Anda di halaman 1dari 31

PNEUMOTORAKS

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

PERIODE 2016/2017

Oleh:

YUSUF TABUNI

0120840299

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2017

i
PNEUMOTORAKS

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

guna Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

YUSUF TABUNI

0120840299

Dosen Pembimbing:

1. dr. Guntur M, Sp.PD


2. dr. Jimmy V. John Sembay, Sp.F

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima oleh Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura,
Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Pada
Hari : Jum’at
Tanggal : 13 Januari 2017

Mengesahkan
Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran
Universitas Cenderawasih

Ketua KTI Sekretaris KTI

dr. Ferdinand M. Djawa, Sp.PA Venthy Angelika, S.Psi., M.A


NIP: 196610302005011001 NIP: 198709262015042003

Tim Penguji
1. dr. Guntur M, Sp.PD 1. ………………..
NIP:
2. dr. Jimmy V. John Sembay, Sp.F 2. ………………..
NIP: 1977121822009121002
3. ……………….. 3. ………………..
NIP:
4. ……………….. 4. ………………..
NIP:

HALAMAN PERSEMBAHAN

ii
Ku persembahkan karya tulis ilmiah ini kepada:

1. Allah yang dengan atas izin-Nya lah maka penulis masih diberi kesempatan

untuk menikmati indahnya segala karunia, terutama kesempatan untuk

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.


2. Keluarga tercinta,
3. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura yang telah

memberikan banyak sumbangsih kepada saya.


4. Sahabat-sahabatku tersayang yang selalu ada dalam suka dan duka

terimakasih atas semangat, dukungan, dan masukkannya.


5. Teman-teman Fakultas Kedokteran terkhusus Angkatan 2012.
6. Almamaterku, Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura.

KATA PENGANTAR

iii
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridhoNya penulis dapat

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran.

Penulis menyadari bahwa penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini banyak bantuan

dari berbagai pihak. Karena itu penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan

sebesar-besarnya, dengan harapan Allah SWT akan memberikan pahala yang

sesuai dengan ketulusan hati yang telah memberikan bantuan dan dorongan

sampai selesainya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih dan perhargaan setinggi-

tingginya kepada yang terhormat :

1. Dr. Onesimus Sahuleka, SH, M.Hum., Rektor Universitas Cenderawasih

Jayapura.
2. dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Cenderawasih Jayapura.
3. dr. Wendy M. Posumah, Sp.KK, M.Kes sebagai Dosen pembimbing I.
4. dr. Jimmy V. John Sembay, Sp.F sebagai Dosen pembimbing II.
5. Kedua orang tua penulis dan seluruh keluarga atas segala dukungan, perhatian

dan kasih sayang yang telah diberikan.


6. Semua sahabat dan kerabat yang banyak membantu selama penulisan Karya

Tulis Ilmiah ini.


7. Seluruh teman-teman Fakultas Kedokteran terkhusus Angkatan 2012.

Karya Tulis Ilmiah ini tentu saja masih banyak kekurangan, oleh karena itu

saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan

Karya Tulis Ilmiah ini. Akhirnya penulis berharap semoga Karya Tulis Ilmiah ini

dapat dijadikan bacaan yang berguna bagi pihak-pihak yang terkait.

Jayapura, Januari 2017

iv
Penulis

DAFTAR ISI

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.

vi
DAFTAR SINGKATAN

PSP = Pneumotoraks Spontan Primer


PSS = Pneumotoraks Spontan Sekunder

vii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam keadaan normal udara tidak masuk kedalam rongga pleura karena

tidak ada komunikasi antara rongga dan atmosfer atau alveolus. Namun, jika

dinding dada tertusuk misalnya oleh luka tusuk atau iga yang patah, udara

mengalir menuruni gradien tekanan dari tekanan atmosfer yang lebih tinggi

ke dalam rongga pleura. Keadaan abnormal masuknya udara ke dalam rongga

pleura dikenal dengan pneumotoraks (“udara dalam dada”). (Sherwood, 2011:

505)

Tanda dan gejala pneumotoraks yang paling umum adalah nyeri dada dan

bahu serta dispnea. Jika pneumotoraks terjadi secara luas dan menekan

bagian paru yang fungsional (tension pneumothorax), distres pernapasan

hebat dan sianosis dapat terjadi. (Marcdante, 2014: 550)

Berdasarkan klinisnya pneumotoraks dapat digolongkan sebagai

Pneumotoraks Spontan Primer, Pneumotoraks Spontan Sekunder, Trauma

Pneumotoraks dan Tension Pneumotoraks. (Hisyam, 2015: 1643)

Sebagai lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis klinik dan

memberikan terapi pendahuluan pada pasien pneumotoraks demi

menyelamatkan nyawa, mencegah keparahan dan kecacatan pada pasien.

(SKDI, 2012: 31)


1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah mekanisme terjadinya pneumotoraks ?


2. Bagaimanakah mendiagnosis pneumotoraks ?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan pneumotoraks ?

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya pneumotoraks.


2. Untuk mengetahui diagnosis pneumotoraks.
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pneumotoraks.

1.3. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis
Dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk proses pembelajaran

mengenai penyakit tidak menular khususnya pneumotoraks dan Karya

Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan bahan masukan bagi penulisan selanjutnya di Fakultas

Kedokteran Universitas Cenderawasih khususnya tentang pneumotoraks

dan sebagai bahan bacaan ilmiah di perpustakaan Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih.
BAB II ISI

Definisi

Pneumotoraks adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga pleura

dari dada antara paru-paru dan dinding dada. (Hisyam, 2015: 1642)
Berdasarkan klinisnya pneumotoraks dapat digolongkan sebagai:

Pneumotoraks Spontan Primer (PSP)

Pneumotoraks yang terjadi pada orang sehat tanpa disertai penyakit

paru, terjadi pada remaja dan dewasa muda, lebih sering pada pria

yang berbadan tinggi langsing dan merokok. (Marcdante, 2014: 550)

Pneumotoraks Spontan Sekunder (PSS)

Pneumotoraks spontan sekunder merupakan konsekuensi dari

ruptur semua lesi paru yang terletak dekat dengan permukaan pleura

dan memungkinkan udara yang terinspirasi mempunyai akses ke

rongga pleura. Lesi paru tersebut antara lain emfisema, abses paru,

tuberkulosis, karsinoma dan banyak hal lain yang lebih jarang terjadi.

Ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi juga dapat memicu PSS.

(Kumar, 2015: 505)

Trauma Pneumotoraks

Pneumotoraks terjadi karena ada hubungan terbuka antara rongga

dada dan dunia luar. Hubungan ini mungkin melalui luka di dinding

dada yang menembus pleura parietalis atau melalui luka di jalan napas

yang sampai ke pleura viseralis. (Sjamsuhidajat, 2016: 504)

2.1.1. Tension Pneumotoraks


Suatu pneumotoraks yang merupakan salah satu kegawat daruratan

pada cedera dada. Pneumotoraks dengan tekanan dalam rongga pleura

yang lebih tinggi daripada tekanan atmosfer, hal ini dapat terjadi

ketika udara masuk dengan tekanan positif, seperti ketika ditimbulkan

oleh ventilasi tekanan positif, atau ketika jaringan disekitar lubang

rongga pleura akan menggeser mediastinum ke sisi yang berlawanan

sehingga mengganggu respirasi. (Newman, 2010: 1716).

2.2. Epidemiologi

Pneumotoraks spontan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada

perempuan. (Hisyam, 2015: 1642) Di Amerika Serikat insidensi PSP adalah

7,4 per 100.000 pada laki-laki dan 1,2 per 100.000 pada perempuan

sedangkan insidensi PSS 6,3 per 100.000 pada laki-laki dan 2 per 100.000

pada perempuan. (Al-Azzawi, 2015: 19)


Risiko kambuhnya tergantung pada penyakit paru-paru yang mendasari.

