1. Suka Nyolong Baik koruptor dan tikus dua-duanya memiliki kesamaan suka nyolong. Bedanya kalo tikus nyolong
makanan kamu, sementara kalo koruptor nyolong duit kamu (yang harusnya bisa buat beli makanan juga).Tapi
mungkin perbedaan mendasarnya adalah apa yang mendasari mereka nyolong. Tikus nyolong karena memang
mereka harus bertahan hidup, sementara koruptor nyolong karena…karena apa ya? Karena serakah sih. 2. Susah
Ditangkep Baik tikus dan koruptor sama-sama susah ditangkep. Mereka sangat gesit dalam hal kabur dan pinter
banget sembunyi. Bedanya kalo tikus sembunyi di belakang lemari atau di gorong-gorong, kalo koruptor
sembunyinya di luar negeri, pake duit yang dia colong dari kamu. Jadi kalo tikus mau gak mau jadi kotor pas
sembunyi, koruptor malah bisa sambil jalan-jalan dan menikmati peradaban pas sembunyi. 3. Hidup Membaur di
Masyarakat Baik tikus dan koruptor sama-sama hidup membaur di antara kita semua dan terkadang sulit untuk
menyadari kehadiran mereka. Setelah kamu melihat mereka, kamu baru tahu bahwa ternyata hidup kamu dikelilingi
oleh mereka dan kamu memang gak bisa lepas dari mereka. Kamu boleh kesel, pengen memberantas mereka, tapi
ternyata mereka sudah menjamur dan jumlahnya jauh lebih banyak dari kamu. 4. Pantesnya Dihukum Mati Daripada
ngeracunin hidup kamu, baik koruptor dan tikus memang pantesnya dihukum mati aja. Bedanya kalo tikus layaknya
dihukum mati karena bisa menyebarkan penyakit, sementara kalo koruptor layaknya dihukum mati
karena…menyebarkan penyakit juga sih. Sama nyolong duit kamu. Tapi lebih ke karena mereka nyolong duit kamu.
Brengsek. 5. Bermuka Busuk Yah, biasanya keduanya sama-sama bermuka busuk. Kamu kadang-kadang bisa
nemu tikus yang lucu sih, tapi lebih sering kamu udah jijik duluan kan liatnya. Sama halnya dengan koruptor lah. Yah
begitulah kira-kira. Semoga membantu kamu dalam mempelajari perkorupsian. Ada yang kurang? Silakan
Copyright FeriNgeblog.com
Nah ini adalah sebuah pertanyaan yang sungguh tepat di era korupsi semacam ini. Seharusnya kalian
memang peduli dengan hal-hal semacam ini. Ini penting lho untuk mendalami tentang perkorupsian. Siapa tau kamu
mau jadi koruptor handal. Baiklah, langsung saja kita jawab. Kenapa koruptor disamakan dengan tikus? Hmm,
1. Suka Nyolong
Baik koruptor dan tikus dua-duanya memiliki kesamaan suka nyolong. Bedanya kalo tikus nyolong makanan
kamu, sementara kalo koruptor nyolong duit kamu (yang harusnya bisa buat beli makanan juga).Tapi mungkin
perbedaan mendasarnya adalah apa yang mendasari mereka nyolong. Tikus nyolong karena memang mereka harus
bertahan hidup, sementara koruptor nyolong karena…karena apa ya? Karena serakah sih.
2. Susah Ditangkep
Baik tikus dan koruptor sama-sama susah ditangkep. Mereka sangat gesit dalam hal kabur dan pinter banget
sembunyi. Bedanya kalo tikus sembunyi di belakang lemari atau di gorong-gorong, kalo koruptor sembunyinya di luar
negeri, pake duit yang dia colong dari kamu. Jadi kalo tikus mau gak mau jadi kotor pas sembunyi, koruptor malah
Baik tikus dan koruptor sama-sama hidup membaur di antara kita semua dan terkadang sulit untuk menyadari
kehadiran mereka. Setelah kamu melihat mereka, kamu baru tahu bahwa ternyata hidup kamu dikelilingi oleh mereka
dan kamu memang gak bisa lepas dari mereka. Kamu boleh kesel, pengen memberantas mereka, tapi ternyata
mereka sudah menjamur dan jumlahnya jauh lebih banyak dari kamu.
Daripada ngeracunin hidup kamu, baik koruptor dan tikus memang pantesnya dihukum mati aja. Bedanya kalo
tikus layaknya dihukum mati karena bisa menyebarkan penyakit, sementara kalo koruptor layaknya dihukum mati
karena…menyebarkan penyakit juga sih. Sama nyolong duit kamu. Tapi lebih ke karena mereka nyolong duit kamu.
Brengsek.
5. Bermuka Busuk
Yah, biasanya keduanya sama-sama bermuka busuk. Kamu kadang-kadang bisa nemu tikus yang lucu sih,
tapi lebih sering kamu udah jijik duluan kan liatnya. Sama halnya dengan koruptor lah.
1.perampokan
2.penculikan
3.kdrt
4.kekerasan seksual
5.pelecehan
6.tawuran
7.pengguna narkoba dan sejenis nya
8.pembajakkan
9.korupsi
10.pembunuhan
a. Bidang politik
Sejak awal pemerintahannya, Jepang melarang bangsa Indonesia berserikat dan berkumpul.
Oleh karena itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi pergerakan nasional yang
dibentuk pada mas Hindia Belanda, kecuali MIAN. MIAI kemudian dibubarkan dan
digantikan dengan Masyumi. Para tokoh pergerakan nasional pada masa pendudukan
Jepang mengambil sikap kooperatif. Dengan sikap ini, meraka banyak yang duduk dalam
badan-badan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang, seperti Gerakan 3 A, Putera, dan Cuo
Sangi In. Selain itu, para tokoh pergerakan nasional juga memanfaatkan kesatuan-kesatuan
pertahanan yang dibentuk oleh Jepang, seperti Jawa Hokokai, Heiho, Peta, dan sebagainya.
3.1 Kasus Korupsi di Zaman Pra Kemerdekaan pada masa Kolonial Belanda
Contoh Kasus 1
Pada zaman kolonial belanda adalah kasus korupsi dana pemberantasan penyakit pes dan
dugaaan korupsi terhadap Demang Jayeng Pranawa. Kasus korupsi dana pemberantasan penyakit pes ini
terjadi salah satunya dengan tindakan yang dilakukan oleh Mantri Gunung Colo Madu , Raden Mas Ngabehi
Harjasasmita telah melakukan tindak korupsi dalam penggunaan dana untuk perbaikan rumah penduduk
dalam rangka pemberantasan penyakit pes. Tindak korupsi itu antara lain berupa penggelembungan harga
pembelian gedek (dinding dari anyaman bambu). Ini sangat menarik karena menunjukkan bahwa
budayamark up (penggelembungan harga) atas suatu pengadaan barang atau jasa sudah dikenal dengan
baik pada zaman kolonial Belanda.
Mengenai dugaan korupsi terhadap Demang Jayeng Pranawa ini muncul dengan adanya surat
kaleng dimana dalam surat kaleng itu Jayeng Pranawa, wakil kepala desa Jurug diduga melakukan
sejumlah tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Tindakan tersebut diantaranya, pertama, tiap
hari melakukan turne ke desa-desa yang dianggap menyusahkan para bekel yang didatangi dan ia
meminjam uang kepada para bekel dengan cara memaksa. Kedua, Ia meminta uang untuk pembuatan
surat kitir (surat keterangan) terhadap penduduk yang bernama Wangsadikroama, dari desa Jomboran
sebesar 30 sen yang hendak menjual berasnya ke Kota Solo. Ketiga, ia melindungi pelaku durjana koyok
yang melakukan tindak kejahatan di desa Klampok, Jagamasan sebab pencurinya kenal dengannya sebagai
akibatnya pencurinya tidak berhasil ditangkap. Namun hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa isi surat
kaleng tersebut tidak benar. Surat kaleng itu diperkirakan hanyalah sebuah rekayasa karena merasa benci
terhadap Jayeng Pranawa. Para bekel dan nara karya merasa berat dalam menjalankan program
pengembangan pertanian desa yang dicanangkannya.
