Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di

Indonesia. Kekurangan gizi belum dapat diselesaikan, prevalensi masalah gizi lebih dan

obesitas mulai meningkat khususnya pada kelompok sosial ekonomi menengah ke atas di

perkotaan. Dengan kata lain, saat ini Indonesia tengah menghadapi masalah gizi ganda.

Hal ini sangat merisaukan karena mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)

yang sangat diperlukan di masa mendatang (Depkes RI, 2007).

Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau

investasi dalam pembangunan kesehatan. Ukuran kualitas SDM dapat dilihat pada Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain

dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat. Upaya pengembangan

kualitas SDM dengan mengoptimalkan potensi tumbuh kembang anak dapat

dilaksanakan secara merata apabila sistem pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat

dapat dilakukan secara efektif dan efisien dan dapat menjangkau semua sasaran yang

membutuhkan layanan (Depkes RI, 2006).

Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur tersebut

anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Balita termasuk kelompok yang rentan gizi di

suatu kelompok masyarakat di mana masa itu merupakan masa peralihan antara saat

disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa (Adisasmito, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang

keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut

data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai

17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% per tahun. United Nations Children’s

Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara

dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan

sebanyak 7,7 juta balita (Depkes RI, 2007). Di beberapa provinsi seperti di Nusa

Tenggara Barat (NTB) selama Bulan Januari hingga Oktober 2009 tercatat lebih dari 600

kasus gizi buruk yang pada umumnya menimpa balita dan 31 kasus di antaranya

mengakibatkan kematian (Rio, 2009).

Pemerintah terus berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

khususnya menangani masalah gizi balita karena hal itu berpengaruh terhadap pencapaian

salah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs) pada Tahun 2015 yaitu

mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah lima tahun.

Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menurun dari 25,8 % pada Tahun 2004

menjadi 18,4 % pada Tahun 2007, sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 menargetkan penurunan prevalensi kekurangan gizi

(gizi kurang dan gizi buruk) pada anak balita adalah <15,0% pada Tahun 2014

(Sarjunani, 2009).

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan tujuan

penyusunan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) Tahun 2006-2010 antara

lain meningkatkan pemahaman peran pembangunan pangan dan gizi sebagai investasi

untuk SDM berkualitas, meningkatkan kemampuan menganalisis perkembangan situasi

Universitas Sumatera Utara


pangan dan gizi, dan meningkatkan koordinasi penanganan masalah secara terpadu

(Depkes RI, 2007). Upaya pemerintah tersebut harus didukung oleh berbagai komponen

masyarakat karena masalah gizi di Indonesia bukan hanya masalah kesehatan masyarakat

tetapi menyangkut pembangunan bangsa.

Berdasarkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2009, pembangunan

kesehatan perlu digerakkan oleh masyarakat di mana masyarakat mempunyai peluang

dan peran yang penting dalam pembangunan kesehatan, oleh karena itu pemberdayaan

masyarakat menjadi sangat penting atas dasar untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan

dan kemampuannya sebagai pelaku pembangunan kesehatan. Tinuk dalam Iskandar

(2006) menyatakan pemberdayaan masyarakat adalah upaya peningkatan kemampuan

masyarakat untuk berpartisipasi aktif, berperan aktif, bernegosiasi, memengaruhi dan

mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung gugat demi perbaikan

kehidupannya. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, masyarakat

berperan serta baik secara per orangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan

tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat secara optimal oleh

masyarakat seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan salah satu pendekatan

untuk menemukan dan mengatasi persoalan gizi pada balita. Posyandu adalah salah satu

bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan

diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan

pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan

kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Posyandu meliputi lima program prioritas yaitu Keluarga Berencana (KB),

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare terbukti

mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka kematian bayi dan balita

(Adisasmito, 2007). Posyandu erat sekali kaitannya dengan peran serta aktif masyarakat.

Sejak diperkenalkan Tahun 1980-an, posyandu diakui memberikan kontribusi yang besar

terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan dan gizi. Balita merupakan salah satu

sasaran posyandu yang cukup penting oleh karena balita merupakan proporsi yang cukup

besar dari komposisi penduduk Indonesia (Depkes RI, 2006). Posyandu adalah pusat

kegiatan masyarakat yang dimanfaatkan oleh ibu untuk memperoleh pelayanan dan

sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuannya dalam hal gizi dan

kesehatan. Pemantauan status gizi dan kesehatan anak dapat dilakukan dengan baik

melalui kegiatan di posyandu (Madanidjah, 2007).

