Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyaknya pengaruh lingkungan secara cepat maupun lambat dapat merusak

jaringan kulit manusia, salah satunya yaitu pengaruh sinar UV sinar matahari. Efek

buruk radiasi sinar matahari pada kulit manusia dapat menyebabkan sunburn,

pigmentasi kulit, penuaan dini, dan dapat menyebabkan kanker pada kulit manusia

(Wang dkk., 2008). Dibutuhkan tabir surya yang dapat melindungi kulit dari bahaya

radiasi sinar matahari. Tabir surya merupakan bahan-bahan kosmetik yang secara fisik

atau kimia dapat menghambat penetrasi sinar UV ke dalam kulit (Oroh & Harun, 2001).

Temulawak merupakan salah satu tanaman yang dikenal ampuh dalam mengobati

beberapa penyakit. Secara empiris rimpang temulawak diketahui memiliki banyak

manfaat salah satunya potensi sebagai antioksidan (WHO, 1999). Temulawak diduga

kuat juga berpotensi sebagai tabir surya alami. Struktur molekul kurkuminoid pada

ekstrak temulawak yang mempunyai gugus auksokrom dan kromofor mampu menyerap

panjang gelombang pada kisaran panjang gelombang UV. Ekstrak temulawak dapat

digunakan sebagai tabir surya yang bekerja secara kimia yaitu menyerap sinar UV

(Wolf dkk., 2001).

Salah satu bentuk sediaan tabir surya yang banyak digunakan adalah krim.

Pembuaatan sediaan krim dibutuhkan agen pengemulsi untuk mendispersikan

komponen yang dikehendaki. Pemilihan sistem emulgator yang tepat sangat

menentukan sifat serta stabilitas fisik (Aulton, 2002). Pada penelitian ini tipe emulsi
2

yang dipilih adalah tipe minyak dalam air (o/w). Kelebihan krim tipe o/w mudah

dibersihkan, dioleskan, dan mudah menyebar merata di kulit (Wyatt dkk., 2001).

Krim bertipe o/w diformulasi dengan mengkombinasikan asam stearat dan

triethanolamin (TEA). TEA digunakan sebagai emulgator karena TEA akan membentuk

suatu emulsi o/w yang sangat stabil apabila dikombinasikan dengan asam lemak bebas.

Asam lemak yang paling sesuai untuk dikombinasikan dengan TEA adalah asam stearat

karena asam stearat tidak mengalami perubahan warna seperti halnya asam oleat. Asam

stearat bereaksi dengan TEA secara insitu menghasilkan suatu garam, yaitu

trietanolamin stearat yang berfungsi sebagai emulgator untuk emulsi tipe o/w (Aulton,

2002). Garam yang terbentuk merupakan hasil reaksi stoikiometri. Masing-masing

komponen bereaksi dengan perbandingan yang sesuai. Pada umumnya digunakan 2-4%

dari TEA dan 5-15% asam stearat tergantung dengan jumlah minyak yang akan

diemulsi. Setil alkohol selain berfungsi sebagai emulgator juga berfungsi untuk

menaikkan viskositas, dengan naiknya viskositas maka sifat fisik dan stabilitas krim

semakin bagus. Setil alkohol sebagai emulgator pada rentang 2-5 % (Rowe dkk., 2009).

Untuk mendapatkan krim tabir surya ekstak temulawak dengan sifat fisik dan stabilitas

yang bagus perlu dilakukan optimasi untuk menentukan komposisi setil alkohol, dan

TEA-stearat sebagai emulgator.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh variasi kadar TEA-stearat dan

setil alkohol terhadap sifak dan stabilitas fisik krim o/w ekstrak temulawak sehingga

dihasilkan krim o/w ekstrak temulawak dengan syarat kualitas fisik terbaik. Kombinasi

TEA-stearat dan setil alkohol dioptimasi menggunakan metode Simplex Lattice Design

dalam Software Design Expert. Menurut Bolton (1997) formula optimum suatu

campuran bahan dapat diperoleh dengan metode SLD.


3

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh komponen TEA – stearat dan setil alkohol serta

interaksinya sebagai emulgator terhadap sifat dan stabilitas fisik krim o/w ekstrak

temulawak?

