Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DIARE

1.1 Definisi Diare

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi


defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi
tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir. (7)

1.2. Klasifikasi Diare

Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung


singkat, dalam beberapa jam atau hari dan berlangsung dalam waktu kurang
dari 2 minggu, dan disebut diare persisten bila berlangsung selama 2
minggu sampai dengan 4 minggu. Bila berlangsung lebih dari 4 minggu
disebut sebagai diare kronik. (8)
Banyak macam klasifikasi dari diare, antara lain:
1. Rendle Short membuat klasifikasi berdasarkan pada ada atau tidak
adanya infeksi, diklasifikasi menurut 2 golongan:(25)
a. Diare infeksi spesifik: tifus abdomen, disentri basil.
b. Diare non-spesifik: diare dietetik.
2. Moses membagi berdasarkan atas penyebabnya:(26)
a. Infeksi
 Parasit: amebiasis, balantidiasis, helmintiasis.
 Bakteri: basiler disentri, cholera, salmonellosis.
 Enteroviral: virus gastroenteritis.
b. Keracunan makanan
 Karena toksin bakteri, misalnya Botulisme
 Karena toksin yang dikeluarkan oleh makanan sendiri
c. Diare akibat obat-obatan
 Post antibiotik diare
 Diare dapat timbul secara sekunder karena dosis
berlebihan dari quinidin, colchicin, digitalis, reserpin,
laksatif.
d. Diare yang etiologinya tidak pasti
e. Diare psikogenik
f. Keadaan lain yang berhubungan dengan diare kronis

1.3. Patogenesis
Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transpor terhadap
air dan elektrolit pada saluran cerna. Mekanisme gangguan tersebut ada 5
kemungkinan: (9)
1) Osmolaritas intraluminer yang meninggi.
2) Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.
3) Absorpsi elektrolit berkurang.
4) Motilitas usus yang meninggi/hiperperistaltis, atau waktu transit yang
pendek.
5) Sekresi eksudat.
Diare yang terjadi pada penyakit tertentu atau yang disebabkan suatu
faktor etiologi tertentu, biasanya timbul oleh gabungan dari beberapa
mekanisme diatas. (9)
Sesuai dengan perjalanan penyakit diare, patogenesis penyakit diare dibagi
atas: (7)
1. Diare akut
Lebih dari 90% diare akut disebabkan karena infeksi.
Patogenesis diare akut oleh infeksi yaitu masuknya mikroorganisme
ke dalam saluran pencernaan, berkembangbiaknya mikroorganisme
tersebut setelah berhasil melewati asam lambung, dibentuknya
toksin (endotoksin) oleh mikroorganisme, adanya rangsangan pada
mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik dan
sekresi cairan usus mengakibatkan terjadinya diare.
2. Diare kronik
Patogenesis diare kronik lebih rumit karena terdapat
beberapa faktor yang satu sama lain saling mempengaruhi. Faktor-
faktor tersebut antara lain:
a. Infeksi bakteri
Misalnya ETEC (Entero Toxigenic E. Coli) yang
sudah resisten terhadap obat. Juga diare kronik dapat terjadi
kalau ada pertumbuhan bakteri berlipat ganda (over growth)
dari bakteri non patogen.
b. Infeksi parasit
Terutama E.histolytica, Giardia, Candida dan
sebagainya.
c. Kekurangan kalori protein
Pada penderita kekurangan kalori protein terdapat
atrofi semua organ termasuk atrofi mukosa usus halus,
mukosa lambung, hepar dan pankreas. Akibatnya terjadi
defisiensi enzim yang dikeluarkan oleh organ-organ tersebut
yang menyebabkan makanan tidak dapat dicerna dan
diabsorpsi dengan sempurna. Makanan yang tidak diabsorpsi
tersebut akan menyebabkan tekanan osmotik koloid di dalam
lumen usus meningkat yang menyebabkan terjadinya diare
osmotik. Selain itu juga akan menyebabkan over growth
bakteri yang akan menambah beratnya malabsorpsi dan
infeksi.
d. Gangguan imunologik
Usus merupakan organ utama dari daya pertahanan
tubuh. Defisisensi dari Secretory IgA dan Cell Mediated
Immunity (CMI) akan menyebabkan tubuh tidak mampu
mengatasi infeksi dan infestasi parasit dalam usus.
Akibatnya, bakteri, virus, parasit, dan jamur akan masuk ke
dalam usus dan berkembang biak dengan leluasa sehingga
terjadi over growth dengan akibat lebih lanjut berupa diare
kronik dan malabsorpsi makanan.

1.4. Patofisiologi
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi: (7)
1. Kehilangan air (dehidrasi) merupakan penyebab kematian
pada diare. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output)
lebih banyak daripada pemasukan air (input), merupakan
penyebab kematian pada diare.
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis).
Metabolik asidosis ini terjadi karena:
a. Kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja.
b. Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak tidak
sempurna sehingga benda keton tertimbun dalam
tubuh.
c. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya
anoksi jaringan.
d. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat
karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi
oliguria/anuria).
e. Pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam
cairan intraseluler.
Secara klinis asidosis dapat diketahui dengan
memperhatikan pernafasan. Pernafasan bersifat cepat, teratur
dan dalam, yang disebut pernafasan Kuszmaull. Pernafasan
Kuszmaull ini merupakan homeostasis respiratorik, adalah
usaha tubuh untuk mepertahankan pH darah.
3. Hipoglikemi.
Hipoglikemi terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang
menderita diare. Lebih sering pada anak yang sebelumnya sudah
menderita kekurangan kalori protein. Hal ini terjadi karena
penyimpanan/persediaan glikogen dalam hati terganggu dan adanya
gangguan absorpsi glukosa (walau jarang terjadi). Gejala
hipoglikemi akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai
40 mg% pada bayi dan 50mg% pada anak-anak. Gejalanya adalah
lemah, apatis, peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok,
kejang sampai koma.
4. Gangguan gizi.
Gangguan gizi sering terjadi pada anak yang menderita diare
dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang
singkat. Hal ini disebabkan makanan sering dihentikan karena takut
diare dan atau muntah yang akan bertambah hebat, pemberian susu
yang diencerkan, makanan yang diberikan sering tidak dicerna dan
diabsorpsi dengan baik.
5. Gangguan sirkulasi.
Sebagai akibat diare dengan/disertai muntah, dapat terjadi
gangguan sirkulasi darah berupa renjatan (syok) hipovolemik.
Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis
bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak,
kesadaran menurun dan bila tidak segera ditolong penderita dapat
meninggal.

1.5. Manifetasi Klinis


Penularan diare akut karena infeksi melalui transmisi fekal oral
langsung dari penderita diare atau melalui makanan/minuman yang
terkontaminasi bakteri patogen yang berasal dari tinja/manusia atau
hewan atau bahan muntahan penderita. Penularan dapat juga berupa
transmisi dari manusia ke manusia lain melalui udara atau melalui
aktifitas seksual kontak oral genital atau oral anal. (8)
Diare akut karena infeksi bakteri yang
mengandung/memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik
dengan gejala-gejala mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang
umumnya ringan, disertai atau tanpa nyeri/kejang perut, dengan feses
lembek/cair. Diare sekretorik yang berlangsung beberapa waktu tanpa
penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian
karena kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik
atau karena asidosis metabolik lanjut. Karena kehilangan cairan,
seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang mata menjadi
cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta
suara menjadi serak. (8)
Kehilangan bikarbonas dan asam karbonas yang berkurang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang
pusat pernafasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam
(pernafasan Kussmaul). Gangguan kardiovaskular pada tahap
hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda
denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur.
Mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang
sianosis karena kehilangan kalium. Penurunan tekanan darah akan
menyebabkan perfusi ginjal menurun dengan sangat.(24) Untuk jelasnya
gejala klinik diare dibagi atas: (9)
1. Fase prodromal yang dapat juga disebut sebagai sindrom pradiare:
perut terasa penuh, mual bisa sampai muntah, keringat dingin,
pusing.
2. Fase diare: diare dengan segala akibatnya berlanjut yaitu dehidrasi,
asidosis, syok, mules, dapat sampai kejang, dengan atau tanpa panas,
pusing.
3. Fase penyembuhan: diare makin jarang, mules berkurang, penderita
rasa lemas/lesu.
Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan: (7)
1. Kehilangan berat badan
a. Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.
b. Dehidrasi sedang bila terjadi penurunan berat badan 5-10%.
c. Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan >10%.

2. Skor Maurice King


Bagian tubuh yang Nilai untuk gejala yang ditemukan
diperiksa 0 1 2
Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, Mengingau, koma
apatis, ngantuk atau syok
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kering dan sianosis
Denyut nadi/menit Kuat>120 Sedang (120-`140) >140

Berdasarkan skor yang ditemukan pada penderita, dapat


ditentukan derajat dehidrasinya. Skor 0-2 adalah dehidrasi ringan, skor 3-
6 adalah dehidrasi sedang dan skor>7 adalah dehidrasi berat.
3. Kriteria Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
a. Dehidrasi berat
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda berikut:
letargi atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa minum atau
malas minum, cubitan kulit perut kembalinya sangat lambat.
b. Dehidrasi sedang
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda berikut:
gelisah, rewel/marah, mata cekung, haus, minum dengan
lahap, cubitan kulit perut kembalinya lambat.
c. Tanpa dehidrasi
Tidak cukup tanda-tanda untuk diklasifikasikan
sebagai dehidrasi berat atau ringan/sedang.
4. Menurut tonisitas darah
a. Dehidrasi isotonik, bila kadar Na+ dalam plasma anatara 131-
150 mEq/L
b. Dehidrasi hipotonik, bila kadar Na+ ≤ 131 mEq/L
c. Dehidrasi hipertonik, bila kadar Na+ > 150 mEq/L

1.6. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam
menegakkan diagnosis kausal yang tepat sehingga kita dapat
meberikan obat yang tepat pula. Dalam praktek sehari-hari,
pemeriksaan laboratorium lengkap hanya dikerjakan jika diare tidak
sembuh dalam 5-7 hari. (7)
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dikerjakan: (7)
1. Pemeriksaan tinja:
a. Makroskopik dan mikroskopik.
b. Biakan kuman.
c. Tes resistensi terhadap berbagai antibiotika.
d. pH dan kadar gula, jika diduga intoleransi laktosa.
2. Pemeriksaan darah:
a. Darah lengkap.
b. Pemeriksaan elektrolit, pH dan cadangan alkali.
c. Kadar ureum
3. Intubasi duodenal: pada diare kronik untuk mencari kuman
penyebab.

1.7. Diagnosis
Demi kepentingan pelayanan sehari-hari diagnosis kerja
berdasarkan gejala klinik seharusnya sudah memadai, dan sudah
cukup untuk kepentingan terapi. Namun demikian diagnosis pasti
tetap perlu diupayakan, demi kepentingan penelitian, pendidikan dan
upaya pencegahan pada masyarakat. Langkah diagnosis sebagai
berikut: (9)
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Laboratorium
4. Endoskopi

1.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara garis besar sebagai berikut: (9)


1. Penerangan pada penderita
2. Diet
3. Simtomatis
4. Antibiotik/anti parasite
5. Mengobati akibat diare (air, elektrolit, nutrisi)

1.9. Pencegahan

Tujuh intervensi pencegahan diare yang efektif: (7)


1. Pemberian ASI
2. Memperbaiki makanan sapihan
3. Menggunakan air bersih yang cukup banyak
4. Mencuci tangan
5. Menggunakan jamban keluarga
6. Cara membuang tinja yang baik dan benar
7. Pembe
8. rian imunisasi campak

