Anda di halaman 1dari 47

BAB I

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. P

Umur : 62 tahun

Pekerjaan : IRT

Alamat : Dusun Plangkawati III, Way Jepara, Lampung Timur

Jenis Kelamin : Perempuan

Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

No. MR : 52.07.91

I. Anamnesis

Diambil dari autoanamnesis

Pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 06.00 WIB

1. Keluhan Utama: Sesak Nafas sejak 2 hari yang lalu, semakin memberat.

2. Keluhan Tambahan: sesak, lemas, tidak nafsu makan, dan mual, BAB keras berwarna

coklat kehitaman, pasien merasa perutnya keras, sering berkeringat pada malam hari.

3. Riwayat perjalanan penyakit: pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari

yang lalu. Sesak tersebut dirasa makin memberat sehingga satu hari yang lalu pasien

dibawa oleh anak pasien ke IGD RSAM pada pukul 15.00 WIB. Sesak dirasakan di

seluruh dada dan terasa seperti terikat. Pasien mengaku sering sesak nafas sejak 1 tahun

1
yang lalu, yang membuat pasien kesulitan untuk tidur. Pasien sedang menjalani

hemodialisa selama 6 bulan terakhir dan telah terdiagnosis mengalami CKD pada 6

bulan yang lalu. Pasien juga terdiagnosis diabetes melitus dan terdiagnosis hipertensi

sejak 13 tahun yang lalu.

4. Riwayat Personal

Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol sejak muda, namun

pasien mengaku suka makan-makan yang berlemak dan minum kopi setiap hari.

5. Riwayat keluarga

Riwayat kencing manis, hipertensi, jantung, asma, ginjal, dan lambung dalam keluarga

disangkal. Pasien menyangkal dalam keluarga terdapat keluhan serupa.

6. Riwayat Masa Lampau

a. Penyakit Terdahulu : Tumor Kolon

b. Trauma terdahulu : Tidak ada

c. Operasi : Operasi Kolon pada tahun 2014

d. Sistem saraf : Tidak ada

e. Sistem Kardiovaskuler : Hipertensi

f. Sistem Gastrointestinal : Tumor Kolon

g. Sistem Urinarium : Penyakit Ginjal Kronik / CKD

h. Sistem Genitalis : Tidak Ada

i. Sistem Musculoskeletal : Tidak Ada

Riwayat Penyakit Dahulu

(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu Ginjal

(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hernia)

(-) Difteri (+) Hepatitis (-) Penyakit prostat

2
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir

(-) Campak (-) Skirofula (+) Diabetes

(+) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi

(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor

(-) Kolera (+) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh Darah

(-) Demam (-) Ulkus Ventrikuli (-) CRF

Rematik

Akut

(-) Pneumonia (-) Ulkus duodeni (+) Operasi

(-) Pleuritis (-) Dispepsia (-) Kecelakaan

(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu

Riwayat Penyakit Keluarga

Hubungan Umur (th) Jenis Kelamin Keadaan Penyebab

Kesehatan Meninggal

Kakek L Meninggal Tidak Tahu

Nenek P Meninggal Tidak Tahu

Ayah L Meninggal Tidak Tahu

Ibu P Meninggal Tidak Tahu

Saudara L Sehat -

Anak 40 P Sehat -

Anak 38 P Sehat -

Anak 35 L Sehat -

Anak 30 P Sehat -

3
Anak 29 L Sehat -

II. Status Present

a. Status Umum

a. Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat

b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS: 15, E:4, V: 5, M: 6

c. BB : 60 kg

d. TB : 155 cm

e. Kulit : Akral dingin, sianosis (-)

b. Pemeriksaan Fisik

1. Tanda Vital

a. Tekanan darah : 170/90 mmHg

b. Suhu : 36,50C axila

c. Nadi : 96x/ menit, teraba lemah, reguler

d. Pernafasan : 30x/menit

2. Kepala dan Muka

a. Bentuk dan Ukuran : Normocephal, simetris

b. Mata

c. Telinga : Bentuk normal, liang lapang

d. Hidung : Deviasi septum (-), mukosa merah muda

e. Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal

f. Mulut : Sianosis (-), pucat (+)

g. Gigi : Gingivitis (-), caries (-)

3. Leher

a. Kelenjar getah bening : Tidak Terdapat pembesaran

4
b. Kelenjar tiroid : Dalam batas normal

c. JVP : 5 +2 cmHg

4. Dada (thorax)

Depan Belakang

Inspeksi Hemithoraks simetris kiri Hemithoraks simetris kiri dan

dan kanan kanan

Palpasi Kiri Kiri

Fremitus vokal teraba Fremitus vokal teraba

getaran lebih rendah getaran lebih rendah dengan

dengan kanan. Fremitus kanan. Fremitus taktil terasa

taktil terasa pergerakan pergerakan tertinggal

tertinggal dibanding dibanding dengan sisi kanan

dengan sisi kanan

Kanan Kanan

Fremitus vokal teraba Fremitus vokal teraba getaran

getaran suara lebih tinggi suara lebih tinggi dibanding

dibanding dengan kiri. dengan kiri. Fremitus taktil

Fremitus taktil terasa terasa pergerakan dinding

pergerakan dinding thorax thorax meningkat dibading

meningkat dibading dengan sisi kiri.

dengan sisi kiri.

Perkusi Kiri Kiri

Sonor, Redup Sonor, Redup

Kanan Kanan

5
Sonor, redup Sonor, redup

Auskultsai Kiri Kiri

Vesikuler, Ronki basah Vesikuler, ronki basah kasar

kasar (+) (+)

Kanan Kanan

Vesikuler melemah, ronki Vesikuler melemah, ronki

basah kasar (+) basah kasar (+)

5. Jantung

a. Inspeksi : Iktus cordis terlihat

b. Palpasi : Ictus cordis teraba pulsasi di ICS VI midclavicular 2 jari

lateral sinistra

c. Perkusi : Batas jantung kiri melebar di aksila anterior ICS VI

Batas jantung kanan ICS V parasternal dextra

d. Auskultasi : Bj I/II, murmur (+), gallop (+)

6. Perut

a. Inspeksi : Datar, bekas operasi (+)

b. Palpasi : Nyeri tekan (-)

c. Perkusi : Timpani

d. Auskultasi : Bising Usus (+)

7. Regio Lumbal

a. Inspeksi : Lordosis (--, kofosis (-), spondilitis (-), massa (-), jejas

(-)

b. Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)

c. Perkusi : Nyeri ketok CVA (-)

6
d. Auskultasi : Tidak dilakukan

8. Ekstremitas

a. Superior : Edema (+/+)

b. Inferior : Edema (+/+)

III. Laboratorium Rutin

a. Darah Lengkap

a. Hb : 9,2 mg/dL

b. Ht :28%

c. Leukosit: 14.100 /µl

d. Trombosit: 283.000 /µl

e. MCV : 87 Fl

f. MCH : 29 pg

g. MCHC: 33 g/Dl

h. Hitung jenis

i. Basofil : 0%

ii. Eosinofil :0%

iii. Batang : 0%

iv. Segmen : 80%

v. Limfosit : 12%

vi. Monosit : 8%

b. Kimia Darah

a. GDS : 229 mg/dL

b. Ureum : 211 mg/dL

c. Kreatinin: 7,47 mg/dL

d. Natrium: 137 mmo/L

7
e. Kalium: 4,5 mmol/L

f. Kalsium: 6,9 mmol/L

g. Chlorida: 99 mmol/L

IV. Resume

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Sesak tersebut

dirasa makin memberat sehingga satu hari yang lalu pasien dibawa oleh anak

pasien ke IGD RSAM pada pukul 15.00 WIB. Sesak dirasakan di seluruh dada dan

terasa seperti terikat. Pasien mengaku sering sesak nafas sejak 1 tahun yang lalu,

yang membuat pasien kesulitan untuk tidur. Selain itu pasien mengaku pertunya

terasa keras, BAB coklat kehitaman namun BAK lancar. Pasien terdiagnosis CKD

6 bulan yang lalu dan saat ini sedang menjalani hemodialisa rutin.