2. Berapakah perbandingan campuran TEA – stearat dan setil alkohol yang

menghasilkan krim o/w ekstrak temulawak yang memenuhi mutu fisik dan

stabilitas yang optimum dan memberikan nilai Sun Protecting Factor (SPF) yang

tinggi diliat dari uji in vitro?

3. Apakah terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim o/w ekstrak

temulawak setelah uji stabilitas cyclic temperature stress testing?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh TEA- stearat dan setil alkohol serta interaksinya sebagai

emulgator terhadap sifat dan stabilitas fisik krim o/w ekstrak temulawak.

2. Mengetahui kombinasi TEA-stearat dan setil alkohol yang menghasilkan formula

optimum krim o/w ekstrak temulawak sehingga krim yang dihasilkan memenuhi

sifat fisik dan stabilitas optimum serta dapat memberikan nilai SPF yang tinggi

dari uji in vitro.

3. Mengetahui adanya perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim o/w ekstrak

temulawak setelah uji stabilitas cyclic temperature stress testing.


4

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dilakukan yaitu memanfaatkan kekayaan alam Indonesia

akan tanaman obat salah satunya yakni temulawak dalam pembuatan sediaan farmasi

dari ekstrak temulawak yang stabil sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di

bidang kesehatan khususnya sebagai tabir surya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Ekstrak Temulawak

Temulawak termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae,

kelas Monocotyledonae, bangsa Zingiberales, suku Zingiberaceae, marga Curcuma,

dan spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb (Afifah, 2013).

Gambar 1. Rimpang Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah salah satu tumbuhan obat

keluarga yang banyak tumbuh dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di

Indonesia (Prana, 2008). Tumbuhan temulawak secara empiris banyak digunakan

sebagai obat tunggal maupun campuran. Terdapat lebih dari 50 resep obat tradisional

menggunakan temulawak (Achmad dkk., 2007). Secara empiris rimpang temulawak

diketahui memiliki banyak manfaat salah satunya potensi sebagai antioksidan (WHO,

1999). Temulawak diduga kuat juga berpotensi sebagai tabir surya alami. Senyawa
5

polifenol khususnya golongan kurkuminoid ekstrak temulawak mempunyai potensi

sebagai tabir surya karena adanya gugus kromofor (ikatan rangkap tunggal terkonjugasi)

yang mampu menyerap sinar UV baik UV A maupun UV B sehingga mengurangi

intensitasnya pada kulit (Wolf dkk., 2001). Kurkumin dihasilkan secara alami dari

rimpang temulawak bersama dengan dua senyawa analog kurkumin lainnya yaitu

demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin. Campuran ketiga senyawa tersebut

dikenal sebagai kurkuminoid.

Gambar 2. Struktur kurkuminoid rimpang temulawak

2. Tabir Surya (sunscreen)

Tabir surya adalah suatu sediaan yang mengandung senyawa kimia yang dapat

menyerap, menghamburkan atau memantulkan sinar surya yang mengenai kulit

sehingga dapat digunakan untuk melindungi kulit manusia dari kerusakan akibat

sinar matahari (FDA,2003).

Mekanisme tabir surya sebagai penyerap adalah sebagai berikut :

1. Molekul bahan kimia tabir surya menyerap energi dari sinar UV, kemudian

mengalami eksitasi dari ground state ketingkat energi yang lebih tinggi.
6

2. Maka sinar UV dari energi yang lebih tinggi, setelah diserap oleh bahan kimia maka

akan mempunyai energi yang lebih rendah.

3. Sinar UV dengan energi yang lebih rendah akan kurang atau tidak menyebabkan

efek sunburn pada kulit (FDA, 2003).

Sinar UV terdiri dari :

a) Sinar UV-A : disebut juga radiasi UV gelombang panjang, yang mempunyai

panjang gelombang 320-400 nm dengan puncak pada 340 nm. Daerah ini

bertanggungjawab terhadap perubahan warna kulit secara langsung menjadi

lebih gelap tanpa diawali oleh inflamasi, sinar ini menyebabkan eritema.

b) Sinar UV-B : disebut juga radiasi UV sedang atau radiasi sengatan matahari

(sunburn), mempunyai daerah panjang gelombang 290-320 nm dengan puncak

efektif pada 297,6 nm. Ini adalah daerah UV eritemogenik yang

bertanggungjawab terhadap reaksi sengatan seperti iritasi yang menyebabkan

pembentukan melanin sehingga kulit menjadi lebih gelap.

c) sinar UV-C : disebut juga gelombang radiasi UV pendek atau radiasi germisidal,

mempunyai panjang gelombang dari 200-290 nm. Meskipun merusak jaringan,

sinar ini sebagian besar disaring oleh ozon di atmosfer.

Dalam pembuatan sediaan kosmetik tabir surya maka kriteria yang perlu

diperhatikan antara lain :

a. Mudah digunakan

b. Jumlah yang menempel mencukupi kebutuhan

c. Bahan aktif compatible dengan bahan tambahan lain

d. Bahan dasar dapat mempertahankan kelembutan dan kelembaban kulit

(FDA, 2003).
7

3. SPF

Potensi tabir surya dapat dinyatakan dengan Sun Protection Factor (SPF) dan

UV-A Protection Factor (APF). SPF merupakan perbandingan antara banyaknya

energi sinar surya (dalam hal ini adalah UV B) yang dibutuhkan untuk menimbulkan

eritema minimal (Dosis Eritema Minimal : DEM) pada kulit yang dilindungi tabir

surya dengan banyaknya energi yang dibutuhkan untuk menimbulkan eritema

minimal pada kulit yang tidak dilindungi tabir surya. Sedangkan APF adalah

perbandingan antara banyaknya energi sinar UV A yang dibutuhkan untuk

menimbulkan tanning minimal (Dosis Tanning minimal : DTM) pada kulit yang

dilindungi tabir surya dengan banyaknya energi sinar surya yang dibutuhkan untuk

menimbulkan tanning minimal pada kulit yang tidak dilindungi tabir surya (Martini

dkk., 1995).

Penilaian SPF mengacu pada ketentuan FDA yang mengeompokkan

keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan SPF (Wisataatmadja, 1997) :

1. Tabir surya dengan nilai SPF 2-4, memberikan proteksi minimal

2. Tabir surya dengan nilai SPF 4-6, memberikan proteksi sedang

3. Tabir surya dengan nilai SPF 6-8, memberikan proteksi ekstra

4. Tabir surya dengan nilai SPF 8-15, memberikan proteksi maksimal

5. Tabir surya dengan nilai SPF ≥ 15, memberikan proteksi ultra.

4. Stabilitas Emulsi

Emulsi merupakan campuran homogen dari 2 cairan yang dalam keadaan

normal tidak dapat bercampur (fase air dan fase minyak), dengan pertolongan suatu

bahan penolong yang disebut emulgator .


8

Ada dua tipe emulsi, yaitu:

a) Emulsi w/o (water in oil) yaitu butiran-butiran air terdispersi dalam minyak.

Air berfungsi sebagai fase internal & minyak sebagai fase eksternal.

b) Emulsi o/w (oil in water) yaitu butiran-butiran minyak terdispersi dalam air.

Krim terbuat dari suatu emulsi sehingga sangat rentan untuk terjadi

ketidakstabilan. Berikut macam-macam fenomena yang berhubungan dengan

ketidakstabilan emulsi:

a. Flokulasi

Flokulasi merupakan kumpulan dari partikel-partikel dalam emulsi untuk

membentuk agregat yang lebih besar. Namun, masih dapat didispersikan kembali.

Reversibilitas flokulasi tergantung pada kekuatan interaksi antara droplet dan rasio

volume pemisahan (Im-Emsap & Siepmann, 2002).

b. Creaming

Creaming terjadi ketika droplet-droplet terdispersi atau flokul-flokul terpisah

dari medium pendispersi akibat pengaruh gaya gravitasi (Im-Emsap & Siepmann,

2002). Terjadinya creaming dapat dihindari dengan cara memperkecil ukuran

droplet, menyamakan berat jenis dari kedua fase dan menambah viskositas dari fase

kontinyu.