Menurut Depkes RI, 2006, perubahan berat badan balita dari waktu ke waktu

merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Anak balita sehat, gizi kurang atau

gizi lebih (obesitas) khususnya di daerah perkotaan dapat diketahui dari pertambahan

berat badannya tiap bulan. Upaya pemantauan terhadap pertumbuhan balita dilakukan

melalui kegiatan penimbangan balita di posyandu secara rutin tiap bulannya yang

hasilnya dicatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) .

Ibu yang tidak menimbang balitanya ke posyandu dapat menyebabkan tidak

terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan balita dan berturut-turut berisiko keadaan

gizinya memburuk sehingga mengalami gangguan pertumbuhan (Depkes RI, 2006).

Penelitian Ariana dalam Nasution (2007) menyatakan bahwa balita yang rutin setiap

Universitas Sumatera Utara


bulan datang dan ditimbang di posyandu sebagian besar mempunyai status gizi baik dan

yang tidak rutin datang dan ditimbang mempunyai status gizi kurang.

Strauss et al. yang dikutip oleh Trias (2007) menyatakan bahwa bentuk peran

serta (partisipasi) masyarakat di posyandu diukur melalui cakupan penimbangan balita

yaitu jumlah anak bawah lima tahun (balita) yang ditimbang dalam suatu wilayah

posyandu dibandingkan dengan jumlah anak balita yang ada dalam suatu wilayah

posyandu tersebut (D/S). Partisipasi masyarakat dalam masalah kesehatan sangat

diperlukan sebagaimana masyarakat tersebut ikut menjadi peserta yang efektif.

Kegiatan penimbangan di posyandu dimaksudkan untuk memantau status gizi

balita dan melihat tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat ke posyandu dari

tahun ke tahun menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Secara nasional tingkat

partisipasi masyarakat ke posyandu hanya mencapai 50,5%. Data yang paling kuat

diperoleh dari temuan Indonesian Family Life Survey (IFLS) di mana terjadi penurunan

sebesar 12% terhadap penggunaan posyandu baik oleh balita laki-laki maupun

perempuan dalam rentang Tahun 1997 hingga Tahun 2000.

Strauss et al. selanjutnya menyatakan dari data IFLS diketahui bahwa pada saat

terjadi penurunan cakupan posyandu, pemanfaatan terhadap layanan kesehatan pribadi

atau swasta meningkat dengan cukup signifikan. Penggunaan bidan praktek meningkat

sebesar 10% antara Tahun 1997-2000 yang mengindikasikan kecenderungan preference

masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan hanya saat mereka merasa

membutuhkan utamanya saat mereka sakit, bukan untuk mendapatkan layanan

monitoring kesehatan dan gizi seperti yang diberikan di posyandu (Trias, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007

menunjukkan bahwa status gizi kurang balita di Sumatera Utara pada Tahun 2007

mencapai 22,7%. Sebagian besar balita ditimbang di posyandu yaitu sebesar 63%,

sedangkan ditimbang di puskesmas sebesar 15%. Secara umum 32% balita tidak

mempunyai KMS, 51% mempunyai KMS tetapi tidak dapat menunjukkan. Persentase

anak yang ibunya dapat menunjukan KMS turun seiring naiknya umur anak (40% anak

umur 6-11 bulan, dan 8% anak umur 48-59 bulan). Hal ini dapat disebabkan KMS yang

dimiliki anak yang lebih tua sudah banyak yang hilang atau dibuang.

Cakupan penimbangan balita (D/S) di Kota Medan dalam Profil Kesehatan

Sumatera Utara Tahun 2007 masih tergolong sangat rendah yaitu dari 137.396 balita

yang ada hanya 34.470 balita yang ditimbang (25,09%). Berdasarkan Profil Kesehatan

Kota Medan (2008), Balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kota Medan Tahun 2008

berjumlah 1.572 orang, sedangkan Tahun 2007 berjumlah 625 orang yang berarti terjadi

peningkatan kasus. Hal ini disebabkan pada Bulan Mei Tahun 2008 dilaksanakan operasi

timbang yang wajib dilaksanakan oleh seluruh puskesmas dan puskesmas pembantu

sehingga balita yang selama ini tidak pernah datang ke posyandu dapat terjaring pada saat

operasi ini.

