Anda di halaman 1dari 10

PENGEMBANGAN AGAMA DAN MORAL ANAK USIA DINI

“Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak Usia Dini”


TUGAS INDIVIDU
MODUL III
Dosen Pengampu: Dra. Yuyun Yulianingsih, M.Pd.
Syifauzakiah, M.Pd.

Disusun oleh:
PIAUD – III A
Latifah Asmul Fuziah
1162100024

PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI (PIAUD)


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
TIMBULNYA JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI

A. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak


Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka
mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi
manusia itu sendiri. Selain itu, ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa
anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru
berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah
berada pada tahap kematangan.1

Ada beberapa teori yang membahas mengenai pertumbuhan agama pada


anak. Itu antara lain:
1. Rasa ketergantungan (Sense of Depend)
Teori ini dkemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes.
Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan
yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan
pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan
(respons), dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan
kenyataan dan kerja sama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi
dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui pengalaman-pengalaman
yang diterimanya dan lingkungan iu kemudian terbentuklah rasa
keagamaan pada diri anak.2
2. Insting Keagamaan:
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa
insting di antaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak
keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang
menopang kematangn berfungsinya insting itu belum sempurna.
Misalnya insting sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai
makhluk homosocius, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan

1
Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, cet 8 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm. 65
2
Ibid
berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi insting sosial itu tergantung dari
kematangan fungsi lainnya. Demikian pula insting keagamaan.3
B. Metode Penanaman Nilai-nilai Agama pada Usia Anak-anak
Ada beberapa metode untuk menumbuhkan rasa keagamaan pada anak usia
dini, diantaranya adalah:
a. Metode Pembiasaan
Hendaknya setiap pendidik menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi
anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang
cocok dan sesuai dengan perkebangan jiwanya. Karena pembiasaan dan
latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat
laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan
lagi, karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya. Pembentukan
sikap, pembinaan moral, dan pribadi pada umumnya, terjadi melalui
pengalaman sejak kecil.
Latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seprti sembahyang,
doa, membaca Al-Qur’an di sekolah, di mesjid, harus dibiasakan sejak
kecil, sehingga lama kelamaan akan tumbuh rasa senang melakukan
ibadah tersebut.4
b. Metode Keteladan
Yang dimaksud keteladan disini adalah seseorang yang memberikan suatu
contoh yang baik, akhlak yang tangguh, memahami jiwa agama yang
benar, disamping itu kemampuannya mengikuti perkembangan zaman.
Pada masa Rasulullah dakwah Islam yang hampir tujuh puluh lima persen
(75%) dengan menggunakan metode contoh atau tingkah laku atau
perbuatan yang baik. Sedang Rasul itu sendiri adalah merupakan contoh
teladan utama yang menjadi kiblat dari segala perbuatan pengikutnya.
Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21:
   
  
  

3
Ibid., hlm. 66.
4
Zakaria Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 77-81
 
 
  


Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”5
Teladan merupakan salah satu pedoman bertindak. Anak didik cenderung
meneladani pendidiknya. Ini diakui oleh semua ahli pendidik. Dasarnya
adlah karena secara psikologis anak memang senang meniru, tidak saja
yang baik, yang jelek pun ditirunya.
Pusat pendidikan Islam adalah metode keteladanan. Guru menjadi teladan
bagi muridnya. Secara psikologis manusia memang memerlukan tokoh
teladan dalam hidupnya, ini adalah sifat pembawaan. Meniru adalah salah
satu sifat pembawaan manusia. Oleh karena itu dalam pendidikan agama
pada anak perlu adanya tokoh yang dijadikan teladan yang baik sehingga
anak akan meniru sesuatu yang baik.
c. Metode Cerita
Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman lisan. Bila
isi cerita itu dikaitkan dengan dunia kehidupan anak usia dini, maka
mereka dapat memahami isi cerita itu, mereka akan mendengarkan dengan
penuh perhatian, dan dengan mudah dapat menangkap isi cerita. Kegiatan
cerita akan memberikan sejumlah pengetahuan social, nilai-nilai moral,
dan keagamaan. Kegiatan bercerita juga memberikan pengalaman belajar
untuk berlatih mendengarkan. Melalui mendengarkan anak memperoleh
bermacam-macam informasi tentang pengetahuan, nilai, dan sikap untuk
dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memberi pengalaman belajar dengan menggunakan metode bercerita
memungkinkan anak mengembangkan kemampuan kognitif, afektif,

5
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Software )
maupun psikomotor masing-masing anak. Bila anak terlatih
mendengarkan dengan baik, maka ia akan terlatih untuk menjadi
pendengar yang kreaif dan kritis. Pendengar yang kreatif mampu
melakukan pemikiran-pemikiran baru berdasarkan apa yang di dengarnya.
Pendengar yang kritis mampu menemukan ketidaksesuaian antara apa
yang di dengar dengan apa yang dipahami.6
d. Metode Demontrasi
Metode demontrasi adalah metode mengajarkan yang menggunakan
peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk memperlihatkan
bagaimana melakukan suatu kepada anak didik. Memperjelas pengertian
tersebut dalam prakteknya dapat dilakukan oleh guru itu sendiri atau
langsung oleh anak didi.
Dengan metode demontrasi guru atau murid memperlihatan pada seluruh
anggota kelas suatu proses, misalnya bagaimana cara shalat yang sesuai
ajaran Rasulullah SAW.
C. Perkembangan Jiwa Keagamaan Anak
a. Kanak-kanak pada tahun-tahun pertama (0 – 6)
Pendidikan agama, dalam arti pembinaan kepribadian, sebenarnya telah
mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan orang
tua, ketika si anak dalam kandungan, mempengaruhi jiwa anak yang akan
lahir nanti, hal ini banyak terbukti dalam perawatan jiwa. Memang diakui
bahwa penelitian terhadap mental janin yang dalam kandungan itu tidak
mudah dilaksanakan.
Pendidikan agama dalam keluarga, sebelum si anak mask sekolah, terjadi
secara tidak formil. Pendidikan agama pada umur ini melalui semua
pengalaman anak, baik melalui ucapan yang didengarnya, tindakan,
perbuatan dan sikap yang dilihatnya, maupun perlakuan yang
dirasakannya. Oleh karena itu, keadaan orang tua dalam kehidupan mereka
sehari-hari mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembinaan
kepribadian anak. Karena pada tahun-tahun pertama dari pertumbuhan itu,

6
Moeslichatoen R., Metode Pengajaran Di Taman Kanak-Kanak (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1999), hlm. 157-168.
si anak belum mampu berpikir dan perbendaharaan kata-kata yang mereka
kuasai masih sangat terbatas, serta mereka belum mampu memahami kata-
kata yang abstrak. Akan tetapi mereka dapat merasakan sikap, tindakan
dan perasaan orang tua. Mereka merasa disayangi atau dibenci oleh orang
tua mereka, mereka senang kalau orang tua mereka rukun dan sebaliknya
mereka akan sedih, kalau orang tua mereka cekcok. Gerak-gerik orang tua,
menjadi perhatian mereka.
Tindakan dan perlakuan orang tua terhadap dirinya dan saudara-
saudaranya merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian pribadinya
pula dikemudian hari. Tindakan dan perlakuan orang tua yang sesuai
dengan ajaran agama, akan menimbulkan pada si anak pengalaman-
pengalaman hidup yang sesuai dengan agama, yang kemudian akan
bertumbuh menjadi unsure-unsur, yang merupakan bagian dalam
pribadinya nanti. Sikap orang tua terhadap agama, akan memantul kepada
si anak. Jika orang tua menghormati ketentuan-ketentuan agama, maka
akan bertumbuhlah pada anak sikap menghargai agama, demikian pula
sebaliknya, jika sikap orang tua terhadap agama itu negative, acuh tak
acuh, atau meremehkan, maka itu pulalah sikap yang akan bertumbuh pada
anak.
Di samping itu semua, perlu pula kita ingat bahwa hubungan anak dan
orang tua, mempunyai pengaruh yang besar pula terhadap pertumbhan
jiwa agama pada anak. Andaikata hubungan anak dengan orang tuanya
tidak baik, misalnya ia merasa tidak disayang dan diperlakukan kejam,
keras atau tidak adil, maka besar kemungkinan sikap si anak terhadap
Tuhan akan memantulkan sikapnya terhadap orang tuanya, mungkin ia
akan menolak kepercayaan terhadap Tuhan, atau menjadi acuh tak acuh,
terhadap ketentuan agama. Sebabnya adalah, karena sumber pembinaan
rohani anak adalah orang tuanya sendiri.

b. Anak-anak pada umur sekolah (6 – 12)


Ketika si anak masuk sekolah Dasar, dalam jiwanya ia telah membawa
bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya, dari orang tuanya
dan dari gurunya di Taman kanak-kanak. Andai kata didikan agama yang
diterimanya dari orang tuannya di rumah sejalan dan serasi dengan apa
yang diterimanya dari gurunya di Taman kanak-kanak, maka ia masuk ke
sekolah Dasar telah membawa dasar agama yang bulat (serasi), akan tetapi,
jika berlainan, maka yang dibawanya adalah keragu-raguan, ia belum
dapat memikirkan nama yang benar, apakah agama orang tuanya atau
agama gurunya, yang ia rasakan adalah adanya perbedaan, kedua-duanya
masuk ke dalam pembinaan pribadinya. Demikian pula sikap orang tua
yang acuh tak acuh atau negative terhadap agama, akan mempunyai akibat
yang seperti itu pula dalam pribadi anak.
Perlu kita ingat bahwa kepercayaan anak pada Tuhan pada umur
permulaan masa sekolah itu bukanlah berupa keyakinan hasil pemikiran,
akan tetapi merupakan sikap emosi yang membutuhkan pelindung.
Hubungannya dengan Tuhan bersifat individual dan emosionil. Oleh
karena itu tonjolkanlah sikap Pengasih dan Penyayang Tuhan kepada si
anak dan jangan dulu dibicarakan sifat-sifat Tuhan yang Menghukum,
Membalas dendam azab neraka dan sebagainya.
Sembahyang dan berdoa yang menarik bagi anak pada umur ini adalah
yang mengandung gerak dan tidak asing baginya. Do’a-nya bersifat
pribadi, misalnya memohon sesuatu yang diingininya, minta ampun atas
kesalahannya dan minta tolong atas hal-hal yang tidak mampu ia
mencapainya. Si anak akan gembira untuk ikut aktif dalam ucapan dan
kegiatan agama yang menarik baginya, misalnya sembahyang berjemaah
di mesjid, atau mushalla, ikut membantu dalam pengabdian sosial agama
seperti membagi zakat fitrah dan daging korban. Juga menarik bagi
mereka, ikut serta dalam sandiwara agama dan nyanyian keagamaan.
Hubungan sosial anak semakin erat pada masa sekolah ini, maka
perhatiannya terhadap agama juga, banyak dipengaruhi oleh teman-
temannya, kalau teman-temannya pergi mengaji, mereka akan ikut
mengaji, temannya ke mesjid mereka akan senang pula ke mesjid. Oleh
karena itu perbanyaklah kegiatan-kegiatan keagamaan yang dapat
dilakukan bersama oleh anak-anak, sehingga semua anak dapat ikut aktif.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jiwa Keagamaan pada Anak Usia
Dini
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami
agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu:
a. Faktor Intern (bawaan)
Di masyarakat yang masih primitif muncul kepercayaan terhadap roh-roh
gaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan malapetaka. Agar roh-
roh itu tidak berperilaku jahat, maka mereka berusaha untuk mendekatinya
melalui saji-sajian (bahasa sunda= sasajen) yang di persembahkan kepada
roh roh tersebut. Bahkan di kalangan modern pun masih ada yang
mempunyai kepercayaan kepad hal-hal yang sifatnya tahayul tersebut.
Kenyataan di atas membuktikan bahwa manusia itu memiliki fitrah untuk
mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik memberikan
sesuatu yang bermanfaat maupun yang madharat.
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara
alamiah (seperti contoh-contoh diatas) dan ada juga yang mendapatkan
bimbingan dari para rasul Allah SWT.

b. Faktor lingkungan (external)


1. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak oleh karena
itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah
dominan.
Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan “training centre” bagi
penanaman nilai-nilai.pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak,
seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu sejak
lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini ini di
dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang mengalami
gangguan jiwa; ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi atau
sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
2. Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai progam yang
sitematik yang melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada
anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan yang di harapkan.
Menurut hurlock (1959: 561) pengaruh sekolah terhadap perkembangan
kepribadian anak snagat besar, karena sekolah meruapakan subtitusi dari
keluarga dan guru-guru subtitusi dari orang tua.
3. Lingkungan Masyarakat
Yang di maksud lingkungan masyarakat di sisni adalah situasi atau kondisi
interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh
terhadap terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran
beragama individu.
Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan
teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959:
436) mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok
bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku
para anggotanya” Corak perilaku anak merupakan cermin dari corak atau
perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di
kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak
sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau
warga masyarakat.7

DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, cet 8 (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004)
Zakaria Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)

7
http://aminfuadi99.blogspot.com/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-
anak.html#!/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-anak.html
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Software)
Moeslichatoen R., Metode Pengajaran Di Taman Kanak-Kanak (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1999)
http://aminfuadi99.blogspot.com/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-
pada-anak.html#!/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-anak.html

Anda mungkin juga menyukai