Anda di halaman 1dari 23

BAB I

Pendahuluan

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen


yang dikenal dengan nama Leptosira Interrogans . Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh
Weil pada tahun 1886 sebagai penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai
oleh ikterus. 1,2

Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan sampai dengan
gejala infeksi berat dan fatal. Dalam bentuk ringan, leptospirosis dapat menampilkan gejala
seperti influenza disertai nyeri kepala dan mialgia. Dalam keadaan berat (disebut sebagai Weil’s
syndrome), leptospirosis secara khas menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan diatesis
hemoragika. 2
Pengelolaan penderita Leptospirosis didasarkan atas pemahaman dalam pathogenesis
penyakit ini. Pada dasarnya proses yang penting pada Leptospirosis adalah terjadinya iskemia
atau hipoksi yang berakhir sebagai oliguria atau gagal ginjal akut. Sehingga yang paling penting
dikerjakan adalah memberantas sumber infeksi, menjamin lancarnya aliran darah ke hati dan
ginjal, serta mencegah komplikasi.Sampai sekarang masih ada kontroversi dalam penangan
leptospirosis, khususnya dalam masalah perlu tidaknya dialysis. Dan untuk dapat mengatakan
satu cara lebih baik dari lainnya perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dan baik.1,3

Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit ini tidak
spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Dalam dekade
belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa negara, seperti Asia, Amerika
Selatan dan Tengah, serta Amerika Serikat menjadikan penyakit ini termasuk dalam the
emerging infectious diseases. 2
BAB II
ISI
DEFINISI

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme


Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama
sekali ditemukan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai ikterus ini
dengan penyakit lain yang juga mnyebabkan ikterus. Bentuk beratnya dikenal sebagai Weil’s
disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slamp fever, swamp fever,
autumnal fever, infectious jaundice, dan lain-lain.1,2
Leptospira seringkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam
dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit
yang termasuk emerging infectious disease.

Etiologi

Leptospira adalah spirochaeta yang berasal dari famili Leptospiraceae. Genus Leptospira
terdiri atas 2 spesies: L.interrogans yang patogenik dan L.biflexa yang hidup bebas. Organisme
ini panjangnya 6 sampai 20 um dan lebarnya 0,1 um; kurang berwarna tetapi dapat dilihat
dengan mikroskop dengan pemeriksaan lapangan gelap dan setelah pewarnaan silver.
Leptospirosis membutuhkan media dan kondisi khusus untuk tumbuh; membutuhkan waktu
beberapa bulan agar kultur menjadi positif.1,2,3
Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap.
Leptospira membutuhkan membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan
mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuatkultur yang positif. Dengan
medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies; L. interrogans yang patogen
dan L. biflexa yang non paogen/saprofit. L. interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan
serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Beberapa serovar L.
interrogans yang dapat menginfeksi manusia diantaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L.
canicola, L. pomona, L. javanica, dan lain-lain.
Menurut bebrapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia adalah L.
icterohaemorrhagica dengan reservoar tikus, L. canicola dengan reservoar anjing, dan L. pomona
dengan reservoar sapi dan babi.2,3

Epidemiologi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh dunia, disemua
benua kecuali Antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Penularan leptospirosis pada
manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Kuman leptospira mengenai
sedikitnya 160 spesies mamalia, seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, dan
sebagainya. Binatang pengerat terutama tikus merupakan vektor yang paling banyak. Tikus
merupakan vektor utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia.
Dalam tubuh tikus kuman leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang
biak di dalam epitel tubus ginjal tikus dan secara terus dikeluarkan melalui urin saat berkemih. 1

Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai
pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi
kelangsungan hidup kuman leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi
selama musim hujan.
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas.
Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Barat. Pada Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari
100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi akibat terpapar
oleh genangan /luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi.1

Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi
saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur karena tanah
lembab dan bersifat alkalis.

Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus


leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak
beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis
dan nonfatal.

Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis
setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia penyakit demam
banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali.1,4

Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan
terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir pasang
surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.1

Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan
jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut
usia dan penderita immunocompromised mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian.

Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen.
Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna
kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi

Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang
berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur,
rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit.
Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai,
seperti berenang atau rafting.

Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi


dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu
dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada
pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%. 1,4,5

Penularan

Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan langsung
dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan;
dan dari manusia ke manusia meskipun jarang Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak
dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin
binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka / erosi pada kulit
atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang
utuh juga dapat menularkan leptospira. Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat
bertahan hidup berbulan-bulan , maka air memegang peranan penting sebagai alat transmisi. 1,5

Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara lain pekerja-
pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih
selokan, parit/saluran air, pekerja di perindustrian perikanan, atau mereka yang selalu kontak
dengan air seni binatang seperti dokter hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja
laboratorium.

Patogenesis

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang


bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histiologik. Pada leptospirosis lesi
histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang
nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur
organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma.
Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan pada otak dan
mata. Leptospira dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal ini
akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi
sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati,
otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ :
1. Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular
nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan
invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
2. Hati
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan
leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
3. Jantung
Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat
fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis
berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan
endokarditis.
4. Otot rangka
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi dan
kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira.
Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
5. Mata
Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan
beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan
uveitis.
6. Pembuluh darah
Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa
dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit
7. Susunan saraf pusat
Leptospira mudah masuk kedalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan
terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada saat
memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis.
Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis
yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola.
8. Weil Disease
Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai
perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit weil ini
biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil disease adalah serotype
icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype copanhageni dan bataviae. Gambaran
klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic, atau disfungsi vascular.1,2,3

GAMBARAN KLINIS
Masa inkubasi biasanya 1-2 minggu tetapi antara 2-20 hari. Gambaran klinis dapat dilihat pada
table 2.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia akut yang diikuti
fase imun. Perbedaan kedua fase ini tidak selalu jelas, dan pada kasus-kasus ringan tidak selalu
diikuti fase kedua.
Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjuctival suffusion,
mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotophobi
Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali, atralgia,
gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis, asites,
miokarditis.1,2,3
Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada
otot yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat
diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati, mual dengan
atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaaan sakit berat, bradikardi relative, dan ikterus (50%). Pada
hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai
rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat
ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang
terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaaan sakit yang lebih
berat, demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selam 1-3 hari, setelah itu terjadi
demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
Fase imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibody, dapat timbul demam yang mencapai
suhu 400C disertai mengigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada
leher, perut dan otot-otot kaki terutama betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala
kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik,
purpura, petechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling
sering. Conjungtiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomosis untuk leptospirosis.
Terjadinya meningitis merupakan tanda fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda
meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal
dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase
ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN RADIOLOGI


Ditemukannya sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular) dan proteinuria
ringan pada leptospirosis anikterik menjadi gagal ginjal dan azotemia pada kasus yang berat.
Jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat. Pada leptospirosis anikterik, jumlah leukosit antara
3000-26000/μL, dengan pergeseran ke kiri ; pada Weil’s sindrom, sering ditandai oleh
leukositosis. Trombositopenia yang ringan terjadi pada 50 % pasien dan dihubungkan dengan
gagal ginjal. Pada perbandingannya dengan hepatitis virus akut, leptospirosis memiliki bilirubin
dan alkalin phospatase serum yang meningkat sama dengan peningkatan ringan dari
aminotransferase serum (sampai 200/ul). Pada Weil’s sindrom, protrombin time dapat
memanjang tetapi dapat dikoreksi dengan vitamin K. Kreatin phospokinase yang meningkat pada
50 % pasien dengan leptospirosis selama minggu pertama perjalanan penyakit, dapat membantu
membedakannya dengan infeksi hepatitis virus.
Bila terjadi reaksi meningeal, awalnya terjadi predominasi leukosit polimorfonuklear dan
diikuti oleh peningkatan sel mononuklear. Konsentrasi protein pada LCS dapat meningkat dan
glukosa pada LCS normal.
Pada leptopirosis berat, lebih sering ditemukan abnormalitas gambaran radiologis paru
daripada berdasarkan pemeriksaan fisik berupa gambarab hemoragik alveolar yang menyebar.
Abnormalitas ini terjadi 3-9 hari setelah onset. Abnormalitas radiografi ini paling sering terlihat
1
pada lobus bawah paru.

Patogenesis
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira masuk
kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa
utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi
droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi
kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang
mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen gagal bermultiplikasi dan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi.
Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat
diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan
penyakit. 3
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan
vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman leptospira yang penting
adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada
kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram
(-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit,
sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal
kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis
berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan
perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. 1,2,3
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari
jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangya
sekresi bilirubin.2
Penularan dan manifestasi leptosirosis

Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki
akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi
respon immunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibody spesifik. Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertahan pada
daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam ginjal dimana bagian mikro organism
akan mencapai convoluted tubulus. Bertahan disana dan dilepaskan melaliu urin. Leptospira
dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan
fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah
terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat
ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.
Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi bakteri langsung,
faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.1,2

I. ANAMNESIS
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data epidemiologis
penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien. Identitas pasien
ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa
menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan
dengan leptospirosis.
Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena kelompok ini lebih banyak aktif
di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat dapat diketahui apakah tempat tinggal termasuk
wilayah padat penduduk, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air
maupun lingkungan kumuh.
Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan lebih-lebih dengan
adanya banjir. Keluhan-keluahan khas yang dapat ditemukan, yaitu : demam mendadak,
keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata
makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.2,3

II. PEMERIKSAAN FISIK


- Gejala klinik menonjol : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival
suffusion.
- Gejala klinik yang paling sering ditemukan : conjungtival suffusion dan mialgia.
- Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3
selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva
unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring
terlihat merah dan bercak-bercak.
- Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat
dan hiperestesi kulit.
- Kelainan fisik lain : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang
meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis hemoragik.
- Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi dapat
terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan konjungtiva dan ruam kulit.
- Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria
generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.
Gambar 3. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera23

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan laboratorium umum
a. Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau menurun.
- Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil.
- Trombositopenia ringan.
- LED meninggi.
- Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat perdarahan yang biasa
terjadi pada stadium lanjut perjalanan penyakit.
b. Pemeriksaan fungsi hati
- Jika tidak ada gejala ikterik  fungsi hati normal.
- Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
- Kerusakan jaringan otot  kreatinin fosfokinase meningkat 
peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata
mencapai 5 kali nilai normal.2,3

2. Pemeriksaan laboratorium khusus


Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis,
terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau
antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai),
dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira
(MAT, ELISA, tes penyaring). 3
Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan serologis. Pemeriksaan
bakteriologis dilakukan dengan bahan biakan/kultur leptospira dengan medium kultur Stuart,
Fletcher, dan Korthof. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4 minggu terdapat
leptospira dalam kultur.

Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik Aglutination Test), suatu
pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat
mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-
12). Dugaan diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala klinis
yang mendukung.
Ig M ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara dini, tes akan
positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin tidak khas. Tes ini sangat sensitif
dan efektif (93%). Tes penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay,
Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.1,2.3
Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan bilirubin. Pada 50%
kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase (CPK) pada fase awal sampai mencapai 5x
normal. Hal ini tidak terjadi pada hepatitis viral. Jadi jika terdapat peninggian transaminase dan
CPK, maka diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada hepatitis viral.
Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine (leukosituria, eritrosit
meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada leptospirosis ringan bisa terdapat
proteinuria dan pada leptospirosis berat dapat terjadi azotemia.
Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan gelap sering gagal
dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak digunakan. Pada Leptospirosis yang
sudah mengenai otak, maka pemeriksaan CSS didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada awal )
tapi kemudian digantikan oleh sel-sel monosit, protein pada CSS normal atau meningkat,
sedangkan glukosanya normal.3
I. Gagal Ginjal Akut

Keterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut sangat bervariasi dari insufisiensi ginjal ringan
sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut pada leptospirosis disebut sindroma
pseudohepatorenal. Selama periode demam ditemukan albuminuria, piuria, hematuria, disusul
dengan adanya azotemia, bilirubinuria, urobilinuria. Manifestasi klinik gagal ginjal akut pada
leptospirosis ada 2 tipe yaitu gagal ginjal akut ologuri dan gagal ginjal akut non-oliguri dengan
tipe katabolic, dimana produksi ureum lebih tinggi dari 60mg%/24jam. Disebut gagal ginjal
oliguri bila produksi urin <500ml/24jam, dan disebut anuri bila produksi urin <100ml/24jam.
Prognosis gagal ginjal akut non oliguri lebuh baik disbanding gagal ginjal non-ologuri. 3
Ginjal yang terinfeksi leptospira

Terjadinya gagal ginjal aku pada leptospirosis melalui 3 mekanisme:


1. Invasi atau nefrotoksik langsung dari leptospira

Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai efek langsung dari
migrasi leptospira yang menyebar hematogen ke kapiler peritubuler menuju jaringan interstitium
tubulus dan lumen tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek migrasi atau efek
endotoksin leptospira.
2. Reaksi immunologi

Reaksi immunologi berlangsung cepat, adanya kompleks immune dalam sirkulasi dan
endapan komplemen dan adanya electron dance bodies pada glomerulus membuktikan adanya
proses immune cmplexs glomerulonephritis, dan terjadi tubule interstitial nefritis (TIN).
3. Reaksi non spesifik terhadap infeksi seperti infeksi yang lain 3,5

Iskemia ginjal
 Hipovolemia dan hipotensi akibat adanya:
- Intake cairan yang kurang
- Meningkatnya evaporasi oleh karena demam
- Pelepasan kinin, histamine, serotonin, prostaglandin semua ini akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi kebocoran albumin dan cairan
ekstravaskuler.
- Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel yang menyebabkan permeabilitas sel dan
vaskuler meningkat.
- Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA dan menyebabkan
vasokonstriksi.
- Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC) menyebabkan viskositas
darah meningkat.3,5

Iskemia ginjal, glomerulonefritis dan TIN, invasi kuman menyebabkan terjadinya


nekrosis (GGA) sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF, PDGF-β,
TXA2, LTC4, TGF-β) dan terekspresinya leucocyte adhesion molecules yang akan meregulasi
fungsi leukosit sebagai respon adanya renal injury.
Bentuk gagal ginjal akut pada leptospirosis:
a. Gagal ginjal akut oliguria

Temasuk disini adalah produksi urine <600ml/24jam dan penderita sudah dalam keadaan
hidrasi yang baik, kadar kreatinin darah >2gr%. Terjadi kira-kira pada 54% penderita
leptospirosis, dan mempunyai mortalitas yang tinggi serta prognosis yang kurang baik. Faktor-
faktor yang meramalkan prognosis kurang baik adalah:
- Adanya oliguri atau anurinyang berlangsung lama
- BUN selalu meningkat >60mg%/24jam
- Ratio ureum urine : ureum darah, tidak meingkat

b. Gagal ginjal akut non-ologuri

Terdapat 50% darin leptospirosis, produksi urine >600ml/24jam, mortalitas lebih rendah
dibandingkan GGA oliguri. GGA oliguri mempunyai prognosis yang kurang baik, dengan
mortalitas 50-90%.

Histopatologi dengan pemeriksaan mikroskop electron:


1. pada GGA oliguri, Nampak adanya gambaran obstruksi tubulus, nekrosis tubulus dan
endapan komplemen pada membrane basalis glomerulus, dan infiltrasi sel radang pada
jaringan interstitialis.
2. Pada GGA non-oliguri, Nampak edema pada tubulus dan jaringan interstitium tanpa
adanya nekrosis. Duktus kolektiferus pars medularis resisten terhadap vasopressin,
sehingga tidak mampu memekatkan urin dan terjadi poliuria.

Perubahan abnormal elektrolit dan hormone pada GGA leptospirosis:


1. Hipokalemia, terjadi oleh karena peningkatan ”fractional urinary excretion” (Fe) kalium
yang diikuti FeNa. Hal ini oleh karena sekresi K+ meningkat dan adanya gangguan
reabsorbsi Natrium oleh tubulus proximal. Fe K+ dan FeNa berkorelasi dengan beratnya
GGA.
2. Hormon kortisol dan aldosteron meningkat dan akan meningkatkan eksresi kalium lewat
urine. Sehingga makin menambah hipokalemia, sehingga perlu penambahan kalium.
3. CD3, CD4 menurun, Limfosit B meningkat, bersifat reversible.1,3

TATALAKSANA
GGA oliguri / non-oliguri
 Suportif:
- Hidrasi dengan cairan yang mengandung elektrolit sampai tercapai rehidrasi.
- Monitoring elektrolit dan produksi urine dan balance cairan /24jam.
- Diuretika (furosemid/manitol), untuk mengubah GGA oliguria menjadi poliuria.
- Dopaminergik agent untuk memperbaiki perfusi ginjal (dopamine).
- Arterial natriuretik peptide.
- Untuk preservasi integritas sel: “calcium channel blocker”
- Stimulasi regenerasi sel (asam amino termasuk glysin, growth factor)
 Antibiotika: eradikasi leptospira
 Nutrisi:
- Meminimalkan balance nitrogen negative
- Intake kalori yang adequate.
- Mencegah “volume overload”.
 Indikasi dialysis:
- Hiperkatabolik, produksi ureum > 60mg/24jam.
- Hiperkalemia, serum kalium >6meq/L.
- Asidosis metabolic, HCO3 < 12meq/L/
- Perdarahan.
- Kadar ureum yang sangat tinggi diikuti gejala klinik.

Hemodialisis tidak lebih menguntungkan untuk terapi pengganti pada GGA leptospirosis,
lebih dipilih tindakan dialysis peritoneal bila telah ada indikasi. Imam Parsudi (1976), dialysis
peritoneal pada GGA leptospirosis disamping dapat mengkoreksi kelainan biokimiawi akibat
GGA, juga dapat mengeluarkan bahan-bahan toksik akibat penurunan faal hati. 1,3
II. Perdarahan Paru

Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak jelas diduga akibat
dari endotoksin langsung yang kemudian menyebabkan kersakan kapiler. Hemoptisis terjadi
pada awal septicemia. Perdarahan terjadi pada leura, alveoli, trakheobronkhial, kelainan berupa:
kongesti septum paru, perdarahan alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear. Manifestasi
klinis: batuk, blood tinged sputum sampai terjadi hemoptisis masif sehingga menyebabkan
asfiksia. 1,3

III. Liver Failure

Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari ke-2 atau ke-9. Pada hati
terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel Kupfer. Terjadi ikterik pada leptospirosis
disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kerusakan sel hati.
2. Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi bilirubin, sehingga meningkatkan
kadar bilirubin darah.
3. Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan
kadar bilirubin.
4. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.

Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan hepatic flow dan toksinyang
dilepas leptospira. Gambaran histopatologi tidak spesifik pada leptospirosis, karena disosiasi sel
hati, proliferasi histiositik dan perubahan peri porta terlihat juga pada penyakit infeksi yang
parah. 1,3
IV. Perdarahan gastrointestinal

Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler.

V. Shock

Infeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis tubuh yang mempunyai peran
pada timbulnya kerusakan jaringan, perubahan ini adalah hipovolemia, hiperviskositas koagulasi.
Hipovolemia terjadi akibat intake cairan yang kurang, meningkatnya permeabilitas kapiler oleh
efek dari bahan-bahan mediator yang dilepaskan sebagai respon adanya infeksi. Koagulasi
intravaskuler, sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan mempengaruhi keadaan pada
mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler dan anoxia jaringan. Hiperviskositas, akibat dari
peleasan bahan-bahan mediator terjadi permeabilitas kapiler meningkat, keadaan ini
menyebabkan hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya disfungsi organ. 1

VI. Miokarditis

Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan sistem konduksi,
miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi klinis miokarditis sangat
bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongesif yang fatal.
Keadaan ini diduga sehubungan dengan kerentanan secara genetic yang berbeda-beda pada
setiap penderita. 1,3
Manifestasi klinik miokarditis jarang didapatkan pada saat puncak infeksi karena akan
tertutup oleh manifestasi penyakit infeksi sistemik dan batu jelas saat fase pemulihan. Sebagian
akan berlanjur menjadi bentuk kardiomiopati kongesif / dilated. Juga akan menjadi penyebab
aritmia, gangguan konduksi atau payah jantung yang secara structural dianggap normal. 1,3

VII. Enchepalophaty

Didapatkan gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri kepala, pada cairan


cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis, santokrom, hitung sel leukosit 10-100/mm3, sel
terbanyak sel leukosit neutrofil atau sel mononuclear, glukosa dapat normal atau rendah, protein
meningkat (dapat mencapai 100mg%). Kadang-kadang didapatkan tanda-tanda menngismus
tanpa ada kelainan LCS, sindroma Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi didapatkan:
infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS yang pleositosis. Setiap serotip leptospira yang
patologis mungkin dapat menyebabkan meningitis aseptic, paling sering Conikola,
Icterohaemorrhagiae dan Pamoma.1,2

Terapi
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan
fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotic pilihan dapat dilihat pada table 4. Untuk
kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penicillin G, amoxicillin, ampicillin atau
eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral
tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun sepalosporin.
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat
bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada
pemberian penisilin dapat muncul reaksi Jarisch – Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah
pemberian intra vena, yang menunjukkan adanaya aktifitas anti leptospira. Tindakan suportif
diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum.
Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialysis.
PROGNOSIS
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian
5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%. Leptospirosis selama
kehamilan dapat meningkatkan mortality fetus.

PENCEGAHAN
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes
perantara dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang mempunyai resiko tinggi
untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih
binatang reservoir. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk
mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar
dalam waktu singkat. Penelitian terhadap tentara amerika di hutan panama selama 3 minggu,
ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4-2 % menjadi 0,2%, dan efikasi
pencegahan 95%.
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama direkomendasikan
tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan, masih memrlukan penelitian lebih
lanjut.2,4,5

BAB III
KESIMPULAN

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira. Manusia dapat
terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara incidental. Gejala klinis yang timbul mulai
dari yang ringan sampai yang berat bahkan kematian, bila terlambat mendapat pengobatan.
Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit
menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang terekspos diharapkan dapat melindungi
mereka dari serangan leptospirosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Zein, Umar. Leptospirosis. Dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III edisi VI.
Jakarta : pusat penerbitan Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2014. Hal 1823-5.

2. Susan S,Phhilip.Spirochetal infection: Current Medical Diagnostic and Treatment. Edisi

ke – 54.New york: Mc Graw Hill, 2015.1468-72.

3. Speelman, peter et al.leptospirosis:Harrisson’s principle of internal medicine.Edisi ke-

19.New york:Mc Graw Hill,2015.988-91

4. World Health Organization/ International Leptospirosis Society. Human Leptospirosis

guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva : WHO.2003.109

5. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus infection in an
urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13. 2012. 264-8

Anda mungkin juga menyukai