c. Koalesen

Koalasen terjadi ketika penghalang mekanik atau listrik tidak mampu untuk

mencegah pembentukan droplet menjadi lebih besar yang dapat memicu pemisahan

sempurna (breaking). Koalesen dapat dicegah dengan pembentukan lapisan

antarmuka yang tersusun dari makromolekul atau partikel padat (Im-Emsap dan

Siepmann, 2002).
9

5. Formulasi Krim

Krim didefinisikan sebagai sediaan semi padat, yang terbuat dari campuran dua

fase (minyak dan air) yang tidak dapat bercampur, yang untuk pencampurannya

membutuhkan emulgator yang sesuai dan ditujukan untuk aplikasi pada kulit

(Sulaiman dan Kuswahyuning, 2008). Krim mengandung bahan obat yag terlarut

atau tersuspensi dalam basis vanishing krim atau basis larut air dan dalam tipe emulsi

air dalam minyak (w/o) atau minyak dalam air (o/w) (Allen, 2002).

Vanishing krim adalah suatu emulsi asam stearat dimana emulsi tersebut selalu

bertipe o/w. Dalam krim tersebut asam stearat merupakan unsur utama fase minyak

sedangkan emulgatornya yaitu alkali stearat yang merupakan hasil reaksi suatu basa

yang terlarut dalam fase cair dengan sebagian asam stearat. Alkali stearat yang

terbentuk bertipe anionik. Pemilihan zat pengemulsi sangat penting dalam

menentukan keberhasilan pembuatan suatu emulsi yang stabil. Agar berguna dalam

preparat farmasi, zat pengemulsi harus memiliki kualitas tertentu.

Profil bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi krim o/w pada penelitian

ini antara lain :

a. Asam stearat

Gambar 3. Struktur Kimia Asam Stearat

Menurut USP32-NF27 asam stearat merupakan campuran dari asam stearat

(C18H36O2) dan asam palmitat (C16H32O2). Asam stearat memiliki nama kimia

octadecanoic acid dan memiliki berat molekul 284,47. Asam stearat merupakan zat
10

padat yang keras, berwarna putih atau kuning pucat, sedikit mengkilap, suatu kristal

padat atau serbuk putih/putih kekuning-kuningan, memiliki sedikit bau, dan rasa

seperti lemak lilin (Rowe dkk., 2009).

Kandungan asam stearat tidak kurang dari 40,0% dan jumlah dari kedua asam

tidak kurang dari 90,0%. Dalam formulasi sediaan yang digunakan secara topikal,

asam stearat digunakan untuk emulsifying dan solubilizing agent. Asam stearat

ternetralisasi membentuk basis krim ketik dicampur dalam 5-15 kali beratnya air.

Dalam sediaan salep atau krim, konsentrasi asam stearat berada pada rentang

konsentrasi 1-20% (Rowe dkk., 2009).

b. Setil Alkohol

Gambar 4. Struktur Kimia Setil Alkohol

Setil alkohol terutama terdiri dari campuran dari alkohol alifatik padat. Setil

alkohol memiliki nama kimia hexadecane-1-ol dengan rumus kimia C16H34O dan

memiliki berat molekul 242,44. Setil alkohol merupakan suatu serpihan putih,

bergranul bentuk dadu, lunak, berbau samar khas dan memiliki rasa hambar (Rowe

dkk., 2009).

USP32-NF27 menspesifikasikan bahwa kandungan setil alkohol tidak kurang

dari 90,0%, sedangkan sisanya terdiri dari alkohol terkait. Setil alkohol berfungsi

sebagai bahan penyalut, emulsifying agent, dan stiffening agent. Setil alkohol dapat

meningkatkan stabilitas, tekstur, dan konsistensi krim. Rentang konsentrasi setil


11

alkohol sebagai emollient dan emulsifying agent adalah 2-5%, sedangkan sebagai

stiffening agent memiliki rentang konsentrasi 2-10% (Rowe dkk., 2009).

c. Trietanolamin

Gambar 5. Struktur Kimia Trietanolamin

Trietanolamin memiliki nama kimia 2,2’,2’’-Nitrilotriethanol dengan rumus

kimia C6H15NO3 dan memiliki berat molekul 149,19. Trietanolamin merupakan

sesuatu yang bening, tidak berwarna sampai berwarna kuning pucat, cairan kental,

dan sedikit mirip dengan bau amoniak (Rowe dkk., 2009).