Dalam sejarah Jawa dikatakan oleh Onghokham persoalan pemungutan pajak dan kesewenangan
para pejabat pada tingkat tersebut, seperti para demang dan khususnya para penjaga pintu gerbang (tool
gates) menyebabkan pemberontakan, antara lain pemberontakan Diponegoro (1825-1830). Kebanyakan
pengikut Diponegoro bukan memprotes sang patih, sultan ataupun Belanda, akan tetapi pemungut di
gerbang jalanan, berdasrkan arsip Belanda, pada zaman kolonial lebih banyak protes terhadap
kesewenangan dan korupsi dari sang lurah daripada sang bupati.
Contoh kasus 2
Van Rossen, Komisaris Besar (hoofdcommissaris) Polisi Batavia, yang merangkap sebagai
komandan wilayah polisi lapangan Batavia dan Banten, yang ditahan karena dugaan kasus penggelapan.
Cerita ini ditulis oleh Marieke Bloembergen, Dosen Sejarah Universitas Amsterdam yang merangkap
sebagai peneliti senior di KITLV (Institute Linguistik dan Antropologi Kerajaan Belanda), dalam bukunya
berjudul: "Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan".
Kisah itu terjadi pada 8 September 1923, tak lama setelah perayaan kenaikan tahta Ratu
Wilhelmina. Waktu itu, Asisten Residen Batavia, JJ van Helsdingen, setelah mendapat informasi yang cukup
dari dalam kepolisian, berhasil mengumpulkan cukup bukti. Dia menangkap Van Rossen atas dugaan
keterlibatan kasus tersebut.
Kemudian Rossen mengakui segala tuduhan itu, lalu ditahan. Rossen datang ke Batavia pada
1918, menggantikan Komisaris Besar Polisi Boon. Dia disebut sebagai tokoh yang bersih oleh Gubernur
Jenderal Van Limburg Stirum. Ternyata, selama bertahun-tahun Rossen berhasil memperkaya diri sendiri
dengan mempermainkan pos anggaran kepolisian.
Caranya, dia mengalihkan sebagian uang yang tersedia karena adanya kekosongan jabatan dan
menyalahgunakan kebijakan kepegawaian. Dia mengangkat pegawai sementara, lalu memecatnya. Rossen
berhasil menggelapkan uang kepolisian dengan jumlah besar, mencapai satu juta gulden.
Sejak 1922, Helsdingen selalu mengawasi dan mencermati segala tindak tanduk Rossen itu.
Kecurigaan terhadap Rossen menguat setelah melihat harta kekayaanya melimpah. Dia memiliki mobil
Hudson warna merah, rumah dengan interior mewah dan sebuah vila di Belanda.Setelah diusut, ternyata
Rossen terlibat pemerasan rumah perjudian dan pelacuran di kawasan Senen, Batavia (sekarang Jakarta).
Setiap bulan, rumah judi dan pelacuran itu membayar uang kepada kantor polisi Senen sebesar 2.000
gulden. Uang itu mengalir ke kantong pribadi Rossen.
Setelah kasus penggelapan dana kepolisian itu terbongkar, Rossen diseret ke pengadilan, dan
dituntut dengan hukuman 6 tahun penjara.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Belanda menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun adalah karena perilaku elit lebih suka
memperkaya diri sendiri (melalui upeti), menumpuk harta, dan memelihara sanak (abdi dalem), sedangkan
penduduk miskin mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan diadu domba. Budaya yang
sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan perilaku korupsi di Nusantara.
Korupsi ini tumbuh dengan suburnya pada zaman penjajahan Belanda khususnya dengan didukung
oleh masyarakat yang bermoral bejat dan tidak sadar dengan nasionlalisme. Moral yang bejat ini akan bisa
menumbuhkan korupsi dengan subur di setiap zaman dan keadaan. Bibit korupsi ditanam dengan mantap
pada zaman penjajahan dengan berbagai bukti kejadian-kejadian yang dicatat dan diamati oleh para
sejarawan dan saksi yang menyaksikan secara langsung bagaimana keadaan pada zaman penjajahan
Belanda tersebut.
4.2 Saran
Penulis dan pembaca dapat mengambil pelajaran dari kasus korupsi yang dilakukan pada masa
Kolonial Belanda sehingga tidak ada lagi tindak perilaku korups yang terjadi.