ISI
Pernikahan merupakan suatu bentuk hubungan manusia yang paling agung yang
harus dipenuhi segala syarat dan rukunnya. Pernikahan menuntut adanya tanggung
jawab timbal balik yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak, suami istri,
sesuai ajaran Islam. Memenuhi hasrat seksual juga merupakan salah satu aspek
penting dari pernikahan. Dalam sudut pandang Islam, pernikahan dapat mengontrol
nafsu seksual dan menyalurkannya di tempat yang benar. (Haifaa A. Jawad, 2002:105)
Dan fungsi nikah yang lain adalah sebagai sebuah langkah preventif (mani’) bagi
terjadinya hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu perbuatan zina (prostitusi) dan
kefasikan, seperti diketahui, manusia dari kenyataan tabi’at dan nalurinya, tidak stabil
dalam menjaga kehormatan dan kemuliaannya. (Abu al-‘Ainain Badran, 2002:20-21)
Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri
seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan
dalam penyaluran naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat
negative yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari
sedini mungkin. Oleh karena itu ulama fiqh menyatakan bahawa pernikahan
merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual,
sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya. (Agus Riyadi,
2013:59) Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya QS. Ar-Rum (30):
21.
Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga
eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi siasia. Seperti
diingatkan oleh agama, pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui pernikahan,
sehingga demi memakmurkan bumi, pernikahan mutlak diperlukan. Ia merupakan
syarat mutlak bagi kemakmuran bumi. (Ali Ahmad al-Jurjawi, tt:6-7) Lebih lanjut
al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia (baca: lelaki) tidak akan rapi, tenang dan
mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada
tangan terampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut perempuan, yang
memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar.
Karena itu pernikahan disyari’atkan, kata al-Jurjawi, bukan hanya demi
memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehidupan manusia yang
teratur dan rapi dapat tercipta. Dengan demikian kehadiran perempuan di sisi suami,
melalui pernikahan sangatlah penting. (Ali Ahmad al-Jurjawi, tt:6-7).
Adapun hikmah dari pernikahan dalam islam adalah:
1. Memenuhi tuntutan fitrah
Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting untuk tertarik dengan
lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita dan sebaliknya. Ketertarikan dengan
lawan jenis merupakan sebuah fitrah yang telah Allah letakkan pada manusia. Islam
adalah agama fitrah, sehingga akan memenuhi tuntutan-tuntutan fitrah; ini bertujuan
agar hukum Islam dapat dilaksanakan manusia dengan mudah dan tanpa paksaan.
Oleh karena itulah, pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan tujuan untuk
memenuhi fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik dengan lawan jenisnya.
2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batin
Salah satu hikmah pernikahan yang penting adalah adanya ketenangan jiwa
dengan terciptanya perasaanperasaan cinta dan kasih. QS. Ar-Rum: 21 ini
menjelaskan bahwa begitu besar hikmah yang terkandung dalam perkawinan. Dengan
melakukan perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah.
Yaitu kasih sayang, ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3. Menghindari dekadensi moral
Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat, salah satunya
insting untuk melakukan relasi seksual. Akan tetapi insting ini akan berakibat
negative jika tidak diberi frame untuk membatasinya, karena nafsunya akan berusaha
untuk memenuhi insting tersebut dengan cara yang terlarang. Akibat yang timbul
adalah adanya dekadensi moral, karena banyaknya perilaku-perilaku menyimpang
seperti perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. Hal ini jelas akan
merusakfundamen-fundamen rumah tangga dan menimbulkan berbagai penyakit fisik
dan mental. (AtTurmuzi, tt:393III) 4. Mampu membuat wanita melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah yang dapat diambil dari
pernikahan, karena masih banyak hikmah-hikmah lain dari pernikahan, seperti
penyambung keturunan, memperluas kekerabatan, membangun asas-asas kerjasama,
dan lain-lain yang dapat kita ambil dari ayat al-Qur’an, hadis dan growth-up variable
society.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”.
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allâh kepadamu.
Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222)
Dari ‘Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya
(berjima’), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti
dua ekor himar. (HR Ibnu Majah)
Zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang
perempuan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syarak (bukan pasangan suami
isteri) dan kedua-duanya orang yang mukallaf, dan persetubuhan itu tidak termasuk
dalam takrif (persetubuhan yang meragukan). Macam-macam zina dan al-quran dan
hadis telah banyak dipaparkan anatara lain akan dipaparkan sebagai berikut:
1) Zina mukhshon yaitu zina yang dilakukan orang yang pernah terikat tali
ikatan perkawinan, artinya yang dilakukan baik suami, isteri duda atau janda.
Hukuman bagi pelaku zina mukhshon, yaitu dirajam atau dilempari batu sampai
ia mati.
2) Zina ghairu mukhshon yaitu zina yang dilakukan orang yang belum
pernah menikah. Hukuman bagi pelaku zina ghairu Mukhson dijilid atau
dicambuk sebanyak 100 kali dan dibuang ke daerah lain selama 1 tahun. Yang
memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara
Khilafah Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya seperti qadhi atau
hakim. Qadhi (hakim) memutuskan perkara pelanggaran hukum dalam
mahkahmah pengadilan. Dalam memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus
merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama
kali oleh qadhi adalah melakukan pembuktian benarkah pelanggaran hukum itu
benarbenar telah terjadi.
Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan Islam zina,
merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan
secara umum. Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia akan hilang
karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu pelaku
zina berarti mengingkari nikmat Allah SWT tentang kebolehan dan anjuran Allah
SWT untuk menikah.
Hukum menyetubuhi mayat menurut perspektif Fiqh adalah haram baik mayat
tersebut merupakan istri pada masa hidupnya atau bukan. Tidak ada perbedaan
pendapat dikalangan Ulama’ (hilaf) dalam permasalahan ini. Imam Abu Zakariya
Muhyiddin Yahya Ibnu Syaraf Al-Nawawi yang lebih populer dengan nama Imam
Nawawi mengutip pernyataan Syaikh Abu Hamid yang menyatakan bahwa ketika
seorang wanita telah meninggal, maka haram bagi suami wanita yang telah meninggal
tersebut melihat dengan perasaan syahwat seperti diharamkannya seorang laki-laki
melihat wanita lain. Namun apabila suami wanita yang telah meninggal tersebut
melihat tidak dengan perasaan syahwat, maka hukumnya adalah sama dengan pada
masa hidupnya (tidak haram).
Bersenggama dengan binatang, dalam bahasa Arab disebut dengan ityanul bahaim
dalam artian hubugan seksual dengan hewan. Perbuatan ini termasuk perbuatan tercela
yang dilarang oleh agama Islam. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa kalian dapati sedang menyetubuhi binatang, maka bunuhlah
ia dan bunuhlah binatang tersebut.” Dikatakan kepada Ibnu Abbas, “Mengapa
binatang itu juga dibunuh?” Dia menjawab, “Aku tidak mendengar dari Rasulullah
saw. apa alasannya. Akan tetapi aku melihat beliau benci memakan dagingnya atau
memanfaatkannya sementara telah dilakukan perbuatan nista tersebut
terhadapnya,” (Shahih, HR Abu Dawud [4664]).
Homoseksual adalah sejelek-jelek perbuatan keji yang tidak layak dilakukan oleh
manusia normal. Allah telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan,
dan menjadikan perempuan sebagai tempat laki-laki menyalurkan nafsu bilogisnya,
dan demikian sebaliknya. Sedangkan prilaku homoseksual keluar dari makna tersebut
dan merupakan bentuk perlawanan terhadap tabiat yang telah Allah ciptakan itu.
Prilaku homoseksual merupakan kerusakan yang amat parah. Padanya terdapat
unsur-unsur kekejian dan dosa perzinaan, bahkan lebih parah dan keji daripada
perzinaan. Para alim ulama telah sepakat tentang keharaman homoseksual. Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya telah mencela dan menghina para pelakunya. “Dan
(Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata
kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? ‘Sesungguhnya
kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan
kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampui batas” [Al-A’raf/7: 80-81]
Ibnu Qudamah berkata dalam kitabnya Al-Mughni (10/162), “Jika telah bergesek dua
wanita maka keduanya melakukan zina yang terlaknat” berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasanya Beliau
Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang wanita mendatangi
(menyetubuhi) seorang wanita maka keduanya berzina.” tidak ada batasan dalam hal
ini pada keduanya karena tidak ada ilaj (Ilaj ( ) ِإيْالجialah masuknya kepala zakar pria
pada kemaluan wanita.) ( ) ِإيْالجdi dalamnya.
Al-Hawa atau syahwat adalah tabiat yang telah ada pada diri manusia yang tidak
dapat dimusnahkan, karena sifat tersebut sudah tertanam pada diri manusia. Oleh
karena itu manusia tidak diperintahkan oleh Allah untuk membunuh syahwatnya,
karena sudah pasti itu tak akan pernah bisa. Namun manusia diperintahkan Allah
untuk memimpin hawa nafsunya dengan kekuatan iman dan akal sehat mereka. Agar
hawa nafsu tersebut dapat dikendalikan dan diarahkan sesuai dengan syari’at agama
Allah Ta'ala. Dalam hal ini Allah Ta'ala memerintahkan kita agar menempa jiwa dan
berupaya mengendalikan hawa nafsu. Sebagaimana Firman Allah Ta'ala yang artinya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
Jiwanya dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya)". (QS. An-Nazi’at: 40-41).
Maksud dari menahan Jiwa dari keinginan hawa-nafsu atau syahwat menurut Tafsir
Al-Jalalain bahwa yang dimaksudkan adalah “orang yang senantiasa mengendalikan
diri dari mengikuti kehendak hawa nafsunya”. Kemudian menurut Tafsir Ibnu
Katsir yang dimaksudkan adalah “orang-orang yang senantiasa takut dengan Allah
‘Azza wa Jalla dan dengan ketentuan hukum-Nya”. Sehingga ia mengendalikan
jiwanya (atau dirinya) dari kungkungan syahwat-nya dan berusaha untuk senantiasa
taat kepada Allah Ta'ala.