Trietanolamin berfungsi sebagai alkalizing agent dan emulsifying agent.

Trietanolamin sering digunakan dalam formulasi sediaan topikal, terutama emulsi.

Ketika dicampurkan dalam equimolar dengan asam lemak seperti asam stearat atau

asam oleat, trietanolamin akan membentuk sabun anionik dengan pH sekitar 8,

dimana dapat digunakan sebagai emulsifying agent untuk menghasilkan fine-grained,

emulsi o/w (minyak dalam air) yang stabil. Rentang konsentrasi trietanolamin yang

digunakan untuk emulsifikasi sebesar 2-4% v/v dan 2-5 kali dari asam lemak (Rowe

dkk., 2009).

d. Propilen glikol

Gambar 6. Struktur Kimia Propilen Glikol


12

Propilen gilkol memiliki nama kimia 1,2-Propanediol dengan rumus kimia

C3H8O2 dan memiliki berat molekul 76,09. Propilen gilkol memiliki titik didih 188

dan titik leleh -59 . Propilen glikol merupakan sesuatu yang bening, tidak berwarna,

kental, cairan yang tidak berbau, manis, dan rasa mirip dengan gliserin (Rowe dkk.,

2009).

Propilen glikol dapat larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan

air, larut pada 1 dalam 6 bagian eter, sukar larut dalam minyak tetapi dapat larut pada

beberapa minyak essential (Rowe dkk., 2009).

Propilen gilkol berfungsi sebagai antimicrobial preservative, desinfektan,

humectant, plasticizer, solvent, stabilizing agent, water-miscible cosolvent. Propilen

glikol sebagai humectant pada sediaan topikal memiliki konsentrasi 15%; sebagai

pengawet pada sediaan solutions dan semisolids memiliki rentang konsentrasi 15–

30%; sebagai solvent atau cosolvent pada sediaan topikal memiliki rentang

konsentrasi 5-80% (Rowe dkk., 2009).

e. Sorbitol

Gambar 7. Struktur Kimia Sorbitol

Sorbitol memiliki nama kimia D-Glucitol dengan rumus kimia C6H14O6 dan

memiliki berat molekul 182,17. Sorbitol tidak memiliki bau, hampir tidak bewarna

atau warna putih, bentuk kristal, dan merupakan serbuk higroskopis. Empat bentuk

polimorfi kristal dan satu bentuk amorf dari sorbitol telah diidentifikasi memiliki

perbedaan sifat fisik, misalnya titik leleh (Rowe dkk., 2009).


13

Sorbitol berfungsi sebagai humectant; plasticizer; stabilizing agent; sweetening

agent; diluent tablet dan kapsul. Fungsi sorbitol sebagai humectant berada pada

rentang konsentrasi 3-15%.

f. Nipagin P

Gambar 8. Struktur Kimia Nipagin

Nipagin P merupakan sinonim dari propil paraben, memiliki nama kimia

propyl 4-hydroxybenzoate dengan rumus kimia C10H12O3 dan memiliki berat molekul

180,20. Propil paraben merupakan serbuk berwarna putih, bentuk kristal, tidak

memiliki bau dan rasa (Rowe dkk., 2009).

Propil paraben pada umumnya diigunakan sebagai pengawet abtimikroba pada

sediaan kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetik. Pada sediaan topikal

propil paraben berada pada rentang konsentrasi 0,01–0,6% (Rowe dkk., 2009).

g. Aquadest

Air dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum. Berupa cairan jernih,

tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa (Anonim, 1979)
14

6. Kontrol Kualitas Krim

a. Sifat Fisik Krim

1) Uji Organoleptis Krim

Organoleptis yang meliputi parameter warna, bau, tekstur, dan homogenitas

dapat digunakan sebagai indikator kualitatif ketidakstabilan fisik suatu sediaan yang

bersifat subyektif (Sulaiman dan Kushwahyuning, 2008). Homogenitas berpengaruh

terhadap efektivitas terapi karena berhubungan dengan kadar obat yang seragam

pada setiap pemakaian. Jika sediaan homogen maka kadar zat aktif pada saat

pemakaian atau pengambilan akan selalu sama. Krim adalah suatu sediaan yang cara

pemakaiannya dioleskan pada tempat terapi sehingga setiap bagian zat aktif harus

memiliki kesempatan yang sama untuk menempati tempat terapi. Kondisi ini dapat

tercapai jika sediaan krim homogen (Alissya dkk., 2013).

2) Uji Viskositas

Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viscotester. Viskositas

merupakan besaran yang menyatakan tahanan cairan untuk mengalir. Viskositas

dipengaruhi oleh temperatur sehingga viskositas suatu cairan akan menurun bila

temperatur dinaikkan (Martin dkk., 1993). Penelitian shelf life emulsi terhadap

viskositas berhubungan dengan perubahan viskositas selama penyimpanan.

Viskositas yang menurun selama penyimpanan disebabkan karena kenaikan ukuran

tetesan emulsi. Hal tersebut merupakan salah satu tanda terjadinya fenomena

ketidakstabilan emulsi (Martin dkk., 1995).

3) Uji pH

Uji pH berguna untuk mengetahui pH krim yang telah dihasilkan. Keasaman

atau pH krim tidak boleh terlalu asam karena dapat mengiritasi kulit dan tidak boleh
15

terlalu basa karena dapat membuat kulit menjadi bersisik. Oleh sebab itu, krim yang

dihasilkan harus memiliki pH sesuai dengan pH normal kulit, yaitu 4,5-7

(Wasitaatmadja, 1997). Penurunan pH yang terjadi pada produk kemungkinan karena

pengaruh suhu dan adanya kandungan zat lain dalam sediaan yang dapat ikut

bereaksi. Pengaruh pH terhadap kestabilan ekstrak temulawak sebagai zat aktif juga

harus diperhatikan. Kandungan kurkumin dalam ekstrak temulawak akan

mengalamai degadrasi pada pH basa sehingga akan berwarna merah (pada pH 8,5-

10) sebab kurkumin akan terdegradasi menjadi basa ferulat dan ferulloilmetan yang

berwarna merah (Bratt dkk., 2008).

4) Uji Daya Sebar

Salah satu syarat sediaan krim adalah mudah dioleskan dan mudah merata.

Kemudahan dalam pengolesan tersebut dapat diketahui melalui uji daya sebar krim.

Daya sebar berkaitan dengan sifat penyebaran krim ketika digunakan pada sediaan

topikal. Dengan meningkatnya daya sebar maka luas permukaan kulit yang kontak

dengan krim akan semakin luas dan zat aktif akan terdistribusi dengan baik. Krim

yang baik memiliki daya sebar yang besar sehingga dapat diaplikasikan pada

permukaan kulit yang luas tanpa penekanan yang berlebihan (Alissya dkk., 2013).

Kemampuan daya sebar krim dilihat dari luas sebaran krim yang dihasilkan (Voigt,

1994).

5) Uji Daya Lekat

Krim harus dapat melekat pada kulit dalam waktu yang cukup untuk

memungkinkan terjadinya kontak dengan kulit. Waktu kontak yang cukup akan

memungkinkan krim bekerja efektif terhadap kulit sehingga kegunaan krim dapat

dirasakan sesuai yang diinginkan (Betageri dan Prabhu, 2002).


16

7. Design Expert version 10 (Design of Experiment Software)

Program ini adalah suatu program rancangan penelitian yang bertujuan untuk

membantu dalam suatu rancangan penelitian. Program ini sering digunakan untuk

mengolah data statistik sekaligus mempermudah rancangan metodologi atau

perlakuan pada penelitian, sehingga menemukan suatu produk atau kondisi proses

yang optimal.

Program Design Expert version 10 ini adalah suatu program yang mempunyai

berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data statistik. Metode

rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial, Respon Surface Methods

(RSM), Mixture design techniques, dan Combined design. Pada penelitian ini

digunakan metode Mixture design techniques sehingga dapat mencari formulasi yang

optimal pada berbagai formula yang dibuat (Anonim, 2005).

8. Simplex Lattice Design

Pada software design expert setelah dipilih metode mixture design techniques

selanjutnya dipilih Simplex lattice design (SLD). SLD merupakan suatu metode yang

digunakan untuk menentukan formula optimum pada suatu formulasi dengan

menggunakan campuran bahan. Persyaratan yang dipenuhi dalam simplex lattice

design adalah jumlah total variabel harus konstan (satu bagian), dan yang

dikombinasikan merupakan variabel bebas.


