Anda di halaman 1dari 5

Hari Terakhir Di Atlantis

Cerpen Karangan: A Rohany

Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi)

Lolos moderasi pada: 27 December 2017

Ia menyebut namanya Litos kependekan dari Merlitos. Satu-satunya korban bencana sekaligus saksi
hidup yang berhasil hanyut sampai ke Yunani. Aku mendengar kabar mengenai dirinya dari seorang
senior seprofesiku.

Sambil kami menyeruput kopi kental arabica pada cangkir tua bersama-sama siang itu, aku terus menulis
sambil mendengar cerita Litos. Cangkir tuanya kemudian diletakan di atas meja dan ia pun lanjut
berkisah.

Mungkin semua orang percaya bahwa Atlantis tak pernah ada. Tapi aku termasuk orang-orang yang
percaya, karena pernah hidup di dalamnya.

Atlantis adalah kiblat peradaban. Sebuah benua raksasa yang ada di samudera Atlantik dengan wilayah
kekuasaan mulai dari Eropa hingga Afrika. Di sana kami hidup bergelimang harta, tak ada istilah rakyat
jelata. Emas berlian sangat melimpah. Sampai-sampai emas-emas itu kami jadikan bahan baku untuk
membuat istana.

Di Atlantis kau takkan pernah menemui kemacetan. Semua orang menggunakan transportasi udara
berupa piringan raksasa yang mampu terbang ke manapun dengan kecepatan cahaya. Teknologi
berkembang pesat. Orang-orang biasanya berkomunikasi menggunakan telepati yang diajarkan ‘orang
pintar’.

Sedari kecil aku sering mengembara kelilingi ibu kota. Mataku dimanjakan oleh bangunan megah bernilai
artistik sanggat tinggi karya para arsitek termasyur abad ini. Di kanan-kiri jalan tak kutemukan pengemis
seorangpun. Jalanan mulus dan bersih tanpa sampah. Bebatuan tersusun rapi sepanjang aliran sungai
jernih. Patung legenda berjejer menghias kota. Bak Colloseum di Kota Roma, Italia.
Lain siang, lain halnya malam hari. Tempat favoritku bermain pada malam hari yakni di taman pinggiran
kota. Di sana sangatlah terang. Lampu-lampu ribuan Mega Watt bersinar seolah mentari di malam hari.
Sinarnya menembus ke sekeliling taman. Tak hanya lampu yang diam, ada pula lampu yang beterbangan.
Sumber tenaga kendaraan dari air, sedang listriknya dari tenaga udara. Terangnya Atlantis sangat
tersohor jauh sebelum julukan the City of lights disematkan pada kota Paris di Perancis ataupun Cordoba
di Spanyol pertengahan abad ke 15.

Meski sangat modern, Atlantis juga sangat subur. Pohon-pohon menjulang, sawah membentang dan
bunga-bunga bermekaran. Sistem irigasinya termutakhir, teknik pertanian dan perkebunan mereka
upgrade setiap hari. Tak ada polusi apalagi limbah. Ayahku membuat ayunan besar dan di gantung pada
pohon beringin belakang rumah kami.

Bagiku, Atlantis bagaikan negeri mimpi. Andai ada manusia yang pernah berkunjung ke surga lalu
kembali ke dunia, pastilah mereka akan berwisata ke Atlantis untuk mengobati kerinduannya terhadap
surga.

Sore hari, aku dan teman-teman biasanya bermain di peternakan. Kami bersenda gurau bersama hewan-
hewan di sana. Semuanya bisa bicara. Ada hewan yang pandai bernyanyi, mendongeng sampai ada
hewan yang mahir membacakan puisi. Para peternak biasanya menunggangi unicorn atau naga untuk
menggembala ternaknya. Sebelum digiring ke dalam rumah, kami diberi kesempatan berbincang
sebentar dengan hewan-hewan itu.

Yang paling berkesan adalah waktu kami bermain di sebuah kolam yang sangat luas. Di sana ada seekor
lumba-lumba yang sangat bijak dan suka memberi nasehat. Ia dinamai Antares. Orang-orang terbiasa
datang menemuinya. Anak-anak mengajak bermain, sedang orang dewasa meminta petuah darinya.
Karena itulah mereka menamakan tempat itu dengan nama Kolam Kebijaksanaan. Pemandangannya
mengalahkan danau Danube di Istanbul Turki.

Fasilitas serbaguna banyak terdapat di sana. Lengkap dengan penunjangnya. Orang-orang tak pernah
kesulitan untuk membeli barang, membangun perumahan, hingga mengakses informasi sekalipun.
Peralatan modern, canggih serta berspesifikasi tinggi dimiliki semua penduduk di sana. Kecerdasan
mereka diatas rata-rata. Dengan sekali melihat atau mendengar, seseorang langsung bisa menjadi
ahlinya. Setiap hari libur aku bersama teman-teman bermain game balap naga. Grafisnya sudah
hologram.

Kesehatan di sana apalagi. Penyakit yang diderita penduduk sangat ringan. Ayahku meninggal pada usia
270 tahun, ibu meninggal tepat di pesta perayaan ulang tahunnya yang ke 180. Ya, jarak usia ayah dan
ibu 90 tahun. Aku anak ke 76 dari 79 bersaudara. Kebanyakan penduduk di sana hidup dengan usia yang
sangat lama. Remaja maupun dewasa hampir terlihat sama karena awet muda. Pengobatan alternatif
sudah selevel dengan konvensional. Media pengobatan mereka menggunkan kristal, musik, wangian dan
yang lain. Biaya pengobatan juga gratis tanpa dipungut biaya.

Anak-anak tumbuh cerdas karena ada Sekolah hingga Universitas yang terakreditasi. Kau tak akan pernah
temukan grade B untuk semua lembaga pendidikan di sana. Metode belajar dari guru dan orangtua
sudah digunakan sejak masih dalam kandungan. Ilmu pengetahuan berkembang pesat. Hanya dalam
hitungan detik, penemuan baru telah hadir. Ibu pernah cerita waktu di dalam kandungan aku selalu
diperdengarkan musik olehnya untuk merangsang otak. Setelah berusia 2 tahun, aku langsung dititipkan
di sekolah cendikiawan untuk balita.

Sungguh sejahtera hidup di sana. Namun di dalam kehidupan yang begitu maju, ada satu hal yang
terlupakan dan kelak akan menghancurkan seluruh kemewahan Atlantis. Ketiadaan Tuhan dalam setiap
aktivitas mereka. Di sana tak akan kau jumpai kuil-kuil pemujaan. Mereka tidak menyembah dewa, batu
Matahari ataupun arwah para leluhur. Sombong dan angkuh adalah sifat temurun mereka.

Maka selang beberapa bulan, Atlantis lenyap tiada tersisa. Bencana Maha dahsyat, seketika merubahnya
menjadi legenda.

Aku teringat waktu itu musim kemarau. Semua orang menggunakan air seperlunya. Mereka menampung
persediaan air semenjak musim hujan pada bendungan raksasa. Tumbuhan mulai mati karena terik
matahari kian meningkat. Sebagian orang pintar berkata akan ada bencana besar yang menimpa. Namun
para penduduk tetap menjalani hari seperti biasa. Mereka yakin mampu menangani bencana sebesar
apapun dengan kecerdasan serta teknologi yang dimilikinya.
Malam itu barulah mereka percaya bahwa ada kekuatan yang melampaui hebatnya mereka. Tanah
diguncang gempa. Gunung-gunung muntah, lahar api mengalir membakar rumah dan sawah. Keluarga
tewas tertindih bangunan megah. Anak-anak menjerit, para orang tua hampir gila mencari anak mereka.
Penduduk bingung apa yang paling penting untuk di selamatkan. Kecerdasan mereka kini sudah tidak
berguna. Mereka coba memandang langit merintih memohon ampunan, tapi semua berakhir dengan
sia-sia.

Atlantis pun ditelan gelombang tinggi. Mengubur semua cerita di dalam bumi.

Seperti itulah kiranya apa yang saya rasakan pada hari-hari terakhir di Atlantis.

Litos menutup cerita dengan mata berkaca-kaca. Luapan emosi kian besar menerobos kodrat sebagai
pria tegar tanpa air mata. Tubuh kami masih menindih kursi tua reot berwarna putih dengan cat kayu
yang mulai terkikis.

Aku mencatat detail semua yang ia ucapkan. Waktu kini menunjukan pukul 9 malam. Tepat 5 jam sudah
kami berbincang di taman. Aku terpukau dengan apa yang ia jelaskan. Bagaikan menonton sebuah film
dokumenter. Narasi serta deskripsi tentang Atlantis begitu nyata dalam imajinasi.

Aku teringat dua buah buku yang pernah kupinjam dari seorang Profesor Antropologi. Kedua buku itu
masing-masing berjudul Critias dan Timaeus karya Plato pada tahun 427 – 437 SM. Hampir semua yang
diceritakan Litos sama seperti apa yang di ceritakan Plato dalam buku-buku tersebut.

Aku lantas mengambil pelajaran dari Merlitos tentang kisah penduduk di Atlantis bahwa Tuhan tak boleh
luput dalam keseharian manusia. Betapa besarnya kekuatan yang dimiliki manusia secuil pun tak mampu
menandingi kuasa Tuhan. Semakin maju sebuah peradaban tanpa dilandasi sifat ke-Ilahian dalam diri
manusianya, maka mereka senantiasa akan mendustakan Tuhan. Karena Tuhan juga memberi ujian
melalui ilmu pengetahuan.
Jangan abaikan Tuhan, jika kau tak ingin dihancurkan. Aku terus berterima kasih dan memuji Litos karena
bisa selamat dan menceritakan pengalaman hari terakhirnya di Atlantis padaku.

Saat aku hendak ingin bertanya dan mendengar cerita darinya tentang bagaimana ia bisa hanyut terbawa
ombak terombang-ambing di tengah lautan hingga terdampar di Yunani, tetiba saja datang tiga orang
pria dengan pakaian serba putih menghampiri kami menjeda diskusi. Dua orang dari mereka masing-
masing memegang segelas air putih dan 1 butir kapsul di kedua tangannya. Sedangkan yang satunya lagi
menggantungkan stetoskop di leher sambil menyentilkan jari ke jarum suntik yang ia acungkan.

“Waktu bermainnya sudahan dulu yah bapak-bapak yang terhormat. Sekarang waktunya bapak
wartawan dan bapak sejarawan kembali ke kamar masing-masing”. Katanya dengan senyum sinis yang
tersungging di bibirnya sambil mengarahkan jarum itu ke arah kami.

END.

Cerpen Karangan: Achmad Rohany

Blog: achmadrohany.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai