Sebelum memberi nama terhadap suatu batuan maka pada tahap pertama dan utama
harus dilakukan deskripsi atau pemerian. Nama batuan yang hanya didasarkan pada
deskripsi terhadap batuan/obyek sebagaimana adanya (objective descriptions)
disebut penamaan secara deskripsi (descriptive names). Jika data deskripsi tersebut
digunakan untuk menganalisis asal-usul kejadian batuan (genesa) dan hasil analisis
itu digunakan sebagai dasar untuk memberikan nama batuan maka hal ini disebut
penamaan secara genesa (genetic names). Apabila penamaan secara deskripsi
disatukan dengan penamaan secara genesa maka hal itu disebut penamaan secara
kombinasi deskripsi dan genesa.
Dalam melakukan deskripsi dan penamaan batuan juga memperhatikan
metoda pendekatan yang secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu pendekatan
secara mata telanjang (megaskopik), pendekatan secara mikroskopik dan
pendekatan secara kimia. Pendekatan secara mata telanjang dilakukan di lapangan
atau terhadap contoh setangan (hand specimen). Baik deskripsi maupun penamaan
secara megaskopik masih bersifat pendahuluan yang ini perlu dimantapkan dengan
pengamatan secara mikroskopik dan atau analisis kimia. Pada umumnya, deskripsi
contoh setangan hanya mampu memberi nama secara deskripsi, tetapi deskripsi
berdasar kenampakan lapangan sangat mendukung untuk memberikan nama secara
genesa. Selain warna dan komposisi mineralogi, deskripsi di bawah mikroskop juga
memperhatikan kenampakan tekstur dan struktur yang ada. Pendekatan ini
mempunyai kelemahan bila mineral pembentuknya tidak berupa kristal, tetapi
sebagian besar tersusun oleh gelas gunungapi, sehingga penamaan berdasar
komposisi mineralogi kristal tidak cukup mewakili untuk seluruh batuan yang
dideskripsi. Guna mengantisipasi kelemahan pada penamaan secara
mikroskopik tersebut diperlukan pendekatan ketiga, yaitu berdasar analisis kimia.
Dalam hal ini tekanannya pada komposisi kimia yang bersifat lebih kuantitatif
dibanding metoda pendekatan pertama dan kedua. Untuk kelengkapan penelitian
geologi pada umumnya dan deskripsi serta penamaan batuan gunungapi secara
khusus ketiga pendekatan tersebut sebaiknya dilakukan secara bersama-sama.
Dengan demikian dari kegiatan gunungapi aktif masa kini pertama-tama kita dapat
mengetahui genesanya yang meliputi sumber, proses, waktu kejadian, lingkungan
asal dan lingkungan pengendapan, kemudian melakukan deskripsi terhadap batuan
yang terbentuk secara rinci. Data deskripsi secara rinci itulah yang digunakan
sebagai dasar untuk menganalisis batuan gunungapi yang lebih tua dalam rangka
memberi nama batuan secara genesa. Metoda ini sebenarnya merupakan penerapan
salah satu prinsip geologi, yakni the present is the key to the past. Berhubung
hampir selalu dapat mengamati proses erupsi gunungapi, proses pembekuan dan
proses pengendapan bahan erupsi, serta pengetahuan itu sangat bermanfaat bagi
kepentingan sosial masyarakat maka dalam menamakan endapan/ batuan
gunungapi para ahli gunungapi lebih menitik-beratkan pada penamaan secara
genesa daripada penamaan secara deskripsi. Sebagai contoh nama-nama aliran lava,
awan panas dan lahar.
Penentuan umur batuan dapat didasarkan pada pendekatan secara stratigrafi,
paleontologi (bila mengandung fosil), dan atau metoda radiometri. Pendekatan
secara stratigrafi di lapangan bersifat relatif, misalnya lebih muda dari batuan yang
di bawahnya dan lebih tua dari batuan yang di atasnya. Pendekatan paleontologi
selain bersifat relatif juga mempunyai kisaran waktu yang panjang untuk ukuran
kegiatan volkanisme. Penentuan umur secara radiometri mampu mendapatkan nilai
umur dalam bentuk angka sekalipun ketepatannya masih memerlukan improvisasi
secara berkelanjutan. Analisis umur dengan pendekatan radiometri antara lain
dengan metoda Kalium-Argon (40K–40Ar), Argon-Argon (40Ar/39Ar), Jejak
Belah, Carbon-14, Uranium-Thorium (U-Th) dan Uranium-Lead (U-Pb). Sejauh ini
penamaan batuan gunungapi berdasar umur dan lingkungan pengendapan masih
bersifat umum, misalnya batuan gunungapi Paleogen dan batuan gunungapi darat,
sehingga analisis genesa lebih dititik-beratkan pada proses dan kemudian sumber.
Dalam penamaan batuan gunungapi secara genesa dimana kejadiannya tidak
tercatat dalam sejarah atau yang berumur lebih tua maka analisis proses dan sumber
merupakan hal yang paling tidak mudah.
Penamaan batuan gunungapi secara kombinasi deskripsi dan genesa bukan masalah
yang berarti bila sudah diketahui nama secara deskripsi dan genesa. Sebagai contoh,
jika secara deskripsi bernama andesit, secara genesa bersumber dari Gunungapi
Merapi, proses dan bentuk erupsinya berupa kubah lava, maka nama kombinasinya
dapat disebut Kubah lava andesit G. Merapi. Secara geologi dan pada batuan
gunungapi tua, karena sumbernya belum diketahui secara pasti maka penamaannya
dapat menggunakan nama geografi atau tempat dimana batuan itu tersingkap sangat
baik, misalnya aliran lava bantal basal piroksen Watuadeg. Ini mengandung arti
proses erupsinya secara mengalir (berupa aliran lava), berbentuk bantal (sekaligus
mencerminkan kejadiannya di dalam air), berkomposisi basal piroksen dan
tersingkap sangat baik di dusun Watuadeg.
Warna batuan gunungapi sangat beragam terpengaruh oleh komposisi kimia dan
mineral penyusunnya, mulai dari warna gelap umumnya untuk batuan berkomposisi
basa, abu-abu untuk batuan berkomposisi menengah dan warna terang untuk batuan
berkomposisi asam.
Mengenai struktur batuan gunungapi, untuk lava koheren dan fragmen batuan
mengikuti hukum-hukum yang berlaku di dalam batuan beku, seperti halnya
struktur masif, berlubang/berongga (vesicles), segregasi, konsentris, aliran dan
rekahan radier yang mencerminkan proses pendinginan. Pembentukan struktur di
dalam endapan/batuan bertekstur klastika (misalnya piroklastika dan epiklastika)
lebih mengikuti hukum batuan sedimen (proses pengendapan), misalnya struktur
perlapisan/laminasi, silang-siur, perlapisan pilihan, melensa, membaji, antidunes
dan lain-lain. Itulah sebabnya batuan gunungapi sebaiknya tidak dipaksakan untuk
masuk jenis batuan beku atau batuan sedimen, tetapi lebih baik dipandang sebagai
kelompok tersendiri yang berada di daerah transisi antara kedua jenis batuan utama
tersebut.
Tabel 3 Komposisi kimia oksida mayor batuan beku. LOI = loss on ignition
(habis dibakar). Fe2O3* = total oksida besi (FeO + Fe2O3).
Tabel 4. Komposisi kimia oksida mayor batuan beku setelah dinormalisisr 100 %
tanpa volatil dan LOI.
Tabel 5 Komposisi kimia oksida mayor obsidian dan pumis (batuapung) setelah
dinormalisir 100 % tanpa volatil dan LOI.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat dinyatakan bahwa batuan
klastika gunungapi adalah batuan gunungapi yang bertekstur klastika. Secara
deskripsi, terutama tekstur (bentuk dan ukuran butir), batuan klastika gunungapi
dapat berupa breksi gunungapi (volcanic breccias). konglomerat gunungapi
(volcanic conglomerate), batupasir gunungapi (volcanic sandstones), batulanau
gunungapi (volcanic siltstones) dan batulempung gunungapi (volcanic claystones).
Perlu ditegaskan di sini bahwa penggunaan kata ‘pasir’, ‘lanau’ dan ‘lempung’
hanyalah menunjukkan ukuran butir, tidak secara langsung mencerminkan sebagai
batuan sedimen epiklastika. Nama-nama tersebut dapat ditambah dengan parameter
warna, struktur dan atau komposisi tergantung aspek mana yang menonjol dan
mudah dikenali. Sebagai contoh, apabila fragmen di dalam breksi gunungapi
didominasi oleh andesit dan tidak berstruktur (masif), batuan itu dapat saja
dinamakan breksi andesit masif. Jika di dalam batupasir gunungapi yang sangat
menonjol adalah struktur berlapis, batuan itu dapat dinamakan batupasir gunungapi
berlapis (bedded volcanic sandstones).
Sill atau kubah lava bawah permukaan dicirikan antara lain oleh:
1. Bentuk terobosan pipih atau cembung menyisip secara selaras (concordant) di
antara perlapisan batuan. Bentuk itu sangat tergantung kemampuan magma
mendesak perlapisan batuan di sekitarnya. Apabila berbentuk cembung
mengakibatkan perlapisan batuan di atasnya terlipat ke atas seperti struktur
antiklin. Jika hal ini terjadi sangat dekat dengan permukaan dan di lereng
kerucut gunungapi maka bagian itu akan mengalami penggembungan
(bulging). Namun dalam beberapa hal bentuk intrusi dangkal ini bisa saja tidak
beraturan.
2. Efek kontak mirip seperti yang terjadi pada retas, hanya letaknya ada di bawah
atau di atas tubuh sill.
3. Semakin ke bagian tepi tubuh sill semakin bertekstur halus atau gelas dan di
beberapa bagian membentuk breksi (autoklastika).
4. Struktur segregasi berbentuk konsentris atau kelopak atau struktur kulit
bawang. Struktur rekahan mungkin dijumpai di bagian permukaan dengan pola
radier.
5. Tingkat kristalinitas semakin tinggi menuju ke bagian tengah tubuh sill.
Dengan kata lain komposisi gelas semakin banyak menuju ke tepi tubuh sill.
Secara genesa, Tuf adalah batuan yang tersusun oleh bahan hasil kegiatan/letusan
gunungapi, baik secara langsung (primer) maupun tidak langsung
(sekunder/reworked), berbutir halus (?? 2 mm) yang disebut abu atau debu
gunungapi (volcanic ash/ dust).
Primer: Tuf piroklastika (hidroklastika, freatomagmatika)
1. Tuf aliran piroklastika (pyroclastic flow tuffs, ash-flow tuffs)
2. Tuf jatuhan piroklastika (pyroclastic free-fall tuffs, ash-fall tuffs)
3. Tuf seruakan piroklastika (pyroclastic surge tuffs)
4. Tuf terlaskan (welded tuffs), dapat termasuk tuf aliran piroklastika atau tuf
jatuhan piroklastika.
Sekunder :
1. Tuf turbidit (klasik)
2. Tuf fluviatil, dll
Permasalahan:
Sandy tuffs, mempunyai pengertian:
1. Tuf pasir
Tuf tersusun oleh abu gunungapi berukuran butir pasir (= tuf kasar atau batupasir
tuf)
2. Tuf pasiran (?)
Tuf (berkomposisi abu gunungapi) dengan bahan penyusun tambahan
berukuran butir pasir
bahan penyusun tambahan itu hanya disebutkan ukuran butirnya tetapi tidak
jelas komposisinya
rancu dengan tuf sebagai bahan penyusun utama yang berukuran butir pasir
bila ini dipandang secara genetik sebagai pengendapan abu gunungapi yang
tercampur dengan bahan non gunungapi atau minimal non piroklastika
maka hal itu harus jelas/rinci pemeriannya
Dalam penamaan sandy tuffs atau tuffaceous sandstones para ahli geologi/
sedimentologi kadang-kadang hanya mempertimbangkan banyak atau sedikitnya
bahan gelas gunungapi, pada hal secara petrologi tuf dapat saja secara dominan
tersusun oleh gelas gunungapi (vitric tuffs), tetapi juga dapat oleh kristal (crystal
tuffs) atau fragmen batuan (lithic tuffs).
Khusus penamaan breksi tuf, para ahli ada yang berpendapat bahwa kepingan
utama tersusun oleh tuf, tetapi ada juga yang menyatakan sebagai nama untuk
batuan gunungapi bertekstur klastika dimana persentase bahan tuf, baik sebagai
fragmen maupun sebagai matriks sama atau lebih besar daripada fragmen yang lain.
Kebingungan sering juga dialami untuk penamaan tuf lapili, lapili tuf dan batulapili
(lapillistones). Pada literatur lama (misal Pettijohn, 1975), istilah abu gunungapi (??
2 mm) yang jika sudah membatu menjadi tuf, dan lapili (?: 2 -64 mm) jika sudah
membatu menjadi batulapili diperuntukkan khusus bagi batuan piroklastika.
Artinya batuan itu secara primer harus langsung dihasilkan oleh letusan gunungapi.
Sebagai bahan yang masih berupa endapan, atau masih lepas-lepas, belum
membentuk batuan, dan dihasilkan oleh kegiatan gunungapi Kuarter atau bahkan
letusan gunungapi masa kini dimana gunungapinya juga masih secara mudah/jelas
dapat ditunjukkan maka untuk menyatakan sebagai bahan/endapan piroklastika
tidak disangsikan lagi. Akan tetapi hasil kegiatan gunungapi Tersier atau yang lebih
tua yang bahannya sudah membatu dan tubuh gunungapinya sudah tidak terlihat
secara nyata, maka untuk menyatakan secara tegas bahwa tuf itu secara primer
adalah hasil langsung letusan gunungapi yang mengendap dan membatu secara
insitu, masih diperlukan banyak pertimbangan sebagai pendukungnya. Dengan
memperhatikan hal-hal tersebut dan untuk kepraktisan kerja terutama di lapangan
maka disarankan penamaan tuf, tuf lapili, lapili tuf dan batulapili didasarkan pada
pemerian saja. Namun apabila data pemerian tersebut mendukung bahwa batuan
gunungapi itu adalah bahan primer piroklastika maka penamaannya dapat
ditingkatkan secara genesa atau kombinasi antara deskripsi dan genesa.
Dengan demikian tuf lapili adalah batuan klastika gunungapi yang bahan penyusun
utamanya adalah abu gunungapi (?? 2 mm) dan bahan penyusun tambahannya
adalah lapili gunungapi (?: 2 -64 mm). Sebaliknya, lapili tuf adalah apabila
komponen berukuran lapili lebih banyak daripada abu gunungapi, sedangkan
batulapili jika bahan penyusun sangat didominasi oleh butiran lapili. Dalam banyak
hal di lapangan batulapili sama dengan breksi gunungapi dimana fragmennya
berukuran butir halus (2-64 mm).
Untuk istilah konglomerat gunungapi (volcanic conglomerates) identifikasinya
lebih mudah karena nama itu dapat diberikan kepada batuan klastika gunungapi
dimana fragmennya sudah berbentuk membulat karena proses abrasi, transportasi
atau proses-proses pengerjaan kembali lainnya. Dengan demikian konglomerat
gunungapi secara jelas sudah merefleksikan sebagai bahan rombakan atau batuan
epiklastika gunungapi atau secara sensu stricto sebagai batuan sedimen bertekstur
klastika yang bahannya berasal dari kegiatan gunungapi. Sekalipun demikian
diperlukan kehati-hatian untuk membedakannya dengan istilah aglomerat
(aglomerates), yaitu batuan gunungapi yang secara dominan tersusun oleh bom
gunungapi dan secara proses merupakan bahan lontaran dari lubang kawah sewaktu
terjadi letusan gunungapi. Sekalipun bentuk umumnya membulat, bom gunungapi
mempunyai tekstur permukaan sangat kasar, membentuk struktur pendinginan
seperti rekahan radier dan atau konsentris serta tersusun secara dominan oleh gelas
gunungapi, sebagai akibat pendinginan sangat cepat sewaktu dilontarkan dari
lubang kepundan ke udara atau ke dalam air.
Secara genesa, breksi gunungapi adalah batuan gunungapi yang merupakan hasil
fragmentasi oleh suatu sebab sehingga menjadi kepingan-kepingan berbentuk
meruncing dan berbutir kasar (? ? 2 mm). Bentuk kepingan bervariasi dari sangat
meruncing sampai dengan agak meruncing atau meruncing tanggung. Ukuran butir
kepingan juga beragam , mulai dari sekitar 3 mm sampai dengan 3 – 5 m, atau
bahkan lebih. Berdasarkan proses fragmentasinya, breksi gunungapi dibagi menjadi
empat kelompok, yakni:
1. Breksi piroklastika (hidroklastika), adalah breksi yang fragmentasinya sebagai
akibat letusan gunungapi, baik yang bersifat magmatik, freatik maupun
freatomagmatik.
2. Breksi autoklastika, adalah breksi yang fragmentasinya sebagai akibat
pembekuan magma atau lava yang sangat cepat.
3. Breksi kataklastika, adalah breksi yang fragmentasinya sebagai akibat
deformasi. Proses deformasi dapat berupa longsoran tubuh/ batuan gunungapi
atau batuan gunungapi yang tersesarkan. Breksi jenis kedua itu sering disebut
breksi sesar.
4. Breksi epiklastika, adalah breksi yang fragmentasinya sebagai akibat proses
pengerjaan kembali (oleh tenaga eksogen).
Bronto, S., 2001a, Volkanologi, Bahan ajar, Proyek Pembinaan Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat, Direkt. Pembinaan dan Pengabdian pada
Masyarakat, Ditjend. Dikti, Depdiknas, Jakarta, tidak terbit.
Bronto, S., 2001b, Volcanic debris avalanches in Indonesia, Proceed. The 3rd
Asian Sympos. On Engin. Geol. And the environ. (ASEGE), Yogyakarta, Sept. 3-
6, 449-462.
Cas, R.A.F. and J.V. Wright, 1987, Volcanic successions, Modern and Ancient,
Allen & Unwin, London, 528.
Cox, K.G., J.D. Bell & R.J. Pankhurst, 1978, The interpretation of Igneous Rocks,
George Allen & Unwin, London, 450 p.
Ewart, A., 1982, The mineralogy and petrology of Tertiary – Recent orogenic
volcanic rocks : with special reference to the andesite – basaltic compositional
range, in R.S. Thorpe (ed.), Andesite : Orogenic Andesites and Related Rocks,
John Wiley Sons Ltd., New York, ppp. 25 – 95.
Fisher, R.V., 1961, Proposed classification of volcaniclastic sediments and rocks,
Geol. Soc. Amer. Bull., 72, 1409-1414.
Fisher, R.V., 1966, Rocks composed of volcanic fragments, Earth Sci. Rev., 1,
287-298.
Fisher, R.V. and H.U. Schmincke, 1984, Pyroclastic Rocks, Springer-Verlag,
Berlin, 472.
Fisher, R. V. & G.A. Smith, (Eds.), 1991, Sedimentation in Volcanic Settings,
SEPM (Society for Sedimentary Geology), Spec. Pub. No. 45, Tulsa, Oklahoma,
USA, 257.
Glicken, H., 1986, Rockslide-debris avalanche of May 18, 1980, Mount St.
Helens Volcano, Washington, PhD thesis, Univ. of California, Santa Barbara,
303.
Macdonald, G. A., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New
Jersey, 510.
Mathisen, M.E. & McPherson, J.G., 1991, Volcaniclastic deposits: Implications
for hydrocarbon exploration, in: R.V. Fisher & G.A. Smith (Eds.): Sedimentation
in volcanic setting, SEPM (Society for Sedimentary Geology), Spec. Pub. No. 15,
Tulsa, Oklahoma, USA, 27-36.
McPhie, J., M. Doyle & R. Allen, 1993, Volcanic Textures. A guide to the
interpretation of textures in volcanic rocks, Centre for Ore Deposit and
Exploration Studies, Univ. Tasmania, 196.
Peccerillo, A. & S.R. Taylor, 1976, Geochemistry of Eocene calc alkaline
volcanic rocks from the Kastamonu area, northern Turkey, Contr, Min. Petr., 58,
63-81.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks, 3rd ed., Harper & Row Pub., New
York, 628.
Siebett, B.S., 1988, Size, depth and related structures of intrusions under
stratovolcanoes and associated geothermal systems, Earth Sci. Rev., 25, 291-390.
Streckeisen, A.L., 1980, Classification and nomenclature of volcanic rocks,
lamphrophyres, carbonatites and melilitic rocks, IUGS Subcommission on the
systematics of Igneous Rocks, Geol. Rundch., 69, 194-207.
Ui, T., 1983, Volcanic dry avalanche deposits – Identification and comparison
with non-volcanic debris stream deposits, J. Volcanol. Geotherm. Res., 22, 163-
197.
Ui, T., 1995, Characterization of debris avalanches associated with volcanic
activity, paper presented at the Workshop on Debris Avalanche and Debris Flow
of Volcano, Science & Technology Agency, National Research Institute for Earth
Scientific and Disaster Prevention, 7-11 March, Tsukuba Center Inc., Tsukuba,
Japan, pp. 15-20.
Ui, T. & H. Glicken, 1986, Internal structural variations in a debris-avalanche
deposit from ancestral Mount Shasta, California, USA, Bull. Volcanol., 48, 189-
194.
Ui, T., H. Yammoto & K. Suzuki-Tamata, 1986, Characterization of debris
avalanche deposits in Japan, J. Volcanol. Geotherm. Res., 29,231-243.
Voight, B., H. Glicken, R.J. Janda & P.M. Douglass, 1981, Catastrophic rockslide
avalanche of May 18, in P.W. Lipman & D.R. Mullineaux (Eds.), The eruption of
Mount St. Helens, Washington, U.S. Geol. Surv. Pap., 98, 347-377.
Walker, R.G. & N.P. James, 1992, Facies models. Response to sea level change,
Geol. Assoc. Canada.
Williams, H., 1941, Calderas and their origin, Univ. California, Berkely Publ.
Geol. Sci., 25, 239-346.
Williams, H. and A.R. McBirney, 1979, Volcanology, Freeman, Cooper & Co.,
San Francisco, 398.
Williams, H., F.J. Turner & C.M. Gilbert, 1953, Petrography. An Introduction to
the Study of Rocks in Thin Sections, W.H. Freeman and Co., San Francisco, 405
p.