Anda di halaman 1dari 41

Case Report Session

TUBERKULOSIS PARU TANPA KOMPLIKASI

Oleh:

Rendi Deva Andra 1310312048

PRESEPTOR:

dr. Fadrian, SpPD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL PADANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

bakteri Mycobacterium tuberculsosis. yang dapat menyerang berbagai organ,

terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak

tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB

diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5000 tahun SM, namun kemajuan dalam

penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam 2 abad terakhir.1

Kemajuan pengendalian TB di dunia pada awalnya terkesan lambat. Pada

1882 Robert Koch berhasil mengidentifikasi Mycobacerium tuberculosis. Pada

1906 vaksin BCG berhasil ditemukan. Lama sesudah itu, mulai ditemuan Obat

Anti Tuberkulosis (OAT). Pada 1943 Streptomisin ditetapkan sebagai anti TB

pertama yang efektif. Setelah itu ditemukan Thiacetazone dan Asam Para-

aminosalisilat (PAS). Pada 1951 ditemukan Isoniazid (Isonicotinic Acid

Hydrazide; INH), diikuti dengan penemuan Pirazinamid (1952) Cycloserine

(1952), Ethionamide (1956), Rifampicin (1957), dan Ethambutol (1962). Namun

kemajuan pengobatan TB mendapat tantangan dengan bermunculan strain M.

Tuberculosis yang resisten terhadap OAT. Epidemi HIV AIDS yang terjadi sejak

tahun 1980-an semakin memperberat kondisi epidemi TB. Pada akhir tahun 1980-

an dan awal 1990-an mulai dilaporkan adanya resistensi terhadap OAT.1

Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan

Belanda namun masih terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang

kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4).

1
Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan secara nasional melalui Puskesmas.

Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi

pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Directly Observed

Treatment Short-Course, DOTS) yang dilaksanakan di Puskesmas secara

bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional diseluruh

Fasyankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan

dasar.1

TB masih merupakan beban bagi negara berkembang baik dalam segi

diagnosis maupun tatalaksana. Diperlukan kerjasama antar sektor baik kesehatan

maupun pemerintah sebagai pengatur kebijakan mengenai masalah TB.

Tatalaksana yang baik dapat menghindari terjadinya resistensi dan komplikasi

bagi pasien.

1.2 TUJUAN

Tujuan penulisan CRS ini adalah untuk memahami dan menambah

pengetahuan mengenai definisi, epidemiologi, faktor resiko, patogenesis,

diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis sebagian besar terjadi pada paru yang

mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20%

selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar.2

2.2 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah

mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Sepertiga penduduk

dunia telah terinfeksi kuman TB dan menurut regional WHO jumlah terbesar

kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia.3

WHO melaporkan pada tahun 2013 bahwa diperkirakan terdapat 8,6 juta

kasus TB pada tahu 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien

TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada diwilayah Afrika.

Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR

dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012, kasus TB pada

anak diantara seluruh kasus TB secara global menacapai 6% (530.000 pasien TB

anak/ tahun), sedangkan kematian anak yang menderita TB mencapai 74.000

kematian/ tahun.4

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun

2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab

kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa

3
penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001

menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada

golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit

TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA

positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga

perempat dari kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun.4

2.3 FAKTOR RISIKO

Faktor Risiko TB dibagi atas tiga, yaitu1

1. Faktor individu (host)

• Usia. Usia mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit TB.

Anak-anak hingga usia lima tahun memiliki kerentanan yang tinggi. Anak

dengan usia antara lima tahun hingga awal pubertas relatif tahan terhadap

infeksi TB.

• Jenis kelamin. Survei di beberapa negara menunjukkan bahwa lebih

banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Akan tetapi

penyebab pasti belum diketahui, apakah disebabkan karena perbedaan gen

terkait atau faktor gaya hidup seperti merokok, atau kemampuan untuk

mengakses layanan kesehatan.

• Daya tahan tubuh. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah,

diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan

memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Beberapa faktor lain

yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, yaitu ketergantungan alkohol,

penggunaan narkoba suntik, merokok, diabetes melitus, orang-orang

4
dengan terapi kortikosteroid, gastrektomi, dan stadium akhir penyakit

ginjal.

2. Faktor kuman (agent)

Konsentrasi kuman yang terhirup dan lamanya waktu kontak seseorang

dengan sumber penularan mempengaruhi kejadian tuberkulosis.

3. Faktor lingkungan (environment)

Ventilasi, pencahayaan, dan kepadatan hunian rumah berhubungan dengan

kejadian tuberkulosis.