17

Gambar 9. Optimasi dua komponen SLD

Implementasi simplex lattice design dengan cara menyiapkan bermacam-

macam formulasi yang mengandung kombinasi yang berbeda dari variasi bahan.

Kombinasi disiapkan dengan satu cara yang mudah dan efisien,sehingga data

percobaan dapat digunakan untuk memprediksi respon yang berada dalam simplex

(simplex space). Hasil eksperimen digunakan untuk membuat persamaan polynomial

(simplex) dimana persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi profil respons

(Bolton, 1997).

F. Landasan Teori

Paparan UV yang berlebihan dapat mengakibatkan sunburn yang menyebabkan

eritema, hiperpegmentasi, penuaan dini (skin aging), bahkan kanker kulit. Karena

alasan diatas maka dibutuhkan suatu perlindungan untuk mengurangi timbulnya

kerusakan karena radiasi tersebut. Salah satunya dengan menggunkan tabir surya

(Helms, dkk, 2008).

Tabir Surya (sunscreen) merupakan bahan-bahan yang memberikan

perlindungan terhadap efek perubahan dari sinar matahari terutama radiasi ultraviolet

(Elmets & Young, 1993). Tabir surya banyak digunakan sebagai bahan sediaan
18

kosmetik dengan tujuan melindungi kulit dari paparan sinar matahari. Produk tabir

surya (sunscreen) yang mengandung bahan aktif senyawa sintetik masih banyak

beredar di pasaran. Penelitian ini akan menggunakan zat aktif yang berasal dari alam,

yaitu ekstrak temulawak. Zat aktif yang paling berperan dalam aktivitas antioksidan

dan juga diduga sebagai tabir surya dalam ekstrak temulawak adalah senyawa

polifenol dalam gugus kurkuminoid. Adanya ikatan rangkap tidak jenuh mempunyai

peran menyerap sinar UV sehingga berpotensi dikembangkan sebagai tabir surya..

Bahan alam lebih menguntungkan karena tidak menyebabkan iritasi pada kulit yang

sensitif (Helms, dkk, 2008).

Krim adalah sediaan setengah padat yang terdiri dari campuran minyak dan air.

Untuk menghasilkan krim yang stabil ditambahkan emulgator. Pemilihan jenis dan

prosentase zat pengemulsi sangat penting dalam menentukan keberhasilan

pembuatan suatu krim yang stabil. Asam stearat dan trietanolamin (TEA) berfungsi

sebagai emulsifying agent untuk menghasilkan fine-grained didasarkan terjadinya

penyabunan. Setil alkohol selain berfungsi sebagai emulgator juga berfungsi untuk

menaikkan viskositas, dengan naiknya viskositas maka sifat fisik dan stabilitas krim

semakin bagus. Dalam formulasi sediaan yang digunakan secara topikal (dapat

digunakan sebagai basis dalam sediaan krim atau salep) asam stearat berfungsi

sebagai emulsifying dan solubilizing agent pada rentang konsentrasi 5-15%, TEA

sebagai emulsifying agent pada rentang 2-4 %, dan setil alkohol sebagai emulgator

pada rentang 2-5 % (Rowe dkk., 2009).

Untuk mendapatkan krim tabir surya ekstak temulawak dengan sifat fisik dan

stabilitas yang bagus perlu dilakukan optimasi untuk menentukan komposisi setil

alkohol dan TEA-stearat sebagai emulgator.


19

G. Hipotesis

1. Interaksi TEA-stearat dan setil alkohol dapat meningkatkan sifat fisik dan

stabilitas krim ekstrak temulawak yang dihasilkan.

2. Pada kombinasi TEA-stearat presentase tinggi akan menghasilkan krim dengan

sifat fisik dan stabilitas yang rendah. Pada konsentrasi setil alkohol tinggi akan

meningkatkan sifat dan stabilitas fisik krim o/w ekstrak temulawak serta memiliki

nilai Sun Protecting Factor (SPF) tinggi.

3. Tidak terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim o/w ekstrak

temulawak setelah uji stabilitas cyclic temperature stress testing.

Anda mungkin juga menyukai