tiga, yaitu:5

1. Primary survey: penilaian cepat dan tatalaksana cedera yang mengancam nyawa.

Tahap ini terdiri dari Airway dengan proteksi vertebra servikal, Breathing,

Circulation dengan kontrol perdarahan, Disability dan status neurologis, serta

Exposure (paparan) dan Environment (lingkungan).

2. Secondary survey: evaluasi detail dari kepala hingga ke jari kaki untuk

mengidentifikasi cedera lainnya. Tahap ini terdiri dari: anamnesis, pemeriksaan

fisik, selang dan jari pada setiap lubang, pemeriksaan neurologis, uji diagnostik

lebih jauh, dan evaluasi ulang.

3. Tatalaksana definitf: tatalaksana khusus dari cedera yang telah diidentifikasi

Pada fraktur, tujuan utama terapi adalah mempertahankan fungsi dengan

komplikasi minimal. Prinsip penanganan fraktur ada empat, yaitu rekognisi, reduksi,

retensi, dan rehabilitasi.9

1. Rekognisi, yaitu mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan radiologis. Perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk

17
fraktur, menentukan teknik pengobatan yang sesuai, komplikasi yang mungkin

terjadi selama dan sesudah pengobatan.

2. Reduksi, yaitu tindakan mengembalikan posisi fraktur seoptimal mungkin ke

keadaan semula, dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal,

mencegah komplikasi seperti kekakuan dan deformitas.

Reduksi dapat dilakukan secara tertutup atau terbuka. Terdapat dua

komponen pada reduksi, yaitu memindahkan fragmen dan menilai apakah

posisi yang diinginkan telah tercapai. Seringkali setelah fraktur direduksi perlu

distabilisasi selama masa penyembuhan berlangsung. Terdapat beberapa

metode untuk stabilisasi, yaitu penggunaan gips, spalk, traksi, plates and

screws, intramedullary nailing, atau fiksator eksternal.

3. Retensi, yaitu imobilisasi fraktur sehingga mempertahankan kondisi reduksi

selama penyembuhan.

4. Rehabilitasi, untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.

Adapun untuk fraktur tibia, pada fraktur yang stabil, casting/gips merupakan

pilihan utama paling aman dan murah. Full leg cast merupakan cast untuk kasus fraktur tibia.

Bila resiko sindrom kompartemen telah disingkirkan, cast dapat ditutup. Setelah empat

minggu, cast dapat diganti dengan cast yang telah dibentuk, yang mampu menopang tendon

patella, dan dipasang dibawah lutut.

Tindakan operasi pada fraktur tibia sering diindikasikan pada kasus fraktur yang

tidak stabil atau pada pasien yang juga memiliki trauma di tempat lain. Tindakan yang paling

sering dilakukan adalah intermedullary nailing. Pada fraktur yang berada di proksimal,

dekat metafisis, pemasangan plate paling sering dilakukan untuk menghindari seringnya

terjadi malunion. Eksternal fiksasi juga merupakan pilihan yang tepat untuk kebayakan

kasus fraktur tibia.

18
2.10 Komplikasi

2.10.1 Dini

a. Infeksi

Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa

internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena

luka yang tidak steril. Sehingga debridemen harus dilakukan sebelum luka

ditutup.

b. Cedera vaskular

Fraktur ½ bagian proksimal tibia dapat merusak arteri popliteus, dan

dapat menimbulkan kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi

suplai darah akibat avaskuler nekrosis.

c. Sindroma kompartemen

Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi

penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement

osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan

interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti

dengan kematian jaringan. Dengan gejala pain, paresthesia, pallor,

pulselessness.

Fraktur 1/3 proksimal cendrung menyebabkan perdarahan dan

perluasan jaringan lunak dalam kompartemen fasial kaki, sehingga

menyebabkan iskemia otot. Gips yang terlalu ketat pada kaki juga dapat

menyebabkan kompartemen sindrom. Biasanya diterapi seperti fraktur

19
terbuka tingkat III yang memerlukan fiksator luar dan penundaan penutupan

luka.

2.9.2 Lanjut

a. Delayed union

Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi

penyambungan tulang tetapi terhambat yang disebabkan oleh adanya

infeksi dan tidak tercukupinya peredaran darah ke fragmen.

b. Non union

Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu

setelah 5 bulan mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan

umum dan pergerakan pada tempat fraktur.

c. Mal union

Terjadi penyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak

benar seperti adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan.

d. Trauma saraf terutama pada nervus peroneal komunis.

e. Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki.

Gangguan ini biasanya disebakan karena adanya adhesi pada

otot-otot tungkai bawah.

20
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. R

Umur : 8 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Siswa

Alamat : Batusangkar, Sumatera Barat

Tanggal MRS : 8 Januari 2017

RM : 20 19 30

3.2 Anamnesa

Keluhan Utama

Post Trauma KLL ½ Jam Sebelum masuk Rumah Sakit

Primary Survey

Airway : Clear, stridor (-), gurgling (-)

Breathing : Spontan, gerakan dada simetris kiri dan kanan, RR 24x/menit

Circulation : Akral hangat, tekanan darah 110/60 mmHg, Nadi 108x/menit

Disability : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor, diameter isokor, reflek

cahaya +/+

Riwayat Penyakit Sekarang

- Post trauma KLL ½ Jam Sebelum masuk Rumah Sakit

- Pasien merasakan kaki kanan nyeri dan bengkak. Luka pada jempol kaki kanan.

Tidak ada luka pada bagian anggota tubuh yang lain.

21
- Nyeri dan luka di tungkai bawah dan kaki kanan post kecelakaan lalu lintas sejak ½

jam SMRS. Sebelumnya pasien sedang menyeberang jalan kemudian ditabrak oleh sepeda

motor dari arah samping yang mengenai kaki kanan pasien, kemudian pasien jatuh di aspal

jalan. Mekanise detail trauma tidak jelas.

Pasien mengaku tungkai kanan bawah membengkak dan terasa sangat nyeri juga semakin

nyeri jika digerakkan

- Mual (-), muntah (-), kejang (-)

- Keluar darah dari telinga (-), hidung (-), mulut (-)

- Nyeri kepala bagian belakang (-) menurun

- VAS : 0

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat patah tulang sebelumnya tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)

TekananDarah :140/100 mmHg

Nadi : 108 kali/menit

Nafas : 24 kali/menit

Suhu : Afebris

22
Status Internus

Rambut : Hitam, , tidak mudah rontok

Kulit : Turgor kulit baik, warana putih

Kepala : Inspeksi: hematom (-), VL (-)

Palpasi: fraktur depress (-)

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : Tidak ada perdarahan, tidak ditemukan kelainan

Hidung : Tidak ada perdarahan, Tidak ditemukan kelainan

Tenggorokan : Tidak hiperemis

Gigi dan mulut : Tidak ditemukan kelainan

Leher : Tidak ditemukan kelainan

Dinding dada : Tidak ditemukan kelainan

Paru :

 Inspeksi : Simetris, kiri = kanan, jejas (-)

 Palpasi : Fremitus kiri = kanan

 Perkusi : Sonor

 Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung :

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari LMCS sinistra RIC V

 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

 Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, murmur (-), Gallop (-)

Regio Abdomen :

 Inspeksi : Distensi (-), DC (-), DS (-) Jejas (-)

 Palpasi : Muscle rigid (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas(-)

23
 Perkusi : Timpani

 Auskultasi : Bising usus (+) N

Status Lokalis (Kruris Dextra)

Look :

 Deformitas (+)

 VL (-)

Feel :

 Nyeri tekan (+), Krepitasi (+), NVD (sensorik dan motorik baik, refilling kapiler <

2”)

 Sensibilitas baik, pulsasi arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis pedis teraba

Movement :

 Pergerakan terbatas pada kaki yang sakit.

 Pergerakan jari- jari kaki (+)

3.4 Diagnosis Kerja

fraktur tibia fibula dextra 1/3 tengah tertutup

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Hb : 12,9 gr%

Leukosit : 8.400/mm3

Trombosit : 291.000/mm3

Hematokrit : 39.1%

GDS : 102 mg/dl

24
Pemeriksaan Radiologi

- Rontgen kruris dextra

AP/L

Kesan: fraktur tibia fibula dextra 1/3 tengah

3.6 Diagnosis Akhir

Fraktur tibia fibula dextra 1/3 tengah tertutup

25
3.7 Tatalaksana

- IVFD RL 20 tpm

- Cefotaxime 2x1 gr iv

- Tetagam 1 amp im

- Ketorolac 2x1 iv

- Rawat inap

Rencana terapi:

- Reposisi

- Pasang GIPS

26
BAB 4

DISKUSI

Seorang perempuan usia 8 tahun datang dengan keluhan nyeri dan luka di tungkai

bawah dan kaki kanan post kecelakaan lalu lintas sejak ½ jam SMRS. Sebelumnya pasien

sedang berjalan menyeberangi jalan, kemudian pasies ditabrak oleh sepeda motor dari arah

samping, kemudian pasien terjatuh di aspal jalan. Pasien mengaku tungkai kanan bawah

membengkak dan terasa sangat nyeri juga semakin nyeri jika digerakkan. Pasien dalam

kondisi sadar saat terjatuh, tidak ada mual muntah setelah kejadian. Tidak ada darah keluar

darah dari hidung, telinga. Terdapat luka lecet di jari jempol kaki kanan. Tidak ada trauma

ditempat lain.

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan GCS 15 dimana pasien dapat membuka mata

spontan (E4), dapat menggerakkan extremitas yang tidak sakit sesuai perintah (M6), dan

berbicara normal (V5). Ditemukan nyeri tekan pada tungkai kanan bawah, deformitas (+),

nyeri tekan (+), sensibilitas baik, pulsasi arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis pedis

teraba, CRT <2 detik, akral hangat, pergerakan aktif dan pasif terbatas karena nyeri,

pergerakan sendi jari-jari (+). Dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium darah dengan

kesan normal. Kemudian dilakukan pemeriksaan rontgen dengan hasil tampak diskontinuitas

tulang pada 1/3 medial tibia fibula dextra tertutup dengan garis fraktur oblique displaced

pada tibia dan transversal displaced pada fibula.

Trauma pada tulang terjadi saat tekanan eksternal lebih besar dari yang diserap tulang

sehingga terjadi kerusakan atau terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur tertutup disebabkan

oleh energi tinggi trauma, paling sering dari pukulan langsung, seperti dari jatuh atau

tabrakan kendaraan bermotor, sehingga diskontinuitas tulang terjadi.

27
Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan

fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan

fraktur tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3 bagian tengah dan 1/3

bagian distal.

Pada pasien terjadi hematom yang menyebabkan dilatasi kapiler otot, sehingga

tekanan kapiler meningkat, terjadi eksudasi plasma dan infiltrasisel darah putih. Dilatasi

kapiler plasma menyebabkan histamin terstimulasi, protein plasma hilang dan masuk ke

interstisial. Hal ini menyebabkan timbulnya swelling.

Pasien didiagnosa fraktur tibia fibula dextra tertutup. Saat pasien tiba di IGD

dilakukan primary survey untuk menilai keadaan pasien, dilakukan pembersihan luka dan

imobilisasi untuk mengurangi nyeri, dan dipasang cairan infus RL. Obat-obatan yang

diberikan adalah cefotaxime sebagai antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada pada

luka, ketorolac untuk mengurangi nyeri, dan tetagam untuk mencegah tetanus . Untuk luka

dilakukan penutuupan luka.

Pasien dirawat dibangsal bedah untuk direncanakan tindakan reposisi dan

pemasangan GIPS. Tindakan pemasangan GIPS penting untuk menstabilkan patah tulang

sesegera mungkin untuk membantu proses perbaikan pada tulang yang patah. Metode ini

memerlukan operasi. Selama operasi, fragmen tulang yang patah direposisi ke posisi normal.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley AG, Solomon Luis. Apley’s System of Orthopaedics and fracture.7th Edition.

Jakarta: Widya Medika.

2. Bailey and Love’s short practice of surgery 26th edition. CRC Press 2013.

3. Thomas M. S., Jason H.C. Open Fractures. Mescape Reference (update 2012, May

21). Available from http://emedicine.medscape.com/article/1269242-

overview#aw2aab6b3. Accessed January 30, 2013.

4. Jonathan C. Open Fracture. Orthopedics (update 2012, May 27). Available from

http://orthopedics.about.com/cs/ brokenbones/g/openfracture.htm. Accessed January

30, 2013.

5. American Academy of Orthopaedics Surgeons. 2011. Open Fractures. Available

from http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00582.

6. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown C, et al., eds. Rockwood and Green.

Fractures in adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.

2081-93.

7. Jon C. Thompson. Netter’s concise orthopaedic anatomy. 2nd edition. Philadelphia:

Saunders; 2010. p. 293-4.

8. Sugiarso. Pola Kuman Penderita Fraktur Terbuka. Universitas Sumatera Utara. 2010.

Available from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27630/6/Cover.pdf.

Accessed January 30, 2013.

9. Rasjad C.Trauma. Dalam pengantar Ilmu Bedah Ortopedi – Edisi 2. Makassar :

Bintang Lamumpatue, 2003.hal370-1;455-62

10. Sjamsuhidajat dan Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 2. Jakarta: EGC. 2004

29
11. Patel M. Open Tibia Fractures Treatment & Management. Mescape Reference

(update 2015, Dec 21). Available from http://emedicine.medscape.com/ Accessed

February 12, 2017.

12. Norvell JG. Tibia and Fibula Fracture in The ED. Mescape Reference (update 2016,

Sep 09). Available from http://emedicine.medscape.com/ Accessed February 12,

2017.

13. Thompson JC. Netter’s Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy. USA. Elsevier. 2002

14. William NS, Bulstrode CJK, O’Connel PR. Extremity trauma. Bailey and love: Short

Practice Surgery 25 th ed. 2008. London: Edward Arnold.

15. Gosling T and Giannoudis P. Skeletal Trauma: Basic Science, Management, and

Reconstruction. Clinical Key. 2015.

30

Anda mungkin juga menyukai