A. PENGERTIAN
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran
listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik.
Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik
melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall.( Yul Iskandar 2010 ).
ECT adalah pengobatan gangguan kejiwaan yang menggunakan
arus listrik singkat pada otak dengan menggunakan mesin khusus dimana
pasien di anastesi terlebih dahulu dan akan menimbulkan efek convulsi
karena relaksasi otot.(Syamsir, 2009)
ECT adalah suatu terapi berupa aliran listrik ringan yang
dialirkan ke dalam otak untuk menghasilkan suatu serangan yang serupa
dengan serangan epilepsi. ( Prita Daneswari 2010 )
Menurut Townsend (2012) Terapi elektrokonvulsif (ECT)
merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan
pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut
cukup untuk menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek
yang terapeutik tercapai.
Electroconvulsive therapy (ECT), adalah suatu teknik terapi
dengan menggunakan gelombang listrik yang dapat membantu kesembuhan
klien dengan depresi.
B. JENIS
Jenis ECT ada 2 macam :
a. ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien.
Terapi konvensional ini di lakukan tanpa menggunakan obat-obatan
anastesi seperti pada ECT premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada
terapi ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan
timbulnya kejang yang terjadi pada pasien.
C. INDIKASI
a. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap
antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2009).
Menurut Tomb (2010) gangguan afek yang berat: pasien dengan
gangguan bipolar, atau depresi menunjukkan respons yang baik dengan
ECT. Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT
lebih efektif dari antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala
psikotik. Mania juga memberikan respon yang baik pada ECT, terutama
jika litium karbonat gagal untuk mengontrol fase akut.
b. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2009). Menurut
Tomb (2008), pasien unuh dibri yang aktif dan tidak mungkin
menunggu antidepresan bekerja. Ketika efek samping Electro
Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang dari efek samping yang
berhubungan dengan blok jantung, dan selama kehamilan (Stuard,
2009).
c. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe
excited memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah
antipsikotik terlebih dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam
kehidupan (delyrium hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien
psikotik akut (terutama tipe skizoaktif) yang tidak berespons pada
medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi
pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT tidak terlalu berguna
(Tomb, 2009).
D. KONTRAINDIKASI
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur
dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit
neurologik bukan suatu kontraindikasi
1. Resiko sangat tinggi:
1) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi
sistem saraf pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan
SSP dan resiko herniasi tentorium.
2) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal
jika terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan
EKG stabil.
2. Resiko sedang:
1) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan
selama terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
2) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma,
aritmia), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis
jantung hendaknya ada disana.
3) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang
kronis, ulkus peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2009).
E. EFEK SAMPING
1. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi
antara 1-1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko
karena pemberian anastesi umum. Kematian biasanya karena
komplikasi kardiovaskuler.
2. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi
arritmia jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia post
ictal yang sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan dosis
premedikasi anti kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena
hiperaktifitas simpathetiksewaktu kejang atau saat pasien sadar
kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi toksis dan allergi terhadap obat
yang digunakan untuk prosedur ECT premedikasi, tetapi frekwensinya
sangat jarang.
3. Efek cerebral,pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan
acute confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan
setelah ECT, tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami
gangguan memori (Tomb, 2009).
H. KOMPLIKASI
Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi
berakhir 2-3 bulan
1. Sakit kepala, mual, nyeri otot.
2. Kebingungan.
3. Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal.
4. Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
5. Risiko anestesi pada ECT, atropin mernperburuk glaukom sudut
sempit, kerja Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan
bisa menyebabkan hipotonia (Manol, 2012).
I. MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama
perjalanan ECT yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan
neurotransmitter pusat, pelepasan hormon seperti arginine, vasopresin dan
oxytocin, dan perubahan ambang kejang.
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah
dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi
positron (PET; Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah
serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut
telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral, pemakaian
glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat.
Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun,
kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa derajat penurunan metabolisme serebral adalah
berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi
idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT sendiri
bertindak sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan
peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut.
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah
memusatkan perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan,
sekarang ini, perubahan sistem pembawa pesan kedua (second-messenger).
Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan
sesion ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β
pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi
antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik masih merupakan daerah
penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah menemukan suatu
peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada
neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan
serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal muskarinik,
kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah
dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas
adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke
dalam neuron.
J. FREKUENSI
Frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan pemberita yang dapat di
perlakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b. Dua sampai tiga kali seminggu.
c. ECT “maintanance’ sekali tiap 2-4 minggu.
d. Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
e. Untuk pasien yang mengalami gangguan di polar,mania,dengan
gangguan skijo frenia,pasien baru mendapat respon yang maksimum
setelah 20-25 kali tindakan ECT.
M. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ansietas b.d tindakan ECT
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan secret
3. Pola napas tidak efektif b.d kelelahan
4. Risiko Jatuh b.d kelemahan
5. Nyeri akut b.d agen injuri fisik
N. INTERVENSI KEPERAWATAN
PRE-ECT
Diagnosa
Tujuan dan
Keperawa Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
tan
POST ECT
Diagnosa
Tujuan dan
Keperawa Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
tan
Nama Mahasiswa :
1. IDENTITAS KLIEN
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Suku/Bangsa :
Agama :
Status :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
Diagnosa Medis :
No Register :
Ruang Rawat :
Diagnosa Keperawatan :
ECT ke : ..........kali
Potter, Patricia A. & Perry. (2007). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC
Prita Daneswari. (2010). Terapi Kejut Listrik Sembuhkan Depresi Akut. Jakarta: Salemba
Medika
Stuart, GW dan Sundeen, S.J. (2010). Buku Saku Kperewatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC
Syamsir B. (2009). Psikofarmaka, Terapi Kejang Listrik & Psikoterapi. Jakarta: Salemba
Medika
Disusun oleh :
2018