Setelah episode kedua telah terjadi, ada kemungkinan lebih tinggi episode

berikutnya. Perokok memiliki risiko tertular penumotoraks spontan pertama

sekitar 9 kali lipat antara perempuan dan 22 kali lipat antara laki-laki

dibandingkan nonperokok. Kejadian pada anak-anak belum diteliti dengan

baik, tetapi mungkin lebih rendah dari orang dewasa dan sering

mencerminkan mendasari penyakit paru-paru. (Hisyam, 2015: 1642)


Secara epidemiologi, insidensi pneumotoraks bervariasi di setiap negara,

statistik Inggris telah mengungkapkan suatu kematian tahunan sebesar 1,26

per juta per tahun pada pria dan 0,62 pada wanita, kematian lebih tinggi pada

orang tua dan mereka dengan PSS. (Hisyam, 2015: 1642)


Etiologi

Pneumotoraks Spontan

1.3.1.1. Pneumotoraks Spontan Primer


Pneumotoraks spontan primer merupakan pneumotoraks

yang terjadi pada paru-paru yang sehat dan tidak ada pengaruh

yang mendasari. Penyebab pasti PSP tidak diketahui, tetapi

faktor risiko yang dibuat termasuk jenis kelamin laki–laki,

merokok dan riwayat keluarga pneumotoraks berbagai

mekanisme yang mendasari. (Hisyam, 2015: 1644)


1.3.1.2. Pneumotoraks Spontan Sekunder
Pneumotoraks spontan sekunder merupakan pneumotoraks

yang terjadi pada pengaturan dari berbagai penyakit paru-paru.

Yang paling umum adalah penyakit paru obstruktif kronik

yang menyumbang sekitar 70% dari kasus. (Hisyam, 2015:

1644)

1.3.2. Pneumotoraks Traumatik

1.3.2.1. Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik


Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik merupakan

pneumotoraks yang terjadi akibat pembukaan rongga paru

secara paksa saat tindakan diagnosis atau terapi invasif

dilakukan. Prosedur medis dada (iatrogenik), seperti

pengambilan sampel biopsi dari jaringan paru-paru,

memasukan kateter vena sentral menjadi salah satu pembuluh

darah dada, dapat menyebabkan cedera pada paru–paru dan

pneumotoraks resultan. (Hisyam, 2015: 1644)


Pemberian ventilasi tekanan positif, baik ventilasi mekanis

atau ventilasi non-invasif, dapat mengakibatkan barotrauma


(cedera tekanan-terkait) mengarah kesuatu pneumotoraks.

(Hisyam, 2015: 1644)


1.3.2.2. Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik
Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau

tajam yang merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada

trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk kerongga

pleura langsung ke dinding toraks atau menuju pleura viseralis

melalui cabang–cabang trakeobronkial. Mekanisme yang

paling umum adalah tertusuknya pleura oleh tulang rusuk yang

patah. (Hisyam, 2015: 1644)

2.3.3. Tension pneumotoraks

Tension pneumotoraks terjadi akibat kerusakan yang menyebabkan

udara masuk kedalam rongga pleura dan udara tersebut tidak dapat

keluar, keadaan ini disebut fenomena ventil. Pneumotoraks dengan

tekanan dalam rongga pleura yang lebih tinggi daripada tekanan

atmosfer, hal ini dapat terjadi ketika udara masuk dengan tekanan

positif, seperti ketika ditimbulkan oleh ventilasi tekanan positif, atau

ketika jaringan disekitar lubang rongga pleura akan menggeser

mediastinum ke sisi yang berlawanan sehingga mengganggu respirasi.

(Newman, 2010: 1716)

1.4. Mekanisme terjadinya Pneumotoraks

Rongga dada adalah ruang kosong yang berisi paru-paru. Paru-paru secara

fisik terhubung pada hilus, dimana saluran udara dan pembuluh darah

memasuki paru. Mereka tetap meningkat di dalam rongga dada karena

tekanan di dalam ruang pleura adalah hampir konsisten negatif sepanjang


siklus pernapasan, efektif mengisap paru-paru ke dinding dada. Tekanan

negatif biasanya tidak memungkinkan udara masuk rongga pleura karena

tidak ada koneksi alami untuk ruang yang berisi udara, dan tekanan gas dalam

aliran darah terlalu rendah untuk mereka yang akan dirilis ke ruang pleura

(Hisyam, 2015: 1644).


Pneumotoraks itu hanya bisa berkembang jika udara diizinkan masuk, baik

melalui kerusakan pada dinding dada, atau kerusakan pada paru-paru itu

sendiri, atau kadang-kadang karena mikroorganisme dalam ruang

menghasilkan gas. (Hisyam, 2015: 1644)


Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru

yang mendasari, kasus PSP sering dihubungkan dengan faktor risiko merokok

yang mendasari pembentukan bula subpleural. Mekanisme pembentukan bula

terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok yang kemudian

diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan

ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-antioksidan

serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses inflamasi.

Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran udara

ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan

pneumomediastinum. Tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura

parietalis pars mediastinum rupture sehingga terjadi pneumotoraks. (Hisyam,

2015: 1644)
Pada pneumotoraks spontan primer, setelah udara telah berhenti memasuki

rongga pleura, maka secara bertahap diserap kembali secara spontan.

Perkiraan tingkat resorpsi berkisar antara 1,35% dan 2,2% volume rongga per

hari. Ini berarti bahwa paru-paru benar-benar runtuh secara spontan akan

reinflate selama jangka waktu sekitar 6 minggu. (Hisyam, 2015: 1644)


Pneumotoraks spontan sekunder terjadi akibat kelainan atau penyakit paru

yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan

alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan

berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan

pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura

parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks.

(Hisyam, 2015: 1644)


Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun

non-penetrasi. Trauma tumpul (kontusio) pada dinding dada juga dapat

menimbulkan pneumotoraks. Bila teradi pneumotoraks, paru akan

mengempes karena tidak ada lagi tarikan keluar dinding dada. Pengembangan

dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru

yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura

yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan

ventilasi pada bagian yang mengalami pneumotoraks. (Hisyam, 2015: 1644)


Tension pneumotoraks terjadi karena pembukaan yang memungkinkan

udara untuk memasukkan fungsi ruang pleura seperti katup, dan dengan

setiap napas lebih banyak udara masuk dan tidak dapat melarikan diri

sehingga menyebabkan hipoksia berat dengan penurunan resultan tekanan

darah dan tingkat kesadaran. (Hisyam, 2015: 1644)

2.5. Penegakan Diagnosis

2.5.1. Anamnesis

Pada pneumotoraks keluhan yang ditemukan nyeri dada hebat tiba-

tiba pada sisi paru terkena khususnya pada saat bernafas dalam atau

batuk. Sesak dapat sampai berat kadang bisa hilang dalam 24 jam,
apabila sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali, mudah

lelah pada saat beraktivitas maupun beristirahat. Warna kulit yang

kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen. (Marcdante, 2014:

550)

2.5.2. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi : Dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan

nafas, tertinggal pada sisi yang sakit.


b. Palpasi : Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau

melebar, iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat dan

fremitus suara melemah atau menghilang.


c. Perkusi : Terdengar hipersonor atau bunyi timpani dan fremitus taktil

berkurang hingga tidak terdengar di daerah udara pleura.


d. Auskultasi :Bunyi napas yang terdengar dengan stetoskop mungkin

akan berkurang pada sisi yang terkena, seperti udara dalam rongga

pleura mengimbangi suara. (Bickley, 2009: 249)

2.5.3. Mengukur Pneumotoraks

Dalam pedoman baru pneumotoraks yang dibagi menjadi kecil dan

besar tergantung pada kehadiran rim terlihat >2 cm atau <2 cm antara

paru-paru margin dan dinding dada. Karena volume suatu

pneumotoraks mendekati ke rasio kubus dari diameter paru-paru

dengan diameter hemithoraks, pneumotoraks dari 1 cm pada foto

toraks PA menempati sekitar 27% dari hemithoraks, jika volume

hemithoraks paru-paru adalah 9 cm dan diameter yang hemithoraks 10

cm : ( 103 – 93 ) / 103 = 27%. Demikian pula, 2 cm radiografi

pneumotoraks menempati 49%. Untuk mengukur suatu pneumotoraks

dapat digunakan rumus sebgai berikut Y = 4,2 + [ 4,7(A+B+C)],


dimana Y adalah presentase dari pneumotoraks. (Hisyam, 2015:

1647).

2.5.4. Pemeriksaan Penunjang

2.5.4.1. Roentgen Toraks

Secara tradisional suatu radiograf polos dada, idealnya

dengan sinar – X yang diproyeksikan dari belakang

(posteroanterior), biasanya dilakukan dalam inspirasi.

(Hisyam, 2015: 1645)

Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan

bayangan radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru

(avascular pattern) dengan batas paru berupa garis radioopak

tipis berasal dari pleura viseralis. Jika pneumotoraks luas,

akan menekan jaringan paru kearah hilus atau paru menjadi

kuncup atau kolaps didaerah hilus dan mendorong

mediastinum kearah kontralateral. (Rasad, 2015: 120)


Gambar 1. Pneumotoraks, tampak bayangan radiolusen
seluruh hemitoraks dekstra tanpa struktur vaskuler paru dan
jaringan paru yang kolaps dibagian sentral. (Dikutip dari:
Rasad, 2015: 121)

Gambar 2. Parsial Pneumotoraks tampak sebagian


hemitoraks dekstra perifer memperlihatkan bayangan
radiolusen. (Dikutip dari: Sjahriar, 2015 : 121)

Gambar 3. Pneumotoraks tension tampak kolaps paru dekstra


dan pergeseran mediastinum ke sinistra. (Dikutip dari:
Pradip, 2007: 44)

2.5.4.2. Ultrasonography
Ultrasonography umumnya digunakan dalam evaluasi

orang – orang yang telah berkelanjutan trauma fisik, misalnya

dengan protocol FAST USG mungkin menjadi lebih sensitif,

dari dada sinar – X di identifikasi pneumotoraks setelah

trauma tumpul. (Hisyam, 2015: 1646)

2.5.4.3. Computed Tomography Scan ( CT-Scan)

Computed Tomography Scan dapat digunakan dalam

identifikasi lesi paru–paru. Dalam pneumotoraks primer

membantu mengindentifikasi blebs atau lesi kistik dan di

pneumotoraks sekunder dapat mengidentifikasi sebagian

besar penyebabnya. (Hisyam, 2015: 1645)

2.6. Diagnosis Banding

2.6.1. Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,

distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus

respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru

dan gangguan pertukaran gas setempat. Penyebab pneumonia yaitu

infeksi dari kuman Streptococcus pneumonia. Tanda-tanda

pemeriksaan fisik pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa

demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang

pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). (Alwi, 2016: 761)

2.6.2. Efusi pleura


Terkumpulnya cairan dirongga pleura disebut efusi pleura. Kelainan

ini disebabkan oleh gangguan keseimbangan antara produksi dan

absorpsi. (Sjamsuhidajat, 2016: 508)


Pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dada tidak simetris,

perkusi redup, fremitus menghilang, suara napas melemah-hilang,

trakea terdorong kekontralateral. (Bickley, 2009: 249)

2.7. Terapi Pneumotoraks (GANTI KE BAWAH 2.7 )

2.7.1. Konservatif

Secara umum, pneumotoraks yang ringan dengan kolaps kurang

dari 20% tidak membutuhkan terapi. Udara pada pleura akan terserap

dan kemudian terjadi perluasan paru. (Pradip, 2007: 45)


Pneumotoraks spontan sekunder hanya diperlakukan konservatif

jika ukuran sangat kecil (1 cm) dan ada gejala terbatas, masuk ke

rumah sakit biasanya dianjurkan dan oksigen diberikan pada tingkat

aliran tinggi dapat mempercepat resorpsi. (Hisyam, 2015: 1646)

Gambar 4. Tatalaksana Pneumotoraks Spontan. (Dikutip dari: Alwi, 2016:


761)
2.7.2. Penatalaksanaan Tension Pneumotoraks

2.7.2.1. Needle Thoracostomy

Manajemen tradisional tension pneumotoraks adalah

dekompresi dada emergensi dengan needle toracostomy.

Jarum ukuran 14-16 G ditusukan pada Intercostals Space

(ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum

dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan melalui

spuit yang terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan

kanul dibiarkan terbuka diudara. Udara yang keluar

dengan cepat dari dada menunjukkan adanya tension

pnuemotoraks. Manuver ini mengubah tension

pneumotoraks menjadi simple pneumotorak. (Alson,

2014: 1-3)

2.7.2.2. Water Seal Drainage ( WSD)

Sebuah tabung dada (tabung thoracostomy dalam

kedokteran inggris atau drain interkostal) adalah plastik

tabung fleksibel yang dimasukkan melalui bagian

samping dada keruang pleura. Hal ini digunakan untuk

menghilangkan udara, cairan atau nanah dari ruang

intrathoracic. (Hisyam, 2015: 1648)

2.7.2.2.1. Indikasi pemasangan Water Seal Drainage:

1. Pneumotoraks : Akumulasi udara dirongga pleura;


2. Hematotoraks : Akumulasi darah dalam rongga

pleura;
3. Efusi pleura : Akumulasi cairan dalam ruang

pleura;
4. Chylothorax :Kumpulan cairan limfatik dalam

ruang pleura;
5. Empiema toraks : Infeksi pyogenic dari ruang pleura;
6. Hydrothoraks : Akumulasi cairan serosa dalam

ruang pleura (Tanto, 2014: 269).


2.8.2.2.1 Kontraindikasi pemasangan Water Seal Drainage:
1. Keadaan menempelnya paru pada dinding dada;
2. Giant bullae pada paru;
3. Kelainan pembekuan darah atau dalam terapi antikoagulan.
2.8.2.2.2 Komplikasi pemasangan Water Seal Drainage:
1. Infeksi;
2. Laserasi parenkim paru;
3. Laserasi organ intra-abdomen;
4. Perdarahan;
5. Re-expansion pulmonary edema (REPE);
6. Emfisema subkutis (Hisyam, 2015: 1650).
2.8.2.2.3 Alat dan Bahan
1. Sarung tangan steril
2. Duk steril
3. Spuit 5 steril
4. Pisau bedah steril
5. Klem arteri lurus 15-17 cm steril
6. Needle holder
7. Jarum cutting
8. Benang sutera no. 2.0
9. Selang dada (chest tube), ukuran minimal 28-30 F untuk

dranaise cairan, 20 -24 F untuk drainase udara, Pemilihan

selang dada berdasarkan usia:


a. Bayi dan anak kecil : 8-12 F
b. Anak dan dewasa muda : 16-20 F
c. Dewasa : 24-32 F
d. Dewasa berbadan besar : 36-40 F (Tanto, 2014: 269).

2.8.2.2.4 Teknik Pemasangan Water seal drainage


1. Posisi pasien diusahakan duduk, apabila tidak bisa duduk,

setengah duduk, dan bila masih tidak mungkin, berbaring

dengan sedikit miring ke sisi sehat;


2. Tentukan dan tandai lokasi insersi, biasanya setingkat

puting payudara pada laki-laki, yakni sela iga V sebelah

anterior dari linea midklavikularis ipsilateral;


3. Lakukan tindakan asepsis, anestesi lokal dengan infiltrasi

lidokain, dan pemasangan duk steril pada lokasi yang telah

ditandai;
4. Buat insisi transversal 2-3 cm menembus jaringan subkutan

secara tumpul, tepat diatas iga;


5. Lakukan tusukan pleura parietal dengan ujung klem sambil

jari diletakkan ke dalam insisi untuk mencegah cedera pada

organ lain dan untuk membersihkan perlekatan dan bekuan

darah;
6. Selang torakostomi diklem pada ujung proksimal dan

dimasukan kedalam rongga pleura dengan panjang yang

diinginkan. Selang diarahkan ke posterior sepanjang

dinding dalam dada;


7. Apabila terdapat aliran udara pada selang dada seiring

pernapasan, sambungkan ujung selang dengan peralatan

water seal drainage;


8. Selang dijahit pada kulit dan ditutup dengan kassa serta

plester;
9. Roentgen dada dilakukan untuk evaluasi pemasangan water

seal drainage. (Tanto, 2014: 270)


Gambar 5. Lokasi insisi Water Seal Drainage. (Dikutip dari:

Tanto, 2014: 270)

Gambar 6. Teknik Pemasangan Selang Water Seal Drainage dan

WSD yang telah terpasang. (Dikutip dari: Tanto, 2014: 270)


Gambar 7. Sistem Water Seal Drainage. (Dikutip dari: Tanto,

2014: 269)

2.8.2.6. Hal-hal yang perlu diperhatikan :

1. WSD berfungsi baik. Hal ini ditandai dengan adanya undulasi

(oscilasi) sesuai dengan gerakan respirasi. Undulasi hilang bila

selang tersumbat atau bila paru sudah mengembang sempurna;

2. Adanya gelembung udara menunjukkan adanya pneumotoraks atau

fistel bronkopleura. Ukuran fistel dapat ditentukan pada saat

timbulnya gelembung. Fistel besar apabila gelembung muncul saat

batuk, ekspirasi, dan inspirasi sedangkan fistel kecil muncul saat

batuk saja;

3. Produksi WSD;

4. Jumlah dan cairan dalam botol WSD;

5. Posisi selang yang tercelup dalam cairan botol WSD. (Tanto, 2014:

269)

2.8.2.7. Indikasi pelepasan WSD antara lain:

1. Paru telah mengembang dengan baik, yang dibuktikan secara klinis

ditemukan keluhan sesak berkurang, laju pernapasan menurun dan

saturasi meningkat. Radiologis menggunakan Roentgen dada dapat

ditemukan corakan bronkovaskular paru hingga ke perifer dan tidak

terdapat bayangan avascular;

2. Produksi cairan bersifat serosa (kualitatif) dengan jumlah

(kualitatif):

a. Dewasa : <100cc/24 jam


b. Anak >6 th : <25-50 cc/24 jam
3. Tidak ditemukan gelembung udara. Menandakan menutupnya

fistula bronko-pleura

4. Pastikan selang WSD tidak tersumbat atau tertekuk.

5. Selang WSD sebaiknya dilepas sedini mungkin. Pada umumnya

setelah 24-72 jam pemasangan. ( Tanto, 2014: 269)

2.8. Komplikasi

Terdapat beberapa kemungkinan komplikasi pneumotoraks. Kebocoran

seperti katup bola (ball-valve) dapat menciptakan pneumotoraks bertekanan

yang menggeser mediastinum. Bahaya pada sirkulasi paru dapat terjadi dan

bisa fatal. Jika katup bocor dan paru tidak mengembang dalam beberapa

minggu, begitu banyak skar yang dapat terjadi sehingga paru tidak dapat

mengembang penuh. Pada kasus-kasus ini, cairan serosum akan terkumpul di

rongga pleura, mengakibatkan hidropneumotoraks. Jika kolaps paru terjadi

lama, paru menjadi rentan terhadap infeksi, begitu pula dengan rongga pleura

apabila komunikasi antara kedua organ tersebut menetap. Empiema

merupakan komplikasi penting dari pneumotoraks. (Kumar, 2015: 505)

2.9. Prognosis
Prognosis pneumotoraks tergantung pada tingkat dan jenis

pneumotoraks. Sebuah pneumotoraks spontan kecil umumnya akan hilang

dengan sendirinya tanpa pengobatan. Sebuah pneumotoraks sekunder yang

terkait dengan penyakit yang mendasarinya, bahkan ketika kecil, jauh lebih

serius dan membawa kematian 15 %. Sebuah pneumotoraks sekunder

membutuhkan perawatan mendesak dan segera. Tingkat kekambuhan untuk


kedua pneumotoraks primer dan sekunder adalah sekitar 40%, kambuh

paling banyak terjadi dalam waktu 1,5 sampai dua tahun. (Hisyam, 2015:

1651)

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Mekanisme terjadinya pneumotoraks yaitu meningkatnya tekanan alveolar

sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus

dan menyebabkan pneumomediastinum. Tekanan dimediastinum akan

meningkat dan pleura parietalis pars mediastinum rupture sehingga terjadi

pneumotoraks. Pada dasarnya mekanisme terjadinya pneumotoraks adalah

sama, hanya berbeda pada etilogi terjadinya pneumotoraks.


2. Untuk menegakkan diagnosa dari Pneumotorak yaitu Anamnesa,

Pemeriksaan fisis mulai dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, dan

juga pemeriksaan penunjang menggunakan Rontgen toraks, Computed

Tomography scan, Ultrasonographi dan Mengukur pneumotoraks.


3. Penatalaksanaan pneumotoraks tergantung dari beratnya, secara umum

pneumotoraks yang ringan dilakukan tindakan konservatif dengan

pemberian oksigen pada tingkat aliran tinggi dapat mempercepat resorpsi.

Sedangkan pada manajemen tradisional tension pneumotoraks adalah

dekompresi dada emergensi dengan needle toracostomy. Pemasangan

water seal drainage pada pneumotoraks sekunder maupun tension

pneumotoraks.
3.2. Saran

1. Bagi penulis
Kiranya penulis dapat terus mengembangkan wawasan dan

pengetahuan tentang pneumotoraks, agar dapat menjadi bekal ilmu

pengetahuan yang berguna bagi penulis.


2. Bagi Institusi Pendidikan
Agar dapat memanfaatkan hasil karya tulis sebaik mungkin sebagai

sumber pengetahuan, tolak ukur dan penunjang akademis bagi para

mahasiswa calon dokter atau penulis karya tulis di masa mendatang.


3. Bagi Masyarakat
Perlu adanya kesadaran masyarakat untuk mencari informasi yang

benar mengenai Pneumotoraks. Perlu juga adanya kesadaran masyarakat

untuk segera melakukan upaya-upaya perawatan dan tatalaksana serta

langkah-langkah yang perlu diambil ketika pertama kali menghadapi

keluarga atau kerabat yang terkena pneumotoraks, untuk segera membawa

pasien ke rumah sakit.


DAFTAR PUSTAKA
UNTUK BUKU:
NAMA PENGARANG (DIBALIK, NAMA BELAKANG DULU DAHULU).
THUN. JUDUL BAB. DALAM: EDITOR. NAMA BUKU (MIRINGKAN)
EDISI.TEMPAT TERBIT. PENERBIT. HALAMAN.
Kumar, V.K., Abbas, A.K., & Aster, J.C. 2015. Sistem Saraf Pusat. Dalam:

Nasar, I.M., & Cornain, S (editor). Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9.

Singapore: Elsevier. 823-6.

Rochmah. W., & Harimurti, K. 2015. Demensia. Dalam: Setiati, S., Alwi, I.,

Sudoyo, A.W., K. Simadibrata, M., Syam, A.F (editor). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, Jilid III Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing. 3804-11.

Sherwood, L. 2012. Susunan Saraf Pusat. Dalam: Yesdelita, N (editor).

Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi 6. Jakarta: EGC.174.

UNTUK JURNAL:

NAMA PENULIS (DIBALIK, NAMA BELAKANG DULU DAHULU).

TAHUN. JUDUL JURNAL. NAMA JURNAL.HAL

Korolev, I.O. 2014. Alzheimer’s Disease: A Clinical and Basic Science Review.

Medical Student Research Journal. 04:024-027.

Alwi, I., et all. 2016. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam

Panduan Praktik Klinis. Penerbit InternalPublishing, Jakarta: 761

Hlm.
Bickley. L. S. 2009. BukuAjar Pemeriksaan fisik & Riwayat Kesehatan Bates.

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 249 Hlm.

Dorland, N.W.A. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Edisi 31, Jakarta: 1716 Hlm.

Kumar.,Abbas., & Aster. 2015. Buku Ajar Patologi Robins. Penerbit Elsevier

Saunders, Singapura: 505 Hlm.

Marcdante. J. K., et all. 2014. Nelson Imu Kesehatan Anak Esensial. Penerbit

Elsevier Saunders, Singapura: 550 – 551 Hlm.

Patel, P. R. 2007. Lecture Notes Radiologi. Penerbit Erlangga, Jakarta: 44-45

Hlm.

Rasad, S. 2015. Radiologi Diagnostik. Badan Penerbit FKUI, Jakarta: 120-121

Hlm.

Setiati, S., et all. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit

InternalPublishing, Edisi VI. Jilid II, Jakarta: 1644-1650 Hlm.

Sjamsuhidajat, R. 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta: 504 – 508 Hlm.

Anda mungkin juga menyukai