Anda di halaman 1dari 97

KARYA TULIS ILMIAH

STUDI KASUS PERILAKU KELUARGA SEBAGAI FAMILY CAREGIVER


DALAM MERAWAT LANSIA DENGAN DEMENSIA
DI KELURAHAN KUTISARI RT 03/ RW 02 SURABAYA

HALAMAN SAMPUL DEPAN

Oleh:
Ginnar Mayang Superdana, S. Kep
NIM: 20140664089

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2017
KARYA TULIS ILMIAH

STUDI KASUS PERILAKU KELUARGA SEBAGAI FAMILY CAREGIVER


DALAM MERAWAT LANSIA DENGAN DEMENSIA
DI KELURAHAN KUTISARI RT 03/ RW 02 SURABAYA

Untuk Memperoleh Gelar Ners (Ns)


Pada Program Studi Pendidikan Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surabaya
HALAMAN SAMPUL DALAM

Oleh:
Ginnar Mayang Superdana, S. Kep
NIM: 20140664089

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2017
PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Ginnar Mayang Superdana, S. Kep
NIM : 20140664089
Fakultas : Ilmu Kesehatan
Program Studi : Profesi Ners

Menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang saya tulis ini benar benar
tulisan karya sendiri bukan hasil plagiasi, baik sebagian maupun keseluruhan. Bila
kemudian hari terbukti hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Surabaya

Surabaya, Agustus 2017


Yang membuat pernyataan

Ginnar Mayang Superdana, S. Kep


NIM: 20140664089
PERSETUJUAN

Karya tulis ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui isi serta susunannya,
sehingga dapat diajukan dalam ujian sidang KTI
pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surabaya

LEMBAR PERSETUJUAN

Surabaya, Agustus 2017

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Anis Rosyiatul Husna, S.Kep., Ns., M.Kes. Dr. Pipit Festy W, S.KM., M.Kes.

Mengetahui

Ketua Program Studi Ners

Reliani, S.Kep., Ns., M.Kes.


PENGESAHAN

Karya tulis ilmiah ini telah dipertahankan di depan tim penguji Ujian Sidang
Karya Tulis Ilmiah Pada Program Studi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surabaya

LEMBAR PENGESAHAN

Pada tanggal, Agustus 2017

Tim Penguji Tanda Tangan

Ketua : Nugroho Ari Wibowo, S.Kep., Ns., M.Kep. ( )

Anggotra : Anis Rosyiatul Husna, S.Kep., Ns., M.Kes. ( )

Anggota : Dr. Pipit Festy W, S.KM., M.Kes. ( )

Mengesahkan

Dekan,

Dr. Mundakir, S.Kep., Ns., M.Kep.


KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT atas ridhaNya sehingga

peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) dengan judul “Studi Kasus

Perilaku Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat Lansia Dengan

Demensia Di Kelurahan Kutisari RT 03 RW 02 Surabaya “. Karya Tulis Ilmiah

ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi S1

Keperawatan Pendidikan Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Surabaya.

Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini peneliti telah banyak mendapat

dukungan, bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada

kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan

setulus hati kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya

Tulis Ilmiah ini, khususnya dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan

waktu untuk membimbing.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih

jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik khususnya kepada Dosen

Pembimbing dan Dosen Penguji, demi perbaikan sangat peneliti harapkan. Dan

semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi peneliti dan pembaca

serta perkembangan ilmu keperawatan pada umumnya.

Surabaya, Agustus 2017

Peneliti
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan

Rahmad dan Hidayah-Nya sehingga penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini dapat

terselesaikan. Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

dalam menempuh ujian akhir Program Studi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan di

Universitas Muhammadiyah Surabaya dengan judul penelitian “Studi Kasus

Perilaku Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat Lansia Dengan

Demensia Di Kelurahan Kutisari RT 03 RW 02 Surabaya “. Dalam Penyusunan

KTI ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dorongan dari berbagai

pihak, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr.dr.H.Sukadiono, MM selaku Rektor Universitas Muhammadiyah

Surabaya.

2. Dr. Mundakir, S.Kep., Ns., M.Kep.selaku dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surabaya.

3. Reliani, S.Kep,Ns.M.Kes selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya.

4. Anis Rosyiatul Husna, S.Kep., Ns., M.Kes selaku pembimbing I yang telah

memberikan pengarahan, waktu, untuk membimbing, memotivasi serta

masukan- masukan untuk penyusunan KTI ini.

5. Dr. Pipit Festy W, S.KM., M.Kes. selaku pembimbing II yang telah

memberikan pengarahan, waktu, untuk membimbing, memotivasi serta

masukan- masukan untuk penyusunan KTI ini


6. Nugroho Ari Wibowo, S.Kep., Ns., M.Kep selaku penguji yang telah

memberikan masukan untuk perbaikan dalam penuyusunan KTI ini.

7. Keluarga peneliti yang penuh dengan cinta dan kasih sayang, yakni Orang

Tua penulis (Mama dan Bapak), Cinta Rully Raco, Dek Lia, Papa

Roby,Mama Dewi, Mas Aril, Dek Herby dan Dek Dila yang dengan tulus

ikhlas memberikan dukungan moril, materil, serta untaian do’a, terima

kasih.

8. Teman-teman Rawat Inap lanta 8 dan ICU-ICCU Rs Husada Utama yang

selalu memberikan semangat selama menyelesaikan KTI ini.

9. Teman-teman angkatan B9 Program Khusus S1 Keperawatan dan Profesi

Ners Universitas Muhammadiyah Surabaya.

10. Seluruh pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang secara

langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penelitian ini.

Semoga amal kebaikannya mendapat imbalan pahala dari Allah SWT,

jazakumullahuahsanaljaza’ dan semoga KTI ini bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 17 Agustus 2017

Peneliti
ABSTRAK

STUDI KASUS PERILAKU KELUARGA SEBAGAI FAMILY CAREGIVER


DALAM MERAWAT LANSIA DENGAN DEMENSIA
DI KELURAHAN KUTISARI RT 03/ RW 02 SURABAYA

Oleh: Ginnar Mayang Superdana, S. Kep

Proses menua merupakan bagian dari proses degenerasi yang bisa


menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Salah satu masalah kesehatan yang
umumnya terjadi pada lansia adalah gangguan neuropsikologi dan salah satu
bentuk dari gangguan neuropsikologi adalah demensia. Kondisi tersebut
menyebabkan lansia demensia memerlukan perawatan khusus dari anggota
keluarga yang berperan sebagai family caregiver. Untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan keluarga merawat lansia yang sakit, perlu dikaji pengetahuan
keluarga menggunakan penilaian perilaku keluarga melalui aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus,
Fokus studi kasus keperawatan ini adalah perilaku keluarga sebagai family
caregiver dalam merawat lansia dengan demensia di kelurahan kutisari Surabaya.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2017.
Hasil penilaian perilaku kognitif Ny. T memiliki penilaian yang “baik”
(87.5%), sedangkan Ny. S memiliki penilaian yang “kurang” (75%), afektif Ny. T
memiliki penilaian yang “baik” (80%), sedangkan Ny. S memiliki penilaian yang
“baik” (75%), dan psikomotor Ny. T memiliki penilaian yang “baik” (80%),
sedangkan Ny. S memiliki penilaian yang “cukup” (60%).

Kata Kunci: Perilaku Keluarga, Family Caregiver, Lansia Demensia

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DEPAN..............................................................................1

HALAMAN SAMPUL DALAM............................................................................2

LEMBAR PERNYATAAN......................................................................................3

LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................4

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................5

KATA PENGANTAR...............................................................................................6

UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................................7

ABSTRAK..............................................................................................................ix

DAFTAR ISI............................................................................................................x

DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiv

DAFTAR SINGKATAN........................................................................................xv

DAFTAR GAMBAR............................................................................................xvi

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Pertanyaan Penelitian 5

1.3 Objektif 5

1.4 Manfaat Penelitian 6

1.4.1 Manfaat Teoritis 6

1.4.2 Manfaat Praktisi 6

BAB II STUDI LITERATUR..................................................................................7

2.1 Teori Perilaku 7

2.1.1 Pengertian Perilaku 7

x
Halaman

2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku 7

2.1.3 Klasifikasi Perilaku Kesehatan 9

2.1.4 Domain Perilaku 10

2.2 Konsep Keluarga 14

2.2.1 Definisi Keluarga 14

2.2.2 Hubungan dalam keluarga 16

2.3 Konsep Caregiver 17

2.3.1 Definisi Caregiver 17

2.3.2 Jenis Caregiver 17

2.3.3 Family Caregiver18

2.4 Konsep Lanjut Usia 21

2.4.1 Definisi Lanjut Usia 21

2.4.2 Teori – Teori Penyebab Penuaan22

2.4.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada Lanjut Usia 25

2.5 Konsep Demensia 29

2.5.1 Definisi Demensia 29

2.5.2 Tanda dan Gejala 29

2.5.3 Tahapan 30

2.5.4 Pencegahan 31

2.5.5 Perawatan Demensia 31

2.6 Kerangka Berfikir 40

BAB III ANALISIS KASUS.................................................................................41

3.1 Deskripsi Kasus 41

3.2 Desain Penelitian41

xi
Halaman

3.2.1 Pengumpulan Data 42

3.3 Unit Analisis dan Kriteria Interpretasi 42

3.3.1 Unit Analisis 42

3.3.2 Kriteria Interpretasi (Kognitif, Afektif, Psikomotor) 43

3.3.3 Deskripsi Jawaban Instrumen Penilaian 44

3.4 Etika Penelitian 46

3.4.1 Inform Concent (Lembar Persetujuan) 47

3.4.2 Anonimity (Tanpa Nama) 47

3.4.3 Confidentiallity (Kerahasiaan) 47

3.4.4 Beneficence and non-malefience (Menguntungkan dan tidak

merugikan) 47

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................48

4.1 Hasil Penelitian 48

4.1.1 Data Karakteristik 48

4.1.2 Identifikasi Kognitif Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam

Merawat Lansia Dengan Demensia 49

4.1.3 Identifikasi Afektif Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam

Merawat Lansia Dengan Demensia 50

4.1.4 Identifikasi Psikomotor Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam

Merawat Lansia Dengan Demensia 52

4.2 Pembahasan 53

4.2.1 Kognitif Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat

Lansia Dengan Demensia 53

xii
Halaman

4.2.2 Afektif Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat Lansia

Dengan Demensia 55

4.2.3 Psikomotor Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat

Lansia Dengan Demensia 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................61

5.1 Kesimpulan 61

5.2 Saran62

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................63

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENILAIAN PERILAKU KELUARGA............66

LAMPIRAN 2. HASIL PENILAIAN PERILAKU KELUARGA........................68

LAMPIRAN 3. PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN..............................69

LAMPIRAN 4. PERNYATAAN SEBAGAI RESPONDEN.................................70

xiv
DAFTAR SINGKATAN

Halaman

SINGKATAN 1. WHO...........................................................................................71

SINGKATAN 2. ADI.............................................................................................71

xv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kerangka berfikir perilaku keluarga sebagai primary caregiver

terhadap lansia dengan demensia.......................................................40

Gambar 4.1 Identifikasi Kognitif...........................................................................49

Gambar 4.2 Identifikasi Afektif.............................................................................50

Gambar 4.3 Identifikasi Psikomotor......................................................................52

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses menua adalah sebuah proses yang mengubah orang dewasa sehat

menjadi rapuh disertai dengan menurunya cadangan hampir semua sistem

fisiologis proses tersebut disertai dengan meningkatnya kerentanan terhadap

penyakit dan kematian (Roger, 2003). Proses menua merupakan bagian dari

proses degenerasi yang bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Salah satu

masalah kesehatan yang umumnya terjadi pada lansia adalah gangguan

neuropsikologi dan salah satu bentuk dari gangguan neuropsikologi adalah

demensia.

Kondisi tersebut menyebabkan lansia demensia memerlukan perhatian dan

perawatan khusus (Miller, 2004). Orang yang paling dekat dengan lansia

dimasyarakat tentunya adalah anggota keluarga yang akan berperan sebagai

primary caregiver (WHO, 2012). Kondisi tersebut umumnya diberi istilah family

caregiver yaitu keluarga atau anggota keluarga memiliki peran untuk memberikan

perawatan utama/khusus apabila terdapat permasalahan kesehatan pada lansia

penderita demensia.

Family caregiver selain berperan untuk merawat dalam fungsi tertentu juga

mengemban peran dalam aktivitas harian keluarga. Seusai keluarga bekerja dalam

kondisi lelah, keluarga mendapati adanya perilaku yang menyimpang dari lansia

demensia, hal tersebut mampu memicu timbulnya stress yang meningkat dari

1
2

keluarga disertai dengan luapan emosional yang ditujukan kepada lansia

demensia, kondisi serupa akan berkelanjutan dan terjadi pada family caregiver.

Penduduk lanjut usia adalah penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih.

Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah lanjut usia terbanyak

di dunia. Hal ini didukung dengan data dari DEPKES (2015) tentang peningkatan

sensus penduduk pada tahun 2010, dimana jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu

18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk

lanjut usia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun

2025, jumlahnya akan mancapai 36 juta jiwa.

Estimasi jumlah penduduk lansia yang menderita demensia pada tahun

2015, 2030, 2050 juga didukung data dari ADI (2015) yang menunjukkan

peningkatan angka dalam satuan jutaan jiwa dan persentase dari total negara di

dunia dimana pada tahun 2015 jumlah tersebut mencapai 37.67 juta jiwa yaitu

(80%), kemudian diperkirakan akan meningkat pada tahun 2030 dengan jumlah

sebesar 58.99 juta jiwa yaitu (79%), dan pada tahun 2050 jumlahnya meningkat

sebesar 99.14 juta jiwa yaitu (75%).

Di tingkat negara, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara di dunia

yang memiliki jumlah lansia dengan demensia terbanyak yang diperkirakan

mencapai angka sebesar 1,2 juta jiwa (ADI, 2015).Berdasarkan penelitian (Ibad,

2015) dari sisi pengalaman, family caregiver mendapat gambaran kondisi

demensia melalui kemampuan berfikir dan merasakan secara mendalam, hal ini

penting untuk membentuk rasa empati sebagai pondasi dalam melakukan

perawatan. Proses perawatan lansia demensia dirumah menjadi sulit apabila


3

family caregiver tidak mendapatkan bimbingan dan arahan dari perawat jiwa

melalui strategi pelaksanaan keluarga dengan demensia.

Hal ini diperkuat dengan penelitian yang diteliti oleh (Ayu & Woelan, 2013)

yang mengkaji sisi lain caregiver lansia dengan demensia mengenai hubungan

antara tingkat stress dan tindak kekerasan dimana tingkat stres memiliki hubungan

dengan terjadinya tindak kekerasan dan dapat terjadi pada caregiver sebagai

bentuk dari koping yang maladaptif, dan hal tersebut dapat muncul berupa

perlakuan yang salah terhadap lansia dan peningkatan emosi pada caregiver.

Berdasarkan hasil demografi yang diperoleh menunjukkan bahwa yang lebih

banyak atau lebih sering berperan menjadi caregiver adalah wanita dibandingkan

pria (79% wanita dan 21% pria) dan sebagian besar memiliki tingkat

perekonomian menengah hingga menengah kebawah, hal tersebut dapat menjadi

faktor resiko yang memicu terjadinya kekerasan pada lansia dengan Demensia.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh (Rita, 2011) dalam penelitiannya

tentang pengalaman caregiver yaitu respon keluarga dalam merawat lansia dengan

demensia dimana beberapa caregiver teridentifikasi melakukan koping maladaptif

yaitu bentuk perlakuan salah pada lansia dan ditunjukkan melalui peningkatan

emosi dari caregiver. Kondisi tersebut akan memperberat beban psikologi

keluarga yang merawat, sehingga perlu adanya dukungan dari anggota keluarga

lain dan peran aktif masyarakat.

Keluarga sebagai primary caregiver berperan penting dalam merawat lansia

dengan demensia, kondisi tersebut menimbulkan suatu hal yang membuatnya

dilema dalam mengemban peran sebagai primary caregiver karena disamping

keluarga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga harus


4

meluangkan sebagian besar waktunya untuk merawat lansia. Hal tersebut memicu

bertambahnya beban yang harus diterima dan dilaksanakan oleh keluarga,

beberapa diantaranya waktu, pikiran dan tenaga.

Sehingga dampak yang ditimbulkan antara lain keluarga berpartisipasi pasif

dalam kehidupan sosial, kemudian ada kecenderungan timbulnya permasalahan

dari sisi finansial untuk memenuhi berbagai keperluan yang diperlukan dalam

merawat lansia dan juga dapat mengalami gangguan psikologis salah satunya

yaitu stres. Hal ini diperkuat oleh Brodaty, Donkin & Grad (2009) yang

menyatakan bahwa terdapat tiga konsekuensi dampak perawatan ketika keluarga

harus merawat lansia dengan demensia yaitu dampak finansial, sosial, dan psikis.

Demensia dapat dideskripsikan sebagai sekelompok gejala mengenai

ingatan, pikiran, dan kemampuan sosial yang cukup parah yang dapat

mengganggu aktifitas sehari-hari. Saat ini masih belum ditemukan obat untuk

menyembuhkan demensia, namun ada perawatan yang mampu untuk mengatur

gejalanya (Michelle, LSW, & Patty, 2015). Keluarga memiliki peran yang sangat

penting dalam perawatan lansia demensia di rumah. Perlu persiapan khusus untuk

hidup bersama dengan lansia yang mengalami demensia. Persiapan yang dapat

dilakukan berupa mental dan lingkungan. Secara mental keluarga harus dapat

beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada lansia demensia dan keluarga

diharapkan dapat menyediakan lingkungan yang mendukung bagi lansia, yaitu

lingkungan yang membuat lansia merasa nyaman. sehingga keluarga khususnya

caregiver dapat memberikan perawatan yang optimal bagi lansia. Merawat lansia

dengan demensia seyogyanya lebih teliti seperti merawat tubuh, menjaga


5

keamanan dari bahaya, memelihara kebersihan dan mengontrol tingkah laku

lansia. dan juga merawat jiwa lansia untuk tetap hidup (Touhy, 2014).

Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga merawat lansia yang

sakit, perlu dikaji pengetahuan keluarga tentang yang dialaminya, bagaimana

sikap keluarga terhadap bantuan kesehatan serta bagaimana tindakan keluarga

dalam mengatasi kesehatan lansia (Suprajitno, 2004).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pada penelitian ini peneliti tertarik

untuk mengambil judul penelitian tentang “Studi Kasus Perilaku Keluarga

Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat Lansia Dengan Demensia”.

1.2 Pertanyaan Penelitian

“Studi Kasus Perilaku Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat

Lansia Dengan Demensia”.

1. Bagaimana pengetahuan keluarga sebagai family caregiver dalam merawat

lansia dengan demensia?

2. Bagaimana sikap keluarga sebagai family caregiver dalam merawat lansia

dengan demensia?

3. Bagaimana tindakan keluarga sebagai family caregiver dalam merawat

lansia dengan demensia?

1.3 Objektif

1. Mengidentifikasi perilaku keluarga sebagai family caregiver secara kognitif

dalam merawat lansia dengan demensia

2. Mengidentifikasi perilaku keluarga sebagai family caregiver secara afektif

dalam merawat lansia dengan demensia


6

3. Mengidentifikasi perilaku keluarga sebagai family caregiver secara

psikomotor dalam merawat lansia dengan demensia

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini dari sisi pengembangan keilmuan terkait

dengan pembahasan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

yang jelas tentang perilaku keluarga sebagai family caregiver dalam merawat

lansia dengan demensia.

1.4.2 Manfaat Praktisi

1. Bagi Keluarga sebagai Family Caregiver

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan panduan kepada

caregiver dalam dalam merawat lansia dengan demensia

2. Bagi Profesi Keperawatan

Sebagai sumber belajar yang diperlukan dalam baik dalam pengerjaan

penelitian maupun pelaksanaan praktek keperawatan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan

penelitian tentang caregiver dalam merawat lansia dengan demensia


BAB II

STUDI LITERATUR

2.1 Teori Perilaku

2.1.1 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat

diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo,

2005).Sedangkan menurut Skiner dikutip oleh Notoadmojo (2005) perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari

luar).

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar yang terjadi melalui proses stimulus terhadap organism dan

kemudian organism tersebut merespons (“S-O-R” atau Stimulus – Organisme –

Respons).

2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

A. Teori perilaku menurut Lawrence Green

Menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan, bahwa

perilaku kesehatan seseorang ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor.

1. Predisposing faktor (faktor predisposisi)

a. Pengetahuan

b. Sikap

c. Kepercayaan

d. Keyakinan

e. Nilai-nilai

7
8

2. Enabling faktor (faktor pendukung)

a. Sarana & prasarana kesehatan

b. Fasilitas kesehatan

3. Reinforcing faktor (faktor pendorong)

a. Sikap & perilaku petugas kesehatan

B. Teori Snehandu B. Kar

Menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak nahwa perilaku merupakan

fungsi.

1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau

perawatan kesehatan (Behavior Intention).

2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitar (Social Support).

3. Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas

kesehatan (Accesebility of Information).

4. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan

atau keputusan (Personal Autonomy).

5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (Action Situation).

C. Teori WHO

Menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu

adalah :

1. Pemikiran dan perasaan (Thougts and Feeling) yaitu dalam bentuk

pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap

objek (objek kesehatan).

2. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.


9

3. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek.

Seseorang menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya

pembuktian terlebih dahulu.

4. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhdap objek. Sikap

sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.

Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek

lain. Sikap positif terhadap tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu

terwujud didalam suatu tindakan tergantung dalam situasi saat itu, sikap

akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada pengalaman orang lain, sikap

diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak atau

sedikitnya pengalaman seseorang.

2.1.3 Klasifikasi Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan menurut Notoadmojo (2009) adalah suatu respon

seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit

atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan miniman, serta

lingkungan. Dari batasan ini perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3

kelompok, yaitu :

1. Perilaku memelihara kesehatan (health maintenance), adalah perilaku atau

usha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak

sakit dan usaha penyembuhan bilamana sakit.

2. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atau

sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat

menderita penyakit atau kecelakaan.


10

3. Perilaku kesehatan lingkungan, adalah apabila seseorang merespon

lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya.

2.1.4 Domain Perilaku

Menurut Bloom seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2009) membagi

perilaku itu di dalam 3 domain (ranah/kawasan). Meskipun kawasan-kawasan

tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini

dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan, yaitu membangun atau

meningkatkan ketiga domain tersebut yang terdiri dari ranah kognitif (cognitive

domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor

domain).

Dalam perkembangn selanjutnya oleh para ahli pendidikan dan untuk

kepentingan pengukuran hasi, ketiga domain itu diukur dari :

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dannini terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhdapa suatu objek tertentu.Tanpa pengetahuan

seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan

menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu :

i. Faktor internal: faktor dari dalam diri sendiri. Misalnya

intelegensia, minat, kondisi fisik.

ii. Faktor eksternal: faktor dari luar diri. Misalnya keluarga,

masyarakat, sarana.

iii. Faktor pendekatan belajar: faktor upaya belajar. Misalnya

strategi dan metode dalam pembelajaran.


11

b. Ada enam tingakatan domain pengetahuan yaitu :

i. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) terhdap suatu

materi yang telah dipelajari sebelumnya.

ii. Memahami (comprehension)

Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi

tersebut secara benar.

iii. Aplikasi

Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

iv. Analisis

Adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu

struktur organisasi dan ada kaitannya dengan orang lain.

v. Sintesa

Sintesa menunukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan

baru.

vi. Evaluasi

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi / objek.


12

2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (2009) menjelaskan bahwa sikap

mempunyai komponen pokok :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhdap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhdapa suatu objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengajarkan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatuyang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Praktik atau tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behavior).

Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan


13

faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain

adalah fasilitas dan faktor dukungan (support).

Faktor dukungan praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

b. Respon terpimpin (guide response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan

seseuai dengan contoh adalah merupakan indicator karktik tingkat

kedua.

c. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang tetalh dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan. Maka ia

sudah mencapai praktik tingkat tiga.

d. Adopsi (adoption)

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik.Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara langsung yakni dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,

hari atau bulan yang lalu (recall).Pengukuran juga dapat dilakukan secara

langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.


14

Menurut penelitian Rogers yang dikutip oleh Notoatmodjo (2009)

mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam

diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni :

a. Kesadaran (awareness)

Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih

dahulu terhdap stimulus (objek).

b. Tertarik (interest)

Dimana orang mulai tertarik pada stimulus.

c. Evaluasi (evaluation)

Menimbang-nimbang terhdap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya.Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Mencoba (trial)

Dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Menerima (adoption)

Dimana objek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.2 Konsep Keluarga

2.2.1 Definisi Keluarga

Keluarga merupakan matriks dari perasaan beridentitas dari

angotaanggotanya merasa memiliki dan berbeda. Tugas utamanya adalah

memelihara pertumbuhan psikososial anggota-anggotanya dan kesejahteraan

selama hidupnya secara umum. Keluarga juga membentuk unit sosial yang paling

kecil yang mentransmisikan tuntutan-tuntutan dan nilai-nilai dari suatu

masyarakat, dan dengan demikian melestarikannya. Keluarga harus beradaptasi


15

dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sementara keluarga juga membantu

perkembangan dan pertumbuhan anggotanya sementara itu semua tetap menjaga

kontinuitas secara cukup untuk memenuhi fungsinya sebagai kelompok refrensi

dari individu (Friedman, 2010).

Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih memiliki

hubungan darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang

yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan

kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain

sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum

menikah disebut keluarga batih (Soerjono, 2004). Sebagai unit pergaulan terkecil

yang hidup dalam masyarakat, keluarga batih mempunyai peranan-peranan

tertentu, yaitu:

1. Keluarga batih berperan sebagi pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi

anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah

tersebut.

2. Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil

memenuhi kebutuhan anggotanya.

3. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan

hidup.

4. Keluarga batih merupakan wadah dimana manusia mengalami proses

sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan

mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Dari kedua pengertian keluarga diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa

keluarga adalah seperangkat bagian yang saling tergantung satu sama lain serta
16

memiliki perasaan beridentitas dan berbeda dari anggota dan tugas utama keluarga

adalah memelihara kebutuhan psikososial anggota-anggotanya dan kesejahteraan

hidupnya secara umum.

2.2.2 Hubungan dalam keluarga

Hubungan keluarga merupakan suatu ikatan dalam keluarga yang terbentuk

melalui masyarakat. Ada tiga jenis hubungan keluarga, yaitu:

1. Kerabat dekat (conventional kin) yaitu terdiri dari individu yang terikat

dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan,

seperti suami istri, orang tua-anak, dan antar-saudara (siblings).

2. Kerabat jauh (discretionary kin) yaitu terdiri dari individu yang terikat

dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, tetapi

ikatan keluarganya lebih lemah daripada keluarga dekat. Anggota kerabat

jauh kadang-kadang tidak menyadari adanya hubungan keluarga tersebut.

Hubungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan

pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga.

Biasanya mereka terdiri atas paman dan bibi, keponakan dan sepupu.

3. Orang yang dianggap kerabat (fictive kin) yaitu seseorang dianggap anggota

kerabat karena ada hubungan yang khusus, misalnya hubungan teman akrab.

Erat-tidaknya hubungan dengan anggota kerabat tergantung dari jenis

kerabatnya dan lebih lanjut dikatakan Adams, bahwa hubungan dengan anggota

kerabat juga dapat dibedakan menurut kelas sosial (Ihromi, 2004).

Hubungan dalam keluarga bisa dilihat dari Pertama, hubungan suami-istri.

Hubungan antar suami-istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh

faktor-faktor di luar keluarga seperti: adat, pendapat umum, dan hukum. Kedua,
17

Hubungan orangtua-anak. Secara umum kehadiran anak dalam keluarga dapat

dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orangtua dari segi psikologis,

ekonomis dan sosial. Ketiga, Hubungan antar-saudara (siblings). hubungan antar-

saudara bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah anggota keluarga, jarak

kelahiran, rasio saudara laki-laki terhadap saudara perempuan, umur orang tua

padasaat mempunyai anak pertama, dan umur anak pada saat mereka keluar dari

rumah.

Hubungan keluarga yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

hubungan orang tua dan anaknya. Secara umum kehadiran anak dalam keluarga

dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orang tua dari segi psikologis,

ekonomis dan sosial. Secara psikologis orang tua akan bangga dengan prestasi

yang dimiliki anaknya, secara ekonomis, orangtua menganggap anak adalah masa

depan bagi mereka, dan secara sosial mereka telah dapat dikatakan sebagai orang

tua.

2.3 Konsep Caregiver

2.3.1 Definisi Caregiver

Pengertian caregiver adalah seorang individu yang secara umum merawat

dan mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya merupakan caregiver

(Awad & Voruganti, 2008). Caregiver sebagai seseorang yang memberikan

bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya lingkungan kepada seseorang

individu yang mengalami ketergantungan baik sebagian atau sepenuhnya karena

kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut (Suh, 2005). Caregiver mempunyai

tugas sebagai emotional support, merawat pasien (memandikan, memakaikan

baju, menyiapkan makan, mempersiapkan obat), mengatur keuangan, membuat


18

keputusan tentang perawatan dan berkomunikasi dengan pelayanan kesehatan

formal (Kung, 2003).

2.3.2 Jenis Caregiver

Caregiver dibagi menjadi 2 yaitu caregiver informal dan caregiver formal.

Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota keluarga, teman, atau

tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang

waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan

formal caregiver adalah caregiver yang merupakan bagian dari sistem pelayanan,

baik di bayar maupun sukarelawan (Sukmarini, 2009).

Caregiver adalah istilah yang sering digunakan untuk mengambarkan orang

yang melakukan perawatan pada orang yang mengalami keterbatasan. Caregiver

pada masyarakat Indonesia umumnya adalah keluarga, dalam hal ini adalah

pasangan, anak, menantu, cucu atau saudara yang tinggal satu rumah. Suatu

keluarga terdiri dari dua individu atau lebih yang berbagi tempat tinggal atau

berdekatan satu dengan lainnya; memiliki ikatan emosi, terlibat dalam posisi

sosial; peran dan tugas-tugas yang saling berhubungan; serta adanya rasa saling

menyayangi dan memiliki (Allender & Spradley, 2005).

Macam –macam caregiver antara lain :

1. Caregiver diabetes

2. Caregiver demensia

3. Caregiver stroke

4. Caregiver alzheimer

5. Caregiver skizorenia

2.3.3 Family Caregiver


19

Family caregiver atau caregiver keluarga menurut Sally (2015) adalah

pasangan, anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan

pribadi dengan pasien, dan memberikan berbagai bantuan yang tidak dibayar

untuk orang dewasa yang lebih tua dengan kondisi kronis atau lemah.

A. Tugas dan Peran Family Caregiver

Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke

dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian.

Caregiver juga membantu pasien dalam mengambil keputusan atau pada stadium

akhir penyakitnya, justru caregiver ini yang membuat keputusan untuk pasiennya.

Keluarga sebagai caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan

diperlukan oleh pasien (Tantono, 2006). Tugas-tugas yang dilakukan caregiver,

antara lain termasuk:

1. Bantuan dalam perawatan diri yang terdiri dari dressing, bathing, toileting

2. Bantuan dalam mobilitas seperti: berjalan, naik atau turun dari tempat tidur

3. Melakukan tugas keperawata seperti: memberikan obat dan mengganti

balutan luka

4. Memberikan dukungan emosional

5. Menjadi pendamping

6. Melakukan tugas-tugas rumah tangga seperti: memasak, belanja, pekerjaan

kebersihan rumah, dan

7. Bantuan dalam masalah keuangan dan pekerjaan kantor

(Milligan, 2004) dalam penelitiannya menarik perhatian terhadap fakta

tugas caregiver pada lansia. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas
20

kepada pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, sebagai

berikut:

1. Physical Care/Perawatan fisik, yaitu: memberi makan, mengganti pakaian,

memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain

2. Social Care/Kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat hiburan,

menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar

perawatan di rumah

3. Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang

kepada pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan namun

ditunjukkan melalui tugas-tugas lain yang dikerjakan

4. Quality care, yaitu: memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan

indikasi kesehatan, serta berurusan dengan masalah yang timbul

B. Kebutuhan Family Caregiver

Kebutuhan-kebutuhan caregiver tersebut hendaknya dapat dikaji oleh

perawat agar beban yang dirasakan caregiver dapat berkurang. dalam memenuhi

kebutuhannya dan mencapai tujuan caring, caregiver diharapkan memiliki

keahlian dalam (Michelle, LSW, & Patty, 2015):

1. Berkomunikasi

Mengekspresikan kebutuhan dan perasaan serta mampu mendengar

kebutuhan dan perasaan orang lain merupakan keterampilan penting dalam

menangani pasien. Saat perasaan pasien dan caregiver mampu diutarakan,

hal tersebut dapat mendukung satu sama lain, dan mengurangi stres yang

diikuti oleh kemarahan atau kesedihan. Dengan melepaskan masalah,


21

perawatan pasien dapat ditata sedemikian rupa sehingga pengobatan dapat

lebih efektif.

2. Menemukan informasi

Kebutuhan akan informasi sangat diperlukan untuk membuat keputusan,

memecahkan masalah, dan mencari pertolongan. Dengan mencari informasi,

caregiver akan lebih mampu memahami penyakit dan pengobatan, seperti

halnya dengan menentukan sumber dan dukungan caring.

3. Membuat keputusan

Diagnosis membutuhkan keputusan penting tentang pilihan pengobatan dan

gaya hidup. Bagi pasien ini membutuhkan bantuan caregiver dan

pandangannya dalam memutuskan sesuatu.

4. Memecahkan masalah

Dalam menghadapi perubahan dan beradaptasi akan suatu kondisi

membutuhkan bantuan luar, seperti dari perawat, pekerja sosial, kelompok

sosial lainnya, internet, teman dan keluarga

5. Bernegosiasi

Dengan adanya persetujuan kerja bagi masing-masing orang, akan

mengurangi ketegangan peran caregiver.

6. Memberanikan diri

Menghilangkan keraguan untuk mencari bantuan apa saja untuk caregiver

sendiri dan pasien.

2.4 Konsep Lanjut Usia

2.4.1 Definisi Lanjut Usia


22

Menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi

dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Murwani, 2011).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut usia meliputi Middle

Age (45- 59 tahun), Elderly (60-74 tahun), Old (75-90 tahun), Very Old (> 90

tahun). Sementara Menurut Setyonegoro mengelompokkan usia lanjut sebagai

berikut : Geriatric Age (65-70 tahun), Young Old (70-75 tahun), Old (75-80

tahun), Very Old (> 80 tahun) (Murwani, 2011).

2.4.2 Teori – Teori Penyebab Penuaan

Para ilmuan telah menyelidiki dan telah menemukan banyak teori untuk

mengungkap penyebab manusia menjadi tua. Ada beberapa teori tentang penuaan

yang akan kita lihat saat ini antara lain: 1) Teori Biologi, 2) Teori Psikologi.

A. Teori Biologi

1. Perubahan biologi yang berasal dari dalam (instrinsik)/teori genetika.

a. Teori Jam Biologi (biological clock theory)

Adalah proses menua yang dipengaruhi oleh faktor-faktor keturunan

dari dalam umur seseorang seolah-olah distel seperti jam.

b. Teori menua yang terprogram (program aging theory)

Teori ini menjelaskan bahwa sel tubuh manusia hanya dapat membagi

diri sebanyak 50 kali.

c. Teori mutasi (somatic mutatie theory)

Teori ini menjelaskan bahwa setiap sel pada saatnya akan mengalami

mutasi, menua terjadi akibat dari perubahan biokimia yang diprogram


23

oleh molekul-molekul/DNA dan setiap sel pada saatnya akan

mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-

sel kelamin (terjadi penurunan fungsi sel ).

d. The error Theory,”Pemakaian dan rusak”

Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (terpakai).

e. Teori Akumulasi

Teori ini menerangkan bahwa pengumpulan dari pigmen atau lemak

dalam tubuh. Sebagai contoh adanya pigmen lipofuchine dari sel otot

jantung dan susunan syaraf pusat pada orang lanjut usia yang

mengakibatkan terganggunya fungsi sel itu sendiri.

f. Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan.

g. Reaksi kekebalan sendiri (auto immune theory)

Di dalam proses metabolisme tubuh,suatu saat diproduksi suatu zat

khusus,ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat

tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.

h. Teori immunologi slow virus

Teori ini menjelaskan, bahwa sistem imun menjadi kurang efektif

dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang

dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

i. Teori rantai silang

Teori ini menjelaskan bahwa sel-sel yang tua atau usang, reaksi

kimianya dapat menyebabkan ikatan yang kuat khususnya jaringan


24

kolagen, ikatan ini menyebabkan elastisitas berkurang dan menurunya

fungsi.

2. Perubahan biologik yang berasal dari luar/ekstrinsik (teori non genetika).

a. Teori radikal bebas

Teori ini menjelaskan meningkatnya bahan-bahan radikal bebas

sebagai akibat pencemaran akan menimbulkan perubahan pada

kromosom pigmen dan jaringan kolagen.

b. Teori imunologi

Teori ini Menjelaskan perubahan jaringan getah bening akan

mengakibatkan ketidakseimbangan sel T dan terjadi penurunan fungsi

sel-sel kekebalan tubuh, akibatnya usia lanjut mudah terkena infeksi.

c. Teori stress

Teori ini menjelaskan bahwa menua menjadi akibat dari hilangnya sel-

sel yang biasa digunakan tubuh.Regenerasi jaringan tidak dapat

mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan

stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

B. Teori Psikologi

1. Maslow Hierareky Human Needs Theory

Teori maslow mengungkapkan hirarki kebutuhan manusia yang meliputi 5

hal (kebutuhan fisiologis, keamanan dan kenyamanan, kasih sayang, harga

diri, dan aktualisasi diri).

2. Jung’s Theory Individualism


25

Teori ini mengungkapkan perkembangan personality dari anak-anak,

remaja, dewasa muda, dewasa pertengahan hingga dewasa tua (lansia) yang

dipengaruhi baik dari internal maupun eksternal.

3. Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)

Teori ini mengatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah mereka

yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial, dan berusaha untuk

mempertahankan hubungan antar sistem sosial dan individu agar tetap stabil

dari usia pertengahan sampai lanjut usia.

4. Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)

Dasar kepribadian dan tingkah laku yang tidak berubah pada lanjut usia.

Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Teori ini menyatakan bahwa

perubahan yang terjadi pada seorang yang lanjut usia dipengaruhi oleh type

resonality yang dimilikinya.

5. Teori Pembebasan

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia seseorang secara

berangsur - angsur akan melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau

menarik diri dari pergaulan sosialnya (Murwani, 2011).

2.4.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada Lanjut Usia

A. Perubahan fungsi fisik

1. Sel

Jumlah sel menurun, ukuran sel lebih besar, jumlah cairan tubuh dan cairan

intraseluler berkurang, mekanisme perbaikan sel terganggu, otak menjadi

atrofi dan lekukan otot akan menjadi lebih dangkal dan melebar.
26

2. Perubahan Otot

Berkurangnya masa otot,perubahan degeneratif jaringan konektif,

osteoporosis, kekuatan otot menurun, endurance dan koordinasi menurun,

ROM terbatas, mudah jatuh/fraktur.

3. Kulit

Proliferasi epidermal menurun,kelembaban kulit menurun, suplai darah ke

kulit menurun, dermis/ kulit menipis, kelenjar keringat berkurang yang

ditandai dengan: kulit kering, pigmentasi ireguler, kuku mudah patah, kulit

berkerut, elastisitas berkurang, sensitivitas kulit menurun.

4. Pola Tidur

Butuh waktu lama untuk jatuh tidur, sering terbangun, mutu tidur berkurang,

lebih lama berada di tempat tidur

5. Fungsi Kognitif

Beberapa lansia menunjukkan penurunan keterampilan intelektual, tapi

masih mampu mengembangkan kemampuan kognitif, penurunan

kemampuan mengingat.

6. Penglihatan

Kornea kuning/keruh, ukuran pupil mengecil, atropi sel-sel fotoreseptor,

penurunan suplai darah dan neuron ke retina, pengapuran lensa.

Konsekuensinya meningkatnya sensitivitas terhadap cahaya silau, respon

lambat terhadap perubahan cahaya, lapang pandang menyempit, perubahan

persepsi warna, lambat dalam memproses informasi visual.

7. Kardiovaskuler
27

Pengerasan pembuluh darah, hipertropi dinding ventrikel kiri, vena tebal,

kurang elastis, perubahan mekanisme konduksi, peningkatan resistensi

perifer, konsekuensinya tekanan darah meningkat, berkurangnya respon

adaptif terhadap exercise, berkurangnya aliran darah ke otak,

atherosclerosis dan varicosis.

8. Respirasi

Otot-otot respirator melemah, kapasitas vital berkurang, berkurangnya

elastisitas paru, alveoli melebar, dinding dada mengeras, konsekuensinya:

meningkatnya penggunaan otot tertentu, meningkatnya energi yang keluar

untuk respirasi, menurunya efisiensi pertukaran gas, menurunnya tekanan

oksigen arterial.

9. Persarafan

Sukar bicara, gerakan otot (kagok), gangguan pengenalan seseorang, sukar

tidur, daya ingat melemah, depresi, parkinson.

10. Endokrin

Produksi hampir semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya

tidak berubah, aktifitas tiroid menurun, aktivitas BMR (Basal Metabolisme

Rate) menurun, produksi aldosteron menurun, produksi hormon kelamin

(estrogen,progesteron,testosteron) menurun.

11. Pencernaan

Menghilangnya gigi, indra pengecap menurun, esofagos melebar,

sensitivitas rasa lapar menurun, paristaltik melemah dan biasanya timbul

konstipasi, fungsi absorbsi melemah.

B. Perubahan Mental
28

Menurut Lubis (2009) perubahan mental dipengaruhi oleh :

1. Perubahan fisik

Perubahan fisik serta penurunan fungsinya pada lanjut usia dapat

mengakibatkan perubahan mental pada lanjut usia tersebut, khususnya

perubahan mental pada lanjut usia tersebut, khususnya perubahan pada

organ perasa.

2. Kesehatan Umum

Sesuai dengan definisi menua bahwa pada lanjut usia terjadi penurunan -

penurunan fungsi organ tubuh yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan

umum lanjut usia sehingga tak jarang keadaan ini mempengaruhi mental

lanjut usia.

3. Tingkat Pendidikan

Semakin tinggi latar pendidikan lanjut usia maka semakin mudah lanjut usia

menghadapi stressor yang dialaminya.

4. Keturunan (hereditas)

Seseorang yang keluarganya diketahui menderita depresi yang berat

memiliki resiko lebih besar menderita gangguan depresi dari pada

masyarakat pada umumnya.

5. Lingkungan

Lingkungan yang dimaksud adalah keluarga. Masalah-masalah sosial lanjut

usia dengan keluarga dapat mempengaruhi status mental pada lanjut usia.

C. Perubahan Psikososial

1. Pensiun
29

Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan

dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun, ia akan

mengalami kehilangan - kehilangan antara lain:

a. Kehilangan financial (income berkurang)

b. Kehilangan status

c. Kehilangan teman/kenalan atau relasi

d. Kehilangan pekerjaan/kegiatan

2. Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of morality)

3. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak

lebih sempit.

4. Ekonomi akibat pemberhetian dari jabatan (economic deprivation)

5. Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya

pengobatan

6. Penyakit kronis dan ketidakmampuan

7. Gangguan saraf panca indra, timbul kebutuhan dan ketulian

8. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan

9. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman

dan family.

10. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri,

perubahan konsep diri (Murwani, 2011).

2.5 Konsep Demensia

2.5.1 Definisi Demensia

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual

progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga


30

mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Rita,

2011). Sementara itu Watson (2003) menyatakan bahwa demensia adalah suatu

kondisi konfusi kronik dan kehilangan kemempuan kognitif secara global dan

progresif yang dihubungkan dengan masalah fisik.

2.5.2 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala terjadinya demensia secara umum adalah sebagai berikut

(Michelle, LSW, & Patty, 2015):

1. Daya ingat yang terus terjadi pada penderita demensia, ”lupa” menjadi

bagian keseharian yang tidak bisa lepas.

2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan,

tahun, tempat penderita demensia berada.

3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang

benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mangulang

kata atau cerita yang sama berkali-kali.

4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis yang berlebihan saat melihat

sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang di lakukan

orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia

kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.

5. Adanya perubahan tingkah laku seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan

gelisah

2.5.3 Tahapan

Tahapan-tahapan yang dialami pada penderita demensia menurut Stanley

(2007) adalah sebagai berikut :

1. Stadium I/Awal
31

Berlangsung 2-4 tahun dan di sebut stadium amnestik dengan gejala

gangguan memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori

yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang di alami dan

tidak menggangu aktivitas rutin dalam keluarga.

2. Stadium II/Pertengahan

Berlangsung 2-10 tahun dan disebut pase demensia. Gejalanya antara lain,

disorientasi, gangguan bahasa (afasia). Penderita mudah bingung,

penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat

melakukan kegiatan sampai selesai, Gangguan kemampuan merawat diri

yang sangat besar, Gangguan siklus tidur ganguan, Mulai terjadi

inkontensia, tidak mengenal anggota keluarganya, tidak ingat sudah

melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan

visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungan.

3. Stadium III/Akhir

Berlangsung 6-12 tahun, yaitu penderita menjadi vegetatif, tidak bergerak

dangangguan komunikasi yang parah (membisu), ketidakmampuan untuk

mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan mobilisasi dengan

hilangnya kemampuan untuk berjalan, kaku otot, gangguan siklus tidur-

bangun, dengan peningkatan waktu tidur, tidak bisa mengendalikan buang

air besar/kecil. Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain dan

kematian terjadi akibat infeksi atau trauma.

2.5.4 Pencegahan

Hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia

diantaranya adalah (Stanley, 2007) :


32

1. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol

dan zat adiktif yang berlebihan.

2. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan

setiap hari.

3. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif.

2.5.5 Perawatan Demensia

Merawat pasien dengan demensia sangat penting peranan dari perawat.

Apakah ia anggota keluarga atau tenaga yang diupah, ia harus mempunyai

pengetahuan yang memadai tentang demensia dan mau belajar terus untuk

mendapatkan cara-cara efektif dalam mengasuh pasien. Perawat perlu berdiskusi

dan berkonsultasi dengan dokter yang merawat pasien sehingga dapat dibuat suatu

program pengobatan yang tepat (Michelle, LSW, & Patty, 2015).

Pemberian obat anti demensia pada fase demensia dini akan lebih jelas

manfaatnya dibandingkan demensia fase berat. Karenanya semakin cepat

didiagnosa adalah semakin baik hasil terapinya. Kadang-kadang orang takut

mengetahui kondisi yang sebenarnya, lalu menunda mencari pertolongan dokter.

Pemeriksaan kondisi mental dan evaluasi kognitif yang rutin (6 bulan sekali)

sangat dianjurkan bagi orang yang berusia sekitar 60 tahun supaya dapat segera

diketahui jika ada kemunduran kognitif yang mengarah pada demensia, dan dapat

segera dilakukan intervensi guna mencegah kondisi yang lebih parah.

Penatalaksanaan demensia dilakukan melalui terapi nonfarmakologi dan

terapi farmakologi. Terapi non-farmakologi yaitu terapi rehabilitasi dimana

penderita dimampukan dalam mengurus kebutuhan dasarnya dengan

mengoptimalkan kemampuan yang masih ada. Sedangkan terapi farmakologi


33

bertujuan memperlambat progresivitas penyakit dalam memperbaiki fungsi

berpikir dan kontrol prilaku dengan obat-obatan.

Terapi non farmakologis dimulai dengan konsultasi dokter saraf yang

menangani demensia untuk menganalisis masalah yang ada, kemudian ditentukan

tujuan apa yang ingin dicapai. Hal ini bergantung dari jenis gangguan, berat

gangguan, dan proses penyakitnya. Tindakan rehabilitasi yang kurang bermakna,

jangan dianjurkan. Banyak kelompok yang menawarkan jasa, namun tidak

dilakukan dengan baik. Tindakan-tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan tujuan

yang ingin dicapai. Tujuan tersebut adalah :

A. Mengoptimalkan kemampuan yang masih ada

1. Daya ingat

a. Buat catatan kecil, untuk membantunya mengingat. Catatan bisa

berupa jadwal kegiatan, daftar nomor telepon penting, atau yang

lainnya.

b. Ajak pasien berjalan-jalan pada siang hari, untuk mencegah pasien

tersesat. Hal ini terjadi karena pasien lupa jalan ke kamar mandi.

c. Pertahankan lingkungan yang familiar. Hal ini akan membantu

penderita tetap memiliki orientasi, seperti pasang kalender yang besar,

cahaya yang terang, jam dinding dengan angka-angka yang besar, dan

sebagainya.

2. Inkontinensia

a. Menjalani kegiatan mandi, buang air besar, buang air kecil secara

rutin, untuk memberikan rasa keteraturan kepada penderita.

b. Buat jadwal saat berkemih dan buang air besar


34

i. Berikan penderita makanan dan minuman yang bergizi yang

rendah lemak (low-fat) dan buah-buahan.

ii. Ajak pasien untuk melakukan olahraga sederhana seperti

berjalan setiap pagi, dan latihan sederhana lainnya.

Hindarimerokok dan konsumsi alkohol.

c. Kesulitan berkomunikasi

d. Pasang alat bantu dengar pada penderita yang sudah mengalami

ketulian

e. Usahakan untuk berkomunikasi lebih sering. Komunikasi bukan hanya

dengan berbicara, namun juga dengan menyentuh tangan atau

bahunya untuk membantu penderita memusatkan perhatiannya.

B. Berupaya mengatasi masalah perilaku

Prinsip perawatan mengenai perilaku adalah menemukan perubahan tingkah

laku sedini mungkin. Langkah awal yang harus dilakukan pada pasien yang

mengalami perubahan tingkah laku adalah :

1. Periksa kemungkinan infeksi dan dehidrasi.

2. Evaluasi terhadap setiap perubahan fisik atau penyakit yang sedang diderita

pasien (misalnya hipotiroid).

3. Lihat kemungkinan adanya efek samping obat (misalnya obat-obatan yang

menyebabkan perubahan tingkah laku seperti depresi, ansietas, atau

gangguan tidur).

4. Pertimbangkan untuk mengganti obat yang sekarang digunakan.

5. Pertimbangkan untuk menghentikan atau mengurangi dosis obat-obat

antikolinergik dan penggunaan benzodiazepine harus di tapering off.


35

6. Lakukan pengawasan ketat untuk mencegah kecelakaan, keracunan obat dan

makanan.

7. Hindari gangguan sensorik dengan memperbaiki fungsi penglihatan dan

pendengaran.

8. Cegah stimulasi yang berlebihan. Terlalu bising, terlalu banyak orang,

lingkungan baru, dan perubahan rutinitas kegiatan akan memperparah

gangguan perilaku pada orang tua yang demensia.

9. Identifikasi penyebab gangguan perilaku.

10. Gunakan pendekatan yang tepat dalam berinteraksi dengan pasien demensia

yang mengalami perubahan tingkah laku. Teknik modifikasi tingkah laku

sangat membantu untuk meringankan gangguan tingkah laku.

Adapun teknik modifikasi tingkah laku dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Lakukan pendekatan dengan tenang dan lembut

Kekerasan, perintah, suara yang terlalu keras akan memperberat gangguan

perilaku karena pasien akan merasa terancam dan ketakutan. Pendekatan ke

pasien harus dilakukan pelan-pelan agar tidak mengejutkan mereka.

Memindahkan pasien secara tergesa-gesa juga akan menyebabkan mereka

merasa tidak nyaman dan cemas.

2. Menggunakan bahasa isyarat agar tidak mengejutkan pasien

Semakin berat demensia, semakin kurang bahasa yang bisa dipahami pasien

sehingga pasien lebih sering menggunakan bahasa isyarat.

3. Berbicara pelan-pelan dan menggunakan kata-kata yang sederhana sehingga

percakapan menjadi lebih mudah dimengerti.

4. Memberikan rasa aman kepada pasien.


36

Gangguan kognitif membuat pasien tidak percaya diri dan tidak yakin akan

ingatannya. Bila mereka melakukan hal yang baik, berikan pujian. Jika

pasien mulai bertindak aneh atau terlihat bingung, tenangkan mereka

dengan mengatakan bahwa mereka telah melakukan pekerjaan yang hebat.

Jangan lupa untuk mengucapkan terimakasih jika pasien telah melakukan

pekerjaan dengan baik, karena hal ini akan membangun rasa percaya diri

pada pasien, pada dasarnya setiap orang menyukai pujian.

5. Memberikan rasa empati terhadap masalah pasien.

Walaupun pikiran pasien sedang kacau, akan lebih baik jika kita

membenarkan segala perkataan mereka dan kita tidak perlu mengatakan

kebenaran. Jika pasien bingung dan mengatakan bahwa seseorang telah

mencuri gunting kukunya, jangan dipersalahkan walaupun hal itu tidak

benar. Pasien akan marah karena tidak percaya pada kita, oleh karena itu

kita harus menenangkan mereka dengan memberikan empati kepada

mereka.

6. Jangan memberikan perintah kepada pasien

Semakin berat demensia, pasien semakin tidak mampu untuk memutuskan

apa yang harus mereka lakukan. Kondisi seperti itu maka perawat sering

memberikan perintah kepada mereka. Hal ini justru akan membuat mereka

semakin menolak untuk melakukan pekerjaannya, karena mereka merasa

diperintah. Salah satu cara untuk meyakinkan pasien untuk melakukan

pekerjaannya adalah dengan membuat mereka berpikir bahwa pekerjaan

tersebut harus dilakukan atas keinginan dan inisiatif mereka sendiri.

7. Mengalihkan perhatian pasien


37

Jika pasien berniat untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi mereka

seperti memasak atau menyetir, segera alihkan perhatian mereka dengan

memperlihatkan sebuah gambar, mengajak pasien berjalan ke jendela untuk

melihat-lihat pemandangan, atau memberikan kue kepada mereka untuk

dimakan. Berikan sesuatu yang mereka sukai.

8. Mengawasi utilization behaviour

Utilization behaviour dapat diartikan aktivitas tertentu yang masih dapat

dilakukan pasien walaupun mengalami gangguan fungsi kognitif. Mereka

akan melakukan aktivitas tersebut tidak pada waktu dan tempatnya. Jika

menemukan hal ini, perawat harus mengawasi secara ketat terhadap hal-hal

yang dilakukan tidak pada tempatnya. Pasien juga mungkin mengalami

disorientasi waktu sehingga pasien sering keluyuran tengah malam dengan

pakaian resmi. Perawat harus meletakkan sesuatu di atas mata pasien untuk

mencegah situasi atau stimulus visual yang dapat membangkitkan perilaku

tersebut.

9. Out of sight dan out of mind

Artinya sesuatu yang dilihat oleh pasien akan menyebabkan timbulnya

perilaku yang aneh sebagai reaksi terhadap stimulus obyek atau situasi yang

dialami pasien. Penting untuk menyingkirkan segala sesuatu dari pandangan

mereka. Jauhkan pasien dari orang-orang atau tempat-tempat tertentu yang

merangsang timbulnya perilaku tersebut. Hindarkan juga pasien dari

cermin-cermin di rumah jika pasien tidak mengenali dirinya sendiri, karena

hal ini akan menyebabkan kecemasan akan adanya pengacau di dalam

rumah.
38

10. Melakukan kegiatan rutin untuk mencegah timbulnya disorientasi

Melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya akan menghindarkan

pasien dari kecemasan atau kegelisahan. Perubahan lingkungan sekitar

merupakan penyebab yang paling sering timbulnya disorientasi dan

kebingungan pada pasien.

11. Menambah aktivitas pada siang hari

Menambah aktivitas pada siang hari bisa membantu karena akan

merangsang pikiran pasien tetap aktif bekerja. Hal ini juga akan mengurangi

waktu tidur dan menghasilkan tidur yang lebih baik pada malam hari

sehingga mengurangi gejala insomnia (sulit tidur).

12. Menempatkan pasien pada lingkungan yang aman

Mengajak pasien untuk jalan-jalan akan membantu mengurangi kegelisahan

pada pasein. Semakin berat demensia, pasien harus semakin diawasi untuk

menjamin keselamatan pasien.

13. Menghindari lingkungan yang terlalu merangsang.

Pasien demensia yang sudah mulai mengalami gejala gelisah, cemas, cepat

marah, atau suka mengkhayal akan selalu menunjukkan perburukan

gangguan perilaku jika lingkungan mereka terlalu bising. Mereka mungkin

ingin pergi, memukul, atau berteriak. Pasien harus dibawa ke tempat yang

tenang. Jika pasien ikut serta mengunjungi keluarga yang terdiri dari banyak

orang, akan lebih baik jika pasien ditempatkan di sebuah tempat yang

tenang dengan ditemani 1 atau 2 orang anggota keluarga.

14. Mengawasi kebiasaan ” hyperoral”


39

Biasa terjadi pada demensia dengan degenerasi lobus frontotemporal di

mana pasien suka mengunyah baik makanan maupun benda-benda lainnya.

Perlu pengawasan terhadap pasien dengan gejala seperti ini untuk

menghindarkan mereka memakan makanan yang tidak layak untuk

dimakan.

15. Mengurangi kebingungan pada malam hari

Gangguan tidur pada malam hari menyebabkan pasien terus terbangun pada

malam hari walaupun dalam keadaan gelap. Kebingungan sering terjadi

karena pasien merasa melayang-layang dan penglihatannya kabur. Upaya

untuk mengatasi kebiasaan ini bisa digunakan lampu malam agar ruangan

mereka tidak terlalu gelap. Kadang-kadang mereka terbangun dan pergi ke

daerah yang terang untuk menenangkan diri.

C. Membantu keluarga atau orang yang merawat dengan memberikan

informasi yang tepat

1. Memberitahukan kepada keluarga agar tidak menghabiskan waktu dan dana

untuk tindakan atau pengobatan yang belum terbukti khasiatnya.

2. Keluarga penderita perlu dimotivasi untuk menghadapi keadaan secara

realita, bahwa penderita membutuhkan dorongan agar dapat berfungsi

secara efisien di lingkungan keluarga dan masyarakat.

3. Memberikan latihan-latihan kepada keluarga ataupun orang yang merawat

tentang bagaimana cara menghadapi dan memperlakukan penderita

demensia.

D. Memberikan dukungan melalui lingkungan sekitarnya


40

1. Berinteraksi sosial pada kebanyakan penderita demensia akan terasa

menyenangkan, seperti mengikuti perkumpulanperkumpulan atau pesta.

2. Aktivitas musik dan kesenian akan menenangkan dan mungkin akan

bermanfaat bagi penderita demensia.

3. Bila penderita dirawat di sebuah panti, ciptakan suasana seperti lingkungan

rumah.

2.6 Kerangka Berfikir


41

Keterangan:
: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar .1 Kerangka berfikir perilaku keluarga sebagai primary caregiver

terhadap lansia dengan demensia


BAB III

ANALISIS KASUS

3.1 Deskripsi Kasus

Kasus caregiver dalam merawat lansia demensia pada dua keluarga di

Keluraha Kutisari Surabaya:

1. Responden 1 Ny. T usia 40 Tahun, jenis kelamin perempuan, agama islam,

suku jawa,tingkat pendidikan SMK, perkerjaan wiraswasta merawat lansia

Ny. S usia 88 Tahun, riwayat penyakit dahulu hepertensi, dengan tanda-

tanda vital tekanan darah 130/80mmHg, nadi 67x/mnt , respirasi 20x/mnt,

berat badan 48kg, tinggi badan 150cm, lansia saat ini mengalami demensia,

terapi yang di minum amlodipin 5mg 1-0-0

2. Responden 2 Ny. S usia 53 Tahun, jenis kelamin perempuan, agama islam,

suku jawa, tingkat pendidikan SMA, pekerjaan wiraswasta merawat lansia

Ny. L usia 80 Tahun, riwayat penyakit dahulu hepertensi, dengan tanda-

tanda vital tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 88x/mnt, respirasi 20x/mnt,

berat badan 56kg, tinggi badan 152cm, lansia saat ini mengalami demensia,

terapi yamg di minum irbersatan 150mg 1-0-0 , atorvastatin 20mg 0-0-1

3.2 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada karya tulis ilmiah ini adalah studi

kasus.studi kasus (case study) adalah bagian dari metode kualitatif yang hendak

mendalami suatu kasus tertentu secara lebih mendalam dengan melibatkan

pengumpulan beraneka sumber informasi (Semiawan, 2010).

41
42

Fokus studi kasus keperawatan ini adalah perilaku keluarga sebagai family

caregiver dalam merawat lansia dengan demensia di Kelurahan Kutisari

Surabaya.

3.2.1 Pengumpulan Data

1. Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapatkan surat pengantar

dari bagian Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya.

2. Kemudian diserahkan ke Kelurahan Kutisari Surabaya, dan pengumpulan

data dilakukan pada dua sampel. Kriteria sampel yang diteliti yaitu anggota

keluarga sebagai family caregiver dalam merawat lansia dengan demensia.

Peneliti berdiskusi dengan pihak Kader di wilayah Kutisari Utara untuk

memilih kriteria yang dinilai. Setelah mendapatkan sampel yang sesuai

kriteria, maka penilaian perilaku keluarga sebagai family caregiver dalam

merawat lansia dengan demensia dilakukan.

3. Pra Interaksi: memberikan salam, memperkenalkan diri, menanyakan

perasaan hari ini, kontrak waktu pelaksanaan.

4. Fase kerja: pelaksanaan sebagai family caregiver dalam merawat lansia

dengan demensia sebelumnya diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai

upaya yang dilakukan keluarga sebagai family caregiver dalam merawat

lansia dengan demensia. Setelah itu mengamati perilaku keluarga serta

memberikan penilaian (jawaban) pada intrumen penilaian yang meliputi

kriteria interpretasi (afektif, kognitif dan psikomotor).

3.3 Unit Analisis dan Kriteria Interpretasi

3.3.1 Unit Analisis


43

Unit analisa merupakan cara atau metode yang digunakan oleh peneliti

untuk melakukan analisis dari hasil pengumpulan data yang merupakan gambaran

atau deskriptif. Studi kasus ini mengarah pada individu keluarga yang merawat

lansia dengan demensia, mempunyai unit analisis yang terdiri dari:

1. Kognitif keluarga sebagai family caregiver dalam merawat lansia dengan

demensia.

2. Afektif keluarga sebagai family caregiver dalam merawat lansia dengan

demensia.

3. Psikomotor keluarga sebagai family caregiver dalam merawat lansia dengan

demensia.

3.3.2 Kriteria Interpretasi (Kognitif, Afektif, Psikomotor)

Kriteria interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini studi kasus

perilaku keluarga sebagai family caregiver dalam merawat lansia dengan

demensia di Kelurahan Kutisari Surabaya, yang akan dilaksakan pada bulan Juli

2017, peneltian ini dilakukan selama dua hari. Instrumen yang digunakan dengan

menggunakan lembar observasi perilaku keluarga yang meliputi afektif, kognitif

dan psikomotor.

1. Kognitif

a. Keluarga mampu mengetahui

b. Keluarga mampu memahami

c. Keluarga mampu mengaplikasikan

2. Afektif

a. Keluarga mampu menerima

b. Keluarga mampu merespon


44

c. Keluarga mampu menghargai

3. Psikomotor

a. Keluarga mampu melakukan dengan sempurna

b. Keluarga mampu melakukan dengan bimbingan

c. Keluarga tidak mampu melakukan

3.3.3 Deskripsi Jawaban Instrumen Penilaian

Deskripsi jawaban instrumen penilaian pada penelitian ini dipaparkan pada

masing-masing penilaian perilaku keluarga yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

1. Deskripsi jawaban instrumen penilaian kognitif

Sebelum memaparkan deskripsi jawaban instrumen penilaian tentang

kognitif keluarga, terlebih dahulu menentukan standar atau ukuran interval

jawaban dan rentang skala jawaban yang digunakan sebagai acuan dalam

menilai kognitif keluarga.

Interval jawaban digunakan sebagai dasar pengukuran rentang skala jawaban

terhadap skala jawaban yang ditentukan (Windarti, 2015). Formula yang

digunakan dalam menentukan nilai interval kelas sebagai berikut:

Setelah mengetahui nilai interval jawaban yaitu 0.5, selanjutnya

menerapkan nilai interval jawaban ke dalam rentang skala jawaban, dalam

hal ini menggunakan skala jawaban dengan angka 1-2.

Angka terendah (1) dideskripsikan dengan jawaban “tidak mengetahui”,

sedangkan angka tertinggi (2) dideskripsikan dengan penilaian kognitif

keluarga “mengetahui”. Kesimpulan pengukuran rentang skala jawaban


45

yang digunakan untuk menjelaskan nilai rata-rata hitung atau mean dari

instrumen penilaian kognitif sebagai berikut:

1.00 – 1.50 = Kurang

1.51 – 2.00 = Baik

2. Deskripsi jawaban instrumen penilaian afektif

Sebelum memaparkan deskripsi jawaban instrumen penilaian tentang afektif

keluarga, terlebih dahulu menentukan standar atau ukuran interval jawaban

dan rentang skala jawaban yang digunakan sebagai acuan dalam menilai

afektif keluarga.

Interval jawaban digunakan sebagai dasar pengukuran rentang skala jawaban

terhadap skala jawaban yang ditentukan (Windarti, 2015). Formula yang

digunakan dalam menentukan nilai interval kelas sebagai berikut:

Setelah mengetahui nilai interval jawaban yaitu 0.5, selanjutnya

menerapkan nilai interval jawaban ke dalam rentang skala jawaban, dalam

hal ini menggunakan skala jawaban dengan angka 1-5.

Angka terendah (1) dideskripsikan dengan jawaban “sangat tidak setuju”,

sedangkan angka tertinggi (5) dideskripsikan dengan penilaian afektif

keluarga “sangat setuju”. Kesimpulan pengukuran rentang skala jawaban

yang digunakan untuk menjelaskan nilai rata-rata hitung atau mean dari

instrumen penilaian afektif sebagai berikut:

1.00 – 2.33 = Kurang

2.34 – 3.66 = Cukup


46

3.67 – 5.00 = Baik

3. Deskripsi jawaban instrumen penilaian psikomotor

Sebelum memaparkan deskripsi jawaban instrumen penilaian tentang

psikomotor keluarga, terlebih dahulu menentukan standar atau ukuran

interval jawaban dan rentang skala jawaban yang digunakan sebagai acuan

dalam menilai psikomotor keluarga.

Interval jawaban digunakan sebagai dasar pengukuran rentang skala jawaban

terhadap skala jawaban yang ditentukan (Windarti, 2015). Formula yang

digunakan dalam menentukan nilai interval kelas sebagai berikut:

Setelah mengetahui nilai interval jawaban yaitu 0.5, selanjutnya

menerapkan nilai interval jawaban ke dalam rentang skala jawaban, dalam

hal ini menggunakan skala jawaban dengan angka 1-5.

Angka terendah (1) dideskripsikan dengan jawaban “tidak pernah”,

sedangkan angka tertinggi (5) dideskripsikan dengan jawaban “selalu”.

Kesimpulan pengukuran rentang skala jawaban yang digunakan untuk

menjelaskan nilai rata-rata hitung atau mean dari instrumen penilaian

psikomotor sebagai berikut:

1.00 – 2.33 = Kurang

2.34 – 3.66 = Cukup

3.67 – 5.00 = Baik

3.4 Etika Penelitian


47

Penelitian ini menggunakan manusia, maka penelitian ini harus memahami

hak dasar manusia terutama segi etika peneliti yang harus diperhatikan (Hidayat,

2009). Peneliti melakukan penelitian dengan memperhatikan masalah etika

penelitian yang meliputi:

3.4.1 Inform Concent (Lembar Persetujuan)

Lembar persetujuan diberikan pada subyek yang akan diteliti. Penelitian

menjelaskan maksud dan tujuan riset yang dilakukan.Jika subyek bersedia diteliti

maka harus menan datangani lembar persetujuan. Jika subyek menolak untuk

diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya. Peneliti

menggunakan lembar persetujuan untuk ditandatangani sebelum pengisian

kuisioner.

3.4.2 Anonimity (Tanpa Nama)

Menjaga kerahasiaan identitas subyek peneliti tidak akan mencantumkan

nama responden pada lembar pengumpulan data atau kuisioner, cukup dengan

memberikan nomor kode masing-masing lembar tersebut.

3.4.3 Confidentiallity (Kerahasiaan)

Peneliti wajib merahasiakan data-data yang sudah dikumpulkan oleh karena

itu peneliti menjamin kerahasiaan dari identitas responden karena hanya

kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil

penelitian. Antara lain peneliti hanya mencantumkan kode responden, pekerjaan,

usia dan pendidikan.


48

3.4.4 Beneficence and non-malefience (Menguntungkan dan tidak

merugikan)

Penelitian yang dilakukan memberikan keuntungan atau manfaat dari

penelitian. Proses penelitian yang dilakukan juga diharapkan tidak menimbulkan

kerugian atau meminimalkan kerugian yang mungkin ditimbulkan.


BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Data Karakteristik

Data karakteristik merupakan pemaparan deskripsi data tentang karakteristik

dari responden yang bertujuan untuk memberi penjelasan tentang gambaran data

yang digunakan yang meliputi karakteristik pada masing-masing responden.

1. Responden 1 Ny. T usia 40 Tahun, jenis kelamin perempuan, agama islam,

suku jawa, tingkat pendidikan SMK, pekerjaan wiraswasta merawat lansia

Ny. S usia 88 Tahun, riwayat penyakit dahulu hipertensi, dengan tanda-

tanda vital tekanan darah 130/80mmHg, nadi 67x/mnt, respirasi 20x/mnt,

berat badan 48kg, tinggi badan 150cm, lansia saat ini mengalami demensia,

terapi yang diminum amlodipin 5mg 1-0-0.

2. Responden 2 Ny. S usia 53 Tahun, jenis kelamin perempuan, agama islam,

suku jawa, tingkat pendidikan SMA, pekerjaan wiraswasta merawat lansia

Ny. L usia 80 Tahun, riwayat penyakit dahulu hipertensi, dengan tanda-

tanda vital tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 88x/mnt, respirasi 20x/mnt,

berat badan 56kg, tinggi badan 152cm, lansia saat ini mengalami demensia,

terapi yang diminum irbersatan 150mg 1-0-0, atorvastatin 20mg 0-0-1.

48
49

4.1.2 Identifikasi Kognitif Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam

Merawat Lansia Dengan Demensia

Jawaban Penelitian:
1: Tidak Mengetahui
2: Mengetahui

Gambar .2 Identifikasi Kognitif

1. Identifikasi kognitif keluarga sebagai family caregiver yang dilakukan oleh

peneliti terhadap keluarga Ny. T 40 tahun pada tanggal 20 Juli 2017 di

Kelurahan Kutisari Surabaya, diperoleh hasil penilaian perilaku kognitif

keluarga menunjukkan jawaban dari Ny. T yaitu (1) mengetahui, jika lupa

menjadi keseharian yang tidak bisa lepas pada penderita demesia; (2)

mengetahui, jika gangguan orientasi waktu dan tempat merupakan gejala

lansia demensia; (3) mengetahui, jika memarahi atau menghukum tidak

akan membantu bahkan memperburuk keadaan lansia demensia; (4) tidak

mengetahui, jika melakukan aktivitas sehari- hari akan menghindarkan dari

kecemasan atau kegelisahan pada lansia demensia.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa nilai kognitif Ny.

T adalah “baik” (87.5%).


50

2. Identifikasi kognitif keluarga sebagai family caregiver yang dilakukan oleh

peneliti terhadap keluarga Ny. S 53 Tahun pada tanggal 20 Juli 2017 di

Kelurahan Kutisari Surabaya, diperoleh hasil penilaian perilaku kognitif

keluarga menunjukkan jawaban dari Ny. S yaitu (1) mengetahui, jika lupa

menjadi keseharian yang tidak bisa lepas pada penderita demensia; (2)

mengetahui, jika gangguan orientasi waktu dan tempat merupakan gejala

lansia demensia; (3) tidak mengetahui, jika memarahi atau menghukum

tidak akan membantu bahkan memperburuk keadaan lansia demensia; (4)

tidak mengetahui, jika melakukan aktivitas sehari- hari akan menghindarkan

dari kecemasan atau kegelisahan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa nilai kognitif Ny.

S adalah “kurang” (75%).

4.1.3 Identifikasi Afektif Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam

Merawat Lansia Dengan Demensia

Jawaban Penelitian:
1: Sangat tidak setuju
2: Tidak setuju
3: Kurang setuju
4: Setuju
5: Sangat setuju

Gambar .3 Identifikasi Afektif


51

1. Identifikasi afektif keluarga sebagai family caregiver yang dilakukan oleh

peneliti terhadap keluarga Ny. T 40 tahun pada tanggal 20 Juli 2017 di

Kelurahan Kutisari Surabaya, diperoleh hasil penilaian perilaku afektif

keluarga menunjukkan jawaban dari Ny. T yaitu (1) setuju, menerima

keberadaan lansia dirumah; (2) setuju, merespon positif lansia demensia

apabila mengalami kebingungan; (3) setuju, bertanggung jawab terhadap

kebutuhan lansia demensia yaitu membantu melakukan sebagian besar

tugasnya; (4) setuju, menghargai jika lansia demensia mengalami ekspresi

berlebihan seperti marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang

lain.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa nilai afektif Ny. T

adalah “baik” (80%).

2. Identifikasi afektif keluarga sebagai family caregiver yang dilakukan oleh

peneliti terhadap keluarga Ny. S 53 tahun pada tanggal 20 Juli 2017 di

Kelurahan Kutisari Surabaya, diperoleh hasil penilaian perilaku afektif

keluarga menunjukkan jawaban dari Ny. S yaitu (1) setuju, menerima

keberadaan lansia dirumah; (2) setuju, merespon positif lansia demensia

apabila mengalami kebingungan; (3) setuju, bertanggung jawab terhadap

kebutuhan lansia demensia yaitu membantu melakukan sebagian besar

tugasnya; (4) kurang setuju, menghargai jika lansia demensia mengalami

ekspresi berlebihan seperti marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan

orang lain.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa nilai afektif Ny. S

adalah “baik” (75%).


52

4.1.4 Identifikasi Psikomotor Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam

Merawat Lansia Dengan Demensia

Jawaban Penelitian:
1: Tidak pernah
2: Jarang
3: Kadang-kadang
4: Sering
5: Selalu

Gambar .4 Identifikasi Psikomotor

1. Identifikasi psikomotor keluarga sebagai family caregiver yang dilakukan

oleh peneliti terhadap keluarga Ny. T 40 tahun pada tanggal 20 Juli 2017 di

Kelurahan Kutisari Surabaya, diperoleh hasil penilaian perilaku psikomotor

keluarga menunjukkan jawaban dari Ny. T yaitu (1) selalu, mengingatkan

lansia demensia bila waktu makan dan minum obat tiba; (2) kadang-kadang,

membantu perawatan diri lansia demensia sesuai kebutuhan; (3) kadang-

kadang, membantu lansia demensia mempertahankan lingkungan yang

familiar agar tetap memiliki orientasi; (4) selalu, dalam membantu mobilitas

lansia demensia.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa nilai psikomotor

Ny. T adalah “baik” (80%).


53

2. Identifikasi psikomotor keluarga sebagai family caregiver yang dilakukan

oleh peneliti terhadap keluarga Ny. S 53 tahun pada tanggal 20 Juli 2017 di

Kelurahan Kutisari Surabaya, diperoleh hasil penilaian perilaku psikomotor

keluarga menunjukkan jawaban dari Ny. S yaitu (1) sering, mengingatkan

lansia demensia bila waktu makan dan minum obat tiba; (2) jarang,

membantu perawatan diri lansia demensia sesuai kebutuhan; (3) kadang-

kadang, membantu lansia demensia mempertahankan lingkungan yang

familiar agar tetap memiliki orientasi; (4) sering, membantu mobilitas lansia

demensia.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa nilai kognitif Ny.

S adalah “cukup” (60%).

4.2 Pembahasan

4.2.1 Kognitif Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat Lansia

Dengan Demensia

Pembahasan data hasil penilaian kognitif keluarga (lampiran 2) sebagai

family caregiver terhadap penilaian perilaku keluarga yang dilakukan oleh peneliti

pada tanggal 20 Juli 2017 di Kelurahan Kutisari Surabaya diperoleh hasil kognitif

Ny. T memiliki penilaian kognitif yang “baik” (disesuaikan dengan rentang skala

jawaban yaitu 1.51-2.00) dengan nilai rata-rata jawaban 1.75 (87.5%), sedangkan

hasil kognitif Ny. S memiliki penilaian kognitif yang “kurang” (disesuaikan

dengan rentang skala jawaban yaitu 1.00-1.50) dengan nilai rata-rata jawaban 1.50

(75%).

Kognitif merupakan keterlibatan dalam suatu kegiatan untuk memperoleh

pengetahuan (segala sesuatu yang dimengerti setelah mengalami). Menurut Bloom


54

(2006) pengetahuan adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat

peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar,

dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika seseorang diminta untuk menjelaskan

tentang cara merawat lansia, seseorang yang berada di level ini bisa menguraikan

dengan baik definisi atau pengertian dari merawat, bentuk perawatan yang baik,

standar merawat secara umum.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan, diketahui bahwa terdapat

faktor yang memengaruhi pengetahuan yaitu pengalaman. Menurut Piaget dalam

Yanuarita (2014) pengalaman merupakan dasar perkembangan struktur kognitif

.dalam hal ini sering kali disebut sebagai pengalaman fisik dan logika.

Bila seseorang berinteraksi dengan lingkungannya, maka akan diperoleh

suatu pengalaman fisik. Pengalaman fisik ini memungkinkan seseorang

mengembangkan aktivitas dan gaya otak sehingga mereka akan mentransfernya ke

dalam bentuk suatu gagasan atau ide. Pengalaman fisik ini kemudian dapat

dikembangkan menjadi logika. Pengalaman fisik dapat berasal dari kegiatan

seperti meraba, memegang, melihat, mendengar, sehingga berkembang menjadi

kegiatan berbicara, membaca, dan berhitung.

Pengalaman fisik berpengaruh penting terhadap perkembangan kognitif

seseorang yaitu saat melakukan beragam gerakan fisik dan beraktivitas secara

variatif, secara tidak langsung mereka akan meningkatkan koordinasi tubuhnya.

Saat itu pula mereka akan belajar memahami dan menemukan prinsip-prinsip

keseimbangan. Hal ini dilakukan dengan bereksperimen (secara sederhana

tentunya) sambil mereka bermain-main dengan aktivitas fisiknya tersebut.


55

Berbekal dari pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam merawat lansia

secara langsung akan membentuk pengetahuan keluarga dalam menyikapi lansia.

Pengetahuan keluarga sebagai caregiver diukur dengan melakukan perbandingan

terhadap penilaian kognitif dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan kognitif

pada masing-masing keluarga. Berdasarkan hasil instrumen penilaian kognitif

keluarga diketahui bahwa perbedaan kognitif masing-masing keluarga terletak

pada pernyataan tentang “keluarga mengetahui jika memarahi atau menghukum

lansia demensia tidak akan membantu bahkan memperburuk keadaan”, dimana

perbedaan ditunjukkan melalui jawaban yang diberikan oleh Ny. T yang

menjawab pernyataan dengan jawaban “mengetahui”, sedangkan jawaban yang

diberikan oleh Ny. S yaitu “tidak mengetahui”.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengetahuan tentang dampak buruk yang

terjadi akibat tindakan memarahi atau menghukum lansia dengan demensia

diketahui dengan baik oleh Ny. T yang didasarkan pada apa yang telah dialami

oleh yang bersangkutan sebagai caregiver yaitu Ny. T mengetahui perilaku negatif

yang ditunjukkan lansia baik secara lansung maupun tidak setelah melakukan

tindakan memarahi atau menghukum lansia, sedangkan ketidaktahuan Ny. S

didasarkan pada keengganan untuk melakukan tindakan marah ataupun

menghukum lansia dengan demensia yang juga merupakan orang tua kandung Ny.

S.

4.2.2 Afektif Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat Lansia

Dengan Demensia

Pembahasan data hasil penilaian afektif keluarga (lampiran 2) sebagai

family caregiver terhadap penilaian perilaku keluarga yang dilakukan oleh peneliti
56

pada tanggal 20 Juli 2017 di Kelurahan Kutisari Surabaya diperoleh hasil afektif

Ny. T memiliki penilaian afektif yang “baik” (disesuaikan dengan rentang skala

jawaban yaitu 3.67 – 5.00) dengan nilai rata-rata jawaban 4 (80%), sedangkan

hasil afektif Ny. S memiliki penilaian afektif yang “baik” (disesuaikan dengan

rentang skala jawaban yaitu 3.67 – 5.00) dengan nilai rata-rata jawaban 3.75

(75%).

Afektif berkenaan dengan perasaan (hasil perbuatan yang berdasar pada

pendirian dan keyakinan dalam menanggapi dengan pancaindra) yang

memengaruhi perilaku (tanggapan terhadap rangsangan atau lingkungan).

Menurut Bloom (2006) tanggapan memberikan reaksi terhadap fenomena yang

ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam

memberikan tanggapan. Sebagai contoh, saat seseorang bertanya kepada lansia

dengan demensia, lansia memberikan tanggapannya melalui jawaban atas

pertanyaan yang diberikan.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan, diketahui bahwa terdapat

faktor yang memengaruhi perilaku yaitu sikap. Menurut Ramona (2014) sikap

adalah respon keluarga terhadap kondisi lansia dengan demensia. sikap itu tidak

dapat di lihat secara langsung, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari

perilaku tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan makna konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.

Sikap merupakan kecenderungan dan kesediaan untuk bertindak dan disertai

dengan perasaan-perasaan yang dimiliki oleh individu tersebut. Dengan dasar

pengetahuan dan pengalaman masa lalu maka timbul sikap dalam diri manusia

dengan perasaan-perasaan tertentu, dalam menanggapi suatu objek yang


57

menggerakkan untuk bertindak. Sikap adalah cara mengkomunikasikan suasana

hati (mood) dalam diri sendiri kepada orang lain.

Sikap terdiri atas dua penilaian yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap

positif timbul saat seseorang merasa optimis dan memperkirakan suatu hal yang

dilakukan akan berhasil. Sebaliknya, sikap negatif timbul saat seseorang merasa

pesimis dan menduga hal-hal yang buruk akan terjadi.

Berbekal dari pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam merawat lansia

secara langsung akan membentuk perilaku keluarga. Perilaku keluarga sebagai

caregiver diukur dengan melakukan perbandingan terhadap penilaian afektif

dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan afektif pada masing-masing keluarga.

Berdasarkan hasil instrumen penilaian afektif keluarga diketahui bahwa perbedaan

afektif masing-masing keluarga terletak pada pernyataan tentang “keluarga

menghargai jika lansia demensia mengalami ekspresi berlebihan seperti marah

besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain”, dimana perbedaan

ditunjukkan melalui jawaban yang diberikan oleh Ny. T yang menjawab

pernyataan dengan jawaban “setuju”, sedangkan jawaban yang diberikan oleh Ny.

S yaitu “kurang setuju”.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa perilaku lansia demensia saat mengalami

ekspresi berlebihan seperti marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan

orang lain disikapi dengan hormat oleh keluarga sebagai caregiver, yang artinya

perilaku yang ditunjukkan lansia dianggap wajar dan biasa terjadi pada umumnya,

sehingga sikap positif keluarga sebagai caregiver dalam menghormati lansia

demensia terkait perilaku berlebihan yang ditunjukkan disetujui oleh Ny. T yang

didasarkan pada apa yang telah dialami, dimana Ny. T menyadari perilaku
58

berlebihan yang ditunjukkan lansia akibat ketidakpatuhan orang lain saat lansia

menyampaikan himbauan atau nasehat, sedangkan ketidaksetujuan Ny. S

didasarkan pada lansia yang mampu mengendalikan emosi dengan baik dengan

tidak menunjukkan perilaku yang berlebihan saat orang lain melakukan kesalahan

kecil. Namun, Ny. S meyakini bahwa kecenderungan tidak terkendalinya emosi

bisa saja terjadi.

4.2.3 Psikomotor Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat

Lansia Dengan Demensia

Pembahasan data hasil penilaian psikomotor keluarga (lampiran 2) sebagai

family caregiver terhadap penilaian perilaku keluarga yang dilakukan oleh peneliti

pada tanggal 20 Juli 2017 di Kelurahan Kutisari Surabaya diperoleh hasil

psikomotor Ny. T memiliki penilaian psikomotor yang “baik” (disesuaikan dengan

rentang skala jawaban yaitu 3.67 – 5.00) dengan nilai rata-rata jawaban 4 (80%),

sedangkan hasil psikomotr Ny. S memiliki penilaian psikomotor yang “cukup”

(disesuaikan dengan rentang skala jawaban yaitu 2.34 – 3.66) dengan nilai rata-

rata jawaban 3.25 (65%).

Psikomotor atau psikomotorik berkenaan dengan aktivitas fisik yang

berkaitan dengan proses mental dan psikologi. Menurut WHO (2010) aktivitas

fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang

memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada (kurangnya

aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis, dan

secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global. Sebagai

contoh, memberi makanan yang bergizi seimbang pada lansia demensia dan

mengajak lansia berjalan berkeliling disekitar rumah.


59

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan, diketahui bahwa terdapat

faktor yang memengaruhi aktivitas fisik yaitu proses mental. Menurut Benjamin

(2014) proses mental adalah runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan

sesuatu yang berkenaan dengan watak manusia (sifat batin manusia yang dibawa

sejak lahir yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku).

Berbekal dari pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam merawat lansia

secara langsung akan membentuk aktivitas fisik keluarga. Aktivitas fisik keluarga

sebagai caregiver diukur dengan melakukan perbandingan terhadap penilaian

psikomotor dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan psikomotor pada masing-

masing keluarga. Berdasarkan hasil instrumen penilaian psikomotor keluarga

diketahui bahwa perbedaan psikomotor masing-masing keluarga terletak pada

pernyataan pertama yaitu tentang “keluarga mengingatkan lansia demensia bila

waktu makan dan minum obat tiba”, dimana perbedaan ditunjukkan melalui

jawaban yang diberikan oleh Ny. T yang menjawab pernyataan dengan jawaban

“selalu”, sedangkan jawaban yang diberikan oleh Ny. S yaitu “sering”.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa aktivitas fisik keluarga dalam

menyampaikan informasi waktu makan dan minum terjadwal kepada lansia secara

verbal sering dilakukan oleh Ny. T yang mengingatkan lansia demensia lebih dari

sekali yaitu sebelum dan saat waktu makan dan minum tiba, sedangkan Ny. S

selalu mengingatkan waktu makan dan minum baik sebelum, saat waktunya, dan

setelahnya (melakukan konfirmasi kembali).

Berikutnya perbedaan psikomotor masing-masing keluarga yang terletak

pada pernyataan kedua yaitu tentang “keluarga membantu dalam perawatan diri

lansia demensia sesuai kebutuhan (perawatan rambut, kuku, kulit, gigi, mengganti
60

baju)”, dimana perbedaan ditunjukkan melalui jawaban yang diberikan oleh Ny. T

yang menjawab pernyataan dengan jawaban “kadang-kadang”, sedangkan

jawaban yang diberikan oleh Ny. S yaitu “jarang”.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa aktivitas fisik keluarga dalam melakukan

tindakan perawatan diri lansia sesuai kebutuhan kadang-kadang (tidak sering)

dilakukan oleh Ny. T karena melakukan tindakan perawatan diri kepada lansia

demensia dilakukan secara bergiliran dengan suami dari Ny. T, sedangkan Ny. S

jarang melakukan tindakan perawatan diri lansia karena tindakan perawatan diri

dilakukan hanya pada saat lansia meminta untuk dilakukan tindakan perawatan

diri.

Berikutnya perbedaan psikomotor masing-masing keluarga yang terletak

pada pernyataan ketiga yaitu tentang “keluarga membantu dalam mobilitas seperti

berjalan, naik atau turun dari tempat tidur”, dimana perbedaan ditunjukkan

melalui jawaban yang diberikan oleh Ny. T yang menjawab pernyataan dengan

jawaban “selalu”, sedangkan jawaban yang diberikan oleh Ny. S yaitu “sering”.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa aktivitas fisik keluarga dalam melakukan

tindakan mobilitas (gerakan berpindah-pindah) kepada lansia untuk berjalan dan

naik atau turun dari tempat tidur selalu dilakukan oleh Ny. T sebab lansia butuh

pendampingan intensif akibat sering terjatuh saat berusaha berjalan sendiri dan

tidak mampu memposisikan diri dengan baik saat tidur sehingga sering merasa

tidak nyaman saat akan tidur, sedangkan Ny. S sering melakukan pendampingan

karena lansia sering menyampaikan keinginannya untuk diberikan pendampingan

saat berjalan dan meminta bantuan untuk naik dan turun dari tempat tidur.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai studi kasus tentang “Studi Kasus

Perilaku Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat Lansia Dengan

Demensia”, di Kelurahan Kutisari Surabaya dikemukakan kesimpulan dan saran

sebagai berikut.

5.1 Kesimpulan

1. Kognitif keluarga berdasarkan penilaian perilaku keluarga dan hasil

pembahasan terdiri atas dua kesimpulan sebagai berikut: 1) Hasil instrumen

penilaian perilaku keluarga menunjukkan hasil kognitif Ny. T memiliki

penilaian kognitif yang “baik” (87.5%), sedangkan hasil kognitif Ny. S

memiliki penilaian kognitif yang “kurang” (75%). 2) Hasil pembahasan

menunjukkan perbedaan pada jawaban yang terkait dengan pernyataan

kognitif tentang “keluarga mengetahui jika memarahi atau menghukum

lansia demensia tidak akan membantu bahkan memperburuk keadaan”.

2. Afektif keluarga berdasarkan penilaian perilaku keluarga dan hasil

pembahasan terdiri atas dua kesimpulan sebagai berikut: 1) Hasil instrumen

penilaian perilaku keluarga menunjukkan hasil afektif Ny. T memiliki

penilaian afektif yang “baik” (80%), sedangkan hasil afektif Ny. S memiliki

penilaian afektif yang “baik” (75%). 2) Hasil pembahasan menunjukkan

perbedaan pada jawaban yang terkait dengan pernyataan afektif tentang

“keluarga menghargai jika lansia demensia mengalami ekspresi berlebihan

seperti marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain”.

61
62

3. Psikomotor keluarga berdasarkan penilaian perilaku keluarga dan hasil

pembahasan terdiri atas dua kesimpulan sebagai berikut: 1) Hasil instrumen

penilaian perilaku keluarga menunjukkan hasil psikomotor Ny. T memiliki

penilaian psikomotor yang “baik” (80%), sedangkan hasil psikomotr Ny. S

memiliki penilaian psikomotor yang “cukup” (65%). 2) Hasil pembahasan

menunjukkan perbedaan pada jawaban yang terkait dengan tiga pernyataan

psikomotor tentang “keluarga mengingatkan lansia demensia bila waktu

makan dan minum obat tiba”, “keluarga membantu dalam perawatan diri

lansia demensia sesuai kebutuhan (perawatan rambut, kuku, kulit, gigi,

mengganti baju)”, dan “keluarga membantu dalam mobilitas seperti

berjalan, naik atau turun dari tempat tidur”.

5.2 Saran

1. Bagi keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi untuk

menggambarkan perilaku keluarga dalam merawat lansia dengan demensia.

2. Bagi institusi

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang perilaku keluarga dalam

merawat lansia dengan demensia

3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk pengembangan

penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

References

ADI. (2015). The Global Impact of Dementia. London: Alzheimer’s Disease


International (ADI).

Allender, & Spradley. (2005). Communnity Health Nursing Concepts and


Practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Allport. (2009). Modern World Leader. New York: Infobase Publishing.

Awad, & Voruganti. (2008). The Burden of Schizophrenia on Caregivers: A


Review. Pharmacoeconomics, 4.

Ayu, & Woelan. (2013). Hubungan antara Tingkat Stres dengan Tindak Kekerasan
pada Caregiver Lansia dengan Demensia. Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental, 51-52.

Benjamin. (2014). Taxonomy of Educational Objectives. New York: David


McKay.

Bloom. (2006). The qualitative research interview. Medical Education, 314.

Brodaty, & Donkin. (2009). Family caregivers of people with dementia.


Dialogues in clinical neuroscience, 217-228.

DEPKES. (2015, Mei 27). Retrieved from


http://www.depkes.go.id/article/view/15052700010/pelayanan-dan-
peningkatan-kesehatan-usia-lanjut.html diakses 14 April 2017 19.00 WIB

Friedman. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga : Riset, Teori dan Praktek.
Jakarta: EGC.

Hidayat. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Tekhnik Analisis Data.


Jakarta: Salemba Medika.

63
64

Ibad. (2015). Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga Sebagai Primary


Caregiver Dalam Merawat Lansia Dengan Demensia Di Kabupaten
Jombang. THE INDONESIAN JOURNAL OF HEALTH SCIENCE, 50.

Ihromi. (2004). Bunga rampai sosiologi keluarga. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia.

Kung. (2003). The Illness, Stigma, Culture, or Immigration? Burdens on Chinese


American Caregivers of Patients With Schizophrenia. Family In Society, 5.

Lubis. (2009). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC.

Michelle, LSW, & Patty. (2015). Dementia Caregiver resource Guide.


Connecticut.

Miller, C. (2004). Nursing for Wellness in Older Adults: Theory and Practice.
LWW; Fourth edition.

Milligan. (2004). Caring for older people in New Zealand. Bailrigg: Institute for
Health Research, Lancaster University.

Murwani. (2011). Gerontik Konsep Dasar dan Asuhan Keperawatan Home Care
dan Komunitas. Fitramaya.

Notoadmojo. (2009). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rieneka


Cipta.

Notoatmodjo. (2005). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.

Ramona. (2014). Nursing Care for Parents at Risk. California: Slack Inc.

Rita. (2011). Pengalaman Keluarga Merawat Lansia Dengan Demensia. Jurnal


Ners Indonesia, 56.

Roger, W. (2003). Perawatan pada Lansia. Jakarta: EGC.


65

Sally. (2015). Checklist for Family Caregivers: A Guide to Making It


Manageable. American Bar Association.

Semiawan. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo.

Soerjono. (2004). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Stanley. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Suh. (2005). Caregiver's burden, depression and support as predictors of post-


stroke depression: a cross-sectional survey. International Journal Of
Nursing Studies, 611–618.

Sukmarini. (2009). Optimalisasi Peran Caregiver dalam Penatalaksanaan


Skizofrenia. Bandung: Majalah Psikiatri XLII(I) : 58-61.

Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga : Aplikasi dalam praktik.


Jakarta: EGC.

Tantono. (2006). Beban Caregiver Lanjut Usia Suatu Survey terhadap Caregiver
Lanjut Usia. Bandung: Majalah Psikiatri XL(4).

Touhy. (2014). Ebersole and Hess' Gerontological Nursing & Healthy Aging.
Elsevier Health Sciences.

Watson. (2003). Perawatan pada lansia. Jakarta: EGC.

WHO. (2012). Dementia: a public health priority. Geneva: World Health


Organization.

Windarti. (2015). Statistika dan Probabilitas. Surabaya: Zifatama Publisher.

Yanuarita. (2014). Rahasia Otak dan Kecerdasan Anak. Sukoharjo: Teranova


Books.
LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENILAIAN PERILAKU KELUARGA

A. KOGNITIF
Tidak
Kognitif* Mengetahui
Mengetahui
Keluarga mengetahui jika lupa menjadi keseharian
yang tidak bisa lepas pada penderita demensia/pikun
Keluarga mengetahui jika gangguan orientasi waktu
dan tempat merupakan gejala lansia demensia
Keluarga mengetahui jika memarahi atau menghukum
lansia demensia tidak akan membantu bahkan
memperburuk keadaan
Keluarga mengetahui melakukan aktivitas sehari-hari
pada lansia demensia akan menghindarkan dari
kecemasan atau kegelisahan
*)Keterangan:
1: Tidak Mengetahui
2: Mengetahui

B. AFEKTIF
Sangat
Tidak Kurang Sangat
Afektif** Tidak Setuju
Setuju Setuju Setuju
Setuju
Keluarga menerima keberadaan
lansia demensia dirumah
Keluarga merespon positif
lansia demensia apabila
mengalami kebingungan
Keluarga bertanggung jawab
terhadap kebutuhan lansia
demensia yaitu membantu
melakukan sebagian besar
tugasnya
Keluarga menghargai jika lansia
demensia mengalami ekspresi
berlebihan seperti marah besar
pada kesalahan kecil yang
dilakukan orang lain
**)Keterangan
1: Sangat tidak setuju
2: Tidak setuju
3: Kurang setuju
4: Setuju
5: Sangat setuju
C. PSIKOMOTOR
Tidak Kadang-
Psikomotor*** Jarang Sering Selalu
Pernah Kadang
Keluarga mengingatkan lansia
demensia bila waktu makan dan
minum obat tiba
Keluarga membantu dalam
perawatan diri lansia demensia
sesuai kebutuhan (perawatan
rambut, kuku, kulit, gigi,
mengganti baju)
Keluarga membantu lansia
demensia mempertahankan
lingkungan yang familiar agar tetap
memiliki orentasi (memasang
kalendar yang besar, cahaya terang,
jam dinding dengan angka-angka
yang besar atau radio)
Keluarga membantu dalam
mobilitas seperti berjalan, naik atau
turun dari tempat tidur
***)Keterangan:
1: Tidak pernah
2: Jarang
3: Kadang-kadang
4: Sering
5: Selalu
LAMPIRAN 2. HASIL PENILAIAN PERILAKU KELUARGA

A. HASIL PENILAIAN KOGNITIF KELUARGA

Jawaban
Total Nilai rata- Persentase
pernyataan Keterangan
Responden jawaban rata skala
kognitif penilaian
pernyataan pernyataan jawaban
1 2 3 4
Ny. T 2 2 2 1 7 7/4 = 1.75 87.5% Baik
Ny. S 2 2 1 1 6 6/4 = 1.5 75% Kurang

B. HASIL PENILAIAN AFEKTIF KELUARGA

Jawaban
Total Nilai rata- Persentase
pernyataan Keterangan
Responden jawaban rata skala
afektif penilaian
pernyataan pernyataan jawaban
1 2 3 4
Ny. T 4 4 4 4 16 16 / 4 = 4 80% Baik
15 / 4 =
Ny. S 4 4 4 3 15 75% Baik
3.75

C. HASIL PENILAIAN PSIKOMOTOR KELUARGA

Jawaban
Total Nilai rata- Persentase
pernyataan Keterangan
Responden jawaban rata skala
afektif Penilaian
pernyataan pernyataan jawaban
1 2 3 4
Ny. T 5 3 3 5 16 16 / 4 = 4 80% Baik
Ny. S 4 2 3 4 13 13 / 4 = 3.25 65% Cukup
LAMPIRAN 3. PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Dengan hormat,

Saya yang bernama: Ginnar Mayang Superdana, NIM: 20140664089 adalah

Mahasiswa Program Studi Ners, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhamadiyah Surabaya semester akhir, akan melakukan penelitian sebagai syarat

untuk dapat menyelesaikan tugas akhir. Adapun judul penelitian saya adalah

“Studi Kasus Perilaku Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat

Lansia Dengan Demensia”.

Saya memohon bantuan Bapak, Ibu dan Saudara – saudari sekalian agar

bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Saya sangat berharap agar

Bapak, Ibu dan Saudara sekalian dapat mengisi lembar kuesioner yang telah saya

siapkan dengan jujur dan terbuka serta tanpa tekanan.

Sebagai bukti kesediaan menjadi responden dalam penelitian ini, saya

mohon kesediaan untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden

yang telah saya siapkan.

Partisipasi anda dalam mengisi lembar kuisioner ini sangat saya hargai dan

sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih.

Surabaya, 20 Juli 2017

Hormat saya,

Ginnar Mayang Superdana, S.Kep.

NIM: 20140664089
LAMPIRAN 4. PERNYATAAN SEBAGAI RESPONDEN

LEMBAR PERNYATAAN SEBAGAI RESPONDEN

Yang bertanda tangan dibawah ini,

No. Responden :

Menyatakan kesediaan untuk turut berpartisipasi sebagai responden

penelitian yang dilaksanakan oleh mahasiswa Program Studi Ners Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dengan judul “Studi Kasus

Perilaku Keluarga Sebagai Family Caregiver Dalam Merawat Lansia Dengan

Demensia”.

Data yang telah saya isi dalam kuesioner ini benar-benar telah sesuai dengan

apa yang saya alami, saya rasakan, dan saya lakukan selama merawat lansia

dengan demensia sebagai anggota keluarga yang memberikan perawatan primer.

Tanda tangan saya di bawah ini menunjukan bahwa saya telah diberi informasi

yang sejelas-jelasnya dan saya memutuskan untuk turut serta berpartisipasi dalam

penelitian ini.

Surabaya, 20 Juli 2017

Responden

(.....................................)
LAMPIRAN 5. PERNYATAAN SEBAGAI RESPONDEN 1
LAMPIRAN 6. PERNYATAAN SEBAGAI RESPONDEN 2
LAMPIRAN 7. HASIL PENILAIAN PERILAKU KELUARGA Ny. T
LAMPIRAN 8. HASIL PENILAIAN PERILAKU KELUARGA Ny. S
LAMPIRAN 9. DOKUMENTASI RESPONDEN 1 (Ny. T)

Gambar di atas menunjukkan kegiatan penilaian perilaku keluarga sebagai

family caregiver oleh peneliti terhadap responden ke 1 atas nama Ny. T yang

memberikan perawatan kepada Ny. S sebagai lansia dengan demensia.

Kegiatan dilakukan dengan cara menilai perilaku keluarga tentang kognitif,

dan afektif dan psikomotor.


LAMPIRAN 10. DOKUMENTASI RESPONDEN 2 (Ny. S)

Gambar di atas menunjukkan kegiatan penilaian perilaku keluarga sebagai

family caregiver oleh peneliti terhadap responden ke 2 atas nama Ny. S yang

memberikan perawatan kepada Ny. L sebagai lansia dengan demensia.

Kegiatan dilakukan dengan cara menilai perilaku keluarga tentang kognitif,

dan afektif dan psikomotor.


SINGKATAN

SINGKATAN 1. WHO

WHO = World Health Organization

SINGKATAN 2. ADI

ADI = = Alzheimer’s Disease International

Anda mungkin juga menyukai