Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau


lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari presentil 90.
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi
baru lahir. Lebih dari 85% neonatus cukup bulan kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan
disebabkan oleh keadaan ini. 2 Insiden hiperbilirubinemia di Amerika 65%, Malaysia 75%,
sedangkan Surabaya 30% pada tahun 2000, dan 13% pada tahun 2002. Ikterus atau Jaundice terjadi
akibat akumulasi bilirubin dalam darah sehingga kulit, mukosa, dan atau sklera bayi tampak
kekuningan. 4 Hal tersebut disebabkan karena adanya akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih. Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang sering dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar bilirubin. Ikterus akan tampak
secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5-7 mg/dl.

Hiperbilirubin merupakan keadaan yang umum terjadi pada bayi preterm maupun aterm. 4
Peningkatan kadar bilirubin > 2 mg/dL sering ditemukan hari hari pertama setelah lahir. 4 60%
neonatus yang sehat mengalami Ikterus. Pada umumnya,peningkatan kadar bilirubin tidak
berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Namun beberapa kasus berhubungan dengan dengan
beberapa penyakit, seperti penyakit hemolitik, kelainan metabolisme dan endokrin , kelainan hati
dan infeksi. Pada kadar lebih dari 20mg/dL, bilirubin dapat menembus sawar otak sehingga bersifat
toksik terhadap sel otak. Kondisi hiperbilirubinemia yang tak terkontrol dan kurang penanganan
yang baik dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti bilirubin ensefalopati dan kernikterus
akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat dimana pada tahap lanjut dapat menjadi athetoid
cerebral palsy yang berat.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah
terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalikan(Mansjoer,2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap
usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani(Etika et al,2006).

Gambar 2.1 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram
Bhutani

Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan klinis
pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih(Sukadi,2008). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin >2 mg/dl(>17μmol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin
2
>5mg/dl(86μmol/L). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada
kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.

2.2 Klasifikasi

Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.

2.2.1 Ikterus fisiologi

Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak
mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda-
tanda sebagai berikut :

1. Timbul pada hari kedua dan ketiga

2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.

3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.

4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.

5. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.

6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.

2.2.2 Ikterus Patologi

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :

1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.

2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% pada neonatus
kurang bulan.

3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.

4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.

5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

(Arief ZR, 2009. hlm. 29)

3
2.3 Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:

a) Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.

b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin,
gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

c) Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.

d) Gangguan dalam eksresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar
biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.

(Hassan et al.2005)

2.4 Patofisiologi

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari penguraian
hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel
menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah.
Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk
yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
4
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam
tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk)

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon
menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai
feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal,
tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin

Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa bila
serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl.

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati
normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk
mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati,
obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini,
bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2-
2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan
ini disebut ikterus atau jaundice.

2.5 Manifestasi klinis

Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl.
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan
menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi(bilirubin direk)
memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan
pada ikterus yang berat.

Gambaran klinis ikterus fisiologis:

a) Tampak pada hari 3,4

b) Bayi tampak sehat(normal)

c) Kadar bilirubin total <12mg%

d) Menghilang paling lambat 10-14 hari


5
e) Tak ada faktor resiko

f)Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis)(Sarwono et al, 1994)

Gambaran klinik ikterus patologis:

a) Timbul pada umur <36 jam

b) Cepat berkembang

c) Bisa disertai anemia

d) Menghilang lebih dari 2 minggu

e) Ada faktor resiko

f) Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994)

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

a)Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intrauterine,
infeksi intranatal)

b)Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi

c)Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya

d)Riwayat inkompatibilitas darah

e)Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa(Etika et al, 2006).

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa
hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas
dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus
yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan
terapi sinar(Etika et al, 2006).

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah
dengan penilaian menurut Kramer(1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang

6
ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat
tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.

Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan
penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab
ikterus tersebut.

2.6.3 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong resiko
tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung
retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang
setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus
diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar(Etika et al, 2006).

7
2.7 Penatalaksanaan

Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:

a) Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya lambat,
sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan
disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.

b) Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin(misalnya menambahkan


glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat
mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar
bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan

8
dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun
sesudah terapi tukar.

c) Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini

d) Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah
dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.

e)Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.

Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:

1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%

2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam

3) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung

4) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct positif.

f) Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor inhibitif terhadap


heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum digunakan secara rutin.

g) Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena(500-1000mg/Kg IV>2)


sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan
penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori immunoglobulin
menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel
darah merah yang dilapisi oleh antibody(Cloherty et al, 2008).

Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit.

Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

1) Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka
pakaian bayi.

2) Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya agar
tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.

3) Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk
mendapatkan energi yang optimal.

9
4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya
dapat menyeluruh.

5) Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.

6) Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.

7) Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

2.8 Komplikasi

Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.
Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak mau menghisap,
letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus otot meninggi, leher kaku dan
akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral
dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.

10
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba medika.

Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey. 2012.Nursing


Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa : Mosby Elsavier.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal /
Bayi. EGC. Jakarta

Jhonson,Marion. 2012. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Louis
,Missouri ; Mosby.

NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2012-2014.


Jakarta : EGC

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta

Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Pedoman Praktek Klinik: Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011)

Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental Keperawatan :
Konsep, Proses dan Praktis Volume 2. EGC :Jakarta

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai