ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. P
Umur : 62 tahun
Pekerjaan : IRT
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
No. MR : 52.07.91
I. Anamnesis
1. Keluhan Utama: Sesak Nafas sejak 2 hari yang lalu, semakin memberat.
2. Keluhan Tambahan: sesak, lemas, tidak nafsu makan, dan mual, BAB keras berwarna
coklat kehitaman, pasien merasa perutnya keras, sering berkeringat pada malam hari.
3. Riwayat perjalanan penyakit: pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari
yang lalu. Sesak tersebut dirasa makin memberat sehingga satu hari yang lalu pasien
dibawa oleh anak pasien ke IGD RSAM pada pukul 15.00 WIB. Sesak dirasakan di
seluruh dada dan terasa seperti terikat. Pasien mengaku sering sesak nafas sejak 1 tahun
1
yang lalu, yang membuat pasien kesulitan untuk tidur. Pasien sedang menjalani
hemodialisa selama 6 bulan terakhir dan telah terdiagnosis mengalami CKD pada 6
bulan yang lalu. Pasien juga terdiagnosis diabetes melitus dan terdiagnosis hipertensi
4. Riwayat Personal
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol sejak muda, namun
pasien mengaku suka makan-makan yang berlemak dan minum kopi setiap hari.
5. Riwayat keluarga
Riwayat kencing manis, hipertensi, jantung, asma, ginjal, dan lambung dalam keluarga
2
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
Rematik
Akut
Kesehatan Meninggal
Saudara L Sehat -
Anak 40 P Sehat -
Anak 38 P Sehat -
Anak 35 L Sehat -
Anak 30 P Sehat -
3
Anak 29 L Sehat -
a. Status Umum
c. BB : 60 kg
d. TB : 155 cm
b. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital
d. Pernafasan : 30x/menit
b. Mata
3. Leher
4
b. Kelenjar tiroid : Dalam batas normal
c. JVP : 5 +2 cmHg
4. Dada (thorax)
Depan Belakang
Kanan Kanan
Kanan Kanan
5
Sonor, redup Sonor, redup
Kanan Kanan
5. Jantung
lateral sinistra
6. Perut
c. Perkusi : Timpani
7. Regio Lumbal
a. Inspeksi : Lordosis (--, kofosis (-), spondilitis (-), massa (-), jejas
(-)
6
d. Auskultasi : Tidak dilakukan
8. Ekstremitas
a. Darah Lengkap
a. Hb : 9,2 mg/dL
b. Ht :28%
e. MCV : 87 Fl
f. MCH : 29 pg
g. MCHC: 33 g/Dl
h. Hitung jenis
i. Basofil : 0%
iii. Batang : 0%
v. Limfosit : 12%
vi. Monosit : 8%
b. Kimia Darah
7
e. Kalium: 4,5 mmol/L
g. Chlorida: 99 mmol/L
IV. Resume
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Sesak tersebut
dirasa makin memberat sehingga satu hari yang lalu pasien dibawa oleh anak
pasien ke IGD RSAM pada pukul 15.00 WIB. Sesak dirasakan di seluruh dada dan
terasa seperti terikat. Pasien mengaku sering sesak nafas sejak 1 tahun yang lalu,
yang membuat pasien kesulitan untuk tidur. Selain itu pasien mengaku pertunya
terasa keras, BAB coklat kehitaman namun BAK lancar. Pasien terdiagnosis CKD
6 bulan yang lalu dan saat ini sedang menjalani hemodialisa rutin.
Pada pemeriksaan fisik didapati tekanan darah 170/90 mmHg, suhu 36,50C
axila, nadi 96x/ menit, teraba lemah, reguler, pernafasan 30x/menit. Pada
pemeriksaan thorax, pasien tampak sesak, palpasi fremitus taktil kanan > kiri,
perkusi sonor hingga redup, auskultasi vesikuler, ronki basah kasar (+).Pada
auskultasi jantung didapati bunyi murmur dan bunyi jantung tambahan s3. Di
didapati Hb 9,2 g/dL, GDS 229 mg/dL, Ureum 211 mg/dL, creatinin 7,47 mg/dL.
Daftar masalah
8
V. Diagnosis Kerja
CKD stage V
Differential Diagnosis
1. CHF
2. Anemia
3. Pulmonary Hypertension
VI. Terapi
a. IGD
Pasien mendapatkan Oksigen dan IVFD, dan terapi medikamentosa pasien yaitu
lansoprazole 3x1, ranitidin 2x1, asam folat 3x1, Bicnat 3x1, CaCO3 3x1,
Amlodipin 1x1.
b. Bangsal
Pasien diharuskan untuk bed rest, diberi oksigen serta IVFD, diet rendah
kalium/ 8 jam, Sucralfat 3x1, asam folat 3x1, bicnat 3x1, CaCO3 3x1, KSR
a. Hemodialisa
VIII. Prognosis
9
Maintenance Follow Up
PF thorax:
kiri.
10
A: Vesikuler kiri
kasar (+)
Jantung
pulsasi di ICS VI
midclavicular 2 jari
lateral sinistra
ICS VI
V parasternal dextra
gallop (+)
Abdomen
P : NT (-) epigastrium,
tympani (+)
11
A : BU (+)
Ekstrimitas
Edema ekstremitas
(+/+/+/+)
Ikterus (-/-/-/-)
CRP <2detik
12
pembesaran limfe (-),
JVP 5+ 2 cm H2O
PF thorax:
kiri.
A: Vesikuler kiri
kasar (+)
Jantung
pulsasi di ICS VI
midclavicular 2 jari
lateral sinistra
ICS VI
V parasternal dextra
13
A : Bj I/II, murmur (+),
gallop (+)
Abdomen
P : NT (-) epigastrium,
tympani (+)
A : BU (+)
Ekstrimitas
Edema ekstremitas
(+/+/+/+)
Ikterus (-/-/-/-)
CRP <2detik
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ginjal merupakan organ penting pada manusia yang terletak retroperitoneal pada
dinding abdomen, setinggi vertebra T12-L3 masing-masing di sisi kanan dan kiri
columna vertebralis. Secara umum ginjal kanan terletak lebih rendah dibandingkan
dengan ginjal kiri karena adanya lobus hepar dextra (Moore dan Agur, 2013).
Pada tepi medial ginjal yang cekung, terdapat hilum yang merupakan celah vertikal
tempat arteri renalis masuk, serta tempat vena renalis dan pelvis renalis keluar. Vena
renalis terletak ventral dari arteri renalis, dimana letak arteri renalis berada ventral dari
pelvis renalis. Hilum membuka jalan menuju ruang pada ginjal yaitu sinus renalis yang
di dalamnya terdapat kaliks renalis, pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan jaringan
Ginjal memiliki dua regio besar: pada bagian superfisial, area yang berwarna merah
muda dikenal sebagai korteks, sedangkan area dalam yang berwarna merah tua
kecokelatan dikenal sebagai medula. Pada medula terdapat pyramis renalis yang
berbentuk kerucut dengan bagian dasar yang lebar menghadap korteks, dan bagian
apeks dikenal sebagai papilla renalis menghadap hilum. Korteks renalis meluas dari
kapsula renalis ke bagian dasar pyramis renalis serta ruang-ruang diantaranya. Korteks
renalis terbagi menjadi cortical zone di bagian luar dan juxtamedullary zone di bagian
15
dalam. Bagian dari korteks renalis yang meluas diantara pyramis renalis dikenal
Korteks renalis dan pyramis renalis dikenal sebagai parenkim atau bagian fungsional
dari ginjal. Dalam parenkim terdapat unit fungsional ginjal yang dikenal sebagai nefron.
Filtrat yang dibentuk oleh nefron mengalir menuju duktus papilaris, dari duktus
papilaris menuju kaliks minor dan mayor. Setelah melewati kaliks mayor, urin akan
menuju pelvis renalis dan kemudian keluar melewati ureter menuju vesica urinaria
Salah satu fungsi ginjal yang utama yaitu sebagai alat ekskresi sisa metabolisme, zat
kimia yang tidak berguna untuk tubuh serta metabolit hormon. Selain itu ginjal juga
berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh (Guyton dan
Hall, 2015).
Ginjal memiliki peran penting dalam regulasi tekanan arteri yaitu dengan cara
mengekskresi sejumlah sodium dan air. Organ ini juga berkontribusi dalam pengaturan
tekanan arteri jangka pendek dengan mensekresi hormon dan substansi vasoaktif (renin)
16
yang berperan dalam pembentukan produk vasoaktif (angiotensin II). Tidak hanya itu,
dalam pengaturan keseimbangan asam basa, bersama dengan paru-paru dan larutan
peyangga tubuh, melalui ekskresi asam dan regulasi penyimpanan larutan penyangga
Dalam mencapai fungsinya tersebut, ginjal memproduksi urin, melalui tiga proses
dasar. Tahap pertama, dikenal sebagai filtrasi glomerular; air, dan sebagian besar
larutan pada plasma darah melewati dinding kapiler glomerular, dimana filtrat
glomerular selanjutnya masuk ke tubulus renalis. Tahap kedua yaitu reabsorpsi tubular,
pada tahap ini terjadi proses reabsorpsi filtrat glomerular yang melewati tubulus renalis
dan duktus kolektivus, sel-sel tubulus mereabsorpsi sekitar 99% air dan cairan yang
masih berguna untuk tubuh. Cairan yang direabsorpsi kembali lagi ke sirkulasi melalui
kapiler peritubular dan vasa recta. Proses terakhir dikenal sebagai sekresi tubular,
dimana saat cairan mengalir melalui tubulus renalis dan duktus kolektivus, sel-sel
tubulus dan duktus mensekresikan material lain seperti sisa-sisa metabolisme, obat, dan
produksi sel darah merah oleh sel stem hematopoiesis pada sumsum tulang. Stimulus
untuk eritropoietin salah satunya yaitu hipoksia (Guyton dan Hall, 2015).
(calcitriol). Calcitriol berperan dalam penyimpanan kalsium pada tulang dan reabsorpsi
kalsium pada traktus gastrointestinal. Peran penting lain dari ginjal yaitu dalam sintesis
17
glukosa dari asam amino dan prekursor lain selama puasa, yang dikenal sebagai proses
2.3.1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) adalah keadaan penurunan fungsi ginjal yang
berikut :
struktural atau fungsional pada ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR,
tes pencitraan.
risiko pada CKD antara lain hipertensi, diabetes melitus, penyakit autoimun,
usia lanjut, terdapat riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, riwayat gagal
18
ginjal akut, adanya proteinuria, sedimen urin yang abnormal, dan kelainan
(PERNEFRI, 2011). Selain penyakit ginjal hipertensi, penyebab CKD yang lain
penyakit bawaan lain, penyakit sistemik (misal, SLE dan vaskulitis), serta
2.3.3. Klasifikasi
(GFR) dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal, yang dihitung dengan
19
3b Penurunan sedang fungsi ginjal 30-44
4 Penurunan berat fungsi ginjal 15-29
5 Gagal ginjal <15
(KDIGO, 2013)
2.3.4. Patogenesis
progresif yang meliputi hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang masih tersisa
sitokin, dan growth factors. Proses adaptasi berupa hipertrofi dan hiperfiltrasi
yang kemudian diikuti dengan maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
Pada stadium awal penyakit ginjal kronik, terjadi penurunan daya cadang ginjal
(renal reserve), namun GFR masih normal atau dapat meningkat. Namun,
kadar kreatinin serum dan urea. Pasien umumnya baru mulai merasakan keluhan
saat GFR 30%, keluhan tersebut dapat berupa nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Pada GFR dibawah 15%,
keadaan dimana pasien mengidap end stage renal disease, akan terjadi
2014).
20
2.3.5. Patofisiologi
Pasien dengan CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/menit) umumnya asimtomatik,
2014).
ekstraselular dan volume total tubuh berlebih yang bermanifestasi secara klinis
saat GFR menurun hingga < 10-15 mL/menit/1,73m2. Bersamaan dengan fungsi
ginjal yang semakin menurun, edema perifer mulai muncul. Pada GFR yang
lebih tinggi, intake sodium dan air yang berlebih dapat menimbulkan gambaran
yang serupa bila kadar sodium dan air yang dicerna melebihi potensi
Anemia yang terjadi pada sebagian besar pasien CKD, disebabkan oleh
21
hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme menstimulai penyerapan tulang
Gejala klinik menjadi lebih seing muncul seiring dengan penurunan GFR,
lemah, atau anoreksia. Jika gejala ini muncul harus dilakukan pemeriksaan
kreatinin serum dan kadar BUN, serta pemeriksaan urin untuk menentukan
Sindrom uremia yang terdapat pada pasien CKD terdiri atas gejala lemah,
uremic frost, perikarditis, kaku otot, kejang, hingga koma (Bargman dan
lanjut juga dapat diasosiasikan dengan penurunan faktor pembekuan IX, XI, dan
22
2.3.7. Diagnosis
nokturia, hesistansi, frekuensi, serta riwayat infeksi traktus urinarius, nyeri pada
Umumnya pada pasien yang menderita diabetes dan hipertensi, terdapat gejala
komplikasi oftalmikus (Emmett, et al., 2012). Selain itu sindrom uremia yang
serum, serta GFR yang diukur melalui rumus Cockroft Gault, (3) Pemeriksaan
darah yang meliputi complete blood count, konsentrasi BUN dan kreatinin,
elektrolit, kadar kalsium dan fosfat, fungsi hepar, dan kadar lipid. Nilai laju
23
endap darah dan c-reactive protein memberikan informasi mengenai keadaan
inflamasi pasien. Selain itu status besi, kadar vitamin B12 dan folat, serta HbA1c
menunjukkan ukuran ginjal, lebar kortikal, dan ekogenisitas, ada atau tidaknya
trauma dan hidronefrosis, serta adanya massa atau batu ginjal. Pencitraan renal
3. Detection of CKD
GFR < 60 mL/min/1.73m2 (measured or estimated)
Kidney damage (pathologic abnormalities, markers, or history of kidney
transplantation)
Duration > 3 months (documented or inferred)
24
Gambar 2. Pendekatan Diagnosis pada Pasien CKD
(Upadhyay, et al., 2016)
2.3.8. Tatalaksana
Suplemen vitamin D
Transplantasi ginjal
Tidak ada obat untuk penyakit ginjal kronis. Empat Tujuan terapi adalah
untuk:
25
Pengendalian glukosa darah: Mempertahankan kontrol yang baik dari
glukosa darah mereka memiliki risiko jauh lebih tinggi dari semua
bawah ini mmHg 130/80 jika Anda memiliki penyakit ginjal. Hal ini sering
berguna untuk memonitor tekanan darah di rumah. Obat tekanan darah yang
melindungi ginjal.
kesehatan dan ahli gizi. Untuk beberapa pedoman umum, lihat Perawatan
Larangan:
Pada penyakit ginjal kronis, beberapa obat dapat menjadi racun bagi ginjal
dan mungkin perlu dihindari atau diberikan dalam dosis yang disesuaikan.
hati-hati:
seperti ibuprofen
Armada atau enema phosphosoda karena kandungan yang tinggi dari fosfor
26
Obat pencahar dan antasida yang mengandung magnesium dan aluminium
obat Herbal
Gizi:
Pembatasan garam: Batasi untuk 4-6 gram sehari untuk menghindari retensi
penyakit ginjal. Pembatasan asupan air disamakan dengan jumlah air yang
Pembatasan Kalium: Hal ini diperlukan pada penyakit ginjal maju karena
/ hari untuk pasien dengan diabetes dan, untuk pasien tanpa diabetes,> 0,8
27
2.
/ hari jika GFR adalah 13 sampai 24 mL/min/1.73 m Gejala uremik
hari telah diresepkan harus diikuti oleh ahli gizi. Karena pembatasan diet
1,25-dihydroxyvitamin D
Retensi cairan dapat diobati dengan salah satu dari sejumlah obat diuretik,
yang menghilangkan kelebihan air dari tubuh. Namun, obat ini tidak cocok
oleh ginjal sehat. Seringkali, pasien yang dirawat dengan obat tersebut
intravena.
D. Dalam keadaan seperti itu, dokter anda mungkin meresepkan obat fosfor
28
Asidosis dapat berkembang dengan penyakit ginjal. Asidosis dapat
Sebuah studi oleh Wald dkk menemukan bahwa pasien dengan massa
ginjal kronis tahap 4-5 telah dikaitkan dengan peningkatan risiko hasil
200-500.
Sebuah studi oleh Shurraw dkk menunjukkan bahwa pada orang dengan
dari 9% dihubungkan dengan hasil klinis lebih buruk. Tingkat lebih rendah
kematian. Kontrol yang sesuai dan tepat waktu dari A level hemoglobin
(1c) pada penderita diabetes mellitus dan CKD mungkin lebih penting dari
tanpa uji coba terkontrol secara acak pada pasien belum berada pada
29
stadium akhir penyakit ginjal (ESRD), tidak ada pada anak-anak, dan hanya
L.
lambat dalam fungsi ginjal. Dalam studi ini, 134 pasien dewasa dengan
selama 2 tahun. Penurunan lebih lambat dalam CrCl diamati pada kelompok
kontrol (9% vs 45%), dan lebih sedikit pasien yang menerima suplemen
bikarbonat.
30
130/80 mmHg berdasarkan rekomendasi Seventh Joint National Committee
Pressure, kontrol gula darah secara optimal pada diabetes melitus, agen
GFR dan sebelum ditegakkan diagnosis CKD (Koshla, et al., 2010; Suwitra,
2014).
2.4. Hemodialisis
yang berada pada stadium ESRD membutuhkan terapi pengganti ginjal. Berbagai jenis
31
terapi pengganti ginjal antara lain hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
merupakan gabungan dari proses difusi yang merupakan pergerakan zat terlarut
molekul dan proses ultrafiltrasi yang merupakan aliran konveksi (air dan zat
2014).
Laju difusi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini
urea, elektrolit, dan berguna dalam penambahan serum bikarbonat. Laju difusi
sebanding dengan suhu larutan dan berbanding terbalik dengan viskositas dan
ukuran molekul yang dibuang. Melalui peningkatan aliran darah yang melewati
dialiser, akan terjadi peningkatan klirens dari zat terlarut dengan berat molekul
gradien konsentrasi yang tinggi. Pada proses ini hanya zat yang tidak terikat
2014).
Proses ultrafiltrasi yang timbul merupakan akibat dari perbedaan tekanan positif
32
kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh pompa dialisat atau transmembrane
(Suhardjono, 2014).
Renal replacement therapy (RRT) harus diinisiasi saat terjadi kelainan pada
cairan dan elektrolit, terutama hiperkalemia dan asidosis, yang tidak dapat
33
Berdasarkan Suhardjono, 2014, hemodialisis pada pasien end stage renal
2. Hiperkalemia yang tidak dapat dikontrol melalui restriksi diet dan terapi
farmakologis,
bikarbonat,
fosfat,
7. Adanya gejala malnutrisi atau penurunan berat badan, terutama bila disertai
atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta diatesis
terutama pada pasien yang menderita diabetes melitus. Beberapa faktor yang
34
antihipertensi yang berlebihan, dan penurunan cardiac reserve. Tatalaksana
Komplikasi umum lainnya yang terjadi yaitu kaku otot. Etiologi kaku otot yang
diasosiasikan dengan dialisis hingga saat ini masih belum jelas. Namun diduga
terdapat faktor pencetus yaitu perubahan pada perfusi otot karena pengambilan
cairan yang melebihi berat kering dan penggunaan dialisat rendah sodium.
Strategi pencegahan kaku otot antara lain penurunan pengambilan cairan saat
merupakan komplikasi lain yang dapat terjadi saat hemodialisis. Reaksi dialiser
terbagi menjadi dua tipe, tipe A dan tipe B. Tipe A merupakan reaksi
digunakan saat sterilisasi dialiser baru. Reaksi tipe B terdiri atas gejala
kompleks nyeri punggung dan dada yang nonspesifik yang diakibatkan oleh
menit saat dimulainya dialisis dan menghilang seiring dengan perawatan dialisis
ESRD. Mortalitas dan angka kejadian penyakit kardiovaskular lebih tinggi pada
35
pasien dialisis dibandingkan pada pasien transplantasi ginjal (Liu dan Chertow,
fungsional dan struktural pada jantung dan pembuluh darah. Mediator ini
36
BAB IV
ANALISIS KASUS
selama tiga bulan atau lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi
kelainan patologis atau petanda (marker) kerusakan ginjal , termasuk kelainan dalam
komposisi darah maupun urin, atau kelainan dalam tes pencitraan ; atau (2) LFG < 60
ml/menit/1,73m2 selama tiga bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Berdasarkan derajat penyakit, yang ditentukan dari nilai laju filtrasi glomerulus, maka NKF-
K/DOQI merekomendasikan klasifikasi CKD menjadi 5 stadium. Menurut klasifikasi ini, CKD
Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai
dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus
urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya. (2)
gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (3) Gejala komplikasinya antara lain,
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Pada kasus ini, pasien wanita, 62 tahun,
mengeluh sesak nafas sejak 2 hari SMRS, yang bertambah berat bila pasien berbaring atau
beraktivitas, namun agak membaik dengan perubahan posisi dan beristirahat. Pasien juga
37
mengeluh batuk yang muncul bersamaan dengan keluhan sesak, berisi dahak yang
berwarna putih dan kadang-kadang berbuih. Pasien mengeluh kedua kakinya bengkak secara
bersamaan. Pasien juga mengeluh badannya lemah dirasakan sepanjang hari, hingga membuat
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di
Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), Sebab lain (13,65%). Pada kasus ini,
pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus sejak 13 ttahun yang lalu.