Tabel 1.1. Cakupan Penimbangan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas


Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2008
No. Puskesmas Balita Balita BB % Cakupan % BB Naik
yang Ditimbang Naik Penimbangan
Ada (N/D) Balita (D/S)
1 Desa Binjai 5.105 1.454 976 28,48 67,13
2 Tegal Sari 5.288 3.942 3.047 74,54 77,30
3 Medan Denai 3.585 2.101 1.836 58,61 87,39
4 Bromo 2.713 1.781 1.302 65,65 73,10
Sumber : Profil Kesehatan Kota Medan, 2008

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 Tentang

Standard Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan Kabupaten/Kota, cakupan pelayanan

anak balita yaitu 90% pada Tahun 2010. Puskesmas Desa Binjai menargetkan cakupan

penimbangan balita mencapai 75%. Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Medan Tahun

2008, diketahui bahwa dari 5.105 balita di wilayah kerja Puskesmas Desa Binjai terdapat

51 balita BGM (3,51%) dan balita gizi buruk sebanyak 14 balita (0,96%).

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara kepada salah

seorang petugas gizi puskesmas yang juga bertugas di posyandu diketahui bahwa

kesadaran masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Desa Binjai Kecamatan Medan Denai

dalam kegiatan posyandu khususnya membawa balitanya untuk ditimbang masih kurang

sehingga puskesmas mengalami kesulitan dalam mendata balita. Sebagian besar ibu

bayi/balita hanya membawa anaknya untuk imunisasi dan menimbang anaknya hingga

usia tiga tahun, kemudian mereka tidak datang lagi membawa anaknya ke posyandu.

Laporan cakupan penimbangan di posyandu adalah cakupan penimbangan bayi hingga

usia bawah tiga tahun (batita) dan keadaan ini menunjukkan pertumbuhan anak balita

tidak terpantau, oleh karena itu petugas puskesmas terus mengingatkan ibu bayi/balita

pada saat pelaksanaan posyandu untuk rutin memantau pertumbuhan anaknya ke

posyandu hingga usia lima tahun.

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat

luas. Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap,

dan tindakan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour) karena berdasarkan pengalaman dan

Universitas Sumatera Utara


penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Hasil penelitian Hanafiah dalam Sari (2009) di Desa Matang Tepah Kabupaten

Aceh Tamiang dapat dilihat tingginya frekuensi pemanfaatan posyandu (12 kali dalam

satu tahun) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor karakteristik ibu

bayi/balita yang meliputi pengetahuan dan pendidikan ibu bayi/balita dan faktor persepsi

yang meliputi persepsi tentang penampilan kader dan jarak posyandu.

Razali (2004) menyatakan bahwa faktor penyebab cakupan penimbangan balita di

Kabupaten Bengkalis pada Tahun 2002 berada pada posisi paling bawah di tingkat

provinsi yaitu sebesar 33,1% antara lain menurunnya kinerja posyandu dan kurang

mendukungnya perilaku masyarakat. Widiastuti (2006) menyatakan ibu balita yang tidak

mau datang ke posyandu karena tidak mengetahui manfaat posyandu dan tujuan ibu balita

berkunjung ke posyandu untuk memantau perkembangan balitanya dan mendapatkan

makanan tambahan serta dapat berkumpul dengan ibu balita yang lain.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pengaruh karakteristik ibu balita (paritas, pendidikan, pekerjaan,

pendapatan, pengetahuan dan sikap) terhadap partisipasi dalam penimbangan balita (D/S)

di Posyandu Desa Binjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2010.

Universitas Sumatera Utara


1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang

menjadi perumusan masalah penelitian adalah apakah ada pengaruh karakteristik ibu

balita (paritas, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap) terhadap

partisipasi dalam penimbangan balita (D/S) di Kelurahan Desa Binjai Kecamatan Medan

Denai Kota Medan Tahun 2010.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh karakteristik ibu balita

(paritas, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap) terhadap partisipasi

dalam penimbangan balita (D/S) di Posyandu Kelurahan Desa Binjai Kecamatan Medan

Denai Kota Medan Tahun 2010.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada kantor Dinas Kesehatan Kota Medan dalam rangka

pembinaan Posyandu.

2. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Puskesmas Desa Binjai Kecamatan

Medan Denai Kota Medan dan Tim Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal)

Posyandu Kecamatan dalam rangka menyusun strategi pembinaan yang efektif dan

efisien terhadap posyandu, inovatif dan menarik perhatian masyarakat di wilayah

kerjanya.

3. Menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan peneliti dalam bidang

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai