Anda di halaman 1dari 47

Selasa, 06 Januari 2009

MENJAWAB FITNAH ATAS MUHAMMAD & ISLAM


Lanjutan dari HUKUMAN MATI BAGI PENCACI MAKI MUHAMMAD

PASAL KEDUA:

Dalil dari as-Sunnah Tentang Kafirnya Seorang Muslim Karena Mencaci Maki Nabi dan
Kewajiban Membunuhnya Meskipun Telah Bertaubat

Dalil Pertama:
Yaitu kisah Ibnu Abi Sarh. Sebuah kisah yang juga telah disepakati oleh para ulama dan
telah masyhur di kalangan mereka, tidak hanya diriwayatkan oleh perorangan saja. Hadits
ini lebih mantap dan kuat daripada riwayat yang disampaikan oleh satu orang saja yang
adil. Kami akan sebutkan di sini dengan memberi syarahnya agar dalil petunjuknya bisa
terlihat secara jelas, di antaranya:

Dari Mush'ab bin Sa'ad, dari Sa'ad bin Abi Waqqash yang berkata:
"Ketika terjadi peristiwa Fathu Makkah, Abdullah bin Sa'ad bin Abu Sarh bersembunyi di
rumah Utsman bin Affan. Lalu, Utsman menyeretnya hingga memberdirikannya di hadapan
Nabi . Utsman berkata, "Wahai Rasulullah, bai'atiah Abdullah!" Kemudian beliau
mengangkat kepalanya dan memandang kepadanya tiga kali. Semuanya menunjukkan
keengganan beliau untuk membai'atnya. Setelah pandangan yang ketiga itu, barulah beliau
mau membai'atnya. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabatnya dan berkata,
"Tidakkah ada di antara kalian seorang yang bijaksana (rasyiid) yang berdiri kepada orang
ini, sehingga jika dia melihatku, maka kugenggam tanganku dari memba'iatnya, lalu
kubunuh dia." Telah disebutkan oleh Ibnu Hajardi dalam Fathul Ban, (11/9); di-takhrij oleh
al-Hakim di dalam al-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (3/45); di-
takhrij oleh an-Nasa'i dalam kitab pembahasan tentang pengharaman darah, bab: hukum
berkaitan dengan seorang yang murtad, (7/106); dt-takhrij oleh Abu Daud dalam kitab
pembahasan tentang jihad, hadits no. 2683; Adapun isnad hadits ini adalah hasan.

Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak tahu apa yang terbersit dalam
benakmu. Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami dengan matamu?!" Beliau
bersabda, "Sesungguhnya tidak seyogianya bagi seorang Nabi untuk mempunyai mata yang
khianat." Hadits riwayat Abu Daud dengan isnad yang shahih

Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa'ad, Ibnu Ishaq pemah berkata, "Sebagian
ulama kami telah berkata kepadaku bahwa Ibnu Abi Sarh telah kembali ke Quraisy, lalu dia
berkata, 'Demi Allah, kalau aku menghendaki, niscaya aku akan mengatakan seperti apa
yang dikatakan oleh Muhammad, dan menyampaikan sesuatu yang seperti dibawanya.
Sungguh, dia mengatakan sesuatu, dan aku membelokkannya kepada sesuatu yang lain,
lalu dia (Nabi ) berkata, 'Kamu benar.'" Dalam hal ini, Allah telah menurunkan ayat, "Dan
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau
yang berkata, "Telah diwahyukan kepada saya," padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun
kepadanya," (al-An'am: 93). Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan untuk
membunuhnya.

Dalil petunjuk dari kisah Ibnu Abi Sarh adalah bahwa Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh telah
mengada-ada atas nama Nabi yaitu bahwa dia telah menyempurnakan wahyu Nabi dan
menulis untuk beliau sesuatu yang dikehendakinya, lalu Nabi menyepakatinya. Juga,
bahwa dia membiaskan wahyu itu sesuka hatinya dan merubah perintah Nabi yang
bersumber dari wahyu itu, lalu Nabi menyetujui tindakannya itu. Dia juga mengaku bahwa
tulisannya itu akan turun seperti apa yang telah diturunkan oleh Allah , mengingat dalam
pengakuannya itu, Allah telah memberi wahyu kepadanya seperti Dia telah memberi
wahyu kepada Nabi . Penghinaan semacam ini sudah lebih dari sekadar kufur dan keluar
dari agama, dia termasuk salah satu bentuk caci makian.

Ketika Nabi sudah mampu untuk mengadili Ibnu Abi Sarh, maka beliau pun langsung
menghalalkan darah Ibnu Abi Sarh manakala terbukti dia telah berani mencerca kenabian
dan membuat kebohongan terhadapnya, meskipun sebenamya beliau telah menjamin
keselamatan bagi seluruh penduduk kota Makkah yang pemah memerangi dan
memusuhinya dengan sekuat tenaga, dan meskipun sunnah beliau menyatakan bahwa
orang yang murtad itu tidak boleh dibunuh sebelum terlebih dulu diminta untuk bertaubat
(istitab), baik secara wajib ataupun sunnah. Hal ini sebagai dalil bahwa dosanya orang
yang mencaci maki Nabi itu lebih besar daripada dosanya orang yang murtad.Adapun
penghalalan darah Ibnu Abi Sarh oleh Nabi setelah dia bertaubat dan masuk Islam, dan
juga sabda beliau, "Tidakkah kalian membunuhnya," lalu pengampunan beliau setelah itu
terhadapnya, adalah sebagai dalil bahwa Nabi sebelumnya berhak untuk membunuhnya,
lalu beliau memaafkan kesalahannya, dan melindungi keselamatannya. Hal itu juga
sebagai dalil bahwa beliau berhak untuk membunuh orang yang telah mencaci makinya,
meskipun sebenamya orang itu telah bertaubat dan kembali kepada agama Islam.
Sunatullah untuk menolong Nabi-Nya terhadap orang-orang yang telah memfitnah beliau,
jika memang belum ditegakkan sanksi (had) terhadap orang tersebut.

Begitu pula, tidak ada penulis lain yang mencoba memfitnah Nabi seperti hinaan rekaan
ini, selain bahwa Allah pasti akan membuka aibnya dan mengazabnya dengan siksaan yang
tidak lazim bagi setiap orang yang telah berbuat fitnah seperti itu. Hal itu, mengingat
tindakan semacam ini akan menimbulkan di dalam hati yang sakit suatu keragu-raguan,
yaitu dengan mengucapkan, "Penulisnya adalah orang yang paling tahu mengenai batinnya
dan esensi permasalahannya. Sungguh, dia telah memberitakan darinya apa yang telah
beliau beritakan." Maka, di antara pertolongan Allah terhadap Rasul-Nya, adalah Dia
menampakkan dalam diri Rasul-Nya suatu tanda yang karenanya terbuktilah bahwa orang
tersebut melakukan kedustaan.

Imam al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Anas bin Malik yang
berkata, "Pemah ada seorang lelaki Nasrani, dia masuk Islam dan membaca surat al-
Baqarah dan Ali Imran. Dia pemah menulis surat kepada Nabi , lalu dia menjadi Nasrani
kembali. Dia pernah berkata, "Muhammad tidak akan tahu, kecuali apa yang telah aku tulis
untuknya." Kemudian, Allah mematikannya dan orang-orang pun menguburnya. Namun,
temyata bumi memuntahkannya. Lalu mereka berkata, "Ini adalah ulah Muhammad dan
para sahabatnya. Galilah lobang untuk sahabat kami, lalu lemparkan dia ke dalamnya."
Kemudian, mereka menggali tanah sebisanya. Namun, tanah itu tetap memuntahkannya.
Seketika mereka mengetahui, bahwa dia bukanlah manusia, maka mereka pun
membuangnya.

Imam Muslim juga telah meriwayatkan hadits ini dari Sulaiman bin Mughirah, dari Tsabit,
dari Anas yang berkata, "Pemah di antara kita ada seorang lelaki dari Bani Najjar yang
membaca surat al-Baqarah dan AH Imran. Dia pemah menulis surat kepada Nabi ,lalu dia
pergi kabur hingga bertemu dengan kaum Ahlu Kitab. Anas berkata, "Kemudian mereka
menyanjungnya. Mereka berkata, 'Ini adalah orang yang pernah menulis surat kepada
Muhammad .Maka, mereka pun merasa heran kepadanya. Tidak begitu lama, Allah
mematikannya. Lalu, mereka menggali kubur untuknya dan menguburkannya. Namun,
ternyata tanah tersebut memuntahkannya ke atas permukaannya, sehingga mereka pun
membiar-kannya dalam keadaan tergeletak begitu saja. Lihat Fathul Bari, dalam kitab
pembahasan sifat-sifat terpuji (AI-Manaaqib) 7/722, hadits no. 3617; Muslim dalam kitab
pembahasan tentang sifat-sifat kaum munafik (4/2145).

Orang terlaknat yang telah mengada-ada terhadap Nabi ini, yaitu dia mengaku bahwa Nabi
tidak mengetahui selain apa yang telah dia tulis untuknya, dia telah dibinasakan oleh Allah
dan dibuka aibnya dengan cara dimuntahkan dari liang kubur setelah berulang-ulang kali
diupayakan untuk dikubur. Ini adalah suatu hal yang tidak lazim yang menunjukkan kepada
setiap orang bahwa hal ini sebagai hukuman (sanksi) atas apa yang telah dia ucapkan, dan
bahwa dia telah berkata bohong. Hal itu, mengingat umumnya orang-orang yang mati
tidak ada yang mengalami nasib seperti ini.

Di samping bahwa tindakannya ini lebih berat daripada sekadar keluar dari agama atau
murtad. Karena, kebanyakan orang-orang yang murtad itu meninggal dan mereka tidak
mengalami nasib semacam ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa Allah akan membalaskan
untuk Rasul-Nya atas orang-orang yang telah mencerca dan mencaci makinya, juga akan
memenangkan agamanya dan memperlihatkan kebohongan para pendusta, mengingat
adanya kemustahilan bagi orang-orang untuk menjatuhkan hukuman (had) terhadapnya.

Dan, kisah yang semisal dari kisah ini adalah apa yang telah dituturkan kepada kami oleh
sejumlah kaum Muslimin yang adil, yang ahli di bidang fiqih dan sekaligus orang-orang
yang berpengalaman atas berbagai percobaan yang telah mereka lakukan berulang-ulang
kali sewaktu mengepung beberapa benteng dan kota yang berada di perbatasan negeri
Syam, yaitu ketika kaum Muslimin mengepung Bani al-Ashfar pada zaman kami
(maksudnya: masa Ibnu Taimiyah).

Mereka berkata, "Kami pemah mengepung benteng (atau kota) selama satu bulan atau
lebih. Namun, benteng tersebut menjadi penghalang masuk bagi kami hingga kami merasa
frustasi. Namun, pada saat itu penduduk kota tersebut mencaci maki Rasulullah dan
merusak kehormatan beliau. Lalu, kami pun dapat melobangi benteng tersebut dengan
mudah. Tidak butuh waktu lama selain hanya jangka sehari, dua hari, atau kira-kira sekian
waktunya. Kemudian tempat itu pun dibuka secara paksa, dan selanjutnya terjadilah
prahara yang sangat besar di tengah-tengah mereka. Menurut penuturan mereka, "Hingga
di mana pun kami berada, kami dengan segera dapat membuka benteng tersebut, ketika
kami mendengar mereka mencaci maki (Nabi ) dengan hati penuh amarah kepada mereka
atas apa yang telah mereka katakan terhadap Nabi."

Dalil Kedua:
Yaitu Kisah Ibnu Khathal. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim telah disebutkan
hadits az-Zuhri dari Anas bin Malik : "Bahwa Nabi masuk Makkah pada tahun Fathu Makkah,
sementara beliau mengenakan topi besi. Ketika beliau melepasnya, maka datanglah
seorang lelaki dan berkata, "Ibnu Khathal bergantung pada penutup Ka'bah. Lalu beliau
berkata, 'Bunuhtah dia.'". Lihat kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang balasan
dari berburu (jazaa ash-shaid) (4/70, 71; hadits no. 1846).. Di-takhrij pula oleh Baihaqi di
dalam kitab as-Sunan dalam kitab pembahasan tentang orang yang murtad (8/205).

Ini berdasarkan riwayat yang masyhur (beredar) di antara kalangan ulama, dan mereka
telah bersepakat bahwa Rasulullah menghalalkan darah Ibnu Khathal pada waktu Fathu
Makkah dikarenakan dia telah membunuh orang, dan diapun dibunuh. Al-Waqidi telah
menuturkan bahwa Ibnu Khathal datang dari ketinggian dataran Makkah sambil
mengenakan baju besi, lalu dia keluar hingga sampai di Khandamah. Tiba-tiba dia melihat
tentara kaum Muslimin dan melihat bau peperangan. Dia pun langsung diselimuti rasa
takut hingga badannya gemetar luar biasa. Setibanya dia di Ka'bah, dia langsung turun dari
kudanya dan melemparkan senjatanya, lalu lari menuju Ka'bah dan masuk di antara
penutup-penutup Ka'bah.

Sungguh, kejahatan Ibnu Khathal adalah bahwa Rasulullah telah menyuruhnya untuk
membagi-bagikan sedekah dengan ditemani seseorang yang membantunya. Suatu ketika,
dia marah terhadap temannya itu karena tidak dibuatkan makanan yang dimintanya.
Akibatnya, dia pun tega membunuhnya. Namun, dia takut akan dibunuh pula. Maka, dia
pun keluar dari agama Islam (murtad) dan menggiring/memboyong unta sedekah. Selain
itu, dia juga melantunkan syair yang berisi cercaan terhadap Rasulullah dan bahkan dia
menyuruh kedua budak wanitanya agar menyanyikan syair itu.

Dengan demikian, dia telah melakukan tiga kejahatan sekaligus yang bisa menghalalkan
darahnya, yaitu: membunuh nyawa manusia, murtad, dan mencerca Nabi. Ibnu Musayyib
mengisahkan bahwa Abu Barzah telah mendatanginya, sementara Ibnu Khathal dalam
keadaan bergantung pada penutup-penutup Ka'bah, lalu dia pun segera membelah
perutnya. Begitu pula, al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Barzah yang berkata, "Telah turun
berkaitan dengan diriku ayat ini, "Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah),
dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini, (al-Balad: 1-2)." Aku telah
mengeluarkan Abdullah bin Khathal dan dia saat itu sedang bergantung pada penutup-
penutup Ka'bah. Seketika, aku langsung menebas lehemya, yaitu tepatnya berada di
antara rukun dan maqam di Ka'bah.
Dalil petunjuk dari kisah Ibnu Khathal, bahwa bagi orang yang berhujah dengan kisahnya
Ibnu Khathal ini akan mengatakan, bahwa dia tidak dibunuh karena telah melakukan
pembunuhan terhadap nyawa orang lain. Sebab, kebanyakan yang wajib dilakukan
terhadap seorang yang telah membunuh lalu keluar dari agama (atau murtad), dia akan
dibunuh dengan cara digantung (qisas). Sedangkan orang yang mati karena dibunuh itu
mempunyai wali. Maka hukumnya, jikalau dia dibunuh dengan cara digantung, dia terlebih
dulu diserahkan kepada wali dari orang yang dibunuh, lalu mereka bisa saja
membunuhnya, memaafkannya atau hanya menuntut diyat (denda) saja. Begitu pula, dia
tidak dibunuh karena kemurtadannya. Sebab, orang yang murtad sebelum dibunuh terlebih
dulu diminta untuk bertaubat atau yang disebut dengan "proses istitabah". Jika dia telah
dimintai hal tersebut barulah diputuskan perkaranya. Sedangkan Ibnu Khathal, dia lari
menuju Ka'bah, berlindung di dalamnya, mencari keselamatan, menghindari peperangan
dan membuang pedangnya hingga dilihat duduk masalahnya.

Sementara itu, Nabi setelah mengetahui semua duduk perkaranya, langsung menyuruh
untuk membunuhnya. Dan, bukanlah hal ini sebagai sunnah Nabi terhadap orang yang
dibunuh karena kemurtadannya. Dengan demikian, tampak nyatalah bahwa pemberatan
dalam perintah untuk membunuh Ibnu Khathal ini lebih disebabkan dia telah mencaci dan
mencerca Nabi , dan bahwa orang yang mencaci Nabi itu, sekalipun dia telah murtad,
namun dia tidak diposisikan sebagai orang yang murtad. Dia akan dibunuh tanpa melalui
proses istitabah terlebih dulu, selain bahwa pembunuhannya itu tidak perlu ditunda-tunda.
Hal itu juga sebagai legalisasi tentang bolehnya membunuh orang ini setelah dia
bertaubat.

Beberapa ulama fiqih telah menjadikan kisah Ibnu Khathal ini sebagai dalil, yaitu bahwa
kaum Muslimin yang mencaci maki Nabi juga harus dibunuh, meskipun dia sungguh-sungguh
beragama Islam. Pendapat mereka ini disangkal oleh pendapat lain yang mengatakan
bahwa Ibnu Khathal adalah seorang kafir harbi, dan dia dibunuh karena statusnya itu.
Namun, riwayat yang benar menurut kesepakatan para ulama sirah (sejarah) adalah dia
seorang yang murtad. Dan, pendapat ini diperkuat oleh riwayat yang menyebutkkan,
bahwa Nabi pada saat Fathu Makkah telah menjamin keamanan seluruh kalangan kafir
harbi, kecuali orang-orang yang melakukan kejahatan tertentu (khusus). Dan, Ibnu Khathal
termasuk orang yang dihalalkan darahnya oleh Nabi , dan bukan yang selainnya. Dengan
demikian, nyatalah bahwa Ibnu Khathal tidak dibunuh hanya semata-mata karena
kekufuran dan status kafir harbinya itu.

Dalil Ketiga:
Yaitu Perintah Nabi untuk membunuh orang yang telah membuat kebohongan terhadapnya
yang bisa mencoreng nama baiknya. Al-Baghawi telah meriwayatkan dari Abu Buraidah
dari bapaknya, bahwa Nabi pemah mendengar seorang lelaki yang berkata kepada suatu
kaum: "Sesungguhnya Nabi telah menyuruhku untuk memutuskan perkara kalian dengan
pendapatku, dan harta-harta kalian dcngan begini dan begini ...." Sungguh, lelaki ini telah
meminang seorang wanita dari mereka pada masa Jahiliyah, namun mereka menolak untuk
menikahkannya. Kemudian, lelaki ini pun bergegas pergi hingga tinggal serumah dengan
wanita itu. Lalu, kaum tersebut mengirim surat kepada Rasulullah dan seketika Rasulullah
pun menjawab, "Telah berdusta musuh Allah!"

Lalu Rasulullah mengutus seorang lelaki (utusan) dan berkata kepadanya, "Jika kamu
mendapatinya masih hidup, maka bunuhlah dia! Namun, jika kamu mendapatinya telah
mati, maka bakarlah dia" Utusan itu segera berangkat, dan ternyata dia mendapati lelaki
tersebut telah disengat (binatang berbisa) hingga mati. Lalu dia pun membakarnya dengan
api. Pada saat itulah, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membuat kebohongan atas
namaku dengan sengaja, maka dia mempersiapkan tempatnya di neraka. " Hadits ini telah
d\-takhrij oleh Ahmad di dalam Musnad-nya, (3/244); juga telah disebutkan oleh Ibnu
Hajar di dalam Fathul Ban, (1/37); dan telah d\-takhhj pula oleh al-Khathib al-Baghdadi di
dalam at-Tarikh, (3/155).

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin 'Adi di dalam kitabnya al-Kaamil dengan
isnadnya dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya yang berkata, pernah ada perkampungan dari
Bani Laits yang berjarak dua mil dari kota Madinah. Di sana, pemah ada seorang lelaki
yang berusaha melamar seorang wanita dari mereka pada masa Jahiliyah, namun mereka
tidak berkenan untuk menikahkannya. Lalu lelaki itu pun mendatangi mereka dengan
membawa perhiasan.

Dia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah memakaikan perhiasan ini kepadaku, dan
menyuruhku untuk menghukumi harta dan darah kalian." Setelah itu, dia bergegas pergi
dan tinggal serumah dengan wanita yang dia sukai itu. Kemudian kaum itu mengirim surat
kepada Rasulullah dan Rasulullah pun menjawab, "Telah berdusta musuh Allah." Kemudian,
Rasulullah mengutus seseorang dan berkata kepadanya, "Jika kamu mendapatinya masih
hidup dan aku tidak melihat kamu akan mendapatinya masih hidup, maka penggallah
lehernya. Namun, jika kamu mendapatinya telah mati, maka bakarlah mayatnya."
Dikatakan, demikianlah sabda Rasulullah , "Barangsiapa yang berbohong atas namaku
dengan sengaja, maka berarti dia mempersiapkan tempatnya di dalam neraka." Hadits ini
isnadnya shahih menurut syarat hadits dalam kitab ash-Shahih. Kami tidak mengetahui
cacatnya.

Abu Bakar bin Mardawaih telah meriwayatkan hadits dari Wazi', dari Abu Salamah, dari
Usamah yang berkata, Rasulullah telah bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan sesuatu
yang tidak pernah aku sabdakan, maka dia telah menyiapkan tempat untuk dirinya di
neraka." Telah di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (2/501); Isnad hadits ini
hasan, namun kedudukan haditsnya (atau matannya) shahih. Di dalam isnadnya, terdapat
Muhammad bin Ishaq, dan dia adalah seorang mudallis, dan telah membuat hadits
mu'an'an. Hanya saja, hadits ini mempunyai banyak riwayat. Dia merupakan hadits
mutawatir yang telah diriwayatkan oleh lebih dari tujuh puluh sahabat. Hal itu, karena
beliau telah mengutus seseorang untuk mendustakan lelaki ini. Lalu ternyata utusan itu
mendapatinya telah mati. Lelaki ini telah dibelah perutnya, dan tanah pun tidak mau
menerima jasadnya. Selain itu, juga terdapat riwayat lain, bahwa ada seorang lelaki yang
telah mendustakan beliau, lalu beliau mengutus Ali dan Zubair untuk membunuhnya.

Dalil petunjuknya: Berkenaan dengan hadits ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, mengambil yang zahir dari makna hadits, yaitu membunuh orang yang
sengaja berdusta atas nama Rasulullah . Di antara ulama yang berpendapat semacam ini,
ada yang berkata, orang ini menjadi kafir karena ulahnya itu. Sebagaimana dikatakan oleh
sekelompok ulama, di antaranya adalah Abu Ahmad al-Jauni sampai perkataan Ibnu 'Uqail
dari guru atau syaikhnya Abu al-'Uqail al-Hamadani, seorang yang berbuat bid'ah di dalam
Islam, berdusta, dan memalsukan hadits ini lebih parah daripada kaum atheis, mengingat
mereka bermaksud merusak agama dari luar, sedangkan orang-orang ini bermaksud
merusak agama dari dalam. Mereka seperti penghuni negeri yang berusaha merusak
suasana negeri tersebut, sedangkan kaum atheis seperti musuh yang datang mengepung
dari luar. Lalu, orang-orang yang menyusup ini pun membukakan pintu bentengnya, dan
mereka ini adalah musuh yang lebih jahat terhadap Islam daripada orang-orang yang tidak
berbaju Islam (kaum atheis) tersebut.

Alasan pendapat ini antara lain, adalah:

1. Bahwa berdusta atas nama Nabi sama saja dengan berdusta atas nama Allah .Dan,
barangsiapa yang sengaja berdusta atas nama Allah, maka dia adalah orang kafir.

2. Bahwa berdusta atas nama Nabi sama saja dengan mendustakannya. Padahal,
mendustakan Nabi berarti kekufuran sebaggaimana yang telah disepakati.
3. Bahwa berdusta dengan sengaja atas nama Nabi berarti menghina dan merendahkan
Nabi . Karena, orang yang berdusta atas nama orang yang semestinya diagungkannya,
berarti dia meremehkan dan merendahkan hak Nabi ; dan itu adalah suatu kekufuran.
4. Bahwa orang yang berdusta atas nama Nabi pasti mencela dan mencoreng nama baik
beliau dengan ulahnya tersebut, dan barangsiapa yang telah mencoreng nama baik Nabi ,
berarti dia telah menjadi kafir.

5. Ketahuilah, bahwa pendapat ini sangat kuat sekali seperti yang Anda lihat sendiri. Akan
tetapi, dia berusaha membedakan antara orang yang berdusta atas nama Nabi melalui
ucapan langsung dengan orang yang berdusta atas nama beliau melalui perantara, seperti
misalnya dia mengatakan, "Si fulan bin fulan telah mengatakan kepadaku begini." Maka,
orang semacam ini tidak lain telah berdusta dengan mengatasnamakan si fulan tadi dan
menyandarkan hadits itu kepadanya. Adapun bila dia mengatakan, "Hadits ini shahih," atau
terbukti dia mengatakan itu atas pengetahuannya bahwa dia telah berdusta, maka berarti
dia telah berdusta atas nama orang tersebut. Sedangkan jika dia mereka-reka dan
meriwayatkannya sebagai riwayat yang biasa atau wajar saja, maka dalam hal ini terdapat
catatan, terlebih lagi bahwa para sahabat itu orang-orang yang sangat adil. Wallahu A'lam.

Kebohongan jika berasal dari salah seorang yang berada di tengah-tengah mereka (para
sahabat), maka pastilah besar mudaratnya di dalam agama. Rasulullah di sini
menginginkan untuk membunuh orang yang telah berdusta atas nama beliau, dan juga
mempercepat proses hukumannya, agar hal itu bisa menjadi benteng/penjaga terhadap
masuknya atau menyusupnya — di tengah orang-orang adil (para sahabat) seseorang yang
bukan golongan mereka dari kalangan kaum munafik dan yang sejenisnya.

Adapun orang yang meriwayatkan hadits, sedangkan dia mengetahui bahwa dia telah
berdusta, maka tindakannya tersebut hukumnya haram. Sebagaimana terdapat riwayat
shahih dari Nabi , yang bersabda: "Barangs/apa yang telah meriwayatkan hadits dariku
sedangkan dia mengetahui bahwa dia telah berdusta, maka dia termasuk golongan
pendusta.". Di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (4/250, 584); dan telah di-
takhrij pula oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir (7/180); isnadnya shahih. Di-takhrij pula
oleh Muslim di muqaddimahnya Bab Wajibnya Meriwayatkan dari rawi yang tsiqah, juga
Ibnu Majah no. 39.

Akan tetapi dia tidak sampai menjadi kafir, kecuali bila dia menyertakan pada riwayatnya
itu motif lain yang bisa menyebabkannya menjadi kafir, karena di sini dia jujur ketika
mengatakan bahwa gurunya telah menyampai-kan hadits dusta itu. Namun, mengingat dia
tahu bahwa gurunya telah berdusta dalam hadits itu, maka riwayat itu pun menjadi tidak
halal baginya. Schingga, tindakannya di sini dianggap seperti melakukan kesaksian untuk
menetapkan hadits itu, atau menjadi semacam kesaksian atau transaksi Padahal, dia
mengetahui bahwa tindakan itu adalah batil. Sesungguhnya kesaksian semacam ini
hukumnya haram, akan tetapi dia tidak dinyatakan scbagai saksi palsu.

Atas dasar pendapat inilah, maka tentunya orang yang telah mencaci maki Nabi itu lebih
berhak untuk dibunuh daripada orang yang berdusta atas namanya. Karena, orang yang
berdusta atas namanya telah menambahkan di dalam agama sesuatu yang bukan termasuk
darinya, scdangkan si pencaci maki ini telah mencerca agama secara keseluruhan. Ketika
itu, Nabi menyuruh untuk membunuh orang yang telah berdusta atas namanya tanpa
melalui proses istitabah, maka tentunya orang yang mencaci maki beliau lebih sepatutnya
lagi diperlakukan seperti itu.

Pendapat kedua, orang yang berdusta atas nama Nabi itu diberatkan sanksi atau
hukumannya, akan tetapi dia tidak sampai menjadi kafir dan juga tidak boleh dibunuh,
karena faktor-faktor yang menyebabkan orang menjadi kafir dan dibunuh itu sangat jelas
(sudah diketahui), dan faktor-faktor tersebut tidak ada di sini. Sehingga, tidak
diperbolehkan menetapkan sesuatu yang tidak punya landasan. Barangsiapa yang
berpendapat semacam ini, maka dia harus mengikat pendapatnya itu dengan menyatakan
bahwa berbuat dusta atas nama Nabi itu tidak mengandung aib yang terlihat. Adapun bila
dia mengabarkan bahwa dia telah mendengar Nabi mengatakan sesuatu yang secara jelas
(eksplisit) menunjukkan kekurangan dan aib Nabi , semisal keringat kuda dan kebohongan-
kebohongan lainnya, maka berarti dia telah secara jelas menghina Nabi , dan tidak syak
lagi bahwa dia itu adalah seorang kafir yang halal darahnya. Orang yang berpendapat
semacam ini menjawab hadits di atas dengan mengatakan bahwa Nabi telah mengetahui
bahwa orang itu munafik, maka beliau pun membunuhnya karena kemunafikannya itu.

Jawaban ini tidaklah benar dikarenakan alasan-alasan berikut:

1. Karena tidak ada di antara sunnah Nabi bahwa beliau membunuh seseorang dari kaum
munafik yang kemunafikannya telah dikabarkan oleh sumber terpercaya atau diwahyukan
oleh al-Quran. Lalu bagaimana mungkin beliau membunuh seseorang hanya karena
mengetahui kemunafikannya semata? Kemudian beliau juga telah menyebutkan
sekelompok kaum munafik kepada Hudzaifah dan sahabat yang lainnya. Namun, beliau
tidak pernah membunuh seorang pun dari mereka. Selain itu, sebab yang tersebut dalam
hadits di atas adalah bahwa dia mendustakan hadits atas nama Nabi «|t dikarenakan suatu
tujuan, dan karenanya dia dihukum mati. Yaitu, karena orang tersebut berdusta hanya
untuk memperoleh kesenangan atau syahwatnya saja. Tindakan semacam ini kadang bisa
saja dilakukan oleh orang-orang fasik, sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang kafir.

2. Bisa jadi kemunafikan orang tersebut disebabkan oleh kebohongannya ini atau oleh
sebab lain yang sebelumnya. Jika ternyata kemunafikannya itu disebabkan oleh
kebohongannya ini, maka menjadi jelaslah bahwa melakukan kebohongan atas nama Nabi
itu adalah suatu kemunafikan, dan seorang yang munafik itu adalah kafir. Namun, jika
sifat munafik itu sudah ada pada dirinya sebelumnya, dan sifat munafik inilah yang
menuntut dia harus dibunuh, bukan faktor yang lainnya, maka pertanyaannya adalah:
Mengapa perintah untuk membunuhnya ditunda sampai dia melakukan kebohongan atas
nama Nabi ini? Dan, mengapa pula Allah tidak mengazabnya karena kemunafikannya itu
hingga pada akhimya dia melakukan kebohongan ini?

3. Sesungguhnya orang-orang telah menyampaikan ucapan orang tersebut kepada Nabi ,


lalu beliau pun berkata: "Telah berdusta musuh Allah." Kemudian beliau pun menyuruh
untuk membunuhnya jika dia ditemu-kan dalam keadaan masih hidup. Setelah itu, beliau
berkata, "Aku tidak mellhatmu akan menemukannya dalam keadaan hidup," karena beliau
mengetahui dosa orang tersebut menyebabkan hukuman atau siksanya dipercepat.

4. Jika Nabi menyuruh untuk membunuh atau menjatuhkan hukuman (sanksi) dan kaffarat
(tebusan) setelah dilakukannya suatu sifat atau perbuatan, maka pastilah ganjaran
(hukuman) itu ditimpakan kepada perbuatan tersebut. Perbuatan itulah yang menuntut
adanya ganjaran tersebut, bukan yang lainnya. Sebagaimana bahwa ketika seorang Arab
badui melakukan persetubuhan (jima') pada saat menunaikan puasa Ramadhan, maka Nabi
langsung menyuruhnya untuk membayar kaffarat (tebusan), dan ketika Ma'iz bersama
wanita al-Ghamidiyyah dan juga yang lainnya mengaku telah berbuat zina, maka Nabi pun
menyuruh untuk merajamnya. Yang demikian ini menurut sepenge-tahuan kami termasuk
hal-hal yang tidak diperselisihkan lagi di tengah banyak orang. Justeru mereka berselisih
pendapat tentang faktor yang menyebabkannya, apakah faktor itu adalah seluruh sifat-
sifat tersebut atau hanya sebagiannya saja, sedangkan sifat itu adalah bagian dari bentuk
perbaikan parameter atau yang disebut dengan tanqiih al-manaath. Adapun menjadikan
perbuatan itu tidak punya dampak dan sebaliknya menganggap yang menyebabkan
hukuman itu adalah faktor lain yang tidak tersebut di sini, maka secara pasti ini adalah
anggapan yang batil.

Akan tetapi, bisa saja dikatakan di sini pendapat yang lebih dekat atau tepat dari semua
ini, yaitu bahwa lelaki ini telah membuat kebohongan atas nama Nabi yang membuat nama
beliau tercemar. Karena, dia telah mengklaim bahwa Nabi telah mengangkatnya sebagai
hakim dalam urusan darah dan harta mereka, dan juga telah mengizinkannya untuk
menginap di rumah siapa saja yang dikehendakinya, padahal maksud dari semua itu adalah
agar dia bisa menginap di rumah wanita tersebut untuk melakukan perbuatan mesum
dengannya. Di samping bahwa mereka juga tidak akan mungkin mengingkarinya jika
memang dia benar-benar ditunjuk oleh Nabi sebagai hakim dalam urusan darah dan harta
mereka.

Sudah jelas, bahwa Nabi tidak mungkin menghalalkan sesuatu yang haram. Dan,
barangsiapa yang menuduh bahwa beliau telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan
dalam urusan darah, harta dan perkara-perkara yang keji, maka sungguh dia telah
mencoreng dan mencemarkan nama baik Nabi if. Begitu pula jika dia menyandarkan
kepada Nabi bahwa beliau memberi izin kepadanya untuk menginap di rumah seorang
wanita asing (bukan mahram) untuk berkhalwat dengannya, dan juga bahwa dia boleh
menghukumi dengan sekehendak hatinya di tengah-tengah kaum Muslimin, maka hal
semacam ini merupakan tindakan pencemaran dan pencorengan terhadap nama baik Nabi .
Atas dasar inilah Nabi menyuruh untuk membunuh orang yang mencela dan mencercanya
tanpa melalui proses istitabah, dan hal inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini.
Dengan demikian, menjadi nyatalah bahwa hadits di atas sebagai landasan untuk
membunuh seorang yang mencerca beliau tanpa melalui proses istitabah menurut salah
satu dari dua pendapat.

Pendapat kedua ini diperkuat lagi bahwasanya kaum tersebut jika memang terbukti bagi
mereka bahwa ucapan lelaki ini merupakan celaan dan cercaan kepada Nabi , niscaya
mereka langsung mengingkarinya. Dan, barangkali bisa dikatakan di sini, "Mereka ragu-
ragu terhadap lelaki ini," lalu mereka bersikap diam hingga mereka mengklarifikasikannya
terlebih dulu kepada Nabi , sewaktu terjadi pertentangan antara wajib menaati Rasulullah
dan betapa besar masalah yang dibawa oleh lelaki laknat ini. Dan, orang yang mendukung
pendapat yang pertama telah mengatakan, "Setiap kebohongan atas nama Nabi
mengandung cercaan terhadapnya." Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu.

Selain itu, lelaki ini tidak pemah menyebutkan dalam perkataannya itu bahwa dia
bermaksud mencerca dan menghina Nabi . Akan tetapi, dia hanya bermaksud untuk
memenuhi syahwatnya dengan membuat kebohongan atas nama Nabi . Dan hal ini
merupakan kebiasaan orang-orang yang dengan sengaja melakukan kebohongan atas nama
Nabi . Dia hanya bermaksud untuk memperoleh tujuannya semata, jika memang dia tidak
bermaksud untuk meremehkan Nabi. Tujuan-tujuan itu umumnya bisa berupa harta atau
kehormatan. Sebagaimana bahwa orang jahat jika dia tidak bermaksud sebatas
menyesatkan dia hanya bermaksud untuk memperoleh kepemimpinan agar dilaksanakan
perintah-nya dan dimuliakan, atau hanya bermaksud memperoleh keinginan-keinginan
atau syahwatnya yang kasat mata saja.

Ringkasnya, barangsiapa yang mengucapkan atau melakukan suatu kekufuran, maka dia
telah menjadi kafir karenanya, meskipun dia tidak pernah bermaksud untuk menjadi kafir,
mengingat tidak ada seorang pun yang bermaksud menjadi kafir kecuali yang telah
dikehendaki oleh Allah .

Dalil Keempat:
Yaitu dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan kekufuran orang yang telah menyakiti
Rasulullah , beserta syariat untuk membunuhnya.

Di antara hadits-hadits ini adalah sebagai berikut: Hadits tentang seorang badui yang
sewaktu Nabi memberinya justeru dia berkata kepada beliau: "Kamu tidak pernah berbuat
kebaikan." Sehingga, kaum Muslimin bermaksud untuk membunuhnya , lalu Nabi bersabda,
"Jika kalian membiarkan lelaki ini sewaktu mengucapkan apa yang diucapkannya itu, lalu
kalian membunuhnya, niscaya dia tetap masuk neraka." Hadits ini akan disebutkan dalam
materi hadits-hadits yang membahas tentang pengampunan Nabi terhadap orang-orang
yang telah menyakitinya.

Petunjuk dalilnya: Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyakiti Nabi jika dia
dibunuh, maka dia tetap masuk neraka. Hal itu sebagai dalil kekufurannya dan bolehnya
dia dibunuh. Karena jika tidak, maka dia justeru dinyatakan sebagai orang yang mati
syahid, sedang pembunuhnya termasuk penghuni neraka. Akan tetapi, Nabi telah
memaafkannya, lalu setelah itu orang itu pun memohon keridhaan beliau hingga beliau
pun ridha, mengingat sudah kebiasaan Nabi selalu memaafkan orang yang telah
menyakitinya, sebagaimana akan kita bahas nanti, insya Allah.

Hadits lainnya, adalah bahwa sewaktu Nabi membagi-bagikan harta rampasan perang
(ghanimah), ada seorang lelaki yang berkata kepada beliau: "Sungguh, ini pembagian yang
tidak semata-mata karena Allah ." Lalu Umar bin Khattab berkata, "Wahai Rasulullah,
biarkanlah aku membunuh orang munafik ini." Namun, Nabi bersabda, "Ma'aadzallah (aku
berlindung kepada Allah) bila orang-orang sampai berkata aku membunuh para
sahabatku.".Hadits ini telah di-takhrij oleh Imam Muslim, dalam kitab pembahasan Zakat
(2/740); juga telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Ban Syarh al-Bukhari,
(12/291); juga telah di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (3/244); dan
juga telah di-takhrij oleh ath-Thabarani di dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, (2/185).
Kemudian beliau mengabarkan bahwa akan muncul dari anak cucu orang itu nanti kaum
yang akan membaca al-Quran, namun bacaan itu tidak sampai melewati pangkal
tenggorokan mereka, lalu beliau menyebutkan hadits tentang kelompok Khawarij, (HR.
Muslim).

Dalil petunjuknya: Di sini, Nabi sebenamya tidak melarang Umar bin Khattab untuk
membunuh orang tersebut, jika bukan karena beliau khawatir orang-orang akan berkata,
"Muhammad membunuh para sahabat-nya." Beliau juga tidak melarang itu untuk dirinya
meskipun dia seorang yang ma'shum (terhindar dari dosa). Sebagaimana beliau telah
berkata di dalam hadits tentang kisah Hatib bin Abu Balta'ah, yaitu sewaktu Hatib
mengatakan, "Aku tidak melakukan itu karena kufur, juga bukan karena benci terhadap
agamaku, dan juga bukan karena ridha dengan kekufuran setelah masuk Islam." Ketika itu
Nabi ^ berkata, "Dia sungguh telah membenarkan (agama) kalian.". Hadits ini telah d\-
takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang tafsir, hadits no. 4608;
juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim di dalam kitab pembahasan tentang keutamaan,
(4/1941, 1942); dan juga telah d'htakhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya,
(1/80).

Lalu Umar berkata, "Biarkanlah aku memenggal leher orang munafik ini." Namun, Nabi
berkata, "Dia pernah ikut perang Badar. Tahukah kamu, bahwasanya Allah melihat kepada
sahabat yang ikut perang Badar dan Dia berfirman, "Berbuatlah sekehendakmu, sungguh
Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian." Di sini, Nabi menjelaskan bahwa Hatib tetap
dalam keimanannya dan bahwa dosa-dosa yang telah dilakukannya itu termasuk kategori
dosa-dosa yang akan diampuni. Dengan demikian, maka darah atau keselamatannya pun
harus dilindungi.

Di sini, beliau ber'illat (berargumen) dengan kerusakan yang telah hilang (tiada). Dari sini
jelaslah, bahwa membunuh orang yang mengucapkan perkataan semacam itu, jika tidak
berekses atau berbuntut timbulnya kerusakan setelah itu, hukumnya boleh-boleh saja.
Dan, begitu pula jika kerusakan ini tidak ada, maka Allah telah menurunkan firman-Nya,
"Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka," (at-Taubah: 73), setelah sebelumnya Dia berfirman kepada
Nabi , "Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu,
janganlah kamu hiraukan gangguan mereka," (Al-Ahzab: 48). Zaid bin Aslam mengatakan
bahwa ayat, "Ber-jihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik ...," (at-
Taubah: 73), itu me-nasakh (menghapus) ayat yang sebelumnya.

Di antara peristiwa yang serupa dengan kejadian ini adalah bahwa Abdullah bin Ubay
sewaktu berkata, "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madlnah, benar-benar orang
yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya," (al-Munafiqun: 8), dan
berkata, "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang
ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)," (al-Munafiqun: 7).
Maka, seketika itu Umar pun meminta izin untuk membunuhnya. Namun, Nabi malah
berkata, "Kalau demikian, banyak orang di Madinah nanti yang akan gemetar/lari
karenanya," dan beliau juga berkata, "Niscaya orang-orang akan berbicara bahwa
Muhammad membunuh para sahabatnya." Kisah ini sudah sangat masyhur dan disebutkan
dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Dalil petunjuknya: Bahwa orang yang telah menyakiti Nabi dengan melontarkan perkataan
semacam ini boleh dibunuh, dan hal itu jika bisa dilakukan. Namun, Nabi mengabaikan
untuk membunuh orang tersebut jika dikhawatirkan pembunuhannya itu justru
berimplikasi larinya banyak orang dari ajaran Islam sewaktu Islam masih dalam kondisi
lemah. Di antara hadits lainnya, adalah bahwa Nabi ketika bertanya, "Siapa yang mau
memahami uzurku terhadap seseorang yang telah menyakiti keluargaku?" Lalu Sa'ad bin
Mu'adz berkata, "Saya mau memahami uzurmu. Jika temyata dia berasal dari suku Aus,
maka pasti aku penggal lehemya." Kisah ini sangat masyhur.

Dalil petunjuknya: Ketika hal itu tidak dipungkiri atas beliau, maka beliau menyatakan
bahwa orang yang telah menyakiti dan mencela Nabi itu boleh dipenggal lehernya.
Perbedaan antara Ibnu Ubay dan orang-orang lainnya yang berbicara tentang Aisyah ,
adalah bahwa Ibnu Ubay sewaktu membicarakan Aisyah (atau menuduhnya berzina), itu
sebenarnya bermaksud untuk mencela Nabi , mencercanya, menimpakan aib kepadanya,
dan mengucapkan kata-kata yang berpretensi untuk mencorengnya. Oleh karena itu, para
sahabat pada saat itu berkata, "Kami akan membunuhnya." Berbeda dengan Hassan,
Misthah, dan Hamnah. Mereka sama sekali tidak bermaksud demikian, dan tidak pula
mengucapkan kata-kata yang berpretensi kepada hal-hal tersebut. Karena itulah, Nabi
meminta maaf untuk membunuh Ibnu Ubay dan tidak membunuh yang lainnya. Dan karena
itu pula, orang-orang ribut hingga hampir terjadi perang antara dua perkampungan.

Dalil Kelima:
Yaitu dalil dari as-Sunnah yang menunjukkan kekufuran orang yang telah mencerca
Rasulullah beserta syariat untuk membunuhnya.

Di antara hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini adalah sebagai berikut: Hadits
yang diriwayatkan dari asy-Sya'bi yang berkata: Ketika Rasulullah menaklukkan kota
Makkah, beliau meminta harta Uzza lalu menabur-kannya di hadapannya. Kemudian beliau
memanggil seseorang yang beliau sebut namanya, lalu memberikan kepadanya bagiannya.
Kemudian beliau memanggil Abu Sufyan bin Harb, lalu memberikan kepadanya bagiannya.
Kemudian beliau memanggil Sa'ad bin Harits, lalu memberikan kepadanya bagiannya.
Kemudian beliau memanggil sekumpulan orang-orang Quraisy, lalu beliau pun memberi
mereka. Beliau memberi seseorang sebutir emas seberat 50 mitsqal dan seberat 70 mitsqal
dan yang semisalnya. Lalu ada seorang lelaki berkata, "Sungguh, engkau sangat tahu
kemana engkau meletakkan biji emas!" Lalu lelaki kedua mengucapkan perkataan yang
sama, namun Nabi berpaling darinya. Lalu lelaki ketiga berkata: "Sungguh engkau
menghukumi, tapi aku tidak melihatmu berlaku adil." Beliau pun berkata, "Celakalah
kamu! Kalau begitu, tidak ada seorang pun yang adil setelahku." Kemudian Nabi
memanggil Abu Bakar dan berkata, "Pergilah dan bunuhlah dial" Lalu Abu Bakar pun pergi,
namun dia tidak menemukan lelaki tersebut. Lalu Nabi pun bersabda, "Sekiranya engkau
membunuhnya, aku berharap dia sebagai orang yang pertama dan yang terakhir dari
mereka."

Dalil petunjuknya: Hadits ini menetapkan untuk membunuh seseorang yang mencerca
Rasulullah tanpa melalui proses istifabah. Dan, ini bukanlah kisah pembagian harta
rampasan perang Hunain, dan juga bukan pembagian emas lantak (batangan) yang dibawa
Ali dari Yaman, melainkan kisah tentang pembagian harta Uzza yang terjadi sebelum
peristiwa-peristiwa tersebut. Penghancuran patung Uzza itu terjadi sebelum peristiwa
Fathu Makkah, tepatnya pada akhir bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah. Sementara
harta rampasan perang Hunain dibagi-bagikan setelahnya di suatu tempat yang bemama
Ji'ranah pada bulan Dzulqa'dah, dan pembagian emas yang dibawa Ali teijadi pada tahun
kesepeluh Hijriyah.

Hadits ini hukumnya mursal dan bersumber dari Majalid. Di dalam sanadnya terdapat rawi
yang lemah. Akan tetapi, ada riwayat lain yang bisa menguatkan maknanya, yaitu bahwa
Umar telah membunuh seorang lelaki yang tidak puas terhadap putusan Nabi , dan juga
rurun wahyu yang membenarkan tindakan tersebut. Dan, dosanya pun lebih ringan
daripada dosa ini.

Selain itu, disebutkan pula dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim riwayat dari Sa'id, dari
Nabi berkaitan dengan hadits orang yang mencela beliau dalam masalah pembagian emas
yang dibawa Ali dari Yaman, dan orang itu pun mengatakan, "Wahai Rasulullah, takutlah
kepada Allah ." Pada wakru itu, beliau pun bersabda: "Sesungguhnya akan muncul dari
anak cucu orang ini suatu kaum yang afcan membaca Kitab Allah dengan suara yang
merdu, namun bacaan itu tidak sampai ke pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar
dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuhi orang-orang
Islam dan meninggalkan para penyembah berhala. Jika aku sampai menemui mereka,
niscaya aku bunuh mereka seperti pembunuhan yang dilakukan terhadap kaum 'Aad. ".
Hadits ini di-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang peperangan,
(7/665, hadits no. 4351); dan juga telah di-takhrij oleh Imam Muslim di dalam kitab
pembahasan tentang zakat, (2/742, 743).

Dalil petunjuknya: Hadits ini dan yang semisalnya sebagai dalil bahwa Nabi telah menyuruh
untuk membunuh golongan dari lelaki yang telah mencela beliau, dan memberitahukan
bahwa orang yang mampu membunuh mereka akan mendapatkan pahala. Beliau juga
bersabda, "Jikalau aku sampai menemui mereka, niscaya akan aku bunuh mereka seperti
pembunuhan yang dilakuksn terhadap kaum 'Aad," dan juga menyebutkan bahwa mereka
adalah kaum yang paling buruk akhlak dan bentuk ciptaannya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dan yang lainnya dan Abu Umamah
disebutkan, bahwa Nabi bersabda: "Mereka adalah sejelek-jelek kaum yang mati terbunuh
di bawah kolong langit (atau di bumi), sedangkan sebaik-baik orang yang mati terbunuh
adalah orang-orang yang telah mereka bunuh."

Intinya, barangsiapa yang meyakini bahwa Nabi tidak adil dalam pembagiannya, sedangkan
Nabi mengatakan bahwa beliau melakukan itu atas perintah Allah , maka orang itu tidak
lain adalah orang yang mendustakan Nabi. Barangsiapa yang mengklaim bahwa Nabi tidak
adil dalam masalah putusan atau pembagiannya, maka berarti dia telah mengklaim bahwa
beliau berlaku zalim dan bahwa mengikutinya menjadi tidak wajib, dan dia pun
menyelisihi apa yang terkandung dalam risalah yang berupa keamanahan Nabi, kewajiban
unruk menaatinya, serta hilangnya dosa dari badan oleh karena keputusan beliau melalui
perkataan dan perbuatannya. Karena, Nabi telah menyampaikan dari Allah bahwa Dia
(Allah) telah mewajibkan untuk menaatinya dan tunduk terhadap hukumnya, dan bahwa
dia tidak akan menzalimi siapa pun. Maka, barangsiapa yang mencerca putusan dan
pembagiannya ini, maka dia sungguh telah mencerca ajakannya; dan itu berarti dia
mencerca kerisalahannya. Dengan demikian, maka terbuktilah keshahihan riwayat orang
yang telah meriwayatkan hadits: "Lalu siapa lagi orang yang berbuat adil, bila ternyata aku
saja tidak bisa berbuat adil? Sungguh, kamu pasti merugi jika aku saja tidak bisa berbuat
adil." .Hadits ini di-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang
istitabah terhadap orang-orang yang murtad, (12/303, hadits no. 6933); juga telah di-
takhrij oleh Imam al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra dalam kitab pembahasan tentang
pembunuhan terhadap kaum pembangkang (bughat), (8/171); dan juga telah d\-takhrij
oleh Imam al-Hakim di dalam a/-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan
terhadap kaum pembangkang, (2/145).

Karena, orang yang mencerca ini juga mengatakan bahwa beliau (Muhammad) adalah
utusan Allah dan bahwa wajib baginya untuk membenarkan dan menaatinya. Jika dia
mengatakan bahwa Nabi tidak berbuat adil, maka berarti dia telah membenarkan
seseorang yang tidak adil dan tidak dapat dipercaya (tidak amanah), dan barangsiapa yang
mengikuti orang semacam ini, pastilah dia akan merugi.

Sebagaimana Allah telah menyifati atau menggambarkan bahwa mereka termasuk orang-
orang yang benar-benar merugi, sekalipun mereka menganggap bahwa mereka selalu
melakukan sesuatu yang terbaik. Di samping bahwa orang yang tidak percaya terhadap
masalah harta, berarti dia tidak akan pemah percaya terhadap masalah yang lebih besar
darinya. Oleh karena itu, Nabi bersabda: "Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku
adalah kepercayaan yang ada di langit?! Berita dari langit selalu datang kepadaku pagi dan
sore.". Hadits ini telah di-takhrij oleh Imam al-Bukhari dalam kitab pembahasan tentang
peperangan, (7/666, hadits no. 4351); juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab
pembahasan zakat, (2/742); dan juga telah di-takrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab
Musnaf-nya, (3/4). Sabda Nabi : "Mereka adalah kaum yang paling jelek akhlak dan bentuk
ciptaannya.".

Hadits ini telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Ban Syarfi al-Bukhari,
(12/286); juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Abu Dzar yang berkaitan dengan
gambaran kelompok Khawarij, yaitu, "Mereka adalah kelompok yang paling buruk akhlak
dan ciptaannya." Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang jayyid (baik),
semisal dari Anas. Dan sabda beliau: "Mereka adalah sejelek-jelek orang yang mati
terbunuh di bawah kolong langit." .Hadits ini telah dt-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam
kitab Musnad-nya, (5/256); juga telah di-takhrij oleh Imam al-Hakim di dalam al-
Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan terhadap kaum pembangkang
(bughat), (2/149); dan Imam al-Hakim berkata: Hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam
Muslim, dan telah disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.

Ini sebagai dalil bahwa mereka termasuk golongan orang-orang munafik. Sebab, orang-
orang munafik itu lebih buruk keadaannya daripada orang-orang kafir. Sebagaimana
disebutkan bahwa firman Allah :

"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat."(at-
Taubah:58)

Ayat ini turun berkenaan dengan mereka. Demikian pula dinyatakan dalam hadits Abu
Umamah, bahwa firman Allah: “Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman." (AH Imran:
106)

Ayat ini juga turun berkenaan dengan mereka. Yang demikian ini bukan termasuk masalah
yang diperselisihkan jika mereka secara terang-terangan mencerca dan mencela Nabi ,
seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mencela beliau itu. Jika telah nyata melalui
hadits-hadits shahih ini bahwa Nabi menyuruh untuk membunuh orang-orang yang
termasuk kelompok lelaki yang telah mencela beliau ini di manapun mereka berada, juga
mengabarkan bahwa mereka itu orang-orang yang paling buruk bentuk ciptaannya, serta
telah terbukti bahwa mereka termasuk golongan orang-orang munafik, maka hal itu adalah
sebagai dalil tentang keshahihan makna hadits asy-Sya'bi yang berkenaan dengan
kelayakan atau keabsahan mereka untuk dibunuh.

SYUBHAT(Sanggahan) :Mengapa Nabi Mencegah Membunuh Orang yang Telah Mencelanya


Tersebut? Kini, pertanyaan yang tersisa adalah: Mengapa Rasulullah mencegah untuk
membunuh orang yang telah mencelanya itu, walaupun beliau telah menyuruh untuk
membunuh golongannya, dan mengabarkan bahwa mereka adalah sejelek-jelek makhluk
ciptaan, dan juga bahwa mereka adalah sejelek-jelek orang yang mati terbunuh di bawah
kolong langit?

Kita jawab: Hadits asy-Sya'bi memaparkan tentang awal mula muncul-nya orang-orang
semacam ini. Yang lebih serupa lagi, Wallahu A'lam, bahwa Nabi menyuruh untuk
membunuh orang itu untuk pertama kali semata-mata agar selesai atau tuntas urusan
mereka, meskipun beliau akhirnya memaafkan kebanyakan orang-orang munafik itu,
mengingat beliau khawatir pembunuhan orang itu bisa berekses pada tersebarnya
kerusakan terhadap umat ini setelahnya. Oleh karena itu, beliau bersabda, "Kalaupun
engkau membunuhnya, maka aku berharap dia adalah orang yang pertama dan yang
terakhir dari mereka." Dan, kemaslahatan yang diperoleh pun lebih besar dari
kekhawatiran Nabi akan larinya banyak orang, karena membunuh orang itu.

Manakala orang itu tidak diketemukan dan dia pun urung dibunuh, sedangkan Nabi
sebenamya memiliki ilmu yang telah diwahyukan Allah kepadanya yang merupakan
keutamaan yang diberikan Allah kepadanya, dan seolah-olah beliau telah mengetahui
bahwa orang-orang seperti mereka ini pasti muncul, dan bahwa beliau tidak berkeinginan
untuk mengusut mereka, seperti ketika beliau mengetahui bahwa Dajjal pasti akan keluar,
maka pada saat itu, beliau pun melarang Umar untuk membunuh Ibnu Shayyad dan
bersabda: "Jika dia memang benar adalah (Dajjal-ed.), maka kamu tidak akan bisa
menguasainya, dan jika bukan, maka tidak ada kebaikan bagimu membunuhnya."

Hal ini pula yang menyebabkan beliau setelah itu melarang Umar untuk membunuh
Dzulkhuwaishirah sewaktu dia mencela Nabi dalam masalah pembagian harta rampasan
perang Hunain. Begitu pula ketika Umar berkata: "Izinkanlah aku untuk memenggal
lehernya," beliau bersabda, "Biarkanlah dia, karena dia punya banyak kroni (pengikut),
yang membuat seorang dari kalian akan menghinakan shalatnya bersama mereka dan
puasanya bersama mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari
busurnya " Lihat Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang meminta bertaubat bagi
orang-orang yang murtad, (12/303, hadits no. 6933); juga telah d\-takhrij oleh Imam
Muslim dalam kitab pembahasan tentang zakat, (2/744); juga telah d\-takhrij oleh Imam
Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (3/56); dan juga telah d\-takhrij oleh al-Baihaqi di
dalam kitab as-Sunan al-Kubra, (8/171).

Sampai perkataan beliau , "Mereka akan keluar pada saat muncul sekelompok manusia." Di
sini, Nabi menyuruh untuk membiarkan orang itu mengingat dia mempunyai banyak kroni
(pengikut) yang akan muncul setelah itu. Dengan demikian, nyatalah bahwa ilmu Nabi
tentang kepastian akan keluar atau munculnya kroni-kroni itu mencegah beliau membunuh
orang, mengingat hal itu menyebabkan orang-orang akan mengatakan bahwa Muhammad
membunuh para sahabatnya yang shalat bersamanya, dan juga menyebabkan banyak orang
lari (keluar) dari ajaran Islam, tanpa ada suatu kemaslahatan yang bisa menghapus
kerusakan ini. Di samping bahwa kebiasaan Nabi itu selalu memaafkan orang-orang yang
telah menyakiti-nya secara mutlak.

Dengan demikian, jelaslah sebab mengapa beliau dalam sebagian hadits berdalih bahwa
orang itu masih melakukan shalat, lalu dalam sebagian hadits lain berdalih dengan alasan
agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya, dan
pada sebagian hadits lainnya lagi berdalih bahwa orang itu punya banyak kroni yang akan
keluar. Dan, insya Allah, hadits-hadits tersebut akan disebutkan nanti, meskipun
sebenarnya hadits-hadits itu juga selayaknya disebutkan dalam ruang pembahasan ini.

Dari sini, maka nyatalah bahwa setiap orang yang mencela Nabi berkaitan dengan
putusannya atau pembagiannya, maka dia wajib dibunuh, sebagaimana beliau menyuruh
itu pada masa hidupnya dan setelah wafatnya. Adapun beliau memaafkan orang yang
mencelanya itu semasa hidupnya, seperti juga beliau memaafkan orang-orang munafik
yang telah menyakitinya, itu dikarenakan beliau telah mengetahui bahwa mereka akan
muncul dalam umat ini secara pasti, di samping bahwa manfaat dari membunuh orang itu
pun tidak banyak. Justeru, membunuh seluruh orang-orang munafik itu bisa mendatangkan
kerusakan yang lebih besar. Perbedaan Antara Celaan yang Menyebabkan Pelakunya
Menjadi Munafik dan Kafir dan Antara Koreksi yang Dilakukan Sejumlah Kalangan Sahabat
Terhadap Rasulullah

Dalam konteks ini bisa saja muncul pertanyaan: Apakah perbedaan antara ucapan para
pengumpat Nabi ini dalam artian sebagai bentuk kemunafikan yang bisa menyebabkan
mereka menjadi kafir dan halal darahnya, dan bahkan menjadikan keturunan mereka
sebagai makhluk yang paling jelek dan antara riwayat yang mengisahkan tentang
kemarahan kaum Quraisy dan kaum Anshar terhadap beliau ?
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Abu Sa'id disebutkan, bahwa Nabi sewaktu
membagikan emas hanya di antara empat orang saja. Maka, orang-orang Quraisy dan kaum
Anshar menjadi berang dan berkata, "Engkau memberikannya kepada para pembesar Najed
dan mengabaikan kami?" Lalu beliau menjawab, "Sesungguhnya hal itu aku lakukan untuk
melunakkan hati mereka. "35 Lalu menghadaplah seorang lelaki yang cekung kedua
matanya, lalu Nabi pun menyampaikan hadits tentang orang yang mencelanya.. Lihat
Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/649-650, hadits no. 4331);
juga telah d'\-takhrij oleh Imam Nasa'i dalam kitab pembahasan tentang pengharaman
darah, bab: orang yang menghunus pedangnya, (7/118); juga telah d\-takhrij oleh Imam
Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (3/73); dan juga telah di-takhrij oleh Imam al-Baihaqi
di dalam kitab as-Sunan al-Kubra, (6/339).

Imam Muslim telah meriwayatkan hadits tentang kemarahan kaum Anshar berkenaan
dengan pembagian harta rampasan perang Hunain. Dari Anas bin Malik bahwa beberapa
orang dari kaum Anshar pada waktu perang Hunain—tepatnya ketika Allah
menganugerahkan harta rampasan perang milik kaum Hawazin kepada Rasulullah -H, lalu
beliau memberi orang-orang Quraisy seratus onta—mereka berkata: "Semoga Allah
mengampuni dosa Rasulullah yang hanya memberi orang-orang Quraisy dan melupakan
kami, sementara pedang-pedang kami meneteskan darah mereka?!"

Dalam riwayat lain disebutkan: Ketika Makkah telah ditaklukkan, maka dibagilah harta
rampasan di antara orang-orang Quraisy, lalu kaum Anshar berkata, "Betapa ini sangat
aneh! Sungguh pedang-pedang kami bersimbah darah mereka, sementara harta rampasan
perang kami malah dikembalikan kepada mereka!" Dalam riwayat lain, kaum Anshar
berkata, "Ketika kondisi susah, maka kami dipanggil, namun ternyata harta rampasan
perang (ghanimah) diberikan kepada selain kami!" Anas berkata: Lalu aku sampaikan
ucapan mereka itu kepada Rasulullah, lalu beliau mengirim utusan kepada kaum Anshar
untuk mengumpulkan mereka pada suatu kubah dari kuburan, dan tidak mengundang
selain mereka. Ketika mereka telah berkumpul, maka Rasulullah pun mendatangi mereka
dan bersabda: "Apa komentar / ucapan yang bisa kudengar dan kalian?". Lalu para ahli
fiqih dari kaum Anshar berkata, "Adapun orang-orang yang berakal dari kami, mereka tidak
mengucapkan komentar apa pun, sedangkan sebagian orang dari kami ada yang berkata,
"Semoga Allah mengampuni Rasulullah yang hanya memberi kaum Quraisy dan
meninggalkan kami, padahal pedang-pedang kami bersimbah dengan darah-darah mereka?"
Lalu Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya aku memberi kepada orang-orang yang baru
saja meninggalkan kekufuran guna melunakkan hati mereka. Tidakkah kalian ridha bila
orang-orang itu pergi dengan membawa harta sedangkan kalian pulang ke rumah kalian
dengan membawa Rasulullah ? Apa yang kalian dapat itu lebih baik daripada apa yang
mereka bawa." Mereka berkata, "Benar, wahai Rasulullah, sungguh kami telah ridha/rela."
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya kalian akan memperoleh kekayaan setelahku, maka
bersabarlah hingga kalian berjumpa dengan Allah dan Rasul-Nya." Mereka berkata, "Kami
akan selalu bersabar." Lihat Fathul Bari dalam kitab pembahasan tentang peperangan,
(7/649, 650, hadits no. 4331); hadits ini juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam
kitab pembahasan tentang zakat, (2/735); dan juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad
dalam kitab Musnacf-nya, (3/166).

Tidak ada sedikit pun dalam perkataan salah seorang dari kaum mukminin Quraisy, Anshar,
dan yang lainnya berisi tuduhan tentang kelaliman Rasulullah , pembolehan hal itu
terhadapnya, juga tuduhan kepadanya bahwa beliau telah membuat pengkhususan dalam
pembagian itu karena menuruti hawa nafsu dan mencari kekuasaan, serta pe-
nyandaran/penisbatan kepadanya bahwa beliau tidak meniatkan keridhaan Allah dengan
pembagian itu, dan lain sebagainya dari perkataan-perkataan kaum munafik yang
sejenisnya. Kelompok yang menggunakan akal mereka alias kelompok mayoritas /jumhur
sama sekali tidak mengeluarkan komentar apa pun. Mereka ridha terhadap apa yang telah
diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada mereka. Mereka malah berkata, "Allah telah
mencukupi kami. Allah dan Rasul-Nya nanti akan memberikan keutamaan-Nya kepada
kami." Sebagaimana yang telah dituturkan oleh para ahli fiqih Anshar, "Adapun orang-
orang itu, maka mereka tidak mengatakan apa pun."

Sedangkan orang-orang yang mengucapkan komentar dan yang lainnya, maka mereka
berpendapat bahwa Nabi membagi-bagikan harta itu tidak lain demi kemaslahatan agama
Islam. Nabi tidak akan menempatkan harta itu di suatu tempat melainkan penempatannya
itu pasti lebih utama daripada penempatannya di tempat lainnya; dan ini merupakan suatu
hal yang tidak pernah mereka ragukan lagi.

Adapun ilmu untuk mengetahui sisi maslahat itu terkadang diperoteh melalui perantaraan
wahyu, dan terkadang diperoleh melalui upaya ijtihad. Mereka tidak mengetahui tindakan
itu dari diri Nabi , sedangkan Nabi bersabda, "Sesungguhnya itu atas perintah wahyu dari
Allah." Karena, barangsiapa yang membenci tindakan itu atau menentangnya setelah Nabi
mengatakan hal itu, maka dia adalah seorang kafir yang mendustakan Nabi . Mereka juga
memperbolehkan bilamana pembagian Nabi itu merupakan ijtihad. Mereka selalu
berkonsultasi kepada Nabi dalam melakukan ijtihad tentang urusan-urusan duniawi yang
berkaitan dengan kemaslahatan agama; dan itu adalah pembahasan yang boleh dia lakukan
atas dasar ijtihadnya sendiri menurut kesepakatan umat Islam. Terkadang mereka
menanyakan kepada Nabi suatu masalah, namun bukan untuk mengkonsultasikannya, akan
tetapi agar merasa mantap terhadapnya, memahami sunnah-sunnah beliau, dan
mengetahui 'illat atau alasannya. Dan, bentuk konsultasi mereka yang sangat masyhur itu
tidak terlepas dari dua faktor ini, yaitu:

1.Bisa jadi konsultasi itu untuk melengkapi pandangan Nabi terhadap masalah itu, jika
memang masalah itu termasuk masalah-masalah politik yang boleh diselesaikan melalui
pintu ijtihad.

2.Atau, agar semuanya menjadi jelas bagi mereka jika Nabi telah menyebutnya, dan
mereka pun akan semakin bertambah ilmu dan keimanannya, serta terbuka baginya jalan
untuk memahami masalah tersebut.
3.Di antara bentuk-bentuk konsultasi itu, adalah konsultasi yang dilakukan oleh Hubab bin
Munzir sewaktu beliau , mengambil sebuah posisi di Badar. Hubab bertanya, "Wahai
Rasulullah, tempat yang engkau duduki ini, apakah ini adalah tempat yang diperintahkan
Allah kepada engkau untuk diduduki, sehingga kami tidak bisa menentangnya? Ataukah ini
hanya sebuah pendapat, bentuk perang dan tipu muslihat strategi?" Lalu Rasulullah
menjawab, "Ini hanya pendapat, perang dan tipu muslihat." . Hubab kemudian berkata,
"Bukanlah tempat ini posisi ideal untuk berperang." Lalu Rasulullah pun menerima
pendapatnya dan berpindah ke tempat yang lainnya .Lihat Jafsir al-Qurthubi, (7/375);
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam kitab S/ra/5-nya, (2/66); al-
Albani berkata; Ibnu Ishaq berkata: Aku sampaikan hadits ini dari orang-orang Bani
Salamah. Mereka menuturkan bahwasanya orang tersebut adalah Hubab bin Munzir. Hadits
ini sanadnya dha'if (lemah) mengingat tidak diketahuinya perantara antara Ibnu Ishaq dan
orang-orang dari Bani Salamah itu. Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam al-Hakim
di dalam kitabnya al-Mustadrak (3/426), dan diikuti oleh Imam Dzahabi, dan dia berkata,
"Hadits munkar dan sanadnya lemah."

4.Begitu pula sewaktu Nabi ingin berdamai dengan Bani Ghathfan pada perang Khandaq
atas separoh kurma Madinah, lalu Sa'ad bin Mu'adz datang bersama sekelompok kaum
Anshar dan berkata, "Wahai Rasulullah, bapak dan ibuku jadi tebusan, apakah sesuatu yang
akan engkau berikan kepada mereka ini berasal dari perintah Allah kepadamu, sehingga
yang ada hanya mendengar dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ataukah itu berangkat
dari pendapatmu sendiri?" Nabi menjawab, "Ini berasal dari pendapatku sendiri, karena
aku melihat kaum ini memberikan harta, lalu mengumpulkan untuk kalian apa yang kalian
lihat dari berbagai kabilah. Sesungguhnya kalian adalah sebuah kabilah, maka aku ingin
membayar sebagian mereka. Kita akan memberi mereka sesuatu dan menegakkan bagi
sebagian mereka yang telah membeli dengan sesuatu tersebut apa yang turun, wahai kaum
Anshar." Lalu Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh kami pernah berada
dalam kesyirikan dan mereka tidak berambisi untuk mengambil dari kami separuh bagian
itu." Atau seperti yang dikatakannya. Dalam riwayat lain disebutkan: "Mereka tidak akan
memakan kurma kecuali senang atau karena itu makanan jamuan. Lalu bagaimana dengan
hari ini, sementara Allah bersama kita dan engkau di antara kami?! Kami tidak akan
memberi mereka, dan tidak ada kemuliaan untuk mereka!" Kemudian dia pun meraih
lembar kertas kertas itu, lalu meludahinya dan membuangnya.

Adapun dari segi pendapat dan dugaan di dunia, sungguh Nabi sewaktu ditanya tentang
talqiih (penyerbukan kurma) beliau menjawab, "Aku tidak menduga bisa memuaskan itu.
Sebenamya aku hanya menduga saja, maka janganlah kalian menyalahkanku oleh karena
dugaan itu. Akan tetapi, jika aku mengatakan sesuatu dari Allah kepada kalian, maka
lakukanlah itu. Sungguh, aku tidak akan pernah berdusta atas nama Allahj."38 (HR.
Muslim) 38. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang
keutamaan, (4/1835); juga telah d\-takhrij olejh Ibnu Majah dalam kitab pembahasan
tentang gadaian (rahn), hadits no. 2470; juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam
kitab Musnad-nya, (1/162, 163); dan juga disebutkan di dalam kitab Musykil al-Atsaar,
(2/294).

Dalam hadits lain disebutkan sabda Nabi: "Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian,
sedang apa yang berkenaan dengan masalah agama kalian maka hal itu serahkan
kepadaku. ". Hadits telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang
keutamaan, (4/1836).[/b]
Di antara dalil lainnya dari pembahasan ini adalah hadits Sa'ad bin Abu Waqqash yang
berkata, "Rasulullah telah memberi sekelompok orang dan waktu itu aku sedang duduk.
Lalu beliau melupakan salah seorang dari mereka yang paling aku kagumi, lalu aku pun
berdiri dan berkata kepada beliau, wahai Rasulullah, engkau memberi si fulan dan si fulan,
namun melupakan si fulan, padahal dia adalah seorang yang beriman." Lalu beliau berkata,
". . . atau dia adalah seorang Muslim. " Sa'ad menanyakan hal ini kepada beliau sampai tiga
kali, dan beliau pun menjawabnya dengan jawaban yang sama. Kemudian beliau bersabda,
"Sesungguhnya aku memberi seseorang dan juga yang selainnya itu lebih aku sukai
daripadanya karena takut dia akan dijungkirkan di dalam neraka. " (Muttafaq 'Alaih). Lihat
kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang Jum'at, (2/468, hadits no. 923); dan
hadits ini juga telah d\-takhhj oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang Iman,
(1/132).

Di sini, Sa'ad bin Abu Waqqash mengkonsultasikan masalah ini kepada Nabi agar beliau
menjelaskan tentang orang itu. Hal itu tidak lain karena Sa'ad berpandangan bahwa orang
itu sepatutnya diberi, atau agar dia tahu alasan mengapa Nabi mengabaikannya, padahal
beliau memberi yang lainnya. Lalu, Nabi pun menjawabnya tentang dua hal dimuka. Beliau
berkata: Sesungguhnya pemberian itu bukan karena faktor iman, akan tetapi aku memberi
dan menahannya. Dan, orang yang tidak aku beri itu lebih aku sukai daripada orang yang
aku beri. Sebab, orang yang aku beri itu, jikalau dia tidak aku beri, niscaya dia akan
menjadi kafir.

Karena itu, aku memberinya agar bisa menjaga keimanannya dan tidak memasukkannya ke
dalam golongan orang-orang yang menyembah Allah karena ragu-ragu. Sedangkan orang
yang tidak aku beri, dia mempunyai keyakinan dan keimanan yang membuatnya tidak akan
tergiur terhadap materi. Orang semacam ini lebih aku sukai dan bahkan bagiku dia jauh
lebih mulia. Dia berpegang teguh kepada tali Allah dan Rasul-Nya dan meminta ganti
bagian dunianya dengan bagian agamanya, seperti yang telah diperlihatkan oleh Abu Bakar
dan sahabat lainnya, dan seperti yang ditunjukkan pula oleh kaum Anshar manakala orang-
orang Thalqa' dan Najed pergi dengan membawa kambing dan onta sementara mereka
pulang hanya bersama Rasulullah .

Kemudian, kalaupun pemberian itu hanya diukur menurut tingkat keimanan semata, lalu
dari mana kamu tahu bahwa dia adalah seorang yang beriman? Bahkan, bisa jadi dia
seorang Muslim, akan tetapi di dalam hatinya tidak ada keimanan! Sesungguhnya Nabi
lebih tahu daripada Sa'ad untuk memilah mana orang yang beriman dan yang bukan,
mengingat beliau sangat mampu untuk melakukan hal itu. Di antara dalil lainnya lagi,
adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Ibrahim bin al-
Harits, bahwa ada seseorang yang berkata, "Wahai Rasulullah, engkau telah memberi
'Uyainah bin Hishn dan Aqra' bin Haabis seratus, sementara engkau melupakan Ju'ail bin
Suraqah adh-Dhamri. Lalu Rasulullah bersabda: "Ketahuilah, demi Dzat yang jiwaku ada di
tangan-Nya, sungguh Ju'ail bin Suragah lebih bumi seluruhnya, seperti 'Uyainah dan Aqra'.
Akan tetapi, aku bermaksud melunakkan hati keduanya demi keislaman mereka,
sedangkan aku serahkan bagian Ju'ail bin Suraqah kepada ke-Islamannya. "

Berkenaan dengan hadits kaum Anshar di atas, kalangan ulama yang membahas kisah-kisah
peperangan mengatakan, "Kami ingin sekali mengetahui dari manakah ini berasal, jika ini
berasal dari Allah maka kami akan bersabar. Namun, jika dia berasal dari pendapat
Rasulullah sendiri, maka kami akan minta keridhaannya." Dengan demikian, jelaslah bahwa
jika ada salah satu dari mereka membolehkan pembagian itu dilakukan menurut ijtihad
Nabi berkaitan dengan suatu kemaslahatan, maka sebaiknya dia mengetahui alasan
mengapa Nabi memberi orang yang satu dan mengabaikan orang yang selainnya, meski
sebenarnya orang yang selainnya ini lebih unggul dalam tingkat keimanan, pengorbanan
(jihad), dan yang lainnya daripada orang tersebut.

Hal ini secara jelas sebagai faktor yang melatarbelakangi pemberian itu, dan bahwa Nabi
memberinya seperti memberi orang yang selainnya. Dan, ini merupakan makna ucapan
mereka, "... maka kami meminta keridhaannya." Yaitu, kami meminta beliau agar
menghilangkan teguran kami dengan cara menjelaskan alasan beliau memberi orang lain
atau malah dengan memberi kami. Dan, sungguh Nabi telah bersabda, "Tidak seorang pun
menginginkan uzur dari Allah .Oleh karena itulah, Dia mengutus para rasul sebagai
penggembira dan pemberi peringatan. " Lalu, Nabi menginginkan agar mereka minta maaf
kepadanya atas apa yang diperbuatnya, untuk selanjutnya beliau pun menjelaskan kepada
mereka alasan yang sebenarnya. Ketika duduk perkaranya sudah jelas bagi mereka, maka
mereka seketika menangis hingga air mata mereka membasahi jenggot mereka dan mereka
pun ridha terhadap Nabi dengan setulus hati.

Perkataan mereka tersebut menunjukkan bahwa mereka melihat pembagian itu terjadi
karena ijtihad dan bahwa mereka lebih berhak untuk mendapatkan harta itu daripada yang
lainnya. Lalu, tiba-tiba mereka diherankan oleh pemberian Nabi kepada selain mereka,
dan mereka pun ingin tahu apakah pemberian itu atas dasar wahyu atau hasil ijtihad yang
wajib diikuti mengingat iru adalah suatu kemaslahatan? Atau, juga sebagai hasil ijtihad
yang mungkin saja Nabi akan memakai yang selainnya jika temyata beliau melihat yang
selainnya itu lebih tepat.
Adapun perkataan sebagian kaum Quraisy dan kaum Anshar berkenaan dengan pembagian
emas yang dibawa oleh Ali dari Yaman, "Apakah Nabi memberi para pembesar Najed
sedangkan beliau melupakan kami?" Maka, itu termasuk dalam pembahasan ini pula, yaitu
bahwa mereka menanyai beliau semata-mata karena alasan ini. Di sini, juga ada dua
jawaban yang lain, yaitu: Pertama, orang yang berkata itu sebelumnya adalah orang
munafik yang boleh dibunuh, seperti seseorang yang terdengar oleh Ibnu Mas'ud
mengomentari pembagian harta rampasan perang Hunain. Dia berkata, "Sesungguhnya
pembagian ini bukan semata-mata karena Allah ." Dan, di tengah orang-orang Quraisy dan
kaum Anshar itu terdapat banyak sekali orang munafik. Sehingga, kata-kata yang terlontar
itu pun tidak lain berasal dari mulut seorang munafik.

Kedua, tindakan menentang Nabi bisa jadi merupakan suatu dosa dan maksiat yang
dikhawatirkan pelakunya adalah orang munafik, meskipun sebenamya dia bukan orang
munafik. Seperti finnan Allah , "Mereka membantahmu dengan kebenaran sesudah nyata
(bahwa mereka pasti menang)." (al-Anfaal: 6), dan seperti koreksi mereka terhadap beliau
dalam masalah batalnya beliau menunaikan haji kepada umrah, penundaan mereka untuk
mencari solusi, juga keengganan mereka untuk mencari solusi sewaktu perjanjian
Hudaibiyah, keengganan mereka untuk berdamai, serta koreksi yang telah dilakukan oleh
sebagian mereka.

Sesungguhnya orang yang melakukan hal itu, maka sungguh dia telah melakukan dosa yang
harus dimintakan ampunannya dari Allah , sebagaimana bahwa orang-orang yang
mengangkat suara mereka melebihi suara Nabi juga telah berbuat dosa dan harus
bertaubat darinya. Sungguh, Allah telah berfirman, "Dan ketahuilah olehmu bahwa di
kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan
benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan ...," (al-Hujurat: 7). Sahal bin Hanif
berkata, "Sangkakanlah pendapat itu atas nama agama. Sungguh, aku hadir pada waktu
peristiwa Abu Jandal. Seandainya aku bisa menolak perintah Rasulullah, niscaya akan aku
lakukan itu!"

Ini adalah sesuatu yang berangkat dari nafsu syahwat dan ketergesa-gesaan, bukan dari
keragu-raguan dalam agama, seperti juga pengintaian yang dilakukan oleh seorang pencari
kayu bakar terhadap orang-orang Quraisy, meskipun itu adalah perbuatan dosa dan
maksiat yang mewajibkan pelakunya untuk bertaubat. Perbuatan semacam itu sama saja
dengan membangkang perintah Rasulullah

Di antara Dalil lainnya yang termasuk pembahasan ini adalah hadits Abu Hurairah
berkenaan dengan peristiwa Fathu Makkah; dia berkata, "Rasulullah bersabda,
"Barangsiapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia akan aman. Barangsiapa yang
membuang senjatanya, maka dia akan aman. Dan faarangsfapa yang menutup rapat-rapat
pintu rumahnya, maka dia akan aman. " .Hadits ini telah d\-takhrij oleh Imam Muslim
dalam kitab pembahasan tentang jihad, (3/1408); juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad
di dalam kitab Mosnad-nya, (2/292); dan juga telah di-takhrijoleb al-Baihaqi di dalam
kitab as-Sunan al-Kubra, (9/117).

Lalu kaum Anshar berkata, "Adapun lelaki ini (baca: Nabi ) maka ia lebih suka kepada
kerabatnya dan kasihan terhadap kabilahnya." Abu Hurairah berkata, "Lalu turunlah
wahyu. Dan, jika wahyu telah turun, maka itu tidak samar lagi bagi kami. Jika wahyu telah
turun, maka tidak ada seorang pun dari kami yang mengarahkan pandangannya kepada
Rasulullah hingga wahyu itu selesai." Rasulullah bersabda, "Wahai kaum Anshar." Mereka
menjawab, "Baik, wahai Rasulullah." Beliau bertanya, "Benarkah kalian telah mengatakan,
"Adapun lelaki ini, maka ia lebih suka terhadap kerabatnya dan kasihan terhadap
kabilahnya?" Mereka menjawab, "Sungguh, itu telah terbukti." Lalu beliau pun berkata,
"Tidak benar, sesungguhnya aku adalah hamba dan sekaligus utusan Allah . Aku berhijrah
kepada Allah dan kepada kalian. Kehidupan itu adalah kehidupan kalian, dan kematian itu
juga kematian kalian." Seketika mereka pun menghadap kepada Nabi , lalu mereka
menangis dan berkata, "Demi Allah, kami tidak mengucapkan itu melainkan karena kikir
terhadap Allah dan Rasul-Nya." Lalu Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya membenarkan kalian dan memaafkan kalian," (HR. Muslim).. Hadits ini telah di-
takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang jihad, (3/1406); juga telah d\-
takhrij oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra dalam kitab pembahasan tentang
sirah, (9/117); dan juga disebutkan dalam kitab Mushannaf Ibn Abi Syaibah, (12/164).

Hal itu, dikarenakan sewaktu kaum Anshar melihat Nabi menjamin keselamatan warga
Makkah dan menyetujui untuk melindungi darah dan harta mereka, padahal beliau masuk
kepada mereka dalam keadaan susah dan berat, sementara beliau waktu itu bisa saja
membunuh mereka dan merampas harta mereka jika beliau mau. Pada saat itulah, maka
kaum Anshar takut jika Nabi bermaksud menjadikan Makkah sebagai negerinya dan
bergabung kepada orang-orang Quraisy. Sebab, negeri Makkah sebagai negeri asalnya dan
kabilah Makkah juga sebagai kabilahnya, dan bahwa pertentangan dirinya kepada negeri
dan keluarganya menyebabkan beliau menyingkir dari mereka.

Akhirnya, salah seorang dari mereka pun mengeluarkan perkataan semacam itu, sedangkan
kalangan ulama dan cendikiawan yang mengetahui bahwa Nabi tidak punya cara untuk
menjadikan Makkah sebagai tanah air tidak pemah mengatakannya. Mereka mengatakan
ucapan semacam itu bukan sebagai cercaan maupun celaan, namun lebih sebagai bentuk
kebakhilan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Lalu Allah dan Nabi pun memaafkan
mereka atas apa yang telah mereka katakan sewaktu mereka melihat dan mendengar, dan
bahwa memisahkan diri dari Nabi itu sangat berat bagi kaum Mukminin selaku maskot
Islam pada saat orang-orang lainnya justeru menjadi perusak.

Dan, perkataan yang keluar karena kecintaan, pengagungan, pemuliaan, dan


penghormatan ini membuat dosa pengucapnya diampuni, dan bahkan perkataan itu dipuji.
Jika perkataan yang sama diucapkan bukan karena alasan tersebut, maka pengucapnya
berhak diingkari dan ditentang.

Demikian pula dari segi perbuatan. Tidakkah engkau mengetahui ketika Nabi berkata
kepada Abu Bakar , di mana ketika itu Abu Bakar ingin mundur dari tempatnya sebagai
imam dalam shalat tatkala ia mengetahui kehadiran Nabi , "Tempatmu," namun Abu Bakar
mundur (meninggalkan tempatnya-ed.). Maka, Nabi pun bertanya kepadanya, "Apa yang
mengha/angimu untuk menempati tempatmu (atau menjadi imamj, padahal aku telah
menyuruhmu. " Lalu Abu Bakar menjawab, "Tidaklah pantas Ibnu Abi Qahafah (maksudnya:
Abu Bakar) berada di depan Nabi " Lihat dalam kitab Fathul Ban, dalam kitab pembahasan
adzan, (2/196, hadits no. 684); juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab
pembahasan tentang shalat, (1/316); juga disebutkan pula oleh Imam Ahmad di dalam
kitab Musnad-nya, (5/331); dan juga disebutkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab as-
Sunan al-Kubra, (3/113).

Begitu pula Abu Ayyub al-Anshari sewaktu minta izin kepada Nabi H agar dia berpindah ke
bawah lalu meminta beliau agar naik ke atas. Dia merasa berat hati untuk berada di atas
Rasulullah sewaktu beliau tinggal di rumahnya. Lalu Nabi ^ mengatakan kepadanya bahwa
rumahnya bagian bawah itu lebih cocok (akrab) bagi beliau agar orang-orang lebih mudah
untuk masuk menghadap beliau. Di sini, Abu Ayyub tidak mau seperti itu demi kesopanan
dan penghormatan kepada Nabi . Maka, perkataan kaum Anshar di atas termasuk dalam
bagian ini.

Ringkasan:
Secara keseluruhan, maka pembahasan dalam bab ini terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama, merupakan suatu bentuk kekufuran, seperti ucapan, "Sungguh, ini pembagian
yang bukan semata-mata karena Allah."

Kedua, adalah sesuatu yang merupakan dosa dan maksiat yang di-khawatirkan bisa
membatalkan semua amalan pelakunya, seperti meng-angkat suara melebihi suara Nabi ,
juga seperti koreksi yang dilakukan oleh seseorang kepada Nabi sewaktu peristiwa
Hudaibiyah setelah terjadinya kcsepakatan damai, dan juga bantahan yang dilakukan
seseorang terhadap beliau pada waktu perang Badar setelah nyata baginya suatu
kebenaran. Semua ini termasuk bentuk menyelisihi perintah Nabi .

Ketiga, sesuatu yang bukan termasuk keduanya. Bahkan, pelakunya dipuji karenanya atau
tidak dipuji, seperti ucapan Umar, "Mengapa kita mengqashar shalat sementara kita telah
beriman?" Juga seperti ucapan Aisyah , "Bukankah Allah berfirman, "Adapun orang-orang
yang dlberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya ...," (al-Haqqah: 19). Juga
seperti ucapan Hafshah, "Bukankah Allah berfirman, "Dan tidak ada seorangpun
daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu," (Maryam: 71). Juga seperti koreksi Sa'ad
sewaktu perjanjian Ghathfan atas separuh kurma Madinah. Juga seperti koreksi mereka
terhadap Nabi sewaktu beliau menyuruh mereka memecahkan wadah yang berisi daging
onta, lalu mereka berkata, "Tidakkah kita mencucinya," lalu Nabi pun berkata, "Cucilah!"
Juga seperti bantahan Umar kepada Abu Hurairah sewaktu dia keluar membawa kabar
gembira dan mengoreksi Nabi dalam masalah itu. Dan, juga seperti koreksi Umar terhadap
Nabi sewaktu beliau mengizini mereka untuk membunuh di beberapa peperangan, dan
permintaannya kepada beliau agar mengumpulkan bekal dan berdoa kepada Allah , lalu
Umar pun melakukan apa yang telah dimusyawarahkan itu, dan lain-lain sebagainya
semisal menanyakan suatu persoalan agar jelas duduk perkaranya bagi mereka atau
menawarkan suatu kemaslahatan yang bisa saja dilakukan oleh Rasulullah .

PASAL KETIGA:
Dalil dari as-Sunnah yang Menyatakan Batalnya Sumpah Janji Seorang Kafir Dzimmi dan
Mu'ahid Karena Mencaci Nabi dan Kewajiban Membunuhnya

Batalnya sumpah janji seorang kafir dzimmi dan mu'ahid akibat mencaci Nabi serta syariat
untuk membunuhnya menurut Dalil as-Sunnah yang telah masyhur; dan di antara Dalil-dalil
tersebut antara lain, adalah:

Dalil Pertama:
Kisah Ka'ab bin Asyraf al-Yahudi

Kisah ini adalah di antara dalil yang dijadikan hujah oleh Imam asy-Syafi'i bahwa seorang
kafir dzimmi apabila mencaci, maka dia harus dibunuh dan menjadi batallah ikatan
janjinya. Kisah ini sangat masyhur dan populer. 'Amr bin Dinar telah meriwayatkannya dari
Jabir bin Abdullah yang berkata, Rasulullah telah bersabda: "Siapakah yang mau
menangani (membunuh) Ka'ab bin Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-
Nya?". Lihat kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang gadaian (rahn), (5/169,
hadits no. 2510); dan juga telah dt-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan
tentang jihad, (3/1425).

Lalu, Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, "Saya, wahai Rasulullah, apakah
engkau ingin aku membunuhnya?" Nabi menjawab, "Benar." Muhammad bin Maslamah
berkata, "Izinkan aku untuk mengatakan sesuatu." Nabi , "Katakanlah. " Dikisahkan: Lalu
dia pun mendatanginya dan mengatakan apa yang terjadi di antara mereka. Dia berkata,
"Sungguh lelaki ini menginginkan sedekah dan tali kekang lawan." Maka, ketika dia
mendengamya, dia pun berkata, "... begitu juga, demi Allah, niscaya kamu akan
membosaninya." Dia berkata, "Sungguh kami telah mengikutinya sekarang, dan kami tidak
mau membiarkannya hingga kami dapat melihat ke manakah duduk perkaranya akan
berujung."

Dia berkata, "Sungguh, aku ingin kamu memberiku pinjaman hutang." Dia berkata, "Apa
yang akan kalian gadaikan kepadaku? Wanita-wanita kalian?!" Dia menjawab, "Engkau
adalah sebaik-baik orang Arab, pantaskah aku menggadaikan kepadamu para wanita
kami?!" Dia bertanya, "Apakah kalian akan menggadaikan anak-anak kalian kepadaku?" Dia
menjawab, "Nanti anak dari salah seorang kami akan mencaci maki, lalu akan diucapkan:
Aku gadaikan dua wasaq kurma! Akan tetapi, kami akan menggadaikan baju besi
kepadamu." (alias senjata).

Dia berkata, "Baiklah," dan dia pun berjanji kepadanya akan memeranginya. Kemudian
datanglah 'Abas bin Habar dan 'Ibad bin Basyar. Mereka datang lalu pergi meninggalkannya
pada malam hari. Lalu dia pun menginap di rumah mereka. Sufyan berkata: Dia berkata,
"Bukan 'Amr." Istrinya berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku mendengar suara seolah-olah
suara darah!" Dia berkata, "Sejujurnya ini adalah Muhammad dan anak sesusuannya, Abu
Nailah.

Sesungguhnya orang yang dermawan jika diundang untuk menyerang pada malam hari,
niscaya dia akan memenuhi panggilan." Muhammad berkata, "Sungguh aku—jika dia telah
datang— maka akan aku julurkan tanganku ke kepalanya. Jika aku bisa merengkuh-nya,
berarti itu selain kalian." Dia berkata, "Ketika dia menginap dan dia menyandang pedang,
maka mereka berkata, "Kami mencium bau wangi dari dirimu." Dia berkata, "Benar, di
bawahku ada seorang wanita Arab yang paling harum baunya!" Dia berkata, "Apakah
engkau membolehkanku untuk mencium baunya?" Dia berkata, "Boleh." Lalu dia pun
menciumi baunya. Kemudian dia berkata, "Apakah engkau membolehkanku untuk
kembali?" Dia berkata, "Maka, dia pun bisa merengkuhnya, lalu dia berkata, "Selain kalian."
Akhimya, mereka pun membunuhnya. (Muttafaq 'Alaih)

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Ka'ab bin Asyraf telah berjanji kepada
Rasulullah untuk tidak menolongnya dan tidak akan memeranginya, lalu dia
pergi/membelot ke Makkah. Kemudian dia datang ke Madinah untuk menyatakan
permusuhan kepada Rasulullah . Maka, caci makian yang pertama kali diucapkannya
terhadap Nabi adalah, "Apakah kamu pergi dan enyah dengan tidak mendiami murfi'ah
atau keutamaan itu ada di al-Haram?" Semua ini terdapat dalam bait-bait syairnya yang
berisikan caci makian terhadap Nabi . Sehingga, pada saat itulah, Rasulullah pun menyuruh
untuk membunuhnya.

Beberapa Aspek Petunjuk dari Kisah Ka'ab bin Al-Asyraf Menjadikan pembunuhan Ka'ab bin
al-Asyraf sebagai dalil berdasarkan dua aspek:

ASPEK PERTAMA
Ka'ab seorang kafir mu'ahid muhadin (atau kafir yang tidak boleh diperangi), dan ini tidak
diperselisihkan di antara kalangan ulama spesialis di bidang peperangan dan sejarah.
Menurut mereka, hal itu juga sudah merupakan pengetahuan umum yang tidak perlu
diriwayatkan lagi oleh orang-orang tertentu.
Dalil yang menunjukkan bahwa caci makiannya itu bisa merusak sumpah janjinya, adalah
perkataan Nabi , "Siapakah yang mau membereskan Ka'ab bin al-Asyraf, karena dia telah
menyakiti Allah dan Rasul-Nya?" Di sini, Nabi menyatakan alasannya menyuruh orang untuk
membunuh Ka'ab karena dia telah menyakiti beliau. Dan, bentuk penyakitan/penyiksaan
secara mutlak adalah dengan memakai lisan. Sebagaimana firman Allah : "Dan (juga) kamu
sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan
dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan
hati." (Ali Imran: 186) "Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada
kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja ...." (Ali Imran: 111) "Di antara mereka
(orang-orang munaflk) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, "Nabi mempercayai
semua apa yang didengarnya." (at-Taubah: 61) "Janganlah kamu menjadi seperti orang-
orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang
mereka katakan." (al-Ahzab: 69)

Nabi telah bersabda dari apa yang telah beliau riwayatkan dari Allah: "Anak Adam
menyakiti-Ku, ia mencaci maki masa, sedang Aku adalah masa itu. " Dan, riwayat yang
semacam ini sangat banyak sekali. Sudah disebutkan terdahulu bahwa
penyakitan/penyiksaan juga sebutan bagi kejahatan yang sedikit dan suatu yang dibenci
yang ringan pula. Hal itu,berbeda dengan kemudharatan. Oleh karena itu,
penyakitan/penyiksaan tersebut dimutlakkan pada ucapan. Karena, sebenamya dia tidak
men-datangkan kemudharatan apa pun bagi orang yang disakiti. Begitu pula, kemutlakan
bentuk penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya itu juga dijadikan sebagai
faktor penyebab dibunuhnya seorang kafir mu'ahid. Dan sudah diketahui, bahwa mencaci
maki Allah dan Rasul-Nya itu sebagai bentuk penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan
Rasul-Nya. Jika suatu sifat (washaf) menghasilkan suatu hukum dengan bantuan huruf faa,
maka itu menunjukkan bahwa sifat itu merupakan 'illat (sebab) bagi hukum tersebut,
terlebih lagi jika sifat itu temyata sesuai.

Hal itu menunjukkan bahwa penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya


merupakan 'illat adanya perintah Rasulullah kepada kaum Muslimin untuk membunuh
orang-orang dari kalangan kafir mu'ahid yang melakukan hal tersebut. Hal ini merupakan
dalil nyata yang menunjukkan rusak atau batalnya sumpah janji orang kafir mu'ahid
tersebut dengan menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Dan, mencaci maki juga termasuk bentuk
menyakiti Allah H dan Rasul-Nya menurut kesepakatan kaum Muslimin. Bahkan, caci
makian tersebut merupakan bentuk penyakitan/penyiksaan yang paling khusus. Selain itu
juga telah kita sebutkan di dalam hadits Jabir , bahwa yang pertama kali merusak sumpah
janji, adalah qasidahnya Ka'ab yang di-lantunkannya setelah dia kembali ke Madinah untuk
mencaci Rasulullah iH, dan bahwa Rasulullah sewaktu dicaci maki oleh Ka'ab dengan
qasidah ini, beliau menyuruh untuk membunuh Ka'ab. Ini saja sudah cukup sebagai dalil
bahwa sumpah janji tersebut bisa batal oleh karena syair cacian (hi/era') tersebut, bukan
karena kepergian atau pembelotannya ke Makkah.

Jika dikatakan: Ibn al-Asyraf telah dating dengan selain cacian dan ejekan terhadap Nabi
dengan meratapi orang-orang Quraisy yang terbunuh dan dia menyuruh mereka untuk
memerangi Nabi.. Dia juga mengklaim bagi mereka bahwa agama mereka lebih baik
daripada agama Sungguh, Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas yang
berkata: Sewaktu Ka'ab bin al-Asyraf datang di Makkah, maka orang-orang Quraisy
bertanya, "Coba lihatlah kepada benalu/parasit yang membelot dari kaumnya. Dia
mengklaim bahwa dia lebih baik daripada kita, padahal kami adalah para ahli haji, pelayan
K'abah, dan ahli siqayah/ahli pengairan?!"

Ka'ab berkata, "Kalian lebih baik!!" Ibnu Abbas berkata: Lalu turunlah ayat tentang
mereka, "Sesungguhnya orang-orang yang membenci kami dialah yang terputus." (al-
Kautsar: 3). Ibnu Abbas berkata: Dan berkenaan dengan mereka, diturunkan pula ayat :

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kifab.
Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan mempero/eh penolong baginya." (an-Nisa: 51-52)

Terdapat riwayat dari 'Ikrimah bahwa Ka'ab bin al-Asyraf pergi kepada orang-orang musyrik
dari kalangan kaum kafir Quraisy, lalu dia meminta bantuan kepada mereka terhadap Nabi
dan menyuruh mereka untuk memerangi beliau. Dia berkata kepada mereka,
"Sesungguhnya kami bersama kalian." Lalu, mereka pun berkata, "Sesungguhnya kalian
adalah ahlu kitab dan dia (Muhammad) juga pemilik kitab. Kami khawatir bilakah itu
adalah makar dari kalian. Jika kamu menghendaki kami keluar bersamamu, maka
bersujudlah kepada kedua berhala ini dan berimanlah kepadanya."

Maka, Ka'ab pun melakukannya. Kemudian mereka berkata kepadanya, "Bandingkan,


apakah kami yang lebih benar (lurus) ataukah Muhammad? Kami menyambung silaturahim,
menjamu tamu, memutari Ka'bah (thawaf), mengorbankan kauma'(onta yang besar
punuknya) dan menuangkan susu pada air? Sedangkan Muhammad, dia telah memutus
sanak kerabatnya dan keluar dari negerinya." Ka'ab berkata, "Bahkan, kalian lebih baik dan
lebih benar!!" Ikrimah berkata, " Lalu turunlah ayat tentang mereka, "Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari A/-Kitab. Mereka percaya kepada
jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkahj, bahwa
mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman," (an-Nisa': 51).

Sungguh, telah terkumpul dalam diri Ka'ab bin al-Asyraf berbagai dosa, yaitu: bahwa dia
telah meratapi/menangisi orang-orang Quraisy yang mati terbunuh, lalu dia telah
menyuruh mereka untuk memerangi Nabi dan menyetujui mereka untuk hal itu, lalu dia
telah membantu mereka untuk memerangi Nabi dengan memberitahukan bahwa agama
mereka lebih baik daripada agama Nabi , lalu dia juga telah mencerca Nabi dan kaum
Mukminin melalui bait-bait syaimya.

Kami katakan: Jawaban dari kesemuanya itu terdiri dari beberapa aspek, di antaranya:

Aspek pertama, bahwa Nabi tidak pemah menyuruh untuk membunuh Ka'ab dikarenakan
dia telah pergi/membelot ke pihak Makkah dan telah mengucapkan apa-apa yang telah
diucapkannya di sana. Akan tetapi, beliau menyuruh untuk membunuhnya karena Ka'ab
telah datang ke Madinah dan mencerca beliau dengan bait syaimya. Sebagaimana hal itu
telah dijelaskan di dalam hadits Jabir terdahulu yang berbunyi, "... lalu Ka'ab datang ke
Madinah dengan menyatakan permusuhannya terhadap Nabi ." Selanjutnya, Jabir
menjelaskan pula bahwa yang pertama-tama merusak sumpah janjinya adalah bait-bait
syair tersebut yang dilontarkannya setelah dia kembali. Dan, bahwa Nabi pada saat itu
langsung menyuruh untuk membunuhnya. Begitu pula terpapar dalam hadits Musa bin
'Uqbah yang berbunyi, "Siapakah yang mau membunuh Ibnu al-Asyraf untuk kami, karena
dia telah menyatakan permusuhan terhadap kami dan mencerca kami?"

Hal tersebut diperkuat pula bahwa apa yang telah dilakukan oleh Ka'ab bin al-Asyraf, yaitu
berupa pertemuannya dengan penduduk Makkah pada suatu musim, dan juga
pengakuannya di hadapan mereka bahwa agama mereka lebih baik daripada agama Nabi
Muhammad , semua itu juga pemah dilakukan oleh Huyay bin Akhthab. Meskipun demikian,
Nabi hanya menyuruh untuk membunuh Ibnu al-Asyraf dan membiarkan Ibnu Akhthab
hingga dia terbunuh bersama Bani Quraidhah. Dari sini bisa diketahui, bahwa apa yang
telah keduanya lakukan di Makkah bukan merupakan faktor keluarnya perintah Nabi untuk
membunuh Ibnu al-Asyraf, melainkan faktor yang sebenamya, adalah cercaan dan yang
sejenisnya yang secara khusus telah dilontarkan oleh Ibnu al-Asyraf. Sedangkan apa yang
telah dia lakukan di Makkah semakian menjadi penguat dan penopang. Sebagaimana hal
itu diperkuat lagi oleh adanya riwayat yang menyebutkan, bahwa Ibnu al-Asyraf
mengasingkan diri di Makkah sewaktu terjadi perselisihan antara Nabi H dan Bani Qainuqa'.
Pada saat itu, dia berkata, "Saya tidak akan menolongnya dan tidak akan memeranginya."
Hal itu sebagai petunjuk bahwa dia tidak pemah menampakkan permusuhannya terhadap
Nabi .
Aspek kedua, bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Ibnu al-Asyraf berupa ratapannya
terhadap orang-orang musyrik yang mati terbunuh, juga ajakannya, caci makiannya, dan
cercaannya terhadap agama Islam, serta pengunggulannya terhadap agama orang-orang
kafir (daripada agama Nabi ), tidak lain merupakan bentuk penyakitan dengan lisan.
Karena itu, barangsiapa yang menentang pendapat tentang rusak atau batalnya sumpah
janji dan halalnya darah Ka'ab bin al-Asyraf oleh karena telah mencaci Nabi , maka
tentunya dia lebih menentang lagi hal itu berlaku untuk perbuatan Ka'ab bin al-Asyraf yang
lainnya. Karena, orang yang berpendapat tidak rusak/batalnya sumpah janji Ka'ab oleh
karena telah mencaci maki Nabi H itu, dia juga berpendapat tidak batal/rusaknya sumpah
janji Ka'ab itu oleh karena perbuatan-perbuatanya yang lain. Namun, kisah ini sebagai
hujah bagi orang yang menentang pendapat berkaitan dengan masalah-masalah ini, dan
kami katakan, "Sesungguhnya semua tindakan Ka'ab ini merusak sumpah janjinya."

Aspek ketlga, bahwa pengunggulan agama orang-orang kafir atas agama kaum Muslimin—
tanpa diragukan lagi—bukanlah caci makian terhadap Nabi . Karena, keadaan sesuatu yang
diutamakan itu kondisinya masih lebih baik daripada orang yang dicaci maki. Jika
pengunggulan agama orang-orang kafir atas agama kaum Muslimin itu saja bisa merusak
sumpah janji, maka tentunya mencaci maki lebih bisa merusak sumpah janji.

Adapun ratapan Ka'ab bin al-Asyraf terhadap orang-orang Quraisy yang mati terbunuh, juga
ajakannya kepada mereka untuk membalas dendam kepada Nabi , maka hal itu lebih
sebagai pendorong/penggerak orang-orang Quraisy untuk memerangi Nabi , mengingat
orang-orang Quraisy waktu itu sudah bersepakat untuk memerangi Nabi setelah peristiwa
Badar, dan mereka telah mengawasi rombongan dagang yang di dalamnya ada Abu Sufyan
untuk membiayai perang terhadap Nabi tersebut.

Sehingga, dalam hal ini mereka sebenarnya tidak membutuhkan lagi ucapan Ka'ab bin al-
Asyraf. Memang benar, ratapan terhadap mereka yang terbunuh dan pengunggulan agama
mereka atas agama Islam yang dilakukan Ka'ab termasuk salah satu faktor yang semakin
menambah mereka marah dan memusuhi Nabi . Namun, caci makian dan cercaan Ka'ab
terhadap Nabi ;H dan agamanya (Islam) itu juga termasuk salah satu faktor yang bisa
memotivasi dan mendorong mereka untuk memerangi Nabi .

Dari sini bisa diketahui, bahwa cercaan Ka'ab (melalui syaimya) mengandung kerusakan
yang terdapat dalam ucapannya yang lain, atau bisa jadi lebih rusak lagi. Jika ucapan
Ka'ab yang lainnya saja bisa merusak sumpah janjinya, maka tentunya cercaannya (melalui
syaimya) itu juga bisa merusak sumpah \ janjinya. Oleh karena itu, Nabi telah membunuh
sekelompok wanita yang telah mencela dan mencerca beliau, meskipun di satu sisi beliau
memaafkan seorang wanita yang telah membantu hal itu dan memprovokasi untuk
memerangi beliau.

Aspek keempat, adanya beberapa aspek yang sudah populer di kalangan ulama, yaitu
bahwa firman Allah , "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi
bahagian dari Al-Kitab ... dst." (an-Nisa: 51), turun berkenaan dengan Ka'ab bin al-Asyraf
atas apa yang telah diucapkannya kepada orang-orang Quraisy, dan sungguh Allah ifi telah
mengabarkan dalam ayat ini bahwa Dia telah mengkutuknya, dan bahwa orang yang
dikutuk-Nya, maka dia tidak akan mendapati baginya seorang penolong.

Hal itu sebagai dalil bahwa dia tidak mempunyai sumpah janji lagi, alias sumpah janjinya
telah batal. Sebab, jikalau dia masih mempunyai sumpah janji, maka niscaya wajib bagi
kaum Muslimin untuk menolong/ membelanya. Dari sini bisa diketahui, bahwa ucapan
semacam ini menyebabkan rusak atau batalnya sumpah janjinya dan tidak adanya orang
yang menolong/membelanya.

Lalu, bagaimana dengan ucapan yang lebih parah dari semua itu, semisal caci makian dan
celaan? Sebenarnya, Nabi —Wallahu A'lam—tidak pemah menjadikan Ka'ab hanya dengan
cercaannya (melalui bait syair) itu sebagai penyebab rusaknya sumpah janjinya, mengingat
Ka'ab tidak pemah secara terang-terangan menyatakan ucapannya tersebut. Akan tetapi,
Allah memberitahukan hal itu dalam bentuk wahyu kepada Nabi , sebagaimana yang telah
disebutkan dalam beberapa hadits terdahulu.

Dan, Nabi tidak pemah membunuh seorang pun dari kaum Muslimin maupun dari kalangan
kafir mu'ahid, melainkan karena dosa yang benar-benar nyata. Maka, ketika Ka'ab bin al-
Asyraf kembali ke Madinah dan menyatakan cercaannya terhadap Nabi «H dan
permusuhannya, maka dia pun berhak untuk dibunuh, dikarenakan dia telah secara jelas
dan nyata menyakiti Nabi di hadapan banyak orang.

Apakah Syair atau Pengulang-Ulangan dalam Mencaci Maki Itu Sebagai Landasan
Dihalalkannya Darah Seorang Pencaci? Jika dikatakan: Sungguh, cacian yang dilontarkan
Ibnu al-Asyraf terhadap Nabi itu berupa syair, dan syair itu punya pengaruh dalam
menyakiti dan menghalang-halangi upaya sabilillah yang tidak sama atau berbeda dengan
ucapan yang berbentuk natsar (tidak bersajak)? Se-sungguhnya Ibnu al-Asyraf sudah
berulang-ulang dan seringkali melakukan hal itu, dan sesuatu jika telah dilakukan secara
berulang-ulang dan terus-menerus, maka tentunya mempunyai kondisi yang jelas berbeda
halnya bila itu dilakukan hanya sekali saja?!

Kami katakan: Jika Ibnu al-Asyraf telah menyakiti Nabi dengan cara melontarkan cacian
makian yang tersusun dalam bait syair (mandhum), maka sungguh wanita Yahudi itu telah
menyakiti Nabi dengan ucapannya yang berbentuk natsar (prosa), dan keduanya telah
dihalalkan darahnya. Dari sini bisa diketahui, bahwa bait syair (nadham) itu tidak
mempunyai pengaruh apa pun pada asal atau dasar hukum, mengingat seorang penya'ir
tersebut tidak pemah melakukan pengkhususan. Dan, sifat (looshqf)—jika hukum tersebut
telah nyata tanpa sifat itu—maka sifat tersebut tidak mempunyai pengaruh apa pun,
sehingga sifat itu pun tidak dikategorikan sebagai bagian dari 'illat (sebab) hukum
tersebut.

Dari segi lain, maka juga tidak diragukan lagi, bahwa jenis yang me-nyebabkan hukuman
(sanksi) itu terkadang sebagian jenis-jenisnya sangat berat sifat atau kadamya, atau
sekaligus sifat dan kadarnya. Karena, membunuh salah seorang dari kaum Muslimin itu
tidaklah sama dengan membunuh seorang anak atau bapak yang alim dan shalih. Akan
tetapi, hadits ini sebagaimana halnya hadits-hadits yang lainnya, menunjukkan bahwa
jenis penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan juga caci makian secara
umum itu bisa menghalalkan darah seorang kafir dzimmi dan merusak sumpah janjinya,
meskipun sebagian orang-orang itu lebih berat dosanya daripada sebagian yang lainnya,
mengingat begitu beratnya caci makiannya itu dari segi macam atau kadarnya.

Hal itu didasari oleh beberapa aspek berikut ini:

Pertama, bahwa Nabi telah bersabda, "Siapakah yang mau membereskan Ka'ab bin al-
Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?" Di sini, Nabi menjadikan 'illat
(sebab) beliau menyuruh untuk membunuh Ka'ab adalah karena dia telah menyakiti Allah
dan Rasul-Nya. Dan, menyakiti Allah dan Rasul-Nya itu, adalah nama atau sebutan mutlak,
tidak terikat dengan suatu macam dan kadar tertentu. Maka, wajib menjadikan tindakan
menyakiti Allah dan Rasul-Nya, itu sebagai "illat (sebab) adanya perintah untuk membunuh
orang yang melakukan hal itu dari kalangan kafir dzimmi maupun yang lainnya. Caci
makian tersebut, baik sedikit ataupun banyaknya, dan disusun dalam bentuk bait syair
(nadham) ataupun prosa (natsar), merupakan bentuk penyakitan/penyiksaan, tanpa
diragukan lagi.

Sehingga, hukum itu pun sangat berkait dengan caci makian tersebut. Yaitu, perintah Allah
dan Rasul-Nya untuk membunuh pelakunya. Seandainya memang makna hadits di atas
tidak seperti ini, niscaya Nabi akan bersabda, "Siapakah yang mau membunuh Ka'ab bin al-
Asyral, karena dia telah sangat berlebihan dalam menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Atau,
"... karena dia sudah seringkali menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Atau, "...karena didaterus-
menerus menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Padahal, Nabi adalah orang yang diberi jawami'
al-kalim (kalimat yang paripuma), tidak pemah berbicara berdasarkan hawa nafsu, dan
tidak pernah keluar dari kedua bibirnya melainkan suatu kebenaran (haq) dalam
kemarahan maupun keridhaannya ...."

Kedua, jenis yang bisa menghalalkan darah itu tidak ada bedanya antara jenis yang sedikit
maupun yang banyak, dan jenis yang berat maupun yang ringan dalam kapasitasnya
sebagai faktor penyebab dihalalkannya darah. Hal ini merupakan qiyas al-ushul. Dan,
barangsiapa yang menyatakan selain itu, maka sungguh dia telah keluar dari koridor qiyos
al-ushul ini. Padahal, dia tidak boleh melakukan hal itu kecuali atas dasar nash yang
menjadi landasan itu sendiri. Dan, tidak ada satu pun nash yang menunjukkan
diperbolehkannya perbuatan itu hanya dalam yang banyak saja, tanpa yang sedikit.

Hal itu diperjelas bahwa ucapan-ucapan yang merusak iman atau sumpah janji, sama saja
antara sekali diucapkan ataupun seringkali diucapkan. Sebagaimana jikalau seseorang
mengingkari satu ayat atau satu kewajiban yang jelas, atau dia mengucapkan sekali saja,
"Aku melanggar sumpah janji dan keluar dari perlindunganmu," maka sesungguhnya yang
demikian ini akan menetapkan konsekuensi akibatnya (atau batalnya sumpah janji
tersebut), dan hal itu tidak membutuhkan pengulangan lagi.

Begitu pula, dampak yang diakibatkan oleh caci makian dan cercaan terhadap agama
tersebut juga tidak membutuhkan pengulangan lagi. Ketiga, jika dia seringkali melakukan
dan mengucapkan hal semacam ini, maka kemungkinan dia dibunuh karena jenis
perbuatan dan ucapan yang menghalalkan darahnya itu, atau bisa jadi karena faktor yang
menghalalkan darahnya itu adalah kadar atau jumlah tertentu.

Jika temyata hal itu dikarenakan oleh faktor yang pertama, maka memang itulah yang
diharapkan, dan jika temyata itu lebih disebabkan oleh faktor yang kedua, maka
berapakah batasan jumlah yang bisa menghalalkan darahnya itu? Dan, tidak boleh bagi
siapa pun untuk menentukan jumlah tersebut, kecuali atas dasar nash, ijma' atau qiyas.
Namun, ketiganya tersebut tidak ada di dalam ketiga hal semacam ini.

Keempat, membunuh seseorang ketika dia sering melakukan hal-hal semacam ini, bisa jadi
sebagai had (sanksi) atau sebagai ta'ziryang terpulang kepada pendapat seorang Imam
(pemimpin). Jika itu berupa had (sanksi), maka sudah semestinya ada pembatasan faktor
yang menyebabkannya. Dan, tidak ada suatu had (sanksi) pun melainkan dia bergantung
kepada jenisnya, mengingat berkata/berpendapat sesuatu selain hal itu disebut tahakkum
(kesewang-wenangan). Namun, jika temyata hal itu sebagai ta'zir, maka tidak ada di
dalam ushul ta'zir dalam bentuk pembunuhan. Maka, tidak boleh menetapkan hukum
tersebut kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Dan, keumuman-keumuman yang
terdapat pada semisal ucapan Nabi : "Tidak halal darah seorang Muslim melainkan oleh
karena salah satu dari tiga faktor." yang menunjukkan tentang hal tersebut .Lihat Fathul
Bari, kitab pembahasan tentang diyat (denda) (12/209), hadits no. 6878; Muslim dalam
bab perdamaian (qasamah) hadits no. 1676; Abu Daud dalam kitab pembahasan tentang
jihad, hadits no. 2768; dan Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, (8/118). Ibnu Majah
dalam kitab pembahasan tentang diyat, hadits no. 2688; Musykil al-Atsaar, (1/77); Hilyat
al-Auliyaa', (3/324); .

ASPEK KEDUA
Adalah bahwa lima orang kaum Muslimin yang telah membunuh Ka'ab, yaitu: Muhammad
bin Maslamah, Abu Nailah, Ibad bin Basyar, Harits bin Aus, dan Abu 'Abas bin Jibr telah
mendapat izin dari Nabi untuk memperdayai dan menipu Ka'ab dengan suatu ucapan yang
memperlihatkan/ mengesankan bahwa mereka telah menjamin keamanan Ka'ab dan telah
menyetujuinya, namun temyata mereka kemudian membunuhnya.

Dari apa yang sudah diketahui, bahwa orang yang memperlihatkan kepada seorang kafir
suatu jaminan keamanan, maka setelah itu orang kafir tersebut tidak boleh dibunuh
karena kekufurannya itu. Bahkan, jikalau seorang kafir harbi tersebut sampai meyakini
bahwa orang Muslim itu telah menjamin keselamatannya dan mengucapkan hal itu
kepadanya, maka jadilah dia seorang yang mendapat jaminan keamanan (musfa'man).
Nabi telah bersabda dalam hadits yang telah diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Hamq:
"Barangsiapa yang memberikan jaminan keamanan kepada seseorang atas nyawa dan
hartanya, lalu dia membunuh orang tersebut, maka aku berlepas diri darinya, meskipun
orang yang terbunuh itu adalah orang kafir." (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah) .Musnad
Ahmad, (5/223, 224); dan isnad hadits ini shahih

Dan Sulaiman bin Shard dari Nabi , beliau telah bersabda: "Jika seseorang telah
mempercayakan keselamatan nyawanya kepadamu, maka janganlah kamu membunuhnya."
(HR. Ibnu Majah). Ibnu Majah dalam kitab pembahasan diyat, hadits no. 2689; Musnad
Imam Ahmad, (6/394); dan isnad hadits ini dha'if (lemah), akan tetapi hadits yang
terdahulu menguatkan maknanya. Abu Daud dalam kitab pembahasan tentang jihad, hadits
no. 2769;

Dari Abu Hurairah , dari Nabi H, beliau telah bersabda: "Iman itu sebagai pengikat
kematian, (oleh karena itu) seorang yang beriman tidak akan dibunuh." (HR. Abu Daud dan
yang lainnya)..Musnad Imam Ahmad, (1/167); Imam ath-Thabarani dalam kitabnya al-
Kabir, (19/319); Imam al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, yaitu dalam kitab
pembahasan tentang hudud (sanksi), (4/352); dan isnad hadits ini shahih menurut syarat
Imam Muslim, dan telah disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.

Perkataan yang telah mereka ucapkan kepada Ka'ab ini merupakan suatu jaminan
keamanan, dan setidaknya itu akan menjadi syubhat keamanan baginya. Dan, yang
semacam itu membuat Ka'ab tidak boleh dibunuh hanya semata-mata karena
kekufurannya. Karena, keamanan tersebut bisa melindungi nyawa seorang kafir harbi dan
paling tidak seorang kafir tersebut akan terjamin keselamatannya karena itu, sebagaimana
itu sudah diketahui dalam beberapa hal.

Akan tetapi, alasan mereka membunuh Ka'ab di sini dikarenakan Ka ab telah mencaci maki
dan menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Dan, karena bolehnya untuk membunuh Ka'ab oleh
faktor inilah, maka darahnya tidak lagi terlindungi dengan adanya jaminan dan juga
perjanjian. Sebagaimana jikalau seorang Muslim menjamin keselamatan orang yang wajib
dibunuh karena telah membegal/merampok, memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan
berusaha membuat kerusakan di bumi yang mengharuskan dia untuk dibunuh, atau dia
menjamin orang yang wajib dibunuh karena perzinaannya, atau dia menjamin keselamatan
orang yang wajib dibunuh karena kemurtadannya atau karena meninggalkan rukun-rukun
Islam dan lain sebagainya. Tidak diperbolehkan baginya untuk membuat perjanjian
kepadanya baik perjanjian keamanan, perdamaian, ataupun perjanjian perlindungan.
Karena, membunuhnya itu merupakan salah satu had (sanksi), dan bukanlah membunuhnya
itu semata-mata karena dia seorang kafir atau harbi, sebagaimana yang akan dijelaskan
nanti.

Syubhat yang Gugur Berkaitan dengan Pembunuhan Ibnu al-Asyraf

Telah dimunculkan kepada sebagian kalangan orang bodoh sebuah syubhat berkaitan
dengan pembunuhan Ibnu al-Asyraf ini, lalu dia menduga bahwa darah yang semacam ini
akan dijaga oleh perjanjian/perlindungan yang terdahulu atau dengan jaminan keamanan
secara zahir. Hal itu seperti halnya syubhat yang telah dihadapkan kepada sebagian
kalangan ahli fiqih, sehingga dia juga menduga bahwa sumpah janji itu tidak bisa rusak
karena hal tersebut. Maka, Ibnu Wahab telah meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Ibayah
yang berkata, "Pembunuhan terhadap Ibnu al-Asyraf ini telah disampaikan di hadapan
Mua'awiyah, lalu Ibnu Yamin berkata, "Pembunuhan ini adalah pengkhianatan!" Lalu
Muhammad bin Maslamah berkata, "Wahai Mu'awiyah, apakah dia mengkhianati Rasulullah
di hadapanmu, lalu kamu tidak mengingkari?! Demi Allah, selamanya tidak ada atap yang
akan melindungiku dan dirimu, dan mereka pun tidak bakhil kepadaku atas darah orang
ini, melainkan aku telah membunuhnya."

Dalil Kedua:
Kisah Abu 'Afak al-Yahudi (kakek tua berumur 120 thn)

Sungguh, al-Waqidi telah meriwayatkan bahwa seorang syaikh (orang yang sudah tua) dari
Bani 'Amr bin 'Auf yang disebut Abu 'Afak, dan dia adalah seorang syaikh (orang yang sudah
tua) yang sudah berusia 120 tahun sewaktu Nabi datang di Madinah pemah memprovokasi
orang-orang untuk memusuhi Nabi , dan dia tidak pemah masuk ke dalam agama Islam.
Ketika Nabi keluar ke medan Badar dan Allah telah memberinya keberuntungan atas
kemenangan yang dicapainya, maka dia merasa iri dan benci kepada Nabi, sehingga dia
pun melantunkan sebuah qasidah yang mengandung unsur celaan kepada Nabi dan juga
terhadap para pengikut beliau. Dia mengucapkan, "Maka, seorang penunggang (kuda) itu
merampas harta mereka, baik yang haram maupun yang halal untuk mereka sekalian."

Salim bin 'Umair berkata, "Aku bemadzar akan membunuh Abu 'Afak atau malah akulah
yang akan mati." Maka, dia pun sabar menunggu kesempatan dan mencari kelengahan Abu
'Afak hingga akhimya tiba suatu malam yang panas (gerah). Kala itu, Abu 'Afak tidur di
serambi rumah dari Bani 'Amr bin 'Auf pada musim kemarau lalu datanglah Salim bin
'Umair. Maka, Salim pun menusukkan pedang ke arah perut/hati Abu 'Afak hingga pedang
tersebut menembus/menancap di alas tikamya, dan musuh Allah itu pun seketika menjerit
/menyeringai. Lalu, orang-orang yang termasuk dalam ucapannya tersebut
mengerumuninya, lalu mereka memasukkan tubuhnya ke dalam rumahnya dan
menguburkannya. Mereka bertanya, "Siapakah yang telah membunuhnya? Demi Allah,
seandainya kami mengetahui pembunuhnya, niscaya kami pasti telah membunuhnya!"

Hal ini juga telah dituturkan oleh Muhammad bin Sa'ad, yaitu bahwa Abu 'Afak adalah
seorang Yahudi. Dan, sungguh kami telah menyebutkan bahwa kaum Yahudi di Madinah
semuanya telah berjanji kepada Rasulullah , dan manakala seorang dari mereka ada yang
mencerca dan menunjukkan celaan terhadap Nabi, maka dia harus dibunuh. Dalam kisah
ini terdapat petunjuk yang jelas bahwa seorang kafir mu'ahid jika dia menampakkan
caciannya, berarti dia sudah merusak sumpah janjinya dan boleh dibunuh melalui tipu
muslihat. Hanya saja, pendapat ini berasal dari riwayat para ulama di bidang peperangan.
Dan, tanpa diragukan lagi, hal ini sah-sah saja bila dijadikan sebagai penguat di sini.

Dalil Ketiga:
Hadits Anas bin Zanim ad-Daili

Hadits ini sangat populer menurut kalangan ahli sejarah (sirah), dan telah disebutkan oleh
Ibnu Ishaq, al-Waqidi, dan yang lainnya. Al-Waqidi sungguh telah meriwayatkan dari
Mihjan bin Wahab yang berkata, "Puncak permusuhan antara Khuza'ah dan Kinanah, adalah
bahwa Anas bin Zanim ad-Dailami telah mencerca Rasulullah, dan ternyata hal itu
didengar oleh seorang pemuda dari kubu Khuza'ah. Seketika, pemuda itu pun
menimpuknya dan melukainya. Lalu Anas pun bergegas kepada kaumnya dan
memperlihatkan lukanya itu. Sehingga dari situ, berkobarlah pertikaian beserta apa yang
sudah terjadi di antara mereka sebelumnya dan juga tuntutan kematian oleh Bani Bakar
terhadap pihak Khuza'ah.

Al-Waqidi berkata: Haram bin Hisyam bin Khalid al-Ka'bi telah menyampaikan hadits
kepadaku dari bapaknya yang berkata, '"Amr bin Salim al-Khuza'i telah keluar bersama 40
orang penunggang dari kubu Khuza'ah untuk meminta pertolongan kepada Rasulullah dan
mengabarkan kepada beliau atas apa yang telah menimpa mereka." Al-Waqidi berkata:
Ketika rombongan tersebut telah sampai, mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Anas bin Zanim ad-Daili telah mencerca engkau." Maka, seketika Rasulullah
pun menghalalkan darahnya. Hal itu terdengar oleh Anas bin Zanim ad-Daili, maka dia pun
datang untuk meminta maaf kepada Rasulullah atas apa yang telah diucapkannya terhadap
Nabi, lalu dia pun melantunkan qasidah yang berisi pujian terhadap diri Rasulullah , dan
telah diucapkan oleh Naufal bin Muawiyah sewaktu meminta maaf kepada beliau, sehingga
beliau pun memaafkannya.

Dalil petunjuknya, adalah bahwa Nabi telah melakukan perjanjian damai dengan kaum
Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah selama sepuluh tahun, dan Bani Khuza'ah termasuk di
dalam perjanjiannya itu. Adapun kebanyakan mereka adalah kaum Muslimin, dan mereka
adalah pemberi kabar bagi Rasulullah , baik orang Islam maupun orang kafir. Sedangkan
Bani Bakar termasuk di dalam janji kaum Quraisy. Sehingga, semua orang-orang ini terlibat
dalam perjanjian. Ini menurut riwayat yang telah mutawatir dan tidak diperselisihkan lagi
oleh kalangan ulama.

Sesungguhnya seorang kafir mu'ahid ini telah mencerca Nabi menurut apa yang diceritakan
darinya, lalu seorang pemuda dari Bani Khuza'ah melukainya, lalu mereka melaporkan
kepada Nabi bahwa orang tersebut telah mencerca beliau. Laporan tersebut mereka
maksudkan agar Nabi memerangi Bani Bakar, lalu Nabi seketika menghalalkan darah orang
tersebut, dan tidak menghalalkan darah orang yang selainnya. Kalau bukan karena mereka
telah mengetahui bahwa mencerca Nabi oleh seorang kafir mu'ahid itu bisa menyebabkan
balasan/dendam beliau, maka mereka tidak akan pernah melakukan hal itu. Kemudian,
Nabi pun menghalalkan darah orang tersebut karenanya, meskipun cercaan tersebut
dilontarkan dalam masa perjanjian. Hal ini sebagai nosh (ketetapan) bahwa seorang kafir
mu'ahid yang mencerca Nabi itu dihalalkan darahnya.

Kemudian, pada saat Anas bin Zanim datang, maka dia pun masuk Islam di dalam syairnya.
Oleh karena itu, mereka pun memasukkannya ke dalam daftar sahabat Rasulullah, dan
karenanya pula, dia sangat mengingkari telah mencerca Nabi , dan menampik kesaksian
orang-orang tersebut bahwa mereka adalah musuh-musuhnya, mengingat di antara dua
kabilah tersebut terdapat pertumpahan darah dan peperangan. Jika saja apa yang
dilakukannya itu tidak sampai menghalalkan darahnya, niscaya dia tidak memerlukan
sedikit pun dari semua itu. Kemudian setelah dia masuk Islam, mengungkapkan apologi
(permintaan maaf)nya, menyangkal ucapan para pembawa berita dan memuji Rasulullah ,
dia meminta ampunan kepada Nabi atas penghalalan darahnya.

Dan, ampunan tersebut hanya terwujud dengan diperbolehkannya menimpakan sanksi


(hukuman) atas dosa yang telah diperbuatnya. Dari sini bisa diketahui, bahwa Nabi
semestinya berhak menjatuhkan hukuman terhadapnya sewaktu dia datang untuk menjadi
seorang Muslim, akan tetapi beliau memaafkannya karena kearifan dan kemurahannya. Di
dalam hadits ini disebutkan, bahwa Naufal bin Mu'awiyahlah yang menjadi mediatomya
kepada Nabi. Dan, umumnya para ulama sejarah (sirah) menyebutkan, bahwa Naufal ini
merupakan biangnya orang-orang yang sombong yang telah memusuhi Bani Khuza'ah dan
membunuh mereka. Dan untuk tugas itu, mereka telah dibantu oleh orang-orang Quraisy.
Oleh karena itulah, maka sumpah janji orang-orang Quraisy dan Bani Bakar menjadi
batal/terlanggar. Kemudian, Naufal masuk Islam pada waktu sebelum peristiwa Fathu
Makkah hingga dia menjadi mediator bagi orang yang telah mencerca Nabi ini.

Dari sini bisa diketahui, bahwa mencerca Nabi (melalu syair) ini lebih berat dari sekadar
melanggar / membatalkan janji dengan memerangi. Mengingat jika seseorang melanggar
janji dengan cara memerangi, sedangkan yang lain mencerca Nabi , lalu keduanya masuk
Islam, maka orang yang memerangi tersebut dilindungi darahnya, sementara orang yaqg
mencerca tersebut boleh dibalas. Oleh karena itu, pemuda ini menyertakan dosa
"pencorengan kehormatan" tersebut dengan dosa "penumpahan darah atau pembunuhan".
Dari sini bisa diketahui, bahwa keduanya sama-sama menyebabkan dirinya dibunuh, dan
bahwa mencoreng kehormatan Nabi menurut mereka lebih besar dosanya daripada
membunuh kaum Muslimin dan kafir mu'ahid.

Hal itu diperjelas bahwa Nabi tidak pernah menghalalkan darah seorang pun dari Bani
Bakar yang melanggar/merusak sumpah janjinya itu sendiri. Justeru, beliau telah
mempersilahkan Bani Bakar untuk membalas dendam mereka terhadap Bani Khuza'ah
sewaktu Fathu Makkah, tepatnya di tengah siang belong, dan beliau juga menghalalkan
darah orang ini sendiri hingga dia masuk Islam dan memohon maaf.

Hal ini mengingat perjanjian tersebut adalah perjanjian untuk damai dan gencatan
senjata, bukan perjanjian jizyah (upeti) dan dzimmah (perlindungan). Dan, seorang kafir
muhadin (yang terikat janji damai) yang bertempat tinggal di negerinya bisa melakukan di
negerinya tersebut segala bentuk kemungkaran ucapan maupun perbuatan yang berkaitan
dengan agama dan dunianya dengan sesuka hatinya.

Dan, hal itu tidak membuat sumpah janjinya batal hingga dia harus diperangi. Dari sini
bisa diketahui, bahwa cercaan (dalam bentuk syair) merupakan salah satu jenis/bentuk
peperangan dan bisa jadi lebih berat daripada hal itu, dan bahwa orang yang mencerca
Nabi itu tidak mempunyai perlindungan keamanan.
PASAL KEEMPAT:
Halalnya Darah Seorang Kafir Harbi Karena Mencaci Maki Nabi Meskipun Dia Bertaubat

Halalnya darah seorang kafir harbi oleh karena telah mencaci maki Nabi dan adanya
syariat untuk membunuhnya meskipun dia datang bertaubat setelah mampu
melakukannya, berdasar pada banyak dalil dari as-Sunnah, di antaranya: Bahwa Nabi telah
menyuruh untuk membunuh sekelompok orang dikarenakan telah mencaci maki beliau,
dan juga membunuh sekelompok orang lainnya dikarenakan alasan yang sama. Namun,
pada satu sisi beliau menahan diri (tidak membunuh) dan membiarkan orang yang memiliki
posisi/kedudukan yang sama dengan mereka, mengingat dia adalah seorang kafir harbi.

Dalil lainnya, adalah riwayat yang telah disampaikan oleh Sa'id bin al-Musayyib bahwa Nabi
sewaktu peristiwa Fathu Makkah telah menyuruh untuk membunuh Ibnu az-Zaba'ri. Dan, di
sini Sa'id bin al-Musayyib merupakan perawi hadits-hadits mursal yang paling baik
kualitasnya, dan tidaklah menjadi masalah bila riwayat ini tidak disebut-kan oleh sebagian
kalangan ulama spesialis di bidang peperangan. Hal itu mengingat mereka berselisih
pendapat tentang jumlah orang yang dikecualikan dari jaminan keamanan yang diberikan
Nabi waktu itu. Masing-masing mengabarkan apa yang telah diketahuinya.

Adapun orang yang menetapkan dan menyebutkan sesuatu itu menjadi hujah bagi orang
yang tidak menetapkannya. Dalil petunjuk dari kisah Ibnu az-Zaba'ri ini adalah bahwa dosa
yang diperbuat oleh Ibnu az-Zaba'ri bahwa dia orang yang sangat memusuhi Rasulullah
dengan lisannya. Dia adalah orang yang paling hebat membuat syair. Dia pernah mencerca
para penyair Islam, semisal Hassan bin Tsabit dan Ka'ab bin Malik. Adapun dosa-dosanya
yang lain telah terbawa ke dalam dosanya ini. Cukup banyak orang dari kaum Quraisy yang
telah terdidik di bawah asuhannya. Kemudian Ibnu az-Zaba'ri lari ke Najran, dan setelah
itu dia menghadap Nabi untuk masuk Islam.

Dia mempunyai banyak syair indah/bagus berkaitan dengan tema taubat dan apologi
(permintaan maaf). Lalu, Nabi pun menghalalkan darahnya karena pemah mencerca beliau
(dalam syaimya), padahal waktu itu beliau telah memberi jaminan kemananan kepada
seluruh penduduk kota Makkah, selain orang yang melakukan kejahatan semacam ini dan
yang sejenisnya. Di antara dalil lainnya adalah kisah Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul
Mutthalib. Hal itu, mengingat kisah tentang caci makiannya terhadap Nabi dan
berpalingnya muka Nabi dari dirinya sewaktu dia datang menghadap beliau untuk masuk
Islam, sudah sangat masyhur dan populer.

Ibnu Ishaq berkata: Abu Sufyan bin al-Harits dan Abdullah bin Abu Umayyah bin al-
Mughirah telah menemui Rasulullah di Tsaniyat al-'Uqab yang berada di antara Madinah
dan Makkah. Keduanya memohon untuk menghadap beliau. Lalu, Ummu Salamah pun
mengatakan kepada beliau tentang keduanya, dan berkata, "Wahai Rasulullah, mereka
adalah putera pamanmu dan putera bibimu dan sekaligus iparmu." Namun, Nabi
menjawab, "Aku tidak peduli terhadap mereka berdua! Adapun putera pamanku itu, dia
telah merusak kehormatanku, sedangkan putera bibiku dan iparku itu, maka dialah orang
yang telah mengucapkan apa yang telah diucapkannya di Makkah. ". Imam ath-Thabarani
dalam kitab al-Kabir, (8/11); Imam al-Haitsami di dalam kitab Majma' az-Zawaaid (6/167)
berkata: rijal atau perawi hadits ini adalah rijal yang shahih.

Ketika kabar tersebut terdengar oleh keduanya dan Abu Sufyan waktu itu ditemani oleh
puteranya maka dia pun berkata, "Demi Allah, sungguh Rasulullah mengizinkanku ataukah
aku akan menyeret tangan puteraku ini untuk enyah/berkelana di muka bumi ini hingga
kami mati dalam keadaan dahaga atau kelaparan." Ketika Rasulullah mendengar ucapan
Abu Sufyan tersebut, maka hatinya merasa miris/iba kepada keduanya, sehingga keduanya
boleh menemuinya.

Lalu, Abu Sufyan menyatakan keIslamannya dan permohonan maafnya atas apa yang telah
diperbuatnya terhadap Nabi di masa lampau. Dalil petunjuk dari kisah Abu Sufyan ini
adalah bahwa Nabi telah menghalalkan darah Abu Sufyan bin al-Harits, bukan darah para
pemuka kaum musyrikin lainnya yang sangat berandil besar dalam memerangi Nabi dengan
tangan dan harta. Nabi datang ke Makkah bukan untuk menumpahkan darah atau
membunuh penduduknya, melainkan untuk mengasihi mereka di bawah naungan Islam.

Dan, tidak ada sebab atau alasan yang mengkhususkan penghalalan darah Abu Sufyan itu,
melainkan karena cercaannya terhadap diri Nabi . Kemudian Abu Sufyan pun datang untuk
masuk Islam, namun Nabi memalingkan muka darinya. Padahal, tujuan semula Nabi adalah
mempersatukan orang-orang yang berjauhan atas landasan Islam, terlebih-lebih terhadap
keluarga terdekatnya. Semua itu dikarenakan Abu Sufyan telah merusak kehormatan Nabi ,
sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam hadits.

Di antara dalil lainnya lagi, adalah bahwa Nabi pada waktu Fathu Makkah juga telah
menyuruh untuk membunuh al-Huwairits bin Naqid, dan kisah ini pun sangat populer di
mata kalangan ulama sejarah (sirah). Musa bin 'Uqbah di dalam kitab Maghozi-nya
mengatakan dari az-Zuhri—dan ini merupakan kitab tentang peperangan yang paling
shahih—. Dia menuturkan, "Rasulullah menyuruh mereka agar menahan diri untuk tidak
memerangi seorang pun kecuali orang-orang yang telah memerangi mereka. Beliau
menyuruh untuk membunuh empat orang yang salah satunya adalah al-Huwairits bin
Nuqaid." Konon, al-Huwairits termasuk daftar orang yang telah menyakiti Rasulullah , dan
akhimya Ali bin Abu Thalib pun membunuhnya. .Lihat as-Sunan al-Kubra karya Imam al-
Baihaqi, (9/121).

Dalil petunjuk dalam kisah ini adalah bahwa Nabi telah menyuruh untuk membunuh orang
ini hanya karena dia telah menyakiti Nabi , meskipun waktu itu beliau telah memberi
jaminan keamanan kepada penduduk Makkah yang pernah memerangi Nabi beserta para
sahabatnya, dan bahkan telah melakukannya berulang-ulang kali.

Di antara dalil lainnya, adalah bahwa Nabi sewaktu pulang dari Badar untuk kembali ke
Madinah, beliau membunuh Nadhar bin al-Harits dan 'Uqbah bin Abu Mu'ith, namun beliau
tidak membunuh para tawanan perang Badar yang lainnya. Dan, kisah ini sudah sangat
terkenal.

Al-Waqidi berkata: Rasulullah menghadap para tawanan hingga ketika mereka tiba di 'Irq
adh-Dhibyah. Beliau menyuruh 'Ashim bin Tsabit bin Abul Aflah untuk memenggal leher
'Uqbah bin Abu Mu'ith. Sehingga, 'Uqbah pun bertanya, "Sungguh celakalah aku, atas dasar
apakah aku dibunuh di antara para tawanan yang hadir di sini, wahai kaum Quraisy?" Lalu
Rasulullah pun menjawab: "... karena permusuhanmu terhadap Allah dan rasul-Nya." Dalil
petunjuk yang terdapat dalam kisah Nadhar dan 'Uqbah, bahwa mencaci maki yang
menyebabkan kedua orang ini dibunuh di antara seluruh tawanan perang adalah karena
ucapan dan perbuatan mereka yang telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
ayat-ayat yang turun berkenaan dengan Nadhar ini sudah terkenal.

Begitu pula penyiksaan oleh Ibnu Abi Mu'ith juga sangat masyhur, baik itu melalui lisannya
ataupun tangannya, yaitu semisal ketika dia menjerat dengan sangat kuat leher Nabi
dengan selendangnya karena menginginkan kematian beliau, dan ketika dia melemparkan
duri pohon kurma ke atas punggung Nabi , sementara beliau waktu itu sedang melakukan
sujud, dan lain sebagainya.

Di antara dalil lainnya lagi, adalah perintah Nabi untuk membunuh siapa saja dari kaum
Quraisy dan seluruh bangsa Arab yang telah mencercanya setelah Fathu Makkah, semisal
Ka'ab bin Zuhair dan yang lainnya. Di antara kisah Ka'ab, yaitu setelah dia mendengar
bahwa Nabi telah menghalalkan darahnya, dia segera menghadap Nabi untuk meminta
perlindungan, bertaubat dan masuk agama Islam. Ketika itu, dia melantun-kan qasidahnya
yang terkenal dengan judul, Baanat Su'aadu. Lalu, Nabi pun memaafkannya dan menerima
taubatnya. Penghalalan darah Ka'ab bin Zuhair oleh Nabi atas apa yang telah diucapkannya
itu, meski sebenarnya ucapan itu bukan merupakan cercaan yang mendalam, lebih
dikarenakan dia telah mencerca agama Islam, mencela diri Nabi dan mencela ajaran yang
diserukan oleh Rasulullah .

Sedang permohonan maaf oleh Ka'ab meskipun dia telah bertaubat sebelum mampu
melakukan taubat itu dan telah datang sebagai seorang Muslim sedangkan dia adalah
seorang kafir harbi adalah sebagai dalil akan kepatutan/kemestian seorang kafir harbi
untuk dibunuh, meskipun dia telah masuk Islam dan datang untuk bertaubat. Di antara
dalil lainnya juga, adalah kisah Abu Rafi' al-Yahudi. Dia termasuk salah seorang yang
diceritakan telah dibunuh karena menyakiti Nabi. Dan, kisah orang ini sudah sangat
populer di kalangan para ulama. Maka di sini, kami akan menuturkan tempat petunjuk
atau Dalil dari kisah tersebut.

Dari Barra' bin 'Azib yang berkata, "Rasulullah telah mengutus beberapa pemuda dari
kalangan Anshar kepada Abu Rafi' al-Yahudi. Beliau menyerahkan kepemimpinan atas
mereka kepada Abdullah bin 'Atik. Ketika itu, Abu Rafi' telah menyakiti Nabi dan
membantu hal itu, dan dia berada dalam suatu benteng di daerah Hijaz. Ketika para
pemuda itu sudah dekat, sementara matahari telah terbenam dan orang-orang pun telah
pulang dari bepergiannya, Abdullah pun berkata kepada kawan-kawannya, "Duduklah
kalian di tempat kalian, karena aku akan pergi dan berlaku sopan kepada penjaga pintu
agar aku bisa masuk." Setelah itu, dia pun berjalan dan mendekati pintu.

Kemudian, dia bertutup dengan pakaiannya, seakan-akan dia sedang memenuhi hajatnya.
Orang-orang pun masuk pintu, lalu penjaga pintu itu pun berbisik kepadanya, "Wahai
Abdullah, jika kamu ingin masuk, maka masuklah, karena aku ingin menutup pintu."
Abdullah bertutur, "Maka, aku segera masuk lalu bersembunyi/menyelinap. Ketika orang-
orang telah masuk, maka penjaga pintu itu pun menutup pintunya dan meng-gantungkan
kunci-kuncinya pada sebuah pasak/gantungan." Abdullah bertutur, "Lalu aku pun berdiri
menghampiri kunci-kunci itu, lalu meng-ambilnya dan membuka pintu.
Malam itu, Abu Rafi' sedang mengobrol/ bercengkrama dengan orang yang bersamanya,
dan dia berada dalam ruangan atas. Ketika teman-teman cengkrama/ngobrolnya telah
pergi, maka aku pun segera naik. Dan setiap kali aku membuka pintu, maka aku tutup Jika
telah aku nadzarkan, maka mereka tidak akan selamat dariku hingga aki bisa
membunuhnya. Lalu aku pun sampai kepadanya. Ternyata dia berada dalam
rumah/ruangan gelap yang terletak di tengah-tengah keluarganya. Aki tidak bisa melihat
di rumah/ruangan manakah dia berada. Aku pun bersuare "Wahai Abu Rafi'." Dia pun
menyahut, "Siapa ini?" Lalu aku segera turun mendatangi arah suara itu, dan langsung
menebaskan pedang ke arahnya; dengan sekali tebasan. Aku sangat takut dan tidak
mempunyai seorang penolong pun. Seketika itu Abu Rafi' pun menjerit.

Lalu aku keluar dai rumah/ruangan itu dan berdiri tidak jauh darinya. Kemudian aku
kembal kepadanya dan berkata, "Apakah teriakan ini, wahai Abu Rafi?" Di; berkata,
"Sungguh celaka, seorang lelaki di dalam rumah/ruangan telal menebaskan pedang
kepadaku tadi." Abdullah bertutur, "Lalu aku menebas kan pedang ke arahnya lagi dengan
tebasan yang bisa membunuhnya. Namun, temyata aku belum mampu membunuhnya.
Kemudian aku menusukkan mata pedang ke arah perutnya hingga menembus punggung
nya, sehingga aku pun tahu bahwa aku telah membunuhnya.

Lalu, aku membuka pintu-pintu tersebut satu per satu hingga sampai pada tangga. Lalu
aku langkahkan kakiku dan temyata aku telah sampai di tanah/lantai dasar Namun, aku
terjatuh dalam malam yang diterangi oleh cahaya bulan itu hingga betisku retak/patah,
dan aku pun membalutnya dengan sorban Kemudian aku pergi untuk kemudian duduk di
depan pintu. Aku katakah: Aku tidak akan keluar malam ini hingga aku mengetahui benar
apakah aku telah membunuhnya atau belum? Ketika ayam jantan telah berkokok,
seseorang yang meratapi kematian Abu Rafi' berdiri di atas pagar dan aerkata, "Seorang
pedagang dari penduduk Hijaz meratapi Abu Rafi'."

Lalu aku pergi menghampiri kawan-kawanku dan aku katakan, "Suatu keberhasilan,
sungguh Allah telah membunuh Abu Rafi'." Lalu aku sampai ke hadapan Nabi dan
menceritakan semuanya kepada beliau. Kemudian beliau berkata, "Rentangkan kakimu."
Lalu, aku pun merentang-tan kakiku, dan Nabi pun mengusapnya, dan seolah-olah aku
tidak jemah mengeluhkannya," (HR. Imam al-Bukhari di dalam Shahih-nya).. Lihat Fathul
Ban dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (71395, 396, hadits no. 4039).

Dalil petunjuk dari kisah Abu Rafi': Sungguh, telah terlihat jelas dalam usah ini, bahwa
kaum Muslimin atas seizin Nabi telah secara sembunyi-sembunyi membunuhnya
dikarenakan dia telah menyakiti dan memusuhi, dan bahwa dia seperti Ibnu al-Asyraf,
hanya saja Ibnu al-Asyraf adalah seorang kafir mu'ahid. Lalu, Abu Raff menyakiti Nabi ljg
dan Rasul Nya. Sehingga, Nabi pun menyuruh kaum Muslimin untuk membunuh-nya, dan
dia bukanlah seorang kafir mu'ahid.

Di antara dalil lainnya adalah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi pemah keluar untuk
membunuh orang yang mencercanya (melalui syair) dan bersabda, "Siapakah yang mau
membelaku terhadap musuhku?" Al-Umawi di dalam kitab Maghazi-Nya telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki dari kaum musyrikin telah mencela Rasulullah , lalu
Rasulullah pun bersabda, "Siapakah yang mau me/indungilcu terhadap musuhku?". Lihat
Mushannaf Abdurrazzaq, hadits no. 9477, 9704. Telah disebutkan takhrijnya. Derajat
hadits ini dhaif.
Maka, Zubair bin 'Awam berdiri dan berkata, "Aku." Lalu Zubair membunuh lelaki itu, dan
Rasulullah pun memberi harta rampasan dari lelaki itu kepada Zubair, dan saya menduga
itu hanya terjadi pada perang Khaibar sewaktu Yasir terbunuh. Dan, hadits ini juga
diriwayatkan oleh Abdurrazzaq. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa seorang lelaki
telah mencaci maki Nabi , lalu beliau pun bersabda, "Siapakcah yang mau membelaku
terhadap musuhku." Lalu Khalid berkata, "Aku." Lalu Nabi pun mengirimnya kepada lelaki
itu, hingga Khalid membunuhnya.

Di antara dalil lainnya adalah bahwa para sahabat Nabi jika mereka mendengar ada orang
yang mencaci maki dan menyakiti Nabi , maka mereka akan membunuhnya, meskipun
orang itu adalah kerabatnya. Maka, Nabi pun mengakui hal itu kepada mereka dan
meridhainya. Dan, terkadang orang yang melakukan hal itu disebut sebagai pembela Allah
dan Rasul-Nya. Abu Ishaq al-Fazari di dalam kitabnya yang terkenal tentang sirah (sejarah)
telah meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, dari Isma'il bin Sami', dari Malik bin 'Umair yang
berkata, "Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah dan berkata, "Sesungguhnya aku
bertemu ayahku di antara kaum musyrikin, lalu aku mendengar darinya ucapan kotor yang
ditujukan kepadamu. Maka, aku pun tidak sabar untuk menusuknya dengan tombak dan
membunuhnya.

Abu Ishaq al-Fazari di dalam kitab yang sama juga telah meriwayatkan dari al-Auza'i, dari
Hassan bin 'Athiyah yang berkata: Rasulullah H telah mengutus satu pasukan yang di di
dalamnya terdapat Abdullah bin Rawahah dan Jabir. Ketika mereka telah berhadapan
dengan kaum musyrikin, maka terdapat seseorang dari kaum musyrikin yang mencaci maki
Rasulullah . Lalu, seseorang dari kaum Muslimin berdiri dan berkata, "Aku adalah fulan bin
fulan, dan ibuku adalah fulanah, maka caci makilah aku dan ibuku, dan janganlah kamu
mencaci maki Rasulullah " Namun, hal itu malah menambah permusuhan si pencaci maki
itu.

Lalu dia pun mengulangi kata-katanya itu, dan begitu pula lelaki musyrik itu pun
mengulangi tindakannya. Lalu pada ucapan yang ketiga kalinya lelaki Muslim itu berkata,
"Jikalau kamu ulangi lagi, niscaya akan aku serang kamu dengan pedangku." Lalu temyata
lelaki musyrik itu mengulangi tindakannya itu, sehingga lelaki Muslim itu pun
menyerangnya. Namun, lelaki musyrik itu kabur/lari, dan lelaki Muslim itu pun
mengejarnya hingga dia merobek/membelah barisan kaum musyrikin, lalu menebas lelaki
musyrik itu dengan pedangnya, dan akibatnya kaum musyrikin pun mengepungnya dan
membunuhnya. Pada saat itu, Rasulullah bersabda, "Apakah kalian terkesima dari lelaki
yang telah membela Allah dan Rasul-Nya ini?" Kemudian, lelaki musyrik itu pun sembuh
dari lukanya, untuk kemudian masuk Islam. Konon, lelaki itu bemama ar-Rahil. Kisah ini
juga telah diriwayatkan oleh al-Umawi di dalam kitab Maghazi-nya persis seperti ini.

Semua hadits-hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah mencaci maki dan menyakiti
Nabi dari kalangan kaum kafir, itu dikehendaki kematiannya oleh Nabi dan diperintahkan
untuk dibunuh karena tindakannya itu. Begitu pula, para sahabatnya juga akan melakukan
hal yang sama. Namun, pada sisi yang lain beliau membiarkan orang lain yang sepertinya,
meskipun sebenarnya orang itu adalah seorang kafir yang tidak terikat perjanjian. Bahkan,
beliau malah memberi jaminan keamanan bagi orang-orang tersebut dan berbuat baik
kepada mereka tanpa suatu perjanjian antara beliau dengan mereka sama sekali.
Kewajiban Membunuh Seorang Pencaci Maki Nabi dengan Memberi Maaf Kepada Pelaku
Kekufuran yang Sejenisnya, Itu Sudah Terpatri dalam Sanubari Para Sahabat.
Sunnah Rasulullah yang telah kita sampaikan ini yang berkaitan dengan kewajiban
membunuh orang yang telah mencaci maki beliau dari kalangan kaum musyrikin, serta
pemberian maaf kepada pelaku kekufuran yang sejenisnya, sudah terpatri dalam hati
sanubari para sahabat pada masa Nabi . Mereka menghendaki pencaci maki itu dibunuh
dan menganjurkan hal itu, meskipun mereka tidak melakukan itu terhadap yang lainnya.
Mereka juga menjadikan hal itu sebagai faktor yang menyebabkan pelakunya harus
dibunuh, dan mempertaruhkan jiwanya untuk itu. Dalam hal ini telah disebutkan beberapa
hadits; di antaranya, adalah:

• Hadits tentang seseorang yang mengatakan, "... Caci makilah aku dan ibuku, dan
janganlah itu kamu lakukan terhadap Rasulullah ." Kemudian dia pun menyerang pelakunya
hingga dia sendiri terbunuh.

• Hadits tentang seorang yang telah membunuh bapaknya sewaktu dia mendengar
bapaknya mencaci maki Nabi .

• Hadits tentang seseorang dari kaum Anshar yang telah bemadzar untuk membunuh al-
Ashma', lalu dia pun membunuhnya.

• Hadits tentang seseorang yang telah bernadzar untuk membunuh Ibnu Abi Sarah, dan
Nabi menahan diri untuk memba'iatnya hingga dia memenuhi nadzarnya.

• Dan riwayat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdurrahman
bin Auf tentang kemauan keras dua orang pemuda Anshar yang ingin membunuh Abu Jahal
pada waktu perang Badar, dikarenakan dia telah mencaci maki Rasulullah . Kisah ini sudah
sangat populer, yaitu tentang kegembiraan Nabi t akan kematian Abu Jahal dan sujudnya
beliau karena syukur.

Beliau bersabda, "Orang ini adalah fir'aunnya umat ini.".Musnad Imam Ahmad, (1/444);
Imam ath-Thabarani dalam al-Kabir, (9/82, 83); Kisah pembunuhan Itu termuat dalam
Shahih Bukhari dan Muslim; dan lihat Gath al-Bari, (7/293).

Hal ini terlepas adanya larangan beliau untuk membunuh Abu al-Bukhturi Ibnu Hisyam,
padahal dia adalah seorang kafir yang tidak punya ikatan perjanjian, mengingat Ibnu
Hisyam telah menghindari perbuatan itu dan malah berbuat baik dengan berusaha merusak
lembar kezaliman. Dan juga Nabi telah berkata, "Seandainya Muth'im bin 'Adi masih hidup,
kemudian dia berkata kepadaku tentang para tawanan ini, niscaya aku bebaskan mereka
semua untuknya." Beliau memberi hadiah kepada Muth'im karena telah memberi sewaan
kepadanya sewaktu berada di Makkah, dan Muth'im bukanlah seorang yang terikat
perjanjian. Dari sini bisa diketahui, bahwa seorang yang menyakiti Nabi wajib dibunuh dan
dibalas. Berbeda dengan orang yang menjauhi hal itu, meskipun mereka berdua sama-
sama orang kafir. Sebagaimana Nabi *jg malah memberi hadiah kepada orang yang berbuat
baik kepadanya karena kebaikannya itu, meskipun dia adalah seorang kafir.

Balasan Allah untuk Nabi-Nya Terhadap Orang-Orang yang Menyakitinya, Jika Kaum
Mukminin Tidak Mampu Melakukannya Di antara sunnatullah adalah bahwa jika kaum
Mukminin tidak sanggup menyiksa seseorang dari golongan orang-orang yang menyakiti
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah akan membalasnya untuk Rasul-Nya dan
akan menjaga beliau terhadap kejahatan orang tersebut. Sebagaimana hal itu telah kita
sampaikan dalam kisah seorang penulis yang mereka-reka atas nama Nabi , dan
sebagaimana Allah telah berfirman:

"Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah
dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan)
orang-orang yang memperolok-olokkan kamu. (Al-Hijr: 94-95)

Kisah tentang pembinasaan yang dilakukan Allah terhadap satu per satu dari orang-orang
yang mengejek Nabi ini sudah sangat populer, dan para ulama ahli sejarah dan tafsir telah
mengisahkannya. Mereka berdasarkan apa yang telah dikisahkan adalah sejumlah orang
yang merupakan pemuka-pemuka kaum Quraisy. Di antaranya adalah: al-Walid bin al-
Mughirah, al-'Ash bin Wail, dua orang hitam yang merupakan putera dari Abdul Mutthalib,
dan putera dari Abdu Yaghuts, serta Hants bin Qais.

Sungguh, Nabi telah menulis surat kepada Kisra dan Kaisar, dan keduanya tidak masuk
Islam, akan tetapi Kaisar sangat menghormati surat Nabi tersebut dan memuliakan
utusannya, sehingga tetap kokohlah kekuasaannya, sedangkan Kisra merobek-robek surat
Rasulullah tersebut dan sebaliknya malah mengejek Rasulullah , sehingga tidak berselang
lama Allah pun membunuhnya dan mengkoyak-koyak kekuasaannya, dan tidak tersisa
sedikit pun kekuasaan bagi para Kisra. Hal ini Wallahu A'lam, merupakan pembuktian
terhadap firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang membend kamu, dialah yang
terputus." (al-Kautsar: 3)

Karena itu, semua orang yang membenci dan memusuhinya, maka Allah akan memutus
asal pangkalnya dan menghilangkan dirinya dan jejaknya. Dan dikatakan, sesungguhnya
ayat ini turun kepada al-'Ash bin Wail, atau 'Uqbah bin Abu Mu'ith, atau kepada Ka'ab bin
al-Asyraf, dan sungguh Anda tclah melihat apa yang telah diperbuat oleh Allah terhadap
mereka semua. Di antara ungkapan yang sudah sangat populer adalah, "Daging para ulama
itu beracun." Lalu, bagaimana dengan daging para Nabi? Disebutkan dalam hadits shahih
dari Anas dari Nabi, bahwa bcliau bersabda, "Allah berfirman, "Barangsiapa yang memusuhi
salah seorang waliku, maka sungguh dia telah menantang Aku untuk perang. " Lalu,
bagaimana dengan orang yang telah memusuhi para Nabi sendiri, dan juga orang yang
memusuhi Allah.

Kewajiban Membunuh Seorang Pencaci Maki Dikarenakan Caci Makiannya, Bukan Semata-
Mata Karena Kekufurannya Jika telah ditetapkan secara kuat melalui sunnah Rasulullah,
sirah para sahabat dan lain sebagainya yang telah kita sebutkan di atas, bahwa seorang
pencaci maki Rasulullah itu wajib dibunuh, maka di sini akan kami katakan: bahwa
kewajiban untuk membunuh orang tersebut tidak lain dikarenakan dia seorang kafir harbi
atau karena caci makiannya yang mengandung hal tersebut. Faktor yang pertama
dinyatakan batil, karena hadits-hadits tersebut menetapkan bahwa orang tersebut tidak
dibunuh hanya semata-mata karena dia seorang kafir harbi, melainkan kebanyakan hadits-
hadits tersebut menetapkan bahwa faktor yang menyebabkan orang tersebut dibunuh
tidak lain adalah caci makiannya itu.

Oleh karena itu, kami katakan di sini: Jika seorang kafir harbi itu wajib dibunuh karena dia
telah mencaci maki Rasulullah, maka tentunya seorang Muslim dan kafir dzimmi juga
demikian. Karena, faktor yang menyebabkannya dibunuh adalah caci makiannya tersebut,
bukan semata-mata karena kekufuran dan permusuhannya terhadap Nabi, seperti yang
telah dijelaskan. Maka, di mana saja faktor ini berada, maka di situ pula terdapat
kewajiban untuk membunuh. Hal itu mengingat kekufuran hanya menghalalkan darah,
tidak menyebabkan pembunuhan terhadap seorang kafir dalam kondisi apa pun. Sehingga,
pada waktu itu, boleh baginya mendapatkan keamanan, melakukan perjanjian damai
dengannya, memberi hadiah kepadanya dan membayar tebusannya. Akan tetapi, jika
seorang kafir itu memiliki janji yang melindungi darahnya yang telah dihalalkan oleh
kekufurannya itu, maka hal ini sebagai perbedaan antara seorang kafir harbi dan dzimmi.
Adapun faktor-faktor lainnya yang menyebabkan dia dibunuh, maka hal itu tidak termasuk
dalam hukum perjanjian ini.

Telah nyata melalui as-Sunnah bahwa Nabi pernah menyuruh untuk membunuh seorang
yang mencaci maki beliau hanya semata-mata karena caci makiannya itu, bukan karena
kekufuran yang tidak punya ikatan perjanjian dengannya. Jika telah didapati caci makian
ini dan caci makian itu merupakan penyebab si pelakunya dibunuh, sedangkan pada satu
sisi sumpah janji tidak bisa melindungi dari keharusan itu maka pada saat itulah dia wajib
dibunuh. Hal itu juga karena kebanyakan perkara tersebut disebabkan karena dia adalah
seorang kafir harbi yang mencaci maki Nabi. Adapun seorang Muslim jika dia mencaci maki
Nabi maka dia menjadi seorang murtad yang mencaci maki Nabi .
Dan, membunuh seorang yang murtad itu lebih diwajibkan daripada membunuh seorang
kafir tulen (asli). Begitu pula, seorang kafir dzimmi, jika dia mencaci maki Nabi , maka dia
berubah menjadi seorang kafir yang mencaci maki Nabi setelah sumpah janjinya yang
terdahulu, dan membunuh orang semacam ini lebih ditekankan lagi. Dari hadits-hadits
tersebut tampak jelas bahwa seorang pencaci maki Nabi wajib dibunuh.

Karena, Nabi dalam beberapa tempat/kesempatan telah menyuruh untuk membunuh


seorang pencaci maki tersebut, dan suatu perintah menuntut suatu kewajiban. Dan, Nabi
tidak pernah mendengar cacian atas dirinya dari seseorang, melainkan beliau telah
menghalalkan darah orang tersebut, dan begitu pula sikap para sahabatnya. Hal ini
terlepas adanya kemungkinan beliau untuk memaafkannya.

Maka, jika sekiranya beliau tidak mungkin memaafkan orang tersebut, perintah membunuh
seorang pencaci itu menjadi lebih kuat dan keinginan untuk itupun menjadi lebih
mendesak. Dan, tindakan beliau ini merupakan salah satu bentuk jihad dan sikap
keras/tegas terhadap orang-orang kafir dan munafik, di samping sebagai upaya
menampakkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya, dan tindakan ini sebagaimana
diketahui, hukum-nya adalah wajib.

Dari sini bisa diketahui, bahwa secara umum membunuh seorang yang mencaci maki Nabi
hukumnya wajib. Dan sekiranya Nabi sampai memaafkannya, maka dia tidak lain adalah
orang-orang yang ditakdirkan menjadi penegak agama Islam yang taat kepadanya, atau
termasuk orang yang datang dalam keadaan menyerah (masuk Islam). Adapun orang-orang
yang tidak mau atau tercegah untuk itu, maka Nabi tidak pemah memaafkan seorang pun
dari mereka.

Tidak disangkal lagi, bahwa sebagian sahabat ada yang memberi jaminan keamanan
kepada seorang dari dua biduanita (wanita penyanyi), dan sebagian mereka ada yang
memberi jaminan keamanan kepada Ibnu Abi Sarh, karena kedua orang ini telah tunduk
dan ingin masuk Islam dan taubat. Dan, barangsiapa yang demikian, maka sungguh Nabi
telah memaafkannya, sehingga dia tidak wajib dibunuh. Jika telah nyata bahwa seorang
pencaci Nabi itu wajib dibunuh, sedangkan seorang kafir harbi yang tidak pernah mencaci
maki Nabi itu tidak wajib dibunuh hanya boleh saja dia dibunuh maka sudah semestinya
jika perlindungan itu tidak bisa melindungi nyawa orang yang wajib dibunuh itu, dan hanya
bisa melindungi nyawa orang yang boleh dibunuh saja.

Ketahuilah, bahwa seorang yang murtad itu tidak punya perlindungan, dan bahwa seorang
pembegal dan pezina sewaktu mereka harus dibunuh tidak bisa dilindungi hanya karena
statusnya sebagai seorang dzimmi. Begitu pula, tidak ada keistimewaan bagi seorang kafir
dzimmi atas kafir harbi selain dengan ikatan janjinya itu. Dan berdasarkan dalil Ijma',
ikatan janji itu tidak berarti sebagai justifikasi dia boleh mencaci maki Nabi. Dengan
demikian, seorang kafir dzimmi boleh jadi telah bersekutu (bekerja sama) dengan kafir
harbi dalam hal mencaci maki Nabi yang menyebabkan dia dibunuh, sementara dia tidak
mengakuinya, maka wajib dia dibunuh secara paksa.

Di samping itu, Nabi juga telah menyuruh untuk membunuh orang yang telah mencaci
makinya, meskipun di satu sisi beliau memberi jaminan keamanan bagi orang yang pemah
memerangi dirinya dan hartanya. Dari sini bisa diketahui, bahwa seorang pencaci maki
Nabi itu lebih berat ancamannya daripada ancaman karena memusuhi Nabi dan yang
sejenisnya. Adapun seorang kafir dzimmi, jika dia memerangi, maka dia harus dibunuh.
Maka, jika dia mencaci maki Nabi , justeru lebih layak lagi harus dibunuh. Rahasia
menjadikan hadits ini sebagai dalil adalah bahwa seorang kafir dzimmi tidak dibunuh
hanya semata-mata karena sumpah janjinya telah batal. Karena, pembatalan sumpah janji
itu membuatnya seperti seorang kafir yang tidak punya ikatan perjanjian. Dan, telah
terbukti melalui berbagai sunnah ini, bahwa Nabi tidak pemah menyuruh untuk membunuh
seorang pencaci makinya itu hanya semata-mata karena dia seorang kafir yang tidak
terikat perjanjian. Akan tetapi, beliau membunuhnya karena caci makiannya itu, di
samping sebenamya caci makiannya itu menyebabkan bentuk kekufuran, pemnusuhan dan
perlawanan. Tindakannya ini menyebabkan dia harus dibunuh di mana pun dia berada.
Dan, insya Allah pembahasan tentang kewajiban membunuh orang ini akan disampaikan
nanti.

Sebab-Sebab Terlindunginya Darah Sebagian Orang dari Kalangan Kaum Kafir Harbi yang
Dihalalkan Darahnya Akibat Telah Mencaci Maki Nabi Di antara orang-orang yang
sepatutnya dibunuh akibat mencaci maki Nabi ini, ada orang yang telah dibunuh, namun di
antara mereka ada yang datang untuk masuk agama Islam dan bertaubat, sehingga
darahnya pun terlindungi karena tiga faktor:

Pertama, dia telah bertaubat sebelum hukuman mati tersebut sempat dilakukan. Seorang
Muslim yang wajib dikenai sanksi (had) atas dirinya, jikalau dia telah bertaubat sebelum
hukuman tersebut sempat dilakukan, maka secara otomatis gugurlah hukuman tersebut.
Oleh karena itu, hal ini sudah sepatutnya pula berlaku bagi seorang kafir harbi.

Kedua, Di antara budi pekerti Rasulullah adalah dengan memaafkan mereka.

Ketiga, seorang kafir harbi, jika dia telah masuk Islam, maka dia tidak dikenai hukuman
atas apa yang telah dilakukannya semasa berada dalam masa Jahiliyah, baik itu berkaitan
dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia lainnya. Hal ini menurut sepengetahuan
kami tidak ada perselisihan di antara para ulama, mengingat firman Allah : "Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu, 'Jika mereka berhenti (dari kekaflrannya), niscaya Allah
akan mengampuni mereka atas dosa-dosa mereka yang telah lalu'." (al-Anfal: 38) Juga
sabda Nabi: "Islam itu memutus/menghapus apa yang sebelumnya." (HR. Muslim) .Muslim
dalam kltab pembahasan tentang Iman, (1/112); Musnad Imam Ahmad, (4/199, 204, 205);
dan ath-Thabaqaat al-Kubraa, (7: 2/191). Dan juga sabda Nabi : "Barangsiapa yang berbuat
baik di dalam Islam, maka dia tidak dikenai hukuman atas apa yang telah diperbuatnya
semasa berada di dalam masa Jahiliyah." (Muttafaq 'Alaih) .Muslim, dalam kitab
pembahasan tentang Iman, (1/111); Ibnu Majah dalam kitab pembahasan tentang Zuhud,
hadits no. 4242; dan Musnad Imam Ahmad, (1/409, 431). Lihat Fathul Bari, dalam kitab
pembahasan tentang jihad, (6/39);

Karena inilah, banyak sekali orang yang telah masuk Islam. Sedangkan mereka pernah
membunuh orang-orang terkcnal, namun tidak seorang pun dan mereka yang dituntut
dengan hukuman mati (qishash), diyat (denda) dan kaffarat (tebusan). Di antara kasus-
kasus semacam ini, adalah: Telah masuk Islam Wahsyi, sang pembunuh Hamzah; Ibn al-
'Ash, sang pembunuh Ibnu Qauqal; 'Uqbah bin al-Harits, sang pembunuh Khubaib bin 'Adi,
dan masih ada lagi orang yang tidak terhitung yang telah tersebut di dalam riwayat yang
shahih bahiwa dia telah masuk Islam, padahal telah dikenal dengan jelas bahwa dia telah
membunuh dengan tangannya sendiri salah seorang dari kaum Muslimin. Namun, meskipun
demikian, Nabi tidak menimpakan kepada seorang pun dari mereka hukuman mati
(qishash).

Bahkan, beliau malah bersabda: "Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya akan
membunuh teman yang lainnya, namun keduanya sama-sama masuk surga. Orang yang
satunya ini mati terbunuh fi sabilillah, sehingga Allah pun memasukkannya ke dalam surga.
Kemudian, Allah akan mengampuni dosa si pembunuh, lalu dia masuk Islam dan mati
terbunuh fi sabilillah, sehingga dia pun akan masuk surga." (Muttafaq 'Alaih).Muslim dalam
kitab pembahasan tentang kepemerintahan (imarah), (3/1504); dan Musnad Imam Ahmad,
(2/464).

Begitu pula, Nabi tidak pemah membebankan kepada seorang pun dari mereka tanggungan
harta milik kaum Muslimin yang telah dirusaknya, juga tidak pemah menegakkan kepada
seorang pun sanksi (had) atas pcrbuatan zina, pencurian, meminum minuman keras, atau
sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), baik dia masuk Islam sebelum ataupun
sesudah menjadi tawanan perang. Hal ini merupakan masalah yang sepengetahuan kami
tidak pemah ada perselisihan di antara kaum Muslimin, baik dalam riwayat maupun di
dalam fatwa. Bahkan, jika seorang kafir harbi masuk Islam sementara di tangannya
terdapat harta orang Islam yang pemah diambilnya dari tangan kaum Muslimin dengan cara
rampasan atau yang semisalnya yaitu dari harta yang tidak boleh dimiliki oleh siapa pun
dari orang Islam mengingat harta tersebut diharamkan di dalam agama Islam maka harta
tersebut menjadi hak miliknya, dan tidak perlu dipulangkan kepada orang Islam yang
pernah memilikinya, menurut pendapat jumhur ulama dari kalangan tabi'in dan generasi
setelahnya.

Pendapat ini sebagai makna/tafsiran yang berasal dari Khulafaur Rasyidin, dan juga
merupakan mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, ketetapan dari pendapat Imam Ahmad
serta pendapat mayoritas pengikut-nya. Hal itu berdasarkan bahwa Islam atau ikatan janji
telah menetapkan harta yang ada di tangannya yang diyakininya sebagai hak miliknya itu.

Karena, harta tersebut telah keluar dari pemiliknya yang Muslim yang telah
menyerahkannya fi sabilillah dan mengharapkan pahala dari sisi Allah , dan harta tersebut
menjadi halal bagi si perampas harta tersebut (disebabkan) Allah telah mengampuni dosa-
dosa yang diperbuatnya berkaitan dengan darah/nyawa dan harta kaum Muslimin dengan
masuknya dia ke dalam agama Islam. Maka, Nabi tidak membebankan kepadanya untuk
mengembalikan harta tersebut kepada sang pemiliknya, sebagaimana beliau tidak pernah
membebankan kepadanya nyawa dan harta yang telah dirusaknya.

Dia juga tidak usah mengqadha atau mengganti semua ibadah yang telah ditinggalkannya,
karena semua itu telah ikut kepada keyakinan yang dulu. Ketika dia berhenti dari
keyakinan tersebut, maka terampunilah dosa-dosa yang menyertainya. Sehingga, harta
yang ada di tangannya itu tidak dibebankan kepadanya. Maka, harta itu pun tidak diambil
darinya, seperti halnya semua yang ada di tangannya berupa akad-akad atau transaksi-
transaksi rusak yang pernah dihalalkannya, semisal riba dan yang lainnya.

Jika seorang musyrik dari kalangan kafir harbi tidak dituntut—karena kelslamannya ituatas
apa yang telah diperbuatnya terhadap darah/nyawa dan harta kaum Muslimin serta hak-
hak Allah, dan juga tidak diminta semua yang ada di tangannya, berupa hcirta-harta yang
pemah dirampasnya dari tangan mereka, maka tentunya dia juga tidak dijatuhi hukuman
atas caci makian dan yang lainnya yang telah dilakukan di masa lampau. Kesemuanya ini
merupakan bentuk ampunan terhadap orang-orang semacam ini.

PEMBAHASAN KETIGA
Ijma' Sahabat dan Tabiin atas Kekafiran dan Hukuman Mati bagi Pencaci Maki Nabi

Terdapat kesepakatan (ijma') sahabat tentang hukum caci maki yang membatalkan
keimanan dan hak perlindungan bagi pelakunya, serta mewajibkan hukuman mati.
Kesepakatan ini dikutip dari berbagai kasus yang tersebar dan teijadi semisalnya, tidak
ada seorang pun sahabat yang meng-ingkarinya, sehingga kesimpulan hukumnya menjadi
Ijma' (kesepakatan). Di antara kutipan tersebut adalah:

• Seperti disebutkan Saif bin Umar at-Tamimi dalam kitabnya ar-Riddah wa al-Futuh yang
dikutip dari beberapa gurunya, mengatakan: cerita berikut dihubungkan kepada Muhajir
bin Abi Umaiyyah, seorang Gubemur Yamamah, yang di kedua sisinya ada dua orang
biduanita, yang salah satunya menyanyi dengan mencaci maki Rasulullah sehingga
Gubemur memotong tangannya dan mencabut gigi taringnya. Sedangkan biduanita yang
satunya menyanyi dengan mencaci maki kaum Muslimin. Kemudian Abu Bakar menulis
surat kepadanya: Aku dengar apa yang engkau lakukan atas wanita yang menyanyi dan
mencaci maki Rasulullah andaikan engkau tidak mendahuluiku (dengan keputusanmu),
maka aku pasti akan memerintahkan untuk membunuhnya. Karena, hukuman atas
pelanggaran terhadap hak para Nabi, tidak seperti hukuman untuk pelanggaran lainnya.
Maka, barangsiapa dari seorang Muslim yang meringankan hukumannya, maka ia dianggap
murtad, dan jika ia orang kafir yang meminta perlindungan (mu'ahid) maka ia disebut kafir
muharib yang berkhianat.

Pada pernyataan di atas secara tegas menunjukkan diwajibkannya hukuman mati bagi
orang yang mencaci maki Rasulullah , baik seorang Muslim atau mu'ahid (orang kafir yang
mendapat perlindungan jiwa karena kesepakatan yang ia lakukan bersama kaum Muslimin),
meskipun ia perempuan. Dan pelakunya wajib dibunuh tanpa diminta untuk taubat
terlebih dahulu. Sangat berbeda dengan orang yang mencaci maki manusia biasa.
Hukuman mati baginya adalah hukuman yang menjadi hak para Nabi, sebagaimana
hukuman cambuk untuk orang yang mencaci maki selain mereka adalah hukuman yang
menjadi haknya sendiri.

Namun, alasan Abu Bakar tidak memerintahkan untuk membunuh wanita tersebut karena
Muhajir (sebagai Gubernur) telah terlebih dahulu memberikan hukuman baginya atas dasar
Ijtihad yang dilakukan oleh Muhajir, sehingga Abu Bakar tidak menginginkan bertumpuknya
dua hukuman. Mungkin saja wanita itu masuk Islam atau taubat dan Muhajir menerima
taubatnya sebelum surat yang dia terima dari Abu Bakar, dan menjadi bagian ijtihad yang
dilakukan lebih awal menjadi sebuah hukum. Maka, beliau tidak berkenan meng-ubahnya.
Karena, sebuah ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad. Pemyataan Abu Bakar ini
menunjukkan bahwa hal yang menghalangi dijatuhkannya hukuman mati atas wanita
tersebut adalah keputusan Muhajir yang jatuh lebih dahulu.

• Termasuk riwayat yang menunjukkan adanya Ijma', seperti diungkapkan oleh Harb dalam
Mosail-nya dari Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid berkata: Umar membawa seorang
pemuda yang mencaci maki Rasulullah lalu beliau membunuhnya, kemudian beliau
mengatakan: "Siapa saja yang mencaci maki Allah, atau mencaci maki salah seorang dari
para Nabi, make bunuhlah orang itu!" Dari Abu Masja'ah bin Rubai berkata: tatkala Umar
datang ke Syam, warga Konstantinopel berdiri di jalan menuju Syam. Lalu, Abu Masja'ah
menyebutkan perjanjian Umar dan butir-butir yang diajukannya kepada mereka, riwayat
selengkapnya: Maka, Umar berdiri di hadapan massa, seraya memanjatkan puji dan syukur
kepada Allah, kemudian beliau berkata: Segala puji hanya milik Allah, aku memuji dan
meminta pertolongan-Nya. Siapa saja yang Allah berikan petunjuk, maka Dia tidak akan
menyesat-kannya, dan siapa saja yang Allah sesatkan, maka Dia tidaklah menjadi petunjuk
untuknya. Tiba-tiba ada seorang pendeta menyela, "Sesungguhnya Allah tidak
menyesatkan siapa pun!" Umar berkata, "Sesungguhnya kami tidak memberikan perjanjian
kepada kalian agar engkau masuk ke agama kami. Dan, demi Dzat yang jiwaku ada di
Tangan-Nya, jika engkau ulangi, maka aku pasti akan memenggal kepalamu!"

Inilah Umar. Di hadapan sahabat Muhajirin dan Anshar mengatakan kepada orang-orang
yang menandatangani perjanjian dengannya, Sesungguhnya kami tidak memberikan
perjanjian agar engkau masuk ke agama kami. Dan beliau bersumpah jika ia mengulangi
perbuatannya, maka beliau akan memenggal kepalanya. Maka dari sini diketahui adanya
Ijma' (kesepakatan) sahabat tentang penduduk yang melakukan perjanjian kesepahamari
dengan kaum Muslimin agar mereka tidak menampakkan pertentangan mereka terhadap
agama kita, karena hal itu menghalalkan darah mereka, dan bentuk pertentangan yang
paling besar adalah mencaci maki Nabi kita . Ini adalah hal yang sangat jelas bagi mereka.

Namun, sesungguhnya alasan Umar tidak membunuhnya karena bagi pendeta tersebut
belum sepenuhnya mengerti bahwa pernyataannya adalah bagian dari cacian terhadap
agama kita. Di samping adanya kemungkinan bahwa ia menyakini hukum yang dikeluarkan
oleh Umar berasal dari ijtihadnya sendiri. Maka, tatkala Umar mendekatinya dan
menjelaskan kepadanya bahwa ini adalah agama kami, Umar mengatakan, "Jika engkau
ulangi sekali lagi, aku pasti akan membunuhmu!"

• Termasuk dalam pembahasan ini, seperti alasan Imam Ahmad, yang beliau riwayatkan
dari Ibnu Umar, berkata: Suatu hari di hadapan Ibnu Umar, lewatlah seorang pendeta.
Kemudian, beliau diberitahu bahwa pendeta ini sering mencaci maki Rasulullah . Maka,
beliau berkata, "Seandainya aku mendengarnya, maka aku pasti akan membunuhnya.
Sesungguhnya kita tidak memberi mereka perlindungan untuk mencaci maki Nabi kita ."
Riwayat-riwayat yang menyebutkan peristiwa ini semuanya memuat redaksi hukum bagi
seorang dzimmi dan dzimmiyah (orang kafir yang meminta perlindungan kepada
kedaulatan Islam), dan sebagian riwayat mencakup orang kafir dan Muslim secara umum,
atau bahkan sebagiannya mengandung arti kedua-duanya.
• Kisah seorang pemuda yang dibunuh oleh Umar dengan tanpa diminta untuk bertaubat
terlebih dahulu, ketika ia menolak untuk rela dengan keputusan hukum Nabi serta
peristiwa dibukanya kepala Shabigh bin 'Asal olehnya dan perkatannya, "Jika aku
melihatmu mencukur rambut, aku pasti akan memenggal kepalamu," dengan tanpa
memintanya bertaubat, sedangkan kesalahan kaumnya adalah berpaling dari Sunnah
Rasulullah .

• Dari Ibnu Abbas , dalam penafsirannya atas firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina),
mereka kena laknat di dunia dan akhirat...." Beliau mengatakan, ayat tersebut tentang
Aisyah dan istri-istri Nabi . Secara khusus tidak ada taubat bagi penuduh, sementara bagi
orang yang menuduh wanita beriman (yang lain), Allah menjadikan baginya untuk
bertaubat. Beliau mengatakan: Ayat ini turun tentang Aisyah secara khusus, sedangkan
laknat untuk kaum munafik secara umum. Ini dapat dimengerti karena menuduh Aisyah
atas perbuatan seperti itu sama halnya dengan menyakiti Rasulullah dan berbuat munafik,
sedangkan seorang munafik wajib dibunuh tatkala tidak diterima taubatnya.

• Imam Ahmad meriwayatkan dengan silsilah sanadnya bahwa seorang wanita mencaci
maki Rasulullah . Maka, Khalid bin Walid membunuhnya. Dan, wanita ini tidak dikenal
dalam riwayat-riwayatnya.

• Kisah Muhammad bin Maslamah bersama dengan Ibnu Yamin yang mengaku telah
membunuh Ka'ab bin al-Asyraf yang dikenal sebagai pengkhianat. Muhammad bin Maslamah
bersumpah jika ia bertemu dengannya sendirian, ia pasti akan membunuhnya, karena ia
menuduh Rasulullah sebagai penghianat, dan kaum Muslimin tidak ada satupun yang
mengingkari perbuatan Muhammad bin Maslamah. Pemuda (Ka'ab) tersebut adalah seorang
Muslim, karena pada saat itu tidak ada seorangpun penduduk Madinah yang bukan Muslim.
Dalam pemuatan argumen atas kisah ini, tidak disebutkan pelarangan penguasa pada saat
itu terhadap pembunuhan atas orang tersebut.

Sedangkan sikap diamnya tidak berarti ia menyalahi Muhammad bin Maslamah atas
pemyataannya. Mungkin saja ia (sebagai penguasa) tidak sempat melihat hukum atas orang
tersebut, atau sudah melakukan kajian hukum namun tidak menemukan kesimpulan yang
tepat. Atau, ia mengira bahwa orang tersebut mengatakan demikian karena keyakinan
bahwa ia membunuh karena perintah Rasul, atau karena sebab-sebab yang lain.

• Disebutkan oleh Ibnul Mubarak, bahwa Ghirfah bin Harits al-Kindi seorang sahabat Rasul
mendengar seorang Nashrani yang mengumpat Rasulullah. Maka, beliau memukulnya
hingga hidungnya terluka, kemudian ia mengadu kepada Amr bin Ash, lalu beliau berkata,
"Kita sudah memberikan perjanjian damai kepada mereka." Maka, Ghirfah berkata, "Aku
berlindung kepada Allah, jika kita memberikan perlindungan supaya mereka menampakkan
umpatan terhadap Rasulullah . Akan tetapi, sesungguhnya kita memberikan perjanjian
kepada mereka agar kita memberikan mereka kelonggaran menuju gereja-gereja mereka,
agar mereka dapat mengerjakan apa yang layaknya mereka kerjakan, dan kita tidak
memaksakan mereka pada sesuatu yang tidak mereka mampu.

Dan, jika ada musuh yang mengincar mereka, maka kita memeranginya demi perlindungan
mereka, dan kita membiarkan mereka dengan hukum-hukum yang mereka yakini, kecuali
jika mereka rela dengan hukum kita sehingga kita memberikan putusan sesuai dengan
hukum Allah dan hukum Rasulullah. Dan, jika mereka tidak mau dengan hukum kita, maka
kita tidak memaksakan mereka." Maka Amr berkata, "Engkau benar!"

Amr dan Ghirfah bersepakat bahwa perjanjian (perlindungan) antara kita dengan mereka
tidak menjadikan sikap diam terhadap mereka untuk mengumpat Rasul seperti sikap diam
terhadap kekufuran dan pendustaan mereka. Maka, bilamana mereka menampakkan
umpatan terhadap Rasul , maka mereka telah melakukan perbuatan yang dapat
menyebabkan darah mereka menjadi halal. Tiada lagi perjanjian perlindungan atasnya,
sehingga boleh hukumnya untuk membunuh mereka.

Akan tetapi, alasan mengapa orang tersebut tidak dibunuh—Wallahu A'lam—karena belum
ada bukti yang kuat, hanya apa yang didengar oleh Ghirfah. Mungkin saja Ghirfah
bermaksud membunuhnya dengan pukulannya itu, namun dia tidak melanjutkannya karena
belum lengkapnya bukti, karena sikap tersebut mendahului Imam (pemimpin) sedangkan
Imam belum menetapkan apapun.

• Dari Khulaid, menceritakan: Ada seseorang yang mencaci maki Umar bin Abdul Aziz,
kemudian Umar berkata, "Sesungguhnya ia tidak dibunuh kccuali orang yang mencaci maki
Rasulullah . Namun, cambuklah ia pada kepalanya beberapa kali cambukan. Seandainya
bukan karena saya mengetahui bahwa hal ini lebih baik baginya, maka pasti tidak akan
saya lakukan." Diriwayatkan oleh Harb, dan diceritakan kembali oleh Imam Ahmad. Cerita
ini sangat masyhur berasal dari Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dan ahli dalam
bidang hadits.

Demikianlah pendapat para sahabat Rasulullah serta para tabi'in (pengikutnya setelah
generasi sahabat). Tidak ada satupun sahabat atau tabi'in yang menyalahinya, akan tetapi
mengakui dan menganggap baik kesimpulan tersebut.

Karena panjangnya buku ini (411 halaman), posting ini hanya sampai halaman 145 saja!
Untuk halaman selebihnya anda dapat membeli dan membaca pada buku aslinya!

FORUM MURTADIN INDONESIA di 05.35

Anda mungkin juga menyukai