mendasarinya; (2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault; (3)
kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin (anemia), peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolik dan (4) kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria,
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasu ini, dijumpai adanya anemia ringan
normokromik normositer (hemoglobin 9,2 g/dl, MCV 87 fL, MCH 29 Pg). Pada pemeriksaan
kimia klinik ditemukan adanya peningkatan kadar peningkatan ureum (211 mg/Dl), kreatinin
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini didiagnosis
dengan CKD Stage V karena secara klinis dijumpai 3 gejala/tanda klasik CKD yaitu edema,
38
anemia, dan hipertensi, ditambah penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG < 15
ml/menit/1,73m2. Kausa diabetes mellitus dan hipertensi dipilih karena pasien memiliki
riwayat diabetes mellitus sejak 13 tahun yang lalu yang diperkuat dengan pemeriksaan GDS
229 mg/Dl.
dasarnya, (2) pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid
tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya), (3) memperlambat perburukan fungsi ginjal
keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi
renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.
Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada CKD stadium V. Terapi pengganti
ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal.
Hemodialisis adalah salah satu pilihan yang dikerjakan pada pasien-pasien CKD dengan LFG
< 5 ml/menit/1,73 m2 dan atau bila ditemukan salah satu dari keadaan berikut: (1) adanya
keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis yang nyata, (2) serum kalium > 6 meq/L, (3)
ureum darah > 200 mg/dL, (4) pH darah < 7,1, (5) anuria berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta
39
Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi kegagalan fungsi
ginjal yang didukung dengan GFR 5,03 mL/min/1,73 m2. Sehingga penatalaksanaan utama
pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Hemodialisis emergensi
dipilih pada pasien ini karena dijumpai adanya uremic lung yang merupakan salah satu petanda
Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang
lainnya, yang disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, meliputi: IVFD NaCl 0,9% 8 tpm,
rendah garam 100 mEq/hari (230 mg/hari). Adapun dasar pemberian terapi
fungsi ginjal. Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
cerna atau hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10
gr % atau HCT ≤ 30% yang meliputi evaluasi terhadap status besi (SI/TIBC/ferritin), mencari
Pada kasus ini, pasien mengalami anemia ringan normokromik normositer. Koreksi anemia
pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin < 10 gr/dL dengan target terapi,
40
tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL. Pemberian tranfusi pada CKD harus
dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh dan hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan perburukan fungsi ginjal
Kontrol terhadap tekanan darah sangat penting, tidak hanya untuk menghambat perburukan
CKD, tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Penatalaksanaan hipertensi
pada pasien CKD berupa diet rendah garam dan pemberian obat antihipertensi golongan ACE
inhibitor dan atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB). ACE inhibitor dan ARB merupakan
pilihan obat antihipertensi untuk pasien CKD karena keduanya mengurangi hipertensi
membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin fibrogenik. ARB mempunyai efek
batuk atau hiperkalemia), akan tetapi karena harga ARB lebih mahal, maka biasanya ARB
Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien
CKD, tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar
protein urin > 1 gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75 mmHg, sedangkan
bila kadar protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan tekanan darah yang diharapkan ialah
41
Pada pasien ini, diberikan pengobatan berupa Captopril 3 x 25 mg yang dikombinasikan
Blocker pada pasien ini dilakukan karena pasien juga dicurigai mengalami penyakit jantung
hipertensi, yang didasarkan adanya gambaran kardiomegali pada pemeriksaan foto thorax.
Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD ialah edema paru.
Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada pasien dengan penyakit ginjal
secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru renal primer dan (2) edema paru sekunder
Edema paru renal secara klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan ekstraseluler
sebagai akibat dari kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru mikrovaskular merupakan
bentuk edema paru renal primer lainnya, yang terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas
kapiler paru, yang mungkin disebabkan karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan
edema paru sekunder sebagai konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan komplikasi
dari kelainan jantung yang telah ada sebelumnya, misalnya akibat kardiomiopati hipertensif,
anemik, maupun uremikum. Pada CKD, mekanisme utama yang mendasari terjadinya edema
paru ialah fluid overload akibat retensi cairan dan natrium. Akibatnya terjadi peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari kapiler
paru ke dalam ruang interstisial maupun alveolus paru. Adanya cairan yang mengisi ruang
alveolus mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus ke kapiler paru. Secara
klinis, keadasan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas, rhonki pada pemeriksaan fisik,
Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu dilakukan untuk
dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun
insesible water loss (IWL) antara 500 sampai 800 ml/hari (sesuai dengan luas
42
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah
jumlah urin per hari. Pada pasien ini juga dilakukan pengaturan cairan masuk, guna mencegah
volume overload yang akan memperberat edema paru dan edema tungkai yang
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
Salah satu cara untuk mengurangi keadaan tersebut adalah dengan pembatasan asupan protein.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit/1,73m2. Jumlah protein
yang dianjurkan ialah 0,6 – 0,8g/kgBB/hari, yang mana 0,35-0,50 gram diantaranya sebaiknya
merupakan protein dengan nilai biologis tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari.
Diet rendah garam (2-3 gr/hari) juga dianjurkan sebagai upaya untuk mencegah volume
overload sekaligus sebagai terapi nonfarmakologis untuk mengatasi hipertensi.3,4 Pada pasien
ini, diberikan diet tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari dan rendah protein (0,8 gr/kgBB/hari), serta
diet rendah garam (250 mg/hari). Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat
fosfat. Agen yang banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta
magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang
berasal dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3)
dan kalsium asetat. Pada pasien ini diberikan CaCO3 dengan dosis 3 x 1.
Pasien CKD mengalami peningkatan risiko athesklerosis karena tingginya prevalensi faktor
risiko “tradisional” dan non “tradisional”. Peningkatan kadar homosistein merupakan salah
satu faktor risiko non tradisional yang sering terjadi pada pasien CKD. Adapun mekanisme
peningkatannya, hingga saat ini masih belum jelas. Homosistein berperan dalam memicu
43
proses atherogenesis melalui beberapa cara: (1) menyebabkan kerusakan sel endotel pembuluh
darah, (2) merangsang aktivasi trombosit, (3) mempengaruhi beberapa faktor yang terlibat
dalam kaskade pembekuan darah, seperti menurunkan aktivitas anti thrombin, menghambat
aktivitas kofaktor trombomodulin dan aktivasi protein C, meningkatkan aktivitas faktor V dan
faktor XII, mengganggu sekresi faktor von Willebrand oleh endotel dan mengurangi sintesis
prostasiklin. Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah
salah satu substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein Pada kasus ini,
44
DAFTAR PUSTAKA
Bonomini, M., Del Vecchio, L., Sirolli, V., dan Locatelli, F. 2016. New Treatment
Approaches for the Anemia of CKD. Am J Kidney Dis. 67(1): 133–42.
KDIGO. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney Inter. 3(1): 5-14.
Levey, A. S. dan Coresh, J. 2012. Chronic kidney disease . Lancet Glob Health.
Elsevier Ltd. 379: 165–80.
Mitch, W. E. 2016. Chronic kidney disease. Dalam: Crow, M., Doroshow, J.,
Drazen, J., Griggs, R., Landry, D., Levinson, W., et al., penyunting.
Goldman’s Cecil Medicine 25th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm.
833–42.
PERNEFRI. 2015. 8th Report Of Indonesian Renal Registry 2015. Diakses dari:
https://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN%20RENAL
%20REGISTRY%202015.pdf.
Suwitra, K. 2014. Penyakit ginjal kronik. Dalam Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.
W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., dan Syam, A. F., penyunting. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing. hlm.
2159–65.
United States Renal Data System. 2015. Introduction to Volume 1 : CKD in the
United States. Annual Data Report. 1(5): 1–12.
46
47