Pada pemeriksaan fisik didapati tekanan darah 170/90 mmHg, suhu 36,50C

axila, nadi 96x/ menit, teraba lemah, reguler, pernafasan 30x/menit. Pada

pemeriksaan thorax, pasien tampak sesak, palpasi fremitus taktil kanan > kiri,

perkusi sonor hingga redup, auskultasi vesikuler, ronki basah kasar (+).Pada

auskultasi jantung didapati bunyi murmur dan bunyi jantung tambahan s3. Di

kedua ekstremitas pasien terdapat edema pitting. Pada pemeriksaan laboratorium

didapati Hb 9,2 g/dL, GDS 229 mg/dL, Ureum 211 mg/dL, creatinin 7,47 mg/dL.

Daftar masalah

1. Keluhan sesak nafas yang memberat 2 hari SMRS

2. Edema pada ekstemitas inferior

3. Pasien yang kesulitan tidur karena merasa sesak.

8
V. Diagnosis Kerja

CKD stage V

Differential Diagnosis

1. CHF

2. Anemia

3. Pulmonary Hypertension

VI. Terapi

a. IGD

Pasien mendapatkan Oksigen dan IVFD, dan terapi medikamentosa pasien yaitu

lansoprazole 3x1, ranitidin 2x1, asam folat 3x1, Bicnat 3x1, CaCO3 3x1,

Amlodipin 1x1.

b. Bangsal

Pasien diharuskan untuk bed rest, diberi oksigen serta IVFD, diet rendah

garam, dan terapi medikamentosa yang didapat yaitu furosemide III/8jam,

kalium/ 8 jam, Sucralfat 3x1, asam folat 3x1, bicnat 3x1, CaCO3 3x1, KSR

1X1, amlodipin 1-0-0,

VII. Rencana Lanjutan

a. Hemodialisa

VIII. Prognosis

a. Qua ad vitam : dubia

b. Qua ad sanationam: dubia

c. Qua ad fungsionam: dubia

9
Maintenance Follow Up

Kamis, 8 Maret 2018

Subjective Objective Analytic Planning

 Sesak KU: tampak sakit sedang Chronic Pemeriksaan


nafas
 Lemas KS: compos mentis Kidney Penunjang
 Tidak
Nafsu TD: 170/80 mmHg Disease on Darah Lengkap, Kimia
Makan
 BAB Nadi: 96x/menit teraba HD Darah
keras
agak lemah Terapi
merah
dan hitam RR: 30x/menit Pasien diharuskan
dari hari untuk bed rest, diberi
senin T: 36,5°C
 Minum oksigen serta IVFD,
sedikit diet rendah garam, dan
 BAK
sedikit Kepala terapi medikamentosa
yang didapat yaitu
Mata : CA +/+, SI +/+
furosemide III/8jam,
Leher:
kalium/ 8 jam, Sucralfat
pembesaran limfe (-), 3x1, asam folat 3x1,
bicnat 3x1, CaCO3
pembesaran tiroid (-),
3x1, KSR 1X1,
JVP 5+ 2 cm H2O
amlodipin 1-0-0,

PF thorax:

I: pasien tampak sesak,

otot bantu pernapasan (+)

P: sonor hingga redup

P: Fremitus taktil kanan >

kiri.

10
A: Vesikuler kiri

menurun, ronki basah

kasar (+)

Jantung

I : Iktus cordis terlihat

P: Ictus cordis teraba

pulsasi di ICS VI

midclavicular 2 jari

lateral sinistra

P : Batas jantung kiri

melebar di aksila anterior

ICS VI

Batas jantung kanan ICS

V parasternal dextra

A : Bj I/II, murmur (+),

gallop (+)

Abdomen

I : datar, supel, asites (-),

bekas operasi (+)

P : NT (-) epigastrium,

hepar (-), lien (-)

P : shifting dulness (-),

tympani (+)

11
A : BU (+)

Ekstrimitas

Edema ekstremitas

superior dan inferior

(+/+/+/+)

Ikterus (-/-/-/-)

CRP <2detik

Follow Up 9 Maret 2017

Subjective Objective Analytic Planning

 Sesak KU: tampak sakit sedang Chronic Hemodialisa rutin


nafas
 Lemas KS: compos mentis Kidney Terapi
 Tidak
Nafsu TD: 140/90 mmHg Disease on Pasien diharuskan
Makan untuk bed rest, diberi
 BAB Nadi: 79x/menit teraba HD
keras oksigen serta IVFD,
agak lemah
diet rendah garam, dan
merah
dan hitam RR: 30x/menit terapi medikamentosa
dari hari yang didapat yaitu
senin T: 36,8°C
 Minum furosemide III/8jam,
sedikit SpO2: 84%
kalium/ 8 jam, Sucralfat
 BAK
sedikit 3x1, asam folat 3x1,
bicnat 3x1, CaCO3 3x1,
Kepala
KSR 1X1, amlodipin 1-
Mata : CA +/+, SI +/+
0-0,
Leher:

12
pembesaran limfe (-),

pembesaran tiroid (-),

JVP 5+ 2 cm H2O

PF thorax:

I: pasien tampak sesak,

otot bantu pernapasan (+)

P: sonor hingga redup

P: Fremitus taktil kanan >

kiri.

A: Vesikuler kiri

menurun, ronki basah

kasar (+)

Jantung

I : Iktus cordis terlihat

P: Ictus cordis teraba

pulsasi di ICS VI

midclavicular 2 jari

lateral sinistra

P : Batas jantung kiri

melebar di aksila anterior

ICS VI

Batas jantung kanan ICS

V parasternal dextra

13
A : Bj I/II, murmur (+),

gallop (+)

Abdomen

I : datar, supel, asites (-),

bekas operasi (+)

P : NT (-) epigastrium,

hepar (-), lien (-)

P : shifting dulness (-),

tympani (+)

A : BU (+)

Ekstrimitas

Edema ekstremitas

superior dan inferior

(+/+/+/+)

Ikterus (-/-/-/-)

CRP <2detik

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ penting pada manusia yang terletak retroperitoneal pada

dinding abdomen, setinggi vertebra T12-L3 masing-masing di sisi kanan dan kiri

columna vertebralis. Secara umum ginjal kanan terletak lebih rendah dibandingkan

dengan ginjal kiri karena adanya lobus hepar dextra (Moore dan Agur, 2013).

Pada tepi medial ginjal yang cekung, terdapat hilum yang merupakan celah vertikal

tempat arteri renalis masuk, serta tempat vena renalis dan pelvis renalis keluar. Vena

renalis terletak ventral dari arteri renalis, dimana letak arteri renalis berada ventral dari

pelvis renalis. Hilum membuka jalan menuju ruang pada ginjal yaitu sinus renalis yang

di dalamnya terdapat kaliks renalis, pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan jaringan

lemak (Moore dan Agur, 2013).

Ginjal memiliki dua regio besar: pada bagian superfisial, area yang berwarna merah

muda dikenal sebagai korteks, sedangkan area dalam yang berwarna merah tua

kecokelatan dikenal sebagai medula. Pada medula terdapat pyramis renalis yang

berbentuk kerucut dengan bagian dasar yang lebar menghadap korteks, dan bagian

apeks dikenal sebagai papilla renalis menghadap hilum. Korteks renalis meluas dari

kapsula renalis ke bagian dasar pyramis renalis serta ruang-ruang diantaranya. Korteks

renalis terbagi menjadi cortical zone di bagian luar dan juxtamedullary zone di bagian

15
dalam. Bagian dari korteks renalis yang meluas diantara pyramis renalis dikenal

sebagai columna renalis (Tortora dan Derrickson, 2011).

Korteks renalis dan pyramis renalis dikenal sebagai parenkim atau bagian fungsional

dari ginjal. Dalam parenkim terdapat unit fungsional ginjal yang dikenal sebagai nefron.

Filtrat yang dibentuk oleh nefron mengalir menuju duktus papilaris, dari duktus

papilaris menuju kaliks minor dan mayor. Setelah melewati kaliks mayor, urin akan

menuju pelvis renalis dan kemudian keluar melewati ureter menuju vesica urinaria

(Tortora dan Derrickson, 2011).

Gambar 1. Potongan Frontal Ginjal Dextra


(Velho dan Velho, 2013)

2.2. Fisiologi Ginjal

Salah satu fungsi ginjal yang utama yaitu sebagai alat ekskresi sisa metabolisme, zat

kimia yang tidak berguna untuk tubuh serta metabolit hormon. Selain itu ginjal juga

berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh (Guyton dan

Hall, 2015).

Ginjal memiliki peran penting dalam regulasi tekanan arteri yaitu dengan cara

mengekskresi sejumlah sodium dan air. Organ ini juga berkontribusi dalam pengaturan

tekanan arteri jangka pendek dengan mensekresi hormon dan substansi vasoaktif (renin)

16
yang berperan dalam pembentukan produk vasoaktif (angiotensin II). Tidak hanya itu,

dalam pengaturan keseimbangan asam basa, bersama dengan paru-paru dan larutan

peyangga tubuh, melalui ekskresi asam dan regulasi penyimpanan larutan penyangga

(Guyton dan Hall, 2015).

Dalam mencapai fungsinya tersebut, ginjal memproduksi urin, melalui tiga proses

dasar. Tahap pertama, dikenal sebagai filtrasi glomerular; air, dan sebagian besar

larutan pada plasma darah melewati dinding kapiler glomerular, dimana filtrat

glomerular selanjutnya masuk ke tubulus renalis. Tahap kedua yaitu reabsorpsi tubular,

pada tahap ini terjadi proses reabsorpsi filtrat glomerular yang melewati tubulus renalis

dan duktus kolektivus, sel-sel tubulus mereabsorpsi sekitar 99% air dan cairan yang

masih berguna untuk tubuh. Cairan yang direabsorpsi kembali lagi ke sirkulasi melalui

kapiler peritubular dan vasa recta. Proses terakhir dikenal sebagai sekresi tubular,

dimana saat cairan mengalir melalui tubulus renalis dan duktus kolektivus, sel-sel

tubulus dan duktus mensekresikan material lain seperti sisa-sisa metabolisme, obat, dan

ion berlebih ke dalam cairan (Tortora dan Derrickson, 2011).

Fibroblast peritubular pada korteks ginjal merupakan tempat utama diproduksinya

eritropoietin (Jelkman, 2011). Eritropoietin merupakan hormon yang menstimulasi

produksi sel darah merah oleh sel stem hematopoiesis pada sumsum tulang. Stimulus

untuk eritropoietin salah satunya yaitu hipoksia (Guyton dan Hall, 2015).

Ginjal memproduksi bentuk aktif dari vitamin D, 1,25-dihydroxyvitamin D3

(calcitriol). Calcitriol berperan dalam penyimpanan kalsium pada tulang dan reabsorpsi

kalsium pada traktus gastrointestinal. Peran penting lain dari ginjal yaitu dalam sintesis

17
glukosa dari asam amino dan prekursor lain selama puasa, yang dikenal sebagai proses

glukoneogenesis (Guyton dan Hall, 2015).

2.3. Chronic Kidney Disease (CKD)

2.3.1. Definisi

Chronic kidney disease (CKD) adalah keadaan penurunan fungsi ginjal yang

ditunjukkan dengan penurunan GFR kurang dari 60 mL/min/1,73m2 dan

penanda kerusakan ginjal, atau salah satunya, berdasarkan penyebab yang

mendasarinya (Webster et al., 2016).

Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai CKD apabila memenuhi kriteria

berikut :

1. Kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan, yang didefinisikan dengan kelainan

struktural atau fungsional pada ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR,

yang bermanifestasi melalui:

a. Kelainan patologis; atau

b. Abnormalitas pada komposisi darah atau urin, atau abnormalitas pada

tes pencitraan.

2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan

ginjal (Suwitra, 2014).

2.3.2. Etiologi dan Faktor Risiko

Salah satu upaya penting dalam mencegah terjadinya CKD yaitu

mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan risiko terhadap CKD. Faktor

risiko pada CKD antara lain hipertensi, diabetes melitus, penyakit autoimun,

usia lanjut, terdapat riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, riwayat gagal

18
ginjal akut, adanya proteinuria, sedimen urin yang abnormal, dan kelainan

struktur pada traktus urinarius (Bargman dan Skorecki, 2012).

Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2011, etiologi CKD

terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan insiden sebanyak 34%

(PERNEFRI, 2011). Selain penyakit ginjal hipertensi, penyebab CKD yang lain

adalah diabetes melitus, glomerulonefritis, nefritis interstitialis, kista dan

penyakit bawaan lain, penyakit sistemik (misal, SLE dan vaskulitis), serta

neoplasma (Suwitra, 2014).

2.3.3. Klasifikasi

Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan glomerular filtration rate

(GFR) dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal, yang dihitung dengan

menggunakan rumus Cockroft-Gault sebagai berikut:

(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛


GFR (ml/menit/1,73m2) = 72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 (𝑚𝑔/𝑑𝑙) *)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 1. Klasifikasi CKD


GFR
Stadium Deskripsi
(mL/menit/1,73m2)
Fungsi ginjal normal, tetapi
temuan urin, abnormalitas
1 struktur atau ciri genetik ≥90
menunjukkan adanya penyakit
ginjal

Penurunan ringan fungsi ginjal,


2 dan temuan lain (seperti pada 60-89
stadium 1)

3a Penurunan sedang fungsi ginjal 45-59

19
3b Penurunan sedang fungsi ginjal 30-44
4 Penurunan berat fungsi ginjal 15-29
5 Gagal ginjal <15
(KDIGO, 2013)

2.3.4. Patogenesis

Patogenesis dari CKD meliputi 2 mekanisme: (1) Mekanisme kerusakan yang

pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, (2) Mekanisme

progresif yang meliputi hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang masih tersisa

sebagai upaya adaptasi. Mekanisme ini diperantarai oleh molekul vasoaktif,

sitokin, dan growth factors. Proses adaptasi berupa hipertrofi dan hiperfiltrasi

ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus,

yang kemudian diikuti dengan maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih

tersisa. Terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresivitas kerusakan pada

ginjal disebabkan juga oleh peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-

aldosteron intrarenal yang sebagian diperantarai oleh transforming growth

factor β (TGF-β) (Suwitra, 2014).

Pada stadium awal penyakit ginjal kronik, terjadi penurunan daya cadang ginjal

(renal reserve), namun GFR masih normal atau dapat meningkat. Namun,

secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron, ditandai dengan meningkatnya

kadar kreatinin serum dan urea. Pasien umumnya baru mulai merasakan keluhan

saat GFR 30%, keluhan tersebut dapat berupa nokturia, badan lemah, mual,

nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Pada GFR dibawah 15%,

keadaan dimana pasien mengidap end stage renal disease, akan terjadi

komplikasi yang menyebabkan pasien dianjurkan untuk menjalani renal

replacement therapy antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,

2014).

20
2.3.5. Patofisiologi

Pasien dengan CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/menit) umumnya asimtomatik,

serta ketidakseimbangan elektrolit atau kelainan endokrin dan metabolisme

belum menimbulkan gejala klinis. Gangguan yang terjadi umumnya

bermanifestasi pada CKD stadium 4-5 (GFR < 30 mL/menit/1,73m2) (Suwitra,

2014).

Kegagalan ekskresi air dan sodium menyebabkan peningkatan volume

ekstraselular dan volume total tubuh berlebih yang bermanifestasi secara klinis

saat GFR menurun hingga < 10-15 mL/menit/1,73m2. Bersamaan dengan fungsi

ginjal yang semakin menurun, edema perifer mulai muncul. Pada GFR yang

lebih tinggi, intake sodium dan air yang berlebih dapat menimbulkan gambaran

yang serupa bila kadar sodium dan air yang dicerna melebihi potensi

kompensatorik ekskresi yang memungkinkan (Kalra dan Aggarwal, 2012).

Anemia yang terjadi pada sebagian besar pasien CKD, disebabkan oleh

kerusakan pada struktur pada ginjal sehingga terjadi penurunan sintesis

eritropoietin yaitu hormon yang berperan dalam stimulasi eritropoiesis (Levey

dan Coresh, 2012).

Pada CKD, terjadi penurunan fungsi ginjal dalam mengeksresikan fosfat

sehingga terjadi peningkatan kadar fosfat dalam sirkulasi. Fosfat kemudian

menstimulasi peningkatan sintesis hormon paratiroid dan pertumbuhan massa

kelenjar paratiroid. Selanjutnya penurunan produksi calcitriol akibat kerusakan

ginjal juga menstimulasi sintesis hormon paratiroid, sehingga terjadi

21
hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme menstimulai penyerapan tulang

sehingga menyebabkan kalsifikasi ekstraoseous (Bargman dan Skorecki, 2012).

2.3.6. Gejala Klinis

Gejala klinik menjadi lebih seing muncul seiring dengan penurunan GFR,

namun gejala umumnya nonspesifik walaupun penderita telah mencapai

stadium 4 CKD. Terdapat keluhan menurunnya kemampuan beraktivitas,

lemah, atau anoreksia. Jika gejala ini muncul harus dilakukan pemeriksaan

kreatinin serum dan kadar BUN, serta pemeriksaan urin untuk menentukan

adanya albuminuria. Dengan meningkatnya progresivitas CKD, terdapat gejala

anemia, asidosis metabolik, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan

hipoalbuminemia (Mitch, 2016).

Sindrom uremia yang terdapat pada pasien CKD terdiri atas gejala lemah,

letargi, anoreksia, mual muntah, perdarahan saluran cerna, ulkus peptikum,

nokturia, hipertensi, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,

uremic frost, perikarditis, kaku otot, kejang, hingga koma (Bargman dan

Skorecki, 2012; Suwitra, 2014).

Sindrom spesifik dapat diasosiasikan dengan proteinuria dan CKD, seperti

kehilangan albumin > 3 g/hari serta edema dan hiperkolesterolemia

menunjukkan gejala sindrom nefrotik, yang menyebabkan hilangnya protein

pengikat vitamin D sehingga menimbulkan osteodistrofi renal. Proteinuria

lanjut juga dapat diasosiasikan dengan penurunan faktor pembekuan IX, XI, dan

XII, menimbulkan defek koagulasi (Mitch, 2016).

22
2.3.7. Diagnosis

Pendekatan diagnosis pada pasien CKD diawali dengan anamnesis riwayat

keluarga terutama adanya riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi,

penyakit ginjal polikistik, penyakit glomerulonefritis, obesitas, hiperlipidemia,

penyakit vaskular. Gejala berkemih harus diidentifikasi termasuk poliuria,

nokturia, hesistansi, frekuensi, serta riwayat infeksi traktus urinarius, nyeri pada

bagian punggung, flank, abdomen, atau pelvis. Riwayat obat-obatan yang

dikonsumsi juga penting untuk diketahui apakah terdapat kandungan toksik

yang berperan pada perkembangan CKD (Emmett, et al., 2012).

Umumnya pada pasien yang menderita diabetes dan hipertensi, terdapat gejala

komplikasi oftalmikus (Emmett, et al., 2012). Selain itu sindrom uremia yang

merupakan komplikasi dari CKD bermanifestasi dengan lemah, letargi,

anoreksia, mual muntah, nokturia, volume overload, neuropati perifer, pruritus,

uremic frost, perikarditis, kejang, hingga koma. Gejala komplikasi termasuk

hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan

gangguan keseimbangan elektrolit (Suwitra, 2014).

Pemeriksaan laboratorium yaitu (1) Urinalisis yang ditandai hematuria,

proteinuria, adanya silinder, leukosuria, isostenuria, (2) Pemeriksaan fungsi

ginjal yang didapati penurunan berupa peningkatan kadar ureum, kreatinin

serum, serta GFR yang diukur melalui rumus Cockroft Gault, (3) Pemeriksaan

darah yang meliputi complete blood count, konsentrasi BUN dan kreatinin,

elektrolit, kadar kalsium dan fosfat, fungsi hepar, dan kadar lipid. Nilai laju

23
endap darah dan c-reactive protein memberikan informasi mengenai keadaan

inflamasi pasien. Selain itu status besi, kadar vitamin B12 dan folat, serta HbA1c

juga dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui keadaan pasien yang mendasari

penyakit CKD (Emmett, et al., 2012; Suwitra, 2014).

Pemeriksaan pencitraan pada ginjal termasuk ultrasonografi renal yang dapat

menunjukkan ukuran ginjal, lebar kortikal, dan ekogenisitas, ada atau tidaknya

trauma dan hidronefrosis, serta adanya massa atau batu ginjal. Pencitraan renal

doppler ultrasound, digunakan untuk mengetahui keadaan aliran renovaskular

(Cohen dan Valeri, 2012).

1. Recognition of increased risk for CKD


 Increased susceptibility to CKD
 Exposure to disease or conditions that cause CKD

2. Testing for CKD


 Measure serum creatinine to estimate GFR
 Measure urinary albumin or protein
 Search for other markers of kidney damage spesific to the risk (urine
sediment or imaging abnormalities, renal tubular syndrome)
 Confirmatory test (if indicated)

3. Detection of CKD
 GFR < 60 mL/min/1.73m2 (measured or estimated)
 Kidney damage (pathologic abnormalities, markers, or history of kidney
transplantation)
 Duration > 3 months (documented or inferred)

4. Evaluation of clinical diagnosis for implementation of spesific therapy


 Diabetic kidney disease (type 1 or type 2)
 Non-diabetic kidney disease (glomerular diseases other than diabetic
kidney disease, vascular diseases, tubulointerstitial diseases, cystic
diseases)
 Kidney disease in kidney transplant recipients

5. Evaluation of GFR and albuminuria categories for implementation of


non-spesific therapy

24
Gambar 2. Pendekatan Diagnosis pada Pasien CKD
(Upadhyay, et al., 2016)

2.3.8. Tatalaksana

 Pengendalian gangguan yang mendasari

 Kemungkinan pembatasan protein diet, fosfat, dan K

 Suplemen vitamin D

 Pengobatan anemia dan gagal jantung

 Dosis semua obat disesuaikan sesuai kebutuhan

 Dialisis untuk GFR sangat menurun, gejala uremik, atau kadang-kadang

hiperkalemia atau gagal jantung

 Transplantasi ginjal

Tidak ada obat untuk penyakit ginjal kronis. Empat Tujuan terapi adalah

untuk:

1. memperlambat perkembangan penyakit;

2. mengobati penyebab dan faktor-faktor;

3. mengobati komplikasi penyakit, dan

4. menggantikan fungsi ginjal hilang.

Strategi untuk memperlambat progresi dan mengobati kondisi yang

mendasari penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:

25
 Pengendalian glukosa darah: Mempertahankan kontrol yang baik dari

diabetes sangat penting. Orang dengan diabetes yang tidak mengontrol

glukosa darah mereka memiliki risiko jauh lebih tinggi dari semua

komplikasi diabetes, termasuk penyakit ginjal kronis.

 Kontrol tekanan darah tinggi: ini juga memperlambat perkembangan

penyakit ginjal kronis. Dianjurkan untuk menjaga tekanan darah Anda di

bawah ini mmHg 130/80 jika Anda memiliki penyakit ginjal. Hal ini sering

berguna untuk memonitor tekanan darah di rumah. Obat tekanan darah yang

dikenal sebagai inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) atau

penghambat reseptor angiotensin (ARB) memiliki manfaat khusus dalam

melindungi ginjal.

 Diet: Diet kontrol sangat penting untuk perkembangan memperlambat

penyakit ginjal kronis dan harus dilakukan konsultasi dengan praktisi

kesehatan dan ahli gizi. Untuk beberapa pedoman umum, lihat Perawatan

Diri di Depan bagian dari artikel ini.

Larangan:

Pada penyakit ginjal kronis, beberapa obat dapat menjadi racun bagi ginjal

dan mungkin perlu dihindari atau diberikan dalam dosis yang disesuaikan.

Di antara over-the-counter, berikut perlu dihindari atau digunakan dengan

hati-hati:

 Beberapa analgesik: Aspirin , obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID,

seperti ibuprofen

 Armada atau enema phosphosoda karena kandungan yang tinggi dari fosfor

26
 Obat pencahar dan antasida yang mengandung magnesium dan aluminium

seperti magnesium hidroksida (Susu Magnesia) dan famotidin (Mylanta)

 Bisul obat H2-reseptor antagonis: simetidin (Tagamet), ranitidine (Zantac),

(dosis menurun dengan penyakit ginjal)

 Dekongestan seperti pseudoephedrine (Sudafed) terutama jika Anda

memiliki tekanan darah tinggi

 obat Herbal

Gizi:

 Pembatasan garam: Batasi untuk 4-6 gram sehari untuk menghindari retensi

cairan dan membantu mengontrol tekanan darah tinggi.

 Asupan cairan: asupan air yang berlebihan tidak membantu mencegah

penyakit ginjal. Pembatasan asupan air disamakan dengan jumlah air yang

keluar melalui urin (penampungan urin per 24 jam) dikurangkan sedikit

untuk asupan air.

 Pembatasan Kalium: Hal ini diperlukan pada penyakit ginjal maju karena

ginjal tidak mampu mengeluarkan kalium. Tingginya kadar kalium bisa

menyebabkan irama jantung abnormal . Contoh makanan tinggi kalium

meliputi pisang, jeruk, kacang-kacangan, dan kentang.

 Pembatasan protein berat pada penyakit ginjal masih kontroversial. Namun,

pembatasan moderat (0,8 g / kg / hari) aman dan mudah untuk sebagian

besar pasien untuk mentolerir. Beberapa ahli merekomendasikan 0,6 g / kg

/ hari untuk pasien dengan diabetes dan, untuk pasien tanpa diabetes,> 0,8

g / kg / hari jika GFR adalah 25 sampai 55 mL/min/1.73 m 2 atau 0,6 g / kg

27
2.
/ hari jika GFR adalah 13 sampai 24 mL/min/1.73 m Gejala uremik

Banyak nyata mengurangi ketika protein katabolisme dan generasi urea

berkurang. Karbohidrat dan lemak yang cukup diberikan untuk memenuhi

kebutuhan energi dan mencegah ketosis. Pasien untuk siapa <0,8 g / kg /

hari telah diresepkan harus diikuti oleh ahli gizi. Karena pembatasan diet

dapat mengurangi asupan vitamin yang diperlukan, pasien harus

mengambil multivitamin yang mengandung vitamin yang larut dalam air.

Administrasi vitamin A dan E tidak diperlukan. Vitamin D dalam bentuk

1,25-dihydroxyvitamin D

Komplikasi penyakit ginjal kronis mungkin memerlukan perawatan medis.

 Retensi cairan dapat diobati dengan salah satu dari sejumlah obat diuretik,

yang menghilangkan kelebihan air dari tubuh. Namun, obat ini tidak cocok

untuk semua pasien.

 Anemia dapat diobati dengan agen eritropoiesis merangsang seperti

erythropoietin atau darbepoetin (Aranesp, Aranesp Gratis Albumin,

Aranesp SureClick). Eritropoiesis merangsang agen adalah kelompok obat

yang menggantikan kekurangan erythropoietin, yang biasanya diproduksi

oleh ginjal sehat. Seringkali, pasien yang dirawat dengan obat tersebut

membutuhkan suplemen besi dengan mulut atau kadang-kadang bahkan

intravena.

 Penyakit tulang berkembang pada penyakit ginjal karena ketidakmampuan

untuk mengeluarkan fosfor dan kegagalan untuk membentuk aktif vitamin

D. Dalam keadaan seperti itu, dokter anda mungkin meresepkan obat fosfor

mengikat dalam usus, dan mungkin meresepkan bentuk aktif vitamin D.

28
 Asidosis dapat berkembang dengan penyakit ginjal. Asidosis dapat

menyebabkan kerusakan protein, peradangan, dan penyakit tulang. Jika

asidosis signifikan, dokter mungkin menggunakan obat-obatan seperti

natrium bikarbonat (baking soda) untuk memperbaiki masalah.

Sebuah studi oleh Wald dkk menemukan bahwa pasien dengan massa

ventrikel kiri meningkat yang menjalani in-pusat hemodialisis malam hari

(3 kali / minggu, 7-8 jam / sesi di unit dialisis) regresi berpengalaman,

meramalkan hasil kardiovaskular yang lebih positif.

Dengan pengobatan erythropoietin, tujuannya adalah tingkat hemoglobin

11-12 g / dL, sebagai normalisasi hemoglobin pada pasien dengan penyakit

ginjal kronis tahap 4-5 telah dikaitkan dengan peningkatan risiko hasil

kombinasi. Sebelum memulai eritropoietin, toko besi harus diperiksa.

Tujuannya adalah untuk menjaga kejenuhan besi di 30-50% dan ferritin di

200-500.

Sebuah studi oleh Shurraw dkk menunjukkan bahwa pada orang dengan

non-hemodialisis tergantung CKD, hemoglobin Tingkat (1c) lebih tinggi

dari 9% dihubungkan dengan hasil klinis lebih buruk. Tingkat lebih rendah

dari hemoglobin A (1c) juga tampaknya terkait dengan tingginya tingkat

kematian. Kontrol yang sesuai dan tepat waktu dari A level hemoglobin

(1c) pada penderita diabetes mellitus dan CKD mungkin lebih penting dari

yang sebelumnya diperkirakan, tetapi Penemuan juga menunjukkan bahwa

kontrol glikemik intensif dapat menyebabkan kematian meningkat.

Bukti manfaat dan risiko mengoreksi asidosis metabolik sangat terbatas,

tanpa uji coba terkontrol secara acak pada pasien belum berada pada

29
stadium akhir penyakit ginjal (ESRD), tidak ada pada anak-anak, dan hanya

3 percobaan kecil pada pasien dialisis. Percobaan ini menunjukkan bahwa

mungkin ada beberapa efek menguntungkan pada kedua metabolisme

protein dan metabolisme tulang, namun persidangan sangat kurang

bertenaga untuk memberikan bukti yang kuat. Para ahli merekomendasikan

terapi alkali untuk menjaga konsentrasi bikarbonat serum di atas 22 mEq /

L.

De Brito-Ashurst dkk menemukan bahwa pasien dengan penyakit ginjal

kronis yang menerima suplemen bikarbonat menunjukkan penurunan lebih

lambat dalam fungsi ginjal. Dalam studi ini, 134 pasien dewasa dengan

penyakit ginjal kronis (yaitu, bersihan kreatinin [CrCl] 15-30 mL/min/1.73

m 2 dan bikarbonat serum 16-20 mmol / L) secara acak ditugaskan untuk

menerima natrium bikarbonat suplementasi oral atau perawatan standar

selama 2 tahun. Penurunan lebih lambat dalam CrCl diamati pada kelompok

bikarbonat dibandingkan kelompok kontrol (1,88 vs 5,93 mL/min/1.73 m


2).

Pasien dalam kelompok bikarbonat juga kurang mungkin untuk mengalami

perkembangan penyakit yang pesat daripada adalah anggota dari kelompok

kontrol (9% vs 45%), dan lebih sedikit pasien yang menerima suplemen

bikarbonat dikembangkan ESRD (6,5% banding 33%). Selain manfaat

yang tercantum di atas, parameter gizi diperbaiki dengan suplementasi

bikarbonat.

Tatalaksana pada CKD umumnya spesifik terhadap penyakit yang

mendasarinya. Tatalaksana spesifik termasuk kontrol tekanan darah <

30
130/80 mmHg berdasarkan rekomendasi Seventh Joint National Committee

for Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure, kontrol gula darah secara optimal pada diabetes melitus, agen

imunomodulator pada glomerulonefritis, dan terapi spesifik untuk

menurunkan sitogenesis pada penyakit ginjal polikistik. Waktu optimal

untuk terapi nonspesifik dan spesifik umumnya sebelum terjadi penurunan

GFR dan sebelum ditegakkan diagnosis CKD (Koshla, et al., 2010; Suwitra,

2014).

Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya


Derajat Deskripsi GFR Action Plan
(ml/min/1,73m2)
1 Kerusakan ≥ 90 Diagnosis dan terapi,
ginjal dengan tatalaksana terhadap
GFR normal kondisi komorbid,
atau menurun. memperlambat progresi,
penurunan risiko CKD.
2 Kerusakan 60-89 Menghambat
ginjal dengan perburukan fungsi
penurunan ginjal
GFR ringan
3 Penurunan 30-59 Evaluasi dan terapi
GFR moderat komplikasi
4 Penurunan 15-29 Persiapan untuk Renal
GFR buruk Replacement Therapy
(RRT)
5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis) RRT
(Suwitra, 2014)

2.4. Hemodialisis

Chronic Kidney Disease (CKD) cenderung berkembang pada penurunan nefron,

hipertensi kapiler glomerular, dan hiperfiltrasi glomerular, baik disebabkan oleh

kerusakan glomerular primer, kerusakan tubulointerstitial, atau vaskular. Pasien CKD

yang berada pada stadium ESRD membutuhkan terapi pengganti ginjal. Berbagai jenis

31
terapi pengganti ginjal antara lain hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi

ginjal (Cohen dan Valeri, 2012).

2.4.1. Prinsip Hemodialisis

Hemodialisis merupakan proses pengubahan komponen solut darah oleh cairan

dialisat melalui membran dialisis (membran semipermeabel). Proses ini

merupakan gabungan dari proses difusi yang merupakan pergerakan zat terlarut

melalui membran semipermeabel berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau

molekul dan proses ultrafiltrasi yang merupakan aliran konveksi (air dan zat

terlarut) akibat perbedaan tekanan osmotik maupun hidrostatik (Suhardjono,

2014).

Laju difusi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini

merupakan mekanisme dalam mengeluarkan molekul kecil seperti kreatinin,

urea, elektrolit, dan berguna dalam penambahan serum bikarbonat. Laju difusi

sebanding dengan suhu larutan dan berbanding terbalik dengan viskositas dan

ukuran molekul yang dibuang. Melalui peningkatan aliran darah yang melewati

dialiser, akan terjadi peningkatan klirens dari zat terlarut dengan berat molekul

rendah seperti urea, kreatinin, dan elektrolit dengan tetap mempertahankan

gradien konsentrasi yang tinggi. Pada proses ini hanya zat yang tidak terikat

dengan protein yang bisa terdialisis atau melewati membran (Suhardjono,

2014).

Proses ultrafiltrasi yang timbul merupakan akibat dari perbedaan tekanan positif

pada kompartemen darah dengan tekanan negatif yang terbentuk dalam

32
kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh pompa dialisat atau transmembrane

pressure (TMP). Besarnya ultrafiltrasi bergantung pada gradien tekanan tiap

satuan waktu. Kemampuan permeabilitas membran dapat diukur dengan

koefisien ultrafiltrasi dengan satuan mL/mmHg/jam dengan kisaran antara 2-50

mL/mmHg/jam (Suhardjono, 2014). Membran dialisis yang sintetik tidak hanya

mempunyai kemampuan difusi dan filtrasi, namun juga mempunyai

kemampuan untuk mengadsorpsi protein, seperti sitokin dan interleukin,

sehingga dapat mengurangi protein-protein yang terlibat dalam proses inflamasi

(Suhardjono, 2014).

Gambar 3. Skema Hemodialisis


(Liu dan Chertow, 2012)

2.4.2. Indikasi Hemodialisis

Renal replacement therapy (RRT) harus diinisiasi saat terjadi kelainan pada

cairan dan elektrolit, terutama hiperkalemia dan asidosis, yang tidak dapat

dikontrol secara adekuat dengan obat-obatan atau diet. RRT umumnya

dibutuhkan saat estimated glomerular filtration rate (eGFR) berada dibawah 10

mL/menit (Cohen dan Valeri, 2012).

33
Berdasarkan Suhardjono, 2014, hemodialisis pada pasien end stage renal

disease diinisiasi apabila terdapat:

1. Cairan ekstraseluler berlebih yang sulit dikendalikan dan/atau hipertensi,

2. Hiperkalemia yang tidak dapat dikontrol melalui restriksi diet dan terapi

farmakologis,

3. Asidosis metabolik yang tidak dapat dikendalikan dengan pemberian terapi

bikarbonat,

4. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi pengikat

fosfat,

5. Anemia yang tidak merespons dengan terapi eritropoietin dan besi,

6. Terdapat penurunan kualitas hidup atau kapasitas fungsional tanpa

penyebab yang jelas,

7. Adanya gejala malnutrisi atau penurunan berat badan, terutama bila disertai

mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis,

8. Indikasi segera untuk dilakukan hemodialisis yaitu adanya gangguan

neurologis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan psikiatri), pleuritis

atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta diatesis

hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.

2.4.3. Komplikasi Hemodialisis

Hipotensi merupakan komplikasi akut paling umum pada hemodialisis,

terutama pada pasien yang menderita diabetes melitus. Beberapa faktor yang

menyebabkan meningkatnya risiko hipotensi termasuk ultrafiltrasi berlebihan

dengan kompensasi pengisian vaskular yang tidak adekuat, terganggunya

respon otonom atau vasoaktif, pergantian osmolar, penggunaan agen

34
antihipertensi yang berlebihan, dan penurunan cardiac reserve. Tatalaksana

hipotensi selama dialisis terdiri atas penghentian ultrafiltrasi, pemberian 100-

250 mL salin isotonik atau 10 mL salin hipertonik tersaturasi 23%, atau

pemberian albumin rendah garam (Liu dan Chertow, 2012).

Komplikasi umum lainnya yang terjadi yaitu kaku otot. Etiologi kaku otot yang

diasosiasikan dengan dialisis hingga saat ini masih belum jelas. Namun diduga

terdapat faktor pencetus yaitu perubahan pada perfusi otot karena pengambilan

cairan yang melebihi berat kering dan penggunaan dialisat rendah sodium.

Strategi pencegahan kaku otot antara lain penurunan pengambilan cairan saat

dialisis, ultrafiltration profiling, dan penggunaan dialisat dengan konsentrasi

sodium yang lebih tinggi (Liu dan Chertow, 2012).

Reaksi anafilaktoid terhadap dialiser, terutama saat penggunaan pertama kali

merupakan komplikasi lain yang dapat terjadi saat hemodialisis. Reaksi dialiser

terbagi menjadi dua tipe, tipe A dan tipe B. Tipe A merupakan reaksi

hipersensitivitas yang dimediasi oleh IgE terhadap ethylene oxide yang

digunakan saat sterilisasi dialiser baru. Reaksi tipe B terdiri atas gejala

kompleks nyeri punggung dan dada yang nonspesifik yang diakibatkan oleh

aktivasi komplemen dan pelepasan sitokin. Gejala muncul umumnya beberapa

menit saat dimulainya dialisis dan menghilang seiring dengan perawatan dialisis

yang berkelanjutan (Liu dan Chertow, 2012)

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien

ESRD. Mortalitas dan angka kejadian penyakit kardiovaskular lebih tinggi pada

35
pasien dialisis dibandingkan pada pasien transplantasi ginjal (Liu dan Chertow,

2012). Pada pasien dengan uremia, beberapa mediator yang berhubungan

dengan perubahan metabolit yang disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal

memiliki peran dalam meningkatnya risiko dengan menyebabkan perubahan

fungsional dan struktural pada jantung dan pembuluh darah. Mediator ini

termasuk meningkatnya inflamasi, aktivitas saraf simpatis yang meningkat,

stres oksidatif, gangguan keseimbangan mineral, dan disfungsi endotel

(Himmelfarb et al., 2010).

36
BAB IV
ANALISIS KASUS

The NationalKidney Foundation- Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative

(NKF-K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi

selama tiga bulan atau lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal,

dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi

kelainan patologis atau petanda (marker) kerusakan ginjal , termasuk kelainan dalam

komposisi darah maupun urin, atau kelainan dalam tes pencitraan ; atau (2) LFG < 60

ml/menit/1,73m2 selama tiga bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Berdasarkan derajat penyakit, yang ditentukan dari nilai laju filtrasi glomerulus, maka NKF-

K/DOQI merekomendasikan klasifikasi CKD menjadi 5 stadium. Menurut klasifikasi ini, CKD

stage V ditegakkan bila nilai LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.

Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai

dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus

urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya. (2)

gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic

frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (3) Gejala komplikasinya antara lain,

hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan

keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Pada kasus ini, pasien wanita, 62 tahun,

mengeluh sesak nafas sejak 2 hari SMRS, yang bertambah berat bila pasien berbaring atau

beraktivitas, namun agak membaik dengan perubahan posisi dan beristirahat. Pasien juga

37
mengeluh batuk yang muncul bersamaan dengan keluhan sesak, berisi dahak yang

berwarna putih dan kadang-kadang berbuih. Pasien mengeluh kedua kakinya bengkak secara

bersamaan. Pasien juga mengeluh badannya lemah dirasakan sepanjang hari, hingga membuat

pasien lebih banyak berbaring di tempat tidur.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di

Indonesia th. 2000 meliputi: Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes melitus (18,65%),

Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), Sebab lain (13,65%). Pada kasus ini,

pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus sejak 13 ttahun yang lalu.

Gambaran laboratorium CKD meliputi: (1) sesuai dengan penyakit yang

mendasarinya; (2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin

serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault; (3)

kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin (anemia), peningkatan kadar

asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,

hipokalsemia, asidosis metabolik dan (4) kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria,

hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.

Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasu ini, dijumpai adanya anemia ringan

normokromik normositer (hemoglobin 9,2 g/dl, MCV 87 fL, MCH 29 Pg). Pada pemeriksaan

kimia klinik ditemukan adanya peningkatan kadar peningkatan ureum (211 mg/Dl), kreatinin

(7,47 mg/dl) dan penurunan LFG (5,3 ml/menit/1,73 m2).

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini didiagnosis

dengan CKD Stage V karena secara klinis dijumpai 3 gejala/tanda klasik CKD yaitu edema,

38
anemia, dan hipertensi, ditambah penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG < 15

ml/menit/1,73m2. Kausa diabetes mellitus dan hipertensi dipilih karena pasien memiliki

riwayat diabetes mellitus sejak 13 tahun yang lalu yang diperkuat dengan pemeriksaan GDS

229 mg/Dl.

Penatalaksanaan CKD meliputi: (1) terapi spesifik terhadap penyakit

dasarnya, (2) pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid

tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi

traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras

atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya), (3) memperlambat perburukan fungsi ginjal

(restriksi protein dan terapi farmakologis), (4) pencegahan dan terapi

terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,

hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi

renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.

Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada CKD stadium V. Terapi pengganti

ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal.

Hemodialisis adalah salah satu pilihan yang dikerjakan pada pasien-pasien CKD dengan LFG

< 5 ml/menit/1,73 m2 dan atau bila ditemukan salah satu dari keadaan berikut: (1) adanya

keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis yang nyata, (2) serum kalium > 6 meq/L, (3)

ureum darah > 200 mg/dL, (4) pH darah < 7,1, (5) anuria berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta

adanya bukti fluid overload.

39
Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi kegagalan fungsi

ginjal yang didukung dengan GFR 5,03 mL/min/1,73 m2. Sehingga penatalaksanaan utama

pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Hemodialisis emergensi

dipilih pada pasien ini karena dijumpai adanya uremic lung yang merupakan salah satu petanda

terjadinya fluid overload. Selanjutnya pasien menjalani Hemodialisis regular 2x seminggu.

Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang

lainnya, yang disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, meliputi: IVFD NaCl 0,9% 8 tpm,

captopril 3 x 50 mg, amlodipine 1 x 10 mg, asam folat 3x1 mg,

CaCO3 3x500 mg , transfusi PRC hingga Hb ≥ 10 gr/dL, diet tinggi kalori 35

kkal/kgBB/hari (2450 kkal/hari), rendah protein 0,8 gr/kgBB/hari (56 gram/hari),

rendah garam 100 mEq/hari (230 mg/hari). Adapun dasar pemberian terapi

tambahan tersebut akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.

Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia

pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya

fungsi ginjal. Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia

adalah: defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya akibat perdarahan saluran

cerna atau hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya

hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses

inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10

gr % atau HCT ≤ 30% yang meliputi evaluasi terhadap status besi (SI/TIBC/ferritin), mencari

sumber perdarahan, morfologi eritrosit, serta kemungkinan adanya hemolisis.

Pada kasus ini, pasien mengalami anemia ringan normokromik normositer. Koreksi anemia

pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin < 10 gr/dL dengan target terapi,

40
tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL. Pemberian tranfusi pada CKD harus

dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.

Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan

tubuh dan hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan perburukan fungsi ginjal

Kontrol terhadap tekanan darah sangat penting, tidak hanya untuk menghambat perburukan

CKD, tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Penatalaksanaan hipertensi

pada pasien CKD berupa diet rendah garam dan pemberian obat antihipertensi golongan ACE

inhibitor dan atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB). ACE inhibitor dan ARB merupakan

pilihan obat antihipertensi untuk pasien CKD karena keduanya mengurangi hipertensi

glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu: (1) menurunkan tekanan darah sistemik

dan menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan (2) meningkatkan permeabilitas

membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin fibrogenik. ARB mempunyai efek

samping yang lebih sedikit dibandingkan ACE inhibitor (seperti

batuk atau hiperkalemia), akan tetapi karena harga ARB lebih mahal, maka biasanya ARB

direkomendasikan bagi pasien yang tidak memberikan respon

positif terhadap pengobatan dengan ACE inhibitor.3

Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien

CKD, tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar

protein urin > 1 gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75 mmHg, sedangkan

bila kadar protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan tekanan darah yang diharapkan ialah

< 130/80 mmHg.

41
Pada pasien ini, diberikan pengobatan berupa Captopril 3 x 25 mg yang dikombinasikan

dengan amlodipine 1 x 10 mg. Pengkombinasian ACE inhibitor dengan Calcium Channel

Blocker pada pasien ini dilakukan karena pasien juga dicurigai mengalami penyakit jantung

hipertensi, yang didasarkan adanya gambaran kardiomegali pada pemeriksaan foto thorax.

Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD ialah edema paru.

Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada pasien dengan penyakit ginjal

secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru renal primer dan (2) edema paru sekunder

sebagai konsekuensi renal dan jantung.

Edema paru renal secara klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan ekstraseluler

sebagai akibat dari kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru mikrovaskular merupakan

bentuk edema paru renal primer lainnya, yang terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas

kapiler paru, yang mungkin disebabkan karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan

edema paru sekunder sebagai konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan komplikasi

dari kelainan jantung yang telah ada sebelumnya, misalnya akibat kardiomiopati hipertensif,

anemik, maupun uremikum. Pada CKD, mekanisme utama yang mendasari terjadinya edema

paru ialah fluid overload akibat retensi cairan dan natrium. Akibatnya terjadi peningkatan

tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari kapiler

paru ke dalam ruang interstisial maupun alveolus paru. Adanya cairan yang mengisi ruang

alveolus mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus ke kapiler paru. Secara

klinis, keadasan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas, rhonki pada pemeriksaan fisik,

Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu dilakukan untuk

mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk ke

dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun

insesible water loss (IWL) antara 500 sampai 800 ml/hari (sesuai dengan luas

42
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah

jumlah urin per hari. Pada pasien ini juga dilakukan pengaturan cairan masuk, guna mencegah

volume overload yang akan memperberat edema paru dan edema tungkai yang

telah terjadi sebelumnya.

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.

Salah satu cara untuk mengurangi keadaan tersebut adalah dengan pembatasan asupan protein.

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit/1,73m2. Jumlah protein

yang dianjurkan ialah 0,6 – 0,8g/kgBB/hari, yang mana 0,35-0,50 gram diantaranya sebaiknya

merupakan protein dengan nilai biologis tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35

kkal/kgBB/hari.

Diet rendah garam (2-3 gr/hari) juga dianjurkan sebagai upaya untuk mencegah volume

overload sekaligus sebagai terapi nonfarmakologis untuk mengatasi hipertensi.3,4 Pada pasien

ini, diberikan diet tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari dan rendah protein (0,8 gr/kgBB/hari), serta

diet rendah garam (250 mg/hari). Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat

fosfat. Agen yang banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta

magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang

berasal dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3)

dan kalsium asetat. Pada pasien ini diberikan CaCO3 dengan dosis 3 x 1.

Pasien CKD mengalami peningkatan risiko athesklerosis karena tingginya prevalensi faktor

risiko “tradisional” dan non “tradisional”. Peningkatan kadar homosistein merupakan salah

satu faktor risiko non tradisional yang sering terjadi pada pasien CKD. Adapun mekanisme

peningkatannya, hingga saat ini masih belum jelas. Homosistein berperan dalam memicu

43
proses atherogenesis melalui beberapa cara: (1) menyebabkan kerusakan sel endotel pembuluh

darah, (2) merangsang aktivasi trombosit, (3) mempengaruhi beberapa faktor yang terlibat

dalam kaskade pembekuan darah, seperti menurunkan aktivitas anti thrombin, menghambat

aktivitas kofaktor trombomodulin dan aktivasi protein C, meningkatkan aktivitas faktor V dan

faktor XII, mengganggu sekresi faktor von Willebrand oleh endotel dan mengurangi sintesis

prostasiklin. Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah

terjadinya hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan

salah satu substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein Pada kasus ini,

pasien diberikan terapi asam folat 3x1 mg.

44
DAFTAR PUSTAKA

Bargman, J. M. dan Skorecki, K. 2012. Chronic kidney disease. Dalam: Longo, D.


L., Kasper, D. L., Jameson, J. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., and Loscalzo,
J., penyunting. Harrison`s Principles of Internal Medicine 18th ed. USA:
McGraw-Hill. hlm. 2308–21.

Bonomini, M., Del Vecchio, L., Sirolli, V., dan Locatelli, F. 2016. New Treatment
Approaches for the Anemia of CKD. Am J Kidney Dis. 67(1): 133–42.

Broxmeyer, H. E. 2013. Erythropoietin: Multiple Targets, Actions, and Modifying


Influences for Biological and Clinical Consideration. J Exp Med. 210(2):
205–208.

Cohen, D. and Valeri, A. M. 2012. Treatment of irreversible renal failure. Dalam:


Crow, M., Doroshow, J., Drazen, J., Griggs, R., Landry, D., Levinson, W.,
et al., penyunting. Goldman’s Cecil Medicine 25th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders. hlm. 841–7.

Guyton, A. C. dan Hall, J. E. 2015. Guyton and Hall Textbook of Medical


Physiology 13th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.

KDIGO. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney Inter. 3(1): 5-14.

Lankhorst, C. E. dan Wish, J. B. 2010. Anemia in Renal Disease: Diagnosis and


management. Blood Rev. 24: 39–47.

Levey, A. S. dan Coresh, J. 2012. Chronic kidney disease . Lancet Glob Health.
Elsevier Ltd. 379: 165–80.

Liu, K. D. dan Chertow, G. M. 2012. Dialysis in the treatment of renal failure.


Dalam: Longo, D. L., Kasper, D. L., Jameson, J. L., Fauci, A. S., Hauser, S.
L., dan Loscalzo, J., penyunting. Harrison`s Principles of Internal Medicine
18th ed. USA: McGraw-Hill. hlm. 2322–26.

Mitch, W. E. 2016. Chronic kidney disease. Dalam: Crow, M., Doroshow, J.,
Drazen, J., Griggs, R., Landry, D., Levinson, W., et al., penyunting.
Goldman’s Cecil Medicine 25th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm.
833–42.

Moore, K. L. dan Agur, A. M. R. 2013. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: EGC.

PERNEFRI. 2015. 8th Report Of Indonesian Renal Registry 2015. Diakses dari:
https://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN%20RENAL
%20REGISTRY%202015.pdf.

Suhardjono. 2014. Hemodialisis; prinsip dasar dan pemakaian kliniknya. Dalam:


Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., K., M. S., Setiyohadi, B., dan Syam, A.
F., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing. hlm. 2192–6.

Suwitra, K. 2014. Penyakit ginjal kronik. Dalam Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.
W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., dan Syam, A. F., penyunting. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing. hlm.
2159–65.

Tortora, G. J. dan Derrickson, B. 2011. Principles of Anatomy & Physiology. Edisi


ke-13. USA: Willey.

Upadhyay, A., Inker, L. A. dan Levey, A. S. 2016. Chronic kidney disease:


definition, classification, and approach to management. Dalam: Turner, N.,
Lamiere, N.,Goldsmith, D., Winearls, C., Himmelfarb, J., Remuzzi, G.,
penyunting. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-4. United
Kingdom: Oxford University Press. hlm. 721–31.

United States Renal Data System. 2015. Introduction to Volume 1 : CKD in the
United States. Annual Data Report. 1(5): 1–12.

46
47

Anda mungkin juga menyukai