2.4 PATOGENESIS

1.TUBERKULOSIS PRIMER

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut

sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana

saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan

kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

dikenal sebagai kompleks primer.3

Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis

fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

c. Menyebar dengan cara :

5
a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah

epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,

biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga

menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat

atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada

lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru

sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus

c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat

bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang

yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak

terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan

cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan

tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,

genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir

dengan cara yaitu sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya

pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,

tuberkuloma ) atau meninggal Semua kejadian diatas adalah perjalanan

tuberkulosis primer.

2. TUBERKULOSIS POST-PRIMER

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian

tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post

6
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk

tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat

menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini,

yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus

inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.3

Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai

berikut :

a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

b. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan

penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi

lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.

Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk

jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).

Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti

awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti

sklerotik). Nasib kaviti ini:

• Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang

pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas

• Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula

aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

7
• Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed

cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga

kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan


perjalanan penyembuhannya

2.5 KLASIFIKASI

1. TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,

tidak termasuk pleura (selaput paru) 3

a. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi dalam:

a) Tuberkulosis Paru BTA (+)

• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA

positif

8
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

biakan positif

b) Tuberkulosis Paru BTA (-)

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran

klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak

respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

M.tuberculosis positif

• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

b. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Ada beberapa tipe penderita yaitu :

a) Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30

dosis harian)

b) Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya

menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi

aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan berupa Infeksi

sekunder, Infeksi jamur, TB paru kambuh

9
c) Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapatkan

pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten

lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

d) Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1

bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.

Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA

positif.

e) Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik

positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau

gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.

f) Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih

positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang

baik

g) Kasus bekas TB

• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif

dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih

gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung

• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun

setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada

perubahan gambaran radiologik

10
2. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,

tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis

sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis

kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan

oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru

dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:

a. TB di luar paru ringan

Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali

tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

b. TB diluar paru berat

Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa

bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Pada pasien TB gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan,

yaitu gejala respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala

sistemik. 4

1. Gejala respiratorik

• Batuk ≥ 3 minggu

• Batuk darah

• Sesak napas

• Nyeri dada

11
Gejala respiratorik yang dialami oleh pasien sangat bervariasi, dari mulai

tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi yang

mengenai paru pasien. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check

up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita

mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi

bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.4

2. Gejala Sistemik

 Demam

 Malaise

 Keringat malam

 Anoreksia

 Berat badan menurun

3. Gejala TB ekstra paru

Gejala TB ekstra paru yang dialami pasien tergantung dari organ yang

terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang

lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa

akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat

gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya

terdapat cairan.4

2.7 DIAGNOSIS TB PARU

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,

pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan

12
terdapatnya paling sedikit satu spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai

dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis sesuai TB.5

WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan atau

isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan:5

 Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan pada

pasien dengan riwayat gagal terapi.

 Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang

tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.

 Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.

 Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.

WHO juga merekomendasi uji resistensi obat selama pengobatan

berlangsung pada situasi berikut ini:5

 Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada

akhir fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan

berikutnya. Jika hasil apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M.

tuberculosis dan uji resistensi obat atau pemeriksaan Xpert MTB/RIF harus

dilakukan.

1. Gejala Klinis

Gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala

respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala sistemik.4

• Batuk ≥ 3 minggu

• Batuk darah

• Sesak napas

• Nyeri dada

13
• Demam

• Gejala lainnya malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

2. Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari

organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung

luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit

umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada

umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen

posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat

ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,

ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada TB ekstra paru, antara lain :

 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada

auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang

terdapat cairan.

 Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,

tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-

kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold

abses”4

3. Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk

14
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor

cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar

(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi

jarum halus/BJH).4

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau

dengan cara:

• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

• Dahak Pagi ( keesokan harinya )

• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan

dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau

lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada

fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)

sebelum dikirim ke laboratorium.4

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas

objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl

0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam

pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim

ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai

dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti

laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak

dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.4

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:4

15
• Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian

tengahnya

• Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari

kertas saring sebanyak + 1 ml

• Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung

yang tidak mengandung bahan dahak

• Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman,

misal di dalam dus

• Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik

kecil

• Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan

sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi

• Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan

dahak

• Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat

laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan

pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat

dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan.4

Pemeriksaan mikroskopik:4

 Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett

16
 Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk

screening) Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih

dahulu dengan cara sebagai berikut :

a) Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan

tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%

b) Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair

sempurna • Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000

rpm

c) Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-

merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi

merah

d) Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl

2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuning-

kuningan

e) Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh

juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis )

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah

bila : 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali

negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif →

Mikroskopik positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif Interpretasi

pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau IUATLD. Bila

terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan tuberkulosis

aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali negatif tidak perlu

diulang.4

17
Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan

metode konvensional ialah dengan cara :4

• Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)

• Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk

mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis

dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi

MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya

pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran

dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

4. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.

Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada

pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-

macam bentuk (multiform).4

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah

• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular

• Bayangan bercak milier

• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik

yang dicurigai lesi TB inaktif

• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau

fibrotik

18
• Kompleks ranke

• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura Luluh Paru

(Destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan

paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik

luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit

untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik

tersebut.

• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses

penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan

dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) : a. Lesi minimal

, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih

dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua

depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra

torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti. b. Lesi luas Bila proses lebih

luas dari lesi minimal.4

5. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara

konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat

mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.4

a. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih

yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu

masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara

pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan

19
ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu

untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan

dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR

positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB,

maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan

dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.

b. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:4

 Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu

uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-

antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah

kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

 Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh

manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang

direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini

kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum

tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai

yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada

sisir yang dapat dideteksi dengan mudah

 Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji

yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi d. ICT Uji

Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik

untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis

merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang

20
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38

kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada

membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1

garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl

diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati

garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap

M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk

garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit

terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada

membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,

para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar

antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai

sebagai pegangan untuk diagnosis

c. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini

adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang

kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh

mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan

secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.

d. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta

cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu

menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis

tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada

analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah

21
e. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat

diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB),

trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar

getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi

aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi

dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis

ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan

histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil

berupa granuloma dengan perkejuan

f. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan

indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam

pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai

indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,

sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan

penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan

penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya

tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering

meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak

menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

g. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi

TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan

prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat

bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan

mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan

22
sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau

bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada

malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi

positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung

reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang

analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ

yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila

menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).

23
Agar tidak terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis, pertimbangan dokter dalam

menetapkan pemberian pengobatan berdasarkan pada:

1. keluhan, gejala, dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung ke arah TB

2. kondisi yang memerlukan pengobatan segera seperti meningitis TB, TB

milier, ko-infeksi TB/HIV, dsb.

2.8 PENGOBATAN TB PARU

Pengobatan TB yang adekuat mengguunakan OAT harus mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi. Obat harus

diberikan dalam dosis yang tepat, ditelan dalam dosis yang teratur, diawasi

langsung oleh PMO (pengawas makan obat). Pengobatan TB dibagi dalam tahap

awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.6

Pada pengobatan tahap awal, OAT diberikan setiap hari untuk

menurunkan jumlah kuman. Untuk semua pasien baru, pengobatan TB harus

diberikan selama 2 bulan. Umumnya, pengobatan yang teratur dan tanpa penyulit,

daya penularan pasien akan menurun secara signifikan dalam 2 minggu

pengobatan. Pada tahap lanjutan, pengobatan bertujuan untuk membunuh sisa

bakteri M.tb hingga pasien benar-benar sembuh dan mencegah terjadinya

kekambuhan.6

Tabel 1. OAT Lini I

24
Tabel 2. Dosis OAT

Panduan OAT menurut Program Nasional Penanggulangan TB di

Indonesia adalah:

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Kategori 2 : 2(HRZE)S/9HRZE)/5(HR)3E3

Kategori Anak : (HRZ)/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien Tb resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisis, kapreomisin, Levofloksasin,

Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu

pirazinamid dan etambutol.6

OAT disediakan dalam dua bentuk yaitu KDT (kombinasi dosis tetap) dan

kombipak. Pada OAT KDT, trdapat 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet yang

disesuaikan dengan BB pasien. Pada paket OAT kombipak, terdiri atas obat leas

isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang dikemas dalam bentuk

blister. OAT kombipak digunakan pada pasien yang terbukti mengalami efek

samping pada OAT KDT sebelumnya. Berikut table untuk masing masing OAT

KDT dan kombipak pada kategori 1 maupun 2.6

25
Tabel 3.Panduan OAT KDT kategori 1

Tabel 4.OAT kombipak kategori 1

Tabel 5.Panduan OAT KDT kategori 2

Table 6. Panduan OAT Kombipak kategori 2

26
1. Hasil Pengobatan TB

Hasil pengobatan TB dapat dilihat pada table berikut

2. Pemantauan Kemajuan dan Hasil Pengobatan TB

Pemantauan kemajuan dan hasil pengbatan pada dewasa dilaksanakan

dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis pada akhir bulan ke-2 dan

ke-5. Untuk pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dahak dua

kali yaitu sewaktu dan pagi, dinyatakan hasil dahak negatif bila keduanya

menunjukkan hasil negatif. Bila pemeriksaan menunjukkan hasil negatif, maka

pengobatan dapat dilanjutkan ke fase lanjutan dan kembali memeriksa dahak pada

akhir bulan ke-5 dan akhir pengobatan. Bila hasil dahak positif, tetap lanjutkan

pengobatan tanpa pemberian sisipan seperti program sebelumnya. Pasien

kemudian kembali memeriksakan dahak pada 1 bulan setelah fase lanjutan. Bila

27
hasil tetap masih positif, lakukan uji kepekaan obat. Bila fasilitas tidak

mendukung untuk dilakukannya uji kepekaan obat, maka obat fase lanjutan tetap

dilanjutkan dan kembali melakukan pemeriksaan pada akhir bulan ke-5.6

2.9 EFEK SAMPING OBAT

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan

tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh

karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting

dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat,

bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka

pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,

kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan

pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B

kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah

menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra)

Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang

lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT

dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan

simtomatik ialah - Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

28
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-

kadang diare

- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :

- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu

dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari

gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi

walaupun gejalanya telah menghilang

- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air

mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan

tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar dimengerti

dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai

pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)

dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini

kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.

Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

29
4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya

ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian

keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali

terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3

kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa

minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak

karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan

keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat

seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Risiko

tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.

Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan

kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera

dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka

kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan

keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba

disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan

ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang

mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu

maka dosis dapat dikurangi 0,25gr.

30
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan

pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.3

2.10 KOMPLIKASI

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum

pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah batuk darah, pneumotoraks,

gagal napas, gagal jantung, efusi Pleura.7

Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa dengan beberapa cara:

1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan

radiologi toraks. Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi

pleura TB biasanya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi primer, pada

anak-anak dan orang dewasa muda.

Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan

subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke

rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan

menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan

melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas

dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi

cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah.

Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi

tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB.

2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih

lanjut. Jarang, keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah

31
(empiema). Efusi pleura ini terjadi akibat proses reaktivasi yang

mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti rendah.

3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke

dalam rongga pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam

ruang antara paru dan dinding dada. TB dari kavitas yang memecah

mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan

disebut piopneumotoraks.

2.10 PROGNOSIS

Prognosis TB paru umumnya baik dengan pengobatan yang tepat,

ketersediaan obat dan pengawasan minum obat yang baik. Namun apabila pasien

dengan tb paru tidak diobati setelah lima tahun akan memiliki prognosis :8

 50% meninggal

 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi

 25% manjadi kasus kronis yang tetap menular

32
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. MA

No. RM : 998962

Tanggal Masuk : 26 November 2017

Tanggal Lahir : 09 November 1999

Umur : 18 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Siswa

Alamat : Kuranji, Padang

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Negeri Asal : Indonesia

3.2 Anamnesis

Seorang pasien laki-laki berumur 18 tahun datang ke RSUP Dr. M. Djamil

Padang pada tanggal 26 November 2017 dengan:

Keluhan Utama

Sesak napas yang meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Sesak napas meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak

nafas tidak menciut. Sesak napas tidak dipengaruhi aktivitas. Sesak napas

tidak dipengaruhi cuaca, makanan dan emosi. Sesak napas mulai dirasakan

sejak 1 bulan yang lalu.

33
 Keringat malam ada sejak 4 bulan yang lalu.

 Riwayat batuk darah ada, 4 bulan yang lalu, lengket didahak.

 Pasien sudah meminum OAT selama 3 bulan, menggunakan OAT paket yang

diberikan dokter, diminum rutin, saat ini pasien meminum 3 tablet OAT, 3

kali seminggu.

 Batuk semakin meningkat sejak 1 minggu yang lalu. Batuk mulai dirasakan

sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk hilang timbul. Batuk

berdahak berwarna putih.

 Demam ada, sejak 1 minggu yang lalu, demam tinggi dan tidak menggigil,

namun saat ini pasien sudah tidak demam.

 Penuurunan BB ada, tidak tahu berapa Kg.

 Penurunan nafsu makan ada.

 Mual dan muntah tidak ada.

 Nyeri ulu hati tidak ada

 BAK dan BAB normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat DM tidak ada

 Riwayat Hipertensi tidak ada

Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien.

34
Riwayat kebiasaan, sosial, pekerjaan

 Pasien seorang siswa, tinggal di kawasan padat

 Riwayat Free Sex disangkal

 Riwayat penggunaan narkoba suntik disangkal

 Riwayat tatoo tidak ada

3.3 Pemeriksaan Fisik (Penilaian awal medis pasien rawat inap)

3.2.1 Status Generalis

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : CMC

Tinggi Badan : 160 cm

Berat Badan : 50 kg

IMT : 19,5 Kg/m2

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

Frekuensi Nadi : 140 x/menit

Frekuensi Napas : 29 x/menit

Suhu : 39 ºC

3.2.2 Status Lokalis

Kepala : normocepal, simetris

Mata : Konjungtiva anemis tidak ada dan

sklera ikterik tidak ada

Mulut : Tidak ada kelainan

35
Leher : tidak ada kelainan

JVP : 5-2 cmH20

Trakea : tidak ada deviasi

KGB : Tidak terdapat pembesaran KGB

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : bata jantung kanan: 1 jari lateral LSD

Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V

Auskultasi : suara jantung normal tidak ditemukan bising

irama regular

Paru

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : - kiri : sonor

- kanan : sonor

Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : tidak tampak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri epigastrium (-)

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus positif

Genitalia: tidak diperiksa

Ekstremitas: udem tidak ada, clubbing finger tidak ada

36
3.3 Pemeriksaan Laboratorium

Hb 12,1 g/dl

Leukosit 7100 /mm3

Trombosit 520.000/mm3

Ht 37%

SGOT 13 u/L

SGPT 12 u/L

Kesan labor : Trombositosis

3.5 Diagnosis Kerja

-Bronkopneumonia (CAP)

-TB paru dalam terapi

3.7 Rencana pengobatan dan pemeriksaan:

• Makanan lunak, O2 3 liter

• NaCL 0,9% 6 jam/kolf

• Injeksi Ceftriaxone 1x2 mg

• Infus Levofloxacin 1x500 mg

• PCT 3x500 mg

• OAT lanjut

• IVFD asering selama 12 jam/kolf

• Roentgen thorax

37
BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 18 tahun datang ke RSUP Dr M Djamil

Padang dengan keluhan sesak nafas yang meningkat sejak 1 minggu yang lalu.

Sesak dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Sesak tidak menciut, sesak tidak

dipengaruhi aktifitas. Pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk sudah dirasakan

sejak satu minggu yang lalu, batuk disertai dahak berwarna putih kental. Batuk

berdarah tidak ada. Riwayat batuk berdarah ada 4 bulan yang lalu.

Pasien juga mengeluhkan adanya keringat malam semenjak 4 bulan yang

lalu dan penurunan nafsu makan ada, disertai penurunan berat badan. Pasien

mengeluhkan demam, sejak satu minggu yang lalu, tidak menggigil. Tidak ada

keluhan nyeri dada. Tidak ada keluhan mual, muntah, nyeri ulu hati, dan keluhan

buang air kecil dan besar. Pasien sudah dikenal menderita TB sejak 3 bulan yang

lalu, dan sudah meminum OAT rutin selama 3 bulan.

Dari keluhan diatas didapatkan pasien merupakan seorang penderita TB,

kemudian diperberat dengan adanya infeksi paru berupa bronkopneumonia, yang

38
didapatkan dari adanya keluhan sesak napas dan batuk yang semakin meningkat

sejak 1 minggu yang lalu.

Pada pasien ini terdapat riwayat keringat malam dan penurunan berat badan.

Hal ini merupakan ciri khas dari pasien TB. Pada pasien juga didapatkan adanya

suara nafas yang memanjang disertai adanya ronki basah kasar di kedua lapangan

paru yang semakin memperkuat adanya infeksi paru.

Pada laboratorium, didapatkan hemoglobin 12,1 gr/dL, leukosit 7100/mm3,

trombosit 520.000/mm3, SGOT 13, SGPT 12. Kesan trombositosis.

Berdasarkan penjabaran anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang diatas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja untuk pasien adalah

bronkopneumonia dan TB paru dala terapi. Terapi yang diberikan pada pasien ini

adalah ceftriaxone dan levofloxacin sebagai terapi bronkopneumonia, paracetamol

sebagai terapi demam, dan obat anti tuberculosis tetap dilanjutkan.

39
DAFTAR PUSTAKA

1 Infodatin. Tuberkulosis, Temukan Obati Sampai Sembuh [serial online].


Jakarta: Pusadatin, 2014
2 Darmanto D. Respirologi, respiratory medicine. Jakarta: EGC, 2009.
3 PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia.
Jakarta: PDPI, 2014.
4 Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2014.
5 Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran:
Tatalaksana Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2013.

6 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.

7 PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia.


Jakarta: PDPI, 2006.
8 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2005. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2005.

40

Anda mungkin juga menyukai