Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam ilmu kesipilan, tanah merupakan komponen penting dalam membangun, karena bumi
tempat kita berpijak. Untuk itu, penting bagi mahasiswa teknik sipil untuk mempelajari ilmu
geologi sebagai dasar dalam mempelajari kriteria tanah, bentuk-bentuk permukaan bumi, dan
lain sebagainya sebelum menjalankan suatu proyek. Permasalahan yang terkadang dialami dalam
dunia persipilan ialah runtuhnya suatu bangunan. Runtuhnya suatu bangunan sendiri disebabkan
oleh faktor yang bermacam-macam. Contohnya gempa bumi, tsunami, pergeseran tanah, kurang
kuatnya kontruksi suatu bangunan, kurangnya perencanaan, dan lain sebagainya. Tak lepas juga,
fenomena likuifaksi juga berpengaruh. Pada makalah ini, saya akan mencoba mengulas apa itu
likuifaksi, mengapa terjadi likuifaksi, pengaruhnya terhadap bidang sipil, dan bagaimana
penanggulangannya.

1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:

1. Mempelajari fenomena likuifaksi


2. Mengetahui dampak likuifaksi terhadap bidang sipil
3. Mengetahui penanggulangan likuifaksi
BAB II
ISI

Pencairan tanah atau likuifaksi tanah (bahasa Inggris: soil liquefaction) adalah suatu perilaku
tanah yang mengalami perubahan tiba-tiba dari kondisi padat ke kondisi mencair, atau memiliki
sifat seperti air berat. Fenomena ini lebih mungkin terjadi pada tanah berbutiran renggang atau
moderat dengan penyaluran air (drainase) yang buruk, seperti pada pasir lanauan (silty sand) atau
pasir dan kerikil yang dilapisi atau mengandung lapisan sedimen kedap. Sewaktu terjadi,
misalnya pada peristiwa gempa bumi, pasir renggang cenderung untuk mengalami penurunan
volume, yang menyebabkan peningkatan tekanan air pori dan, akibatnya, penurunan kekuatan
geser (shear strength), yaitu penurunan tegangan efektif.

s ' =s −u
s’ = tegangan efektif,
s = tegangan total (berat permukaan tanah)
u = tekanan air pori

Modulus geser pasir menurun bersamaan dengan turunnya tegangan efektif. Kekuatan geser pasir
menurun dengan (tegangan efektif) tan f. Dengan begitu tanah berpasir menjadi melunak
(mencair). Pada kasus yang ekstrim, tegangan efektif menjadi nol. Tegangan efektif adalah
ketika terjadi adanya gaya kontak antar butiran pasir. Tegangan efektif nol menyatakan tidak
adanya gaya kontak tersebut. Sehingga butiran pasir benar-benar mengapung bebas dalam air.
Sehingga pasirpun menjadi seperti mencair.

Oleh karenanya, ketika hal itu terjadi maka tanah tersebut tidak mampu menoppang beban
diatasnya dan menyebabkan amblasnya bangunan, miring ataupun longsor. Yoshimi dan
Tokimatsu (1977) menyebutkan bahwa tekanan air pori yang terjadi pada lapisan tanah di bawah
bagian tengah bangunan lebih kecil daripada di bagian tepi struktur. Berdasarkan uji model
laboratorium dan pengamatan lapangan selama gempa Niigata pada 1964, peninngkatan tekanan
air pori pada lapisan tanah pasir di bawah bangunan menyebabkan penurunan bangunan akan
semakin besar. Bangunan yang lebih berat akan mengalami penurunan yang kecil bila
dibandingkan dengan bangunan yang lebih ringan.

[Pengaruh tekanan kontak dan tekanan air pori terhadap penurunan


(Yoshimi dan Tokimatsu, 1977)]
[Diagram perkemebangan mikrozonasi sesismik (Kaneko dkk., 2008)]

Mikrozonasi seismik dalam perkembanganya tidak hanya ditujukan untuk memetakan bahaya
atau wilayah rawan gempa bumi, tetapi juga untuk penilaian resiko dan penanggulangan bencana
gempa bumi. Skema perkembangan mikrozonasi seismik ini seperti pada gambar sebelumnya
(Kaneko dkk., 2008). Mikrozonasi seismik yang sederhana meliputi identifikasi sumber dan
mangnitudo gempa, analisis lintasan dan pergerakan permukaan tanah.

Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu


Muntohar (2009) melakukan penelitian pendahuluan untuk menentukkan percepatan pergerakan
permukaan tanah (peak ground acceleration/PGA) akibat gempa bumi 27 Mei 2006. Analisis
dilakukan dengan menggunakan data sondir. Percepatan pergerakan permukaan tanah dihitung
dengan analisis-balik (back-analysis) berdasarkan kejadian likuifaksi di Kampus Terpadu UMY.
Magnitudo gempa yang digunakan dalam analisis adalah 6,3.Mw yang merupakan magnitudo
gempa 27 Mei 2006. Hasil analisisbalik menunjukkan bahwa percepatan gempa antara 0,23 g
dan 0,54 g telah menyebabkan likuifaksi 50% lapisan pasir di bawah permukaan tanah. Secara
umum, percepatan gempa di permukaan tanah sebesar 0,36 g hingga 0,68 g diperkirakan dapat
memicu terjadinya likuifaksi.
Kajian terhadap potensi likuifaksi dengan menggunakan hasil uji penetrasi standard (standard
penetration test/SPT) yang dilakukan oleh Muntohar (2010). Lokasi kajian berada di Kampus
Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Berdasarkan hasil uji awal berupa distribusi
ukuran partikel tanah diketahui bahwa lokasi yang diuji sangat rentan terhadap risiko likuifaksi.
Keadaan ini adalah kondisi umum untuk wilayah Bantul seperti ditunjukkan pula pada Gambar
2.4 (Koseki dkk., 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan potensi likuifaksi dapat terjadi di
kedalaman 5 m hingga 20 m dari permukaan tanah dengan probabilitas kejadian berkisar 5%
hingga 90%.

[Distribusi ukuran partikel tanah di area yang diuji (Muntohar, 2010).]


Kajian untuk mengetahui percepatan gempa di permukaan tanah ketika gempa bumi 27 Mei
2006 di Yogyakarta menjadi menarik karena tidak terdapat data pencatatan seismik. Elnashai
dkk. (2007) membuat estimasi PGA berdasarkan rekaman seismik pada Stasiun BMG
Yogyakarta (YOGI). Percepatan gempa di permukaan tanah untuk daerah Bantul diperkirakan
berkisar antara 0,183 g hingga 0,303 g pada arah vertikal, dan 0,197 g hingga 0,336 g pada arah
horisontal. Nilai percepatan gempa di permukaan tanah mencapai maksimum di daerah dekat
patahan yaitu 0,49 g pada arah horizontal dan 0,47 g pada arah vertikal.
[Estimasi percepatan gempa di permukaan tanah (a) lokasi bangunan Masjid,
(b) lokasi bangunan Perpustakaan UMY (Muntohar, 2009).]

Menggunakan data yang disajikan oleh Muntohar (2009), Muntohar (2010) melakukan estimasi
penurunan permukaan tanah akibat likuifaksi dengan menggunakan hasil uji CPT dan teknik
mitigasi dengan menggunakan teknik kolom-kapur (lime-column). Lokasi yang diuji adalah di
dekat unit Masjid Kampus. Penurunan permukaan tanah yang terjadi diperkirakan berkisar 2,5
cm hingg 13,5 cm. Setelah mitigasi dengan kolomkapur, penurunan yang terjadi di permukaan
tanah berkurang yang besarnya bergantung pada nilai percepatan seismik permukaan tanah
maksimum.
Estimasi penurunan permukaan tanah sebelum dan sesudah mitigasi
dengan kolom-kapur (a) amax = 0,34 g, (b) amax = 0,69 g (Muntohar, 2010)

Soebowo dkk. (2007) melakukan kajian potensi likuifaksi dan penurunan permukaan tanah di
zona patahan Opak, Patalan Bantul. Analisis dilakukan berdasarkan data-data N-SPT, CPT/CPTu
dengan nilai PGA di permukaan sebesar 0,25 g, skala gempabumi Mw 6,2, jarak sumber gempa
terhadap daerah studi kurang lebih 5 - 10 km sekitar patahan aktif Opak, dan muka air tanah
setempat. Hasil analisis menunjukkan bahwa hampir semua titik telah terjadi likuifaksi dengan
kedalaman bervariasi mulai - 0.4 hingga – 6 meter.

Analisis likuifaksi dan penurunan dengan metode Ishihara dan Yoshimine (1990), dengan nilai
faktor aman diambil hasil evaluasi potensi likuifaksi dan menggunakan Software LIQIT, maka
penurunan total lapisan tanah terutama terkonsentrasi di bagian tengah Patalan, bervariasi antara
2 hingga 10 cm, dengan penurunan terbesar (> 10cm). Pola penyebaran penurunan setidaknya
sangat dikontrol oleh segmen dari patahan Opak.
Sebaran penurunan akibat likuifaksi di daerah Patalan, Bantul,
Yogyakarta dan sekitarnya (Soebowo dkk., 2007)

Tingkat kerusakan bangunan akibat pengaruh penurunan permukaan tanah karena likuifaksi
menurut Ishihara dan Yosimine (1992) seperti disajikan pada Tabel 2.1. Shibata dan Teparaksa
(1988) menyajikan rekaman peristiwa gempa bumi yang menyebabkan likufaksi dan kerusakan
bangunan. Magnitudo gempa bumi yang tercatat berkisar dari Mw 6,6 hingga Mw 7,8 dengan
percepatan seismik pemukaan tanah (amax) antara 0,1 g hingga 0,8 g.

Gempa bumi yang terjadi di Niigata, Jepang pada 16 Juni 1964 memiliki kekuatan 7,3 skala
Ritcher dengan percepatan seismik permukaan tanah maksimum 0,16 kali percepatan gravitasi
(amax = 0,16 g). Likuifaksi terjadi pada lapisan tanah pasir jenuh yang menyebabkan terjadinya
penurunan tanah. Sebagai akibatnya bangunan di atasnya mengalami kerusakan berat. Rata-rata
penurunan bangunan berkisar 90 cm pada daerah yang terdampak likuifaksi (Ishihara dan Koga,
1981).
Hubungan antara penurunan permukaan tanah dan derajat kerusakan bangunan
(Ishihara dan Yosimine, 1992)
Derajat Kerusakan Penurunan (cm) Fenomena di Permukaan Tanah
Ringan, hingga tidak ada 0 – 10 Retakan minor
Menengah 10 – 30 Retakan kecil, pasir halus keluar
dari permukaan tanah
Berat 30 – 70 Retakan besar, pasir halus
menyembur, deformasi lateral.

Metode Estimasi Potensi Likuifaksi


Prinsip dasar dalam evaluasi likuifaksi tanah adalah menghitung dua variabel utama yaitu (1)
perilaku seismik tanah atau cyclic stress ratio (CSR) yang merupakan tegangan siklik yang
menyebabkan likuifaksi dan (2) kemampuan tanah untuk menahan likuifaksi atau cyclic
resistance ratio (CRR). Estimasi nilai CRR pada tanah berpasir dapat dihitung dengan
menggunakan data lapangan dapat didasarkan pada data hasil uji penetrasi standar atau standard
penetration test (SPT), uji sondir atau cone penetration test (CPT), pengukuran kecepatan
gelombang geser atau shear wave velocity (Vs). Masing-masing jenis pengujian tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun diantara ketiga metode tersebut,
metode CPT memiliki kualitas data yang sangat baik (Youd dan Idriss, 2001; Robertson, dan
Wride, 1998).

Metode analisis likuifaksi pada awalnya adalah analisis deterministic dengan menghasilkan suatu
kurva yang mengindentifikasi suatu tanah mengalami likuifaksi atau tidak. Pada analisis
deterministik, likuifaksi akan terjadi jika nilai faktor keamanan (factor of safety, FS) kurang dari
dan sama dengan satu, FS £ 1. Faktor keamanan ini merupakan perbandingan antara CRR dan
CSR (FS = CRR/CSR). Sedangkan likuifaksi tidak akan terjadi bila FS > 1. Metode analisis
probabilistik merupakan pengembangan dari metode deterministik yang didasarkan pada derajat
ketidakpastian (uncertainties). Pada beberapa kasus yang ada, metode probabilistik ini
memberikan hasil estimasi yang lebih baik daripada metode deterministic (Juang dkk., 2002;
Cetin dkk., 2004; Moss dkk., 2006). Untuk evaluasi CSR tidak ada perbedaan dalam penelitian-
penelitian terdahulu yaitu mengacu pada persamaan (2.1) yang diusulkan oleh Seed dan Idriss
(1971) sebagaimana dituliskan dalam Robertson (2004).

(Persamaan 2.1)

Dengan  avadalah tegangan geser siklik yang didekati dengan percepatan permukaan tanah
maksimum arah horisontal (amax), g merupakan percepatan gravitasi = 9,81 m/s2, vo dan 'vo
adalah tegangan overburden vertical total dan efektif, dan rd adalah faktor pengurangan
tegangan yang merupakan fungsi kedalaman (z). Hubungan kedalaman z dan nilai rd ini,
menurut Seed dan Idriss (1971) adalah seperti disajikan pada Gambar. Secara analitik hubungan
tersebut dapat didekati dengan fungsi seperti dituliskan pada persamaan (2.2).

(Persamaan 2.2)

Dengan z adalah kedalaman dengan satuan m. Walaupun Robertson (2004) menyebutkan bahwa
persamaan (2.2) tersebut memberikan hasil estimasi yang baik, Cetin dkk. (2004) menjelaskan
bahwa estimasi rd tersebut menghasilkan nilai bias. Sedangkan untuk evaluasi CRR terdapat
beberapa usulan, namun dalam NCEER workshop pada tahun 1996 (Youd dan Idriss, 2001)
digunakan pendekatan yang dibuat oleh Robertson dan Campanella (1985) dengan beberapa
perbaikan. Gambar 2.9 menyajikan diagram alir untuk estimasi CRR. Nilai CRR adalah:
Faktor pengurangan tegangan rd dan kedalaman
(Seed dan Idriss, 1971)

Perhitungan Potensi Likuifaksi


a. Menentukan Jumlah Lapisan dan Penomoran Lapisan
Jumlah dan penomoran lapisan ditentukan berdasarkan bentang kedalaman tertentu, yang
bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan analisa dan perhitungan. Dalam penelitian ini,
perhitungan dilakukan untuk setiap lapisan dengan rentang data 1 meter kedalaman.

b. Mengestimasi Berat Volume Tanah


Estimasi berat volume tanah dilakukan dengan menggunakan grafik perilaku tanah berdasarkan
data sondir seperti yang ditunjukkan Gambar 6, kemudian hasil dari grafik tersebut
dikorelasikan ke Tabel 1 untuk mendapatkan berat volume tanah estimasi berdasarkan zona yang
diperoleh.
Tabel 1. Berat Volume Estimasi (Robertson et al., 1986) The Estimation of Unit Weight
Based Soil Description Zone Approximate of Unit Weight (kg/cm3)
1 0,00175
2 0,00125
3 0,00175
4 0,00180
5 0,00180
6 0,00180
7 0,00185
8 0,00190
9 0,00195
10 0,00200
11 0,00250
12 0,00190

c. Menentukan Tegangan Over Burden Tanah


Tegangan vertikal pada tanah dihitung dengan rumus:

σo = h × γ
dimana:
σo = tegangan vertikal tanah(kg/m2)
h = kedalaman (m)
γ = berat volume tanah (kg/m3)

d. Menentukan tegangan efektif tanah


Tegangan efektif vertikal pada tanah dihitung dengan rumus:

σo′ = σo – u = (h × γ) – (hw × γw)


dimana:
σo = tekanan efektif tanah(kg/m2)
σo = tekanan total pada tanah (kg/m2)
u = tekanan air pori (kg/m2)
h = kedalaman (m)
γ = berat volume tanah (kg/m3)
hw = kedalaman muka air tanah (m)
γw = berat volume air (kg/m3)

e. Menentukan perlawanan konus terkoreksi (qc1)


Perlawanan konus terkoreksi dihitung berdasarkan persamaan 1.

f. Menentukan Magnitude dan percepatan tanah maksimum (amax)


Magnitude gempa dan percepatan tanah maksimum digunakan dalam perhitungan cyclic stress
ratio. Parameter ini diperoleh dari data gempa Padang Pariaman tanggal 30 September 2009,
yaitu magnitude 7,6 SR dengan amax sebesar 0,28 g.

g. Menentukan faktor reduksi tegangan (rd)


Faktor reduksi tegangan dihitung berdasarkan persamaan 3.

h. Menghitung nilai Cyclic Stress Ratio (CSR)


Besarnya nilai cyclic stress ratio ditentukan berdasarkan persamaan 2.
PERHITUNGAN LIKUIFAKSI
a. Menentukan Potensi Likuifaksi berdasarkan Hubungan CSR – Perlawanan Konus
Terkoreksi
Dari hasil perhitungan yang diperoleh, dilanjutkan dengan memplot data hasil perhitungan antara
nilai CSR dan nilai perlawanan konus terkoreksi. terlihat bahwa cyclic stress ratio dan
perlawanan konus terkoreksi dati tiap kedalaman tinjaun menunjukan tanah berpotensi terhadap
likuifaksi. Hal ini ditunjukan dengan sebaran titik pada grafik di daerah likuifaksi. Sehingga
dapat diambil kesimpulan dari hasil perhitungan potensi likuifaksi dengan tinjaun 2 daerah
tersebut dapat dinyatakan terjadi Likuifaksi.

b. Menghitung Nilai Magnitude Scalling Factor (MSF)


Besarnya nilai magnitude scalling factor ditentukan berdasarkan persamaan 6, tergantung dari
nilai perlawanan terkoreksinya.

c. Menghitung Nilai FSL(Safety Factor)


Besarnya nilai FSL ditentukan berdasarkan persamaan 5. Nilai FSL yang digunakan untuk
menyatakan suatu deposit tanah aman terhadap likuifaksi adalah > 1,50. Hasil perhitungan nilai
FSL.

Metode Estimasi Penurunan Tanah


Likuifaksi akan menjadi masalah serius bila menyebabkan terjadinya keruntuhan gedung sebagai
akibat penurunan permukaan tanah selama goncangan gempa bumi. Penurunan permukaan tanah
ini terjadi pada regangan yang relative kecil (small-strain) setelah likuifaksi (postliquefaction).
Ishihara dan Yoshimine (1992) merumuskan suatu hubungan antara regangan volumterik (v),
kerapatan relative (Dr), dan factor keamanan terhadap likuifaksi (FSL) berdasarkan hasil uji
laboratorium yang dilakukan oleh Nagase dan Ishihara (1988). Hubungan tersebut disajikan pada
Gambar sebelumnya. Nilai regangan volumetrik sebagai akibat disipasi tekanan air pori saat
goncangan gempa akan digunakan untuk penghitungan penurunan permukaan tanah.

Penanggulangan Likuifaksi
Penanggulangan likuifaksi salah satunya adalah dengan mengetahui wilayah-wilayah likuifaksi
itu sendiri, sehingga kita dapat lebih memperhitungakan jika ingan membangun didaerah
tersebut. Berikut beberapa ulasan mengenai daerah-daerah likuifaksi:

Wilayah Potensi Likuifaksi Sedang


Wilayah potensi likuifaksi tingkat sedang tersebar di bagian tengah daerah penelitian meliputi
desa Srihardono dan desa Sriharjo. Wilayah ini merupakan lingkungan endapan fluvio vulkanik
dengan kondisi muka airtanahdangkal (kedalaman ; 5,4 –6,7 meter). Data lain yang
mengindikasikan daerah ini berpotensi mengalami likuifaksi dengan tingkat potensi
sedangadalah ukuran butirnya dan sortasinya. Berdasarkan hasil pola sebaran ukuran butir
menunjukkan nilai rata-rata (mean) : 0,8 – 0,9 mm tergolong endapan yang berukuran pasir
sedang dan pemilahan buruk (poorly sorted) ; 0,59-0,68 φ dan tingkat skewness yang
penyebarannya condong ke kasar.

Wilayah Potensi Likuifaksi Rendah


Wilayah potensi likuifaksi tingkat rendah merupakan wilayah potensi terluas pada daerah
penelitian. Wilayah potensi likuifaksi rendah meliputi desa Canden, desa Kebonangun dan
sebagian di sekitar kecamatan Pundong. Wilayah ini merupakan lingkungan endapan fluvio
Vulkanik dengan kondisi muka air tanah dalam (4,1 – 6,5 meter) dan didapatkan sortasi yang
buruk sehingga tingkat kurtosis adalah platikurtik. Endapan pada wilayah ini pada umumnya
terdiri atas perselingan lempung, lanau, dan lapisan pasir tipis. Endapan lempung dan lanau tidak
dikategorikan ke dalam endapan yang berpotensi terhadap likuifaksi dikarenakan sifatnya yang
mampu menyimpan air namun tidak dapat melepaskannya (permeabilitas buruk). Seed drr.
(1983) menyatakan bahwa sedimen lempung tidak akan mengalami likuifaksi apabila diguncang
oleh gempa bumi. Tetapi kehadiran lapisan pasir yang berupa lapisan tipis sebagai sisipan pada
endapan yang berbutir lebih halus merupakan lapisan yang berpotensi terhadap likuifaksi
sehingga secara garis besar wilayah ini dapat digolongkan sebagai wilayah potensi likuifaksi
rendah.
Setelah mengetahui daerah-daerah likuifikasi, dapat dilakukan usaha usaha pencegahan seperti
meningkatkan kerapatan tanah untuk menstabilkan permukaan tanah yang tunduk terhadap
pencairan, perbaikan secara kimiawi (solidifikasi) untuk meningkatkan stabilitas struktur tanah,
menurunkan derajat jenuh dengan drywatering, disspasi tekanan air pori dengan drainase, control
deformasi agar tidak terjadi kerusakan struktur, memperkuat pondasi, menggunakan flexible
joint dalam struktur untuk mengurangi bahaya likuifaksi, penggunaan geogrid untuk memperkuat
pondasi, penggunaaan sheet pile untuk embankment (timbuhan) sebagai facing atau penahan
tanah, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari hal-hal yang telah diulas sebelumnya, diketahui bahwa likuifaksi adalah suatu proses atau
kejadian berubahnya sifat tanah dari keadaan padat menjadi keadaan cair, yang disebabkan oleh
beban siklik pada waktu terjadi gempa sehingga tekanan air pori meningkat mendekati atau
melampaui tegangan vertical. Likuifaksi sendiri biasa terjadi di daerah seismic, atau daerah
dengan kepadatan tanah yang memiliki pori tanah tinggi.
Contoh fenomena likuifaksi bermacam-macam, misalnya seperti gempa bumi, tsunami, tanah
longsor, gejala peretakan dinio pada bangunan, gejala jalanan bergelombang, gejala alur dini
pada jalanan, dan lain sebagainya. Pada bidang sipil sendiri, penting untuk mengetahui
identifikasi dan potensi likuifaksi agar engineer sipil dapat menanggulangi, mempersiapkan, atau
setidaknya dapat memiliki perhitungan yang pas untuk mengatasi permasalahan likuifaksi.
Berbeda dengan permasalahan kontruksi bangunan yang dapat diprediksi kekuatannya terhadap
suatu bencana, fenomena likuifaksi tidak dapat dicegah, karena pada dasarnya kita tidak dapat
mengetahui dengan pasti kapan tanah akan mengalami penurunan, atau pencairan. Oleh karena
itu, hal yang dapat dilakukan seorang engineer adalah mengetahui identifikasi daerah-daerah
yang rawan atau senderung mengalami likuifaksi, memperhitungkan kecepatan penurunannya
melalui berbagai macam uji pori tanah, dan pada akhirnya membangun dengan perhitungan
volume dan berat yang sesuai, yang dapat diterima tanah, tanpa banyak mengalami penurunan,
dan melakukan usaha-usaha pencegahan lain demi keselamatan.

3.2 Saran

1. Seorang engineer sipil sebaiknya memahami tentang penurunan tanah, terutama pada
daerah yang rawan, agar perhitungan pembangunan tidak akan runtuh dikemudian hari.
2. Pembangunan bendungan sangat perlu diperhatikan tingat pori tanahnya, agar tidak cepat
terjadi likuifaksi.
3. Dilakukan usaha-usaha pencegahan untuk mengantisipasi likuifaksi
4. Penyusunan makalah sebaiknya disusun secara teratur dan melalui referensi sumber yang
lebih banyak, sehingga kasus yang diulas akan lebih banyak, dan pembaca mendapatkan
lebih banyak penjelasan pula.

Anda mungkin juga menyukai