1.10. FAKTOR RISIKO DIARE

1.10.1. Karakteristik Balita

a. Umur balita
Periode penting dalam tumbuh kembang adalah masa
balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan
mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak
selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan
berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan
intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya. (13)
Pembagian umur balita berdasarkan pertumbuhan dan
perkembangannya menurut Markum, A.H (1991) yaitu: (14)
1. Kelompok umur 9-12 bulan
2. Kelompok umur 12-18 bulan
3. Kelompok umur 18-24 bulan
4. Kelompok umur 2-3 tahun
5. Kelompok umur 3-4 tahun
6. Kelompok umur 4-5 tahun
Untuk keperluan perbandingan maka WHO
menganjurkan pembagian umur untuk mempelajari penyakit
anak sebagai berikut: (15)
1. 0-4 bulan
2. 5-10 bulan
3. 11-23 bulan
4. 2-4 tahun
5. 5-9 tahun
6. 9-14 tahun
Semakin muda umur balita semakin besar
kemungkinan terkena diare, karena semakin muda umur
balita keadaan integritas mukosa usus masih belum baik,
sehingga daya tahan tubuh masih belum sempurna. (16)

1.10.2. Faktor Sosiodemografi


Demografi adalah ilmu yang mempelajari persoalan dan
keadaan perubahan-perubahan penduduk yang berhubungan dengan
komponenkomponen perubahan tersebut seperti kelahiran, kematian,
migrasi sehingga menghasilkan suatu keadaan dan komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin tertentu (Lembaga
Demografi FE UI, 2000). Dalam pengertian yang lebih luas,
demografi juga memperhatikan berbagai karakteristik individu
maupun kelompok yang meliputi karakteristik sosial dan demografi,
karakteristik pendidikan dan karakteristik ekonomi. Karakteristik
sosial dan demografi meliputi: jenis kelamin, umur, status
perkawinan, dan agama. Karakteristik pendidikan meliputi: tingkat
pendidikan. Karakteristik ekonomi meliputi jenis pekerjaan, status
ekonomi dan pendapatan (Mantra, 2000).
Faktor sosiodemografi meliputi tingkat pendidikan ibu, jenis
pekerjaan ibu, dan umur ibu.
a. Tingkat pendidikan
Jenjang pendidikan memegang peranan cukup
penting dalam
kesehatan masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah
menjadikan mereka sulit diberi tahu mengenai pentingnya
higyene perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah
terjangkitnya penyakit menular, diantaranya diare. Dengan
sulitnya mereka menerima penyuluhan, menyebabkan
mereka tidak peduli terhadap upaya pencegahan penyakit
menular (Sander, 2005).
Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih
tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui
lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status
kesehatan yang lebih baik. Pada perempuan, semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan
kematian ibu (Widyastuti, 2005).
b. Jenis pekerjaan
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat
mencerminkan pendapatan, status sosial, pendidikan, status
sosial ekonomi, risiko cedera atau masalah kesehatan dalam
suatu kelompok populasi. Pekerjaan juga merupakan suatu
determinan risiko dan determinan terpapar yang khusus
dalam bidang pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor
status kesehatan dan kondisi tempat suatu populasi bekerja
(Widyastuti, 2005).
c. Umur ibu
Sifat manusia yang dapat membawa perbedaan pada
hasil suatu penelitian atau yang dapat membantu memastikan
hubungan sebab akibat dalam hal hubungan penyakit,
kondisi cidera, penyakit kronis, dan penyakit lain yang dapat
menyengsarakan manusia, umur merupakan karakter yang
memiliki pengaruh paling besar. Umur mempunyai lebih
banyak efek pengganggu daripada yang dimiliki karakter
tunggal lain. Umur merupakan salah satu variabel terkuat
yang dipakai untuk memprediksi perbedaan dalam hal
penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan, dan karena saling
diperbandingkan maka kekuatan variable umur menjadi
mudah dilihat (Widyastuti, 2005).
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di
dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-
angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua
keadaan menunjukkan hubungan dengan umur
(Notoatmodjo, 2003).

1.10.3. Faktor lingkungan

a. Sumber air minum


Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Di dalam tubuh
manusia sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar
55- 60% berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65%
dan untuk bayi sekitar 80%. Kebutuhan manusia akan air sangat
kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan
sebagainya. Di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia tiap
orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Di antara
kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah
kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum
dan masak air harus mempunyai persyaratan khusus agar air
tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia (Notoatmodjo,
2003).
Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi
yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian diare.
Sebagian kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur
fekal oral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam
mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air
minum, jari-jari tangan, dan makanan yang disiapkan dalam panci
yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2000). Menurut
Slamet (2002) macam-macam sumber air minum antara lain :
1. Air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan tanah.
Misalnya air sungai, air rawa dan danau.
2. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa disebut air tanah
dangkal atau air tanah dalam. Air dalam tanah adalah air yang
diperoleh pengumpulan air pada lapisan tanah yang dalam.
Misalnya air sumur, air dari mata air.
3. Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti hujan
dan salju.

Menurut Depkes RI (2000), hal - hal yang perlu diperhatikan


dalam penyediaan air bersih adalah :
1. Mengambil air dari sumber air yang bersih.
2. Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih
dan tertutup serta menggunakan gayung khusus untuk
mengambil air.
3. Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh
binatang, anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara
sumber air minum dengan sumber pengotoran seperti
septictank, tempat pembuangan sampah dan air limbah harus
lebih dari 10 meter.
4. Mengunakan air yang direbus.
5. Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang
bersih dan cukup
.
b. Jenis tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari
kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak menurut aturan
memudahkan terjadinya penyebaran penyakit tertentu yang
penulurannya melalui tinja antara lain penyakit diare. Menurut
Notoatmodjo (2003), syarat pembuangan kotoran yang memenuhi
aturan kesehatan adalah :
1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya,
2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya,
3. Tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya,
4. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai sebagai
tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit
lainnya,
5. Tidak menimbulkan bau,
6. Pembuatannya murah, dan
7. Mudah digunakan dan dipelihara.

Menurut Entjang (2000), macam-macam tempat


pembuangan tinja, antara lain:
1. Jamban cemplung (Pit latrine)
Jamban cemplung ini sering dijumpai di daerah
pedesaan. Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang
ke dalam tanah dengan diameter 80 – 120 cm sedalam 2,5
sampai 8 meter. Jamban cemplung tidak boleh terlalu dalam,
karena akan mengotori air tanah dibawahnya. Jarak dari
sumber minum sekurang-kurangnya 15 meter.
2. Jamban air (Water latrine)
Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air di
dalam tanah sebagai tempat pembuangan tinja. Proses
pembusukkanya sama seperti pembusukan tinja dalam air
kali.
3. Jamban leher angsa (Angsa latrine)
Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan selalu
terisi air. Fungsi air ini sebagai sumbat sehingga bau busuk
dari kakus tidak tercium. Bila dipakai, tinjanya tertampung
sebentar dan bila disiram air, baru masuk ke bagian yang
menurun untuk masuk ke tempat penampungannya.
4. Jamban bor (Bored hole latrine)
Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya
ukurannya lebih kecil karena untuk pemakaian yang tidak
lama, misalnya untuk perkampungan sementara.
Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi
pengotoran tanah permukaan (meluap).
5. Jamban keranjang (Bucket latrine)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan
kemudian dibuang di tempat lain, misalnya untuk penderita
yang tak dapat meninggalkan tempat tidur. Sistem jamban
keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar, tidak
di lokasi jambannya, tetapi disepanjang perjalanan ke tempat
pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya
menimbulkan bau.
6. Jamban parit (Trench latrine)
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30 - 40 cm untuk
tempat defaecatie. Tanah galiannya dipakai untuk
menimbunnya. Penggunaan jamban parit sering
mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama
yang berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah,
pemberantasan lalat, dan pencegahan pencapaian tinja oleh
hewan.
7. Jamban empang / gantung (Overhung latrine)
Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas
kolam, selokan, kali, rawa dan sebagainya. Kerugiannya
mengotori air permukaan sehingga bibit penyakit yang
terdapat didalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan air,
yang dapat menimbulkan wabah.
8. Jamban kimia (Chemical toilet)
Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi caustic
soda sehingga dihancurkan sekalian didesinfeksi. Biasanya
dipergunakan dalam kendaraan umum misalnya dalam
pesawat udara, dapat pula digunakan dalam rumah. Tempat
pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak
balita sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan keluarga
yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang
memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2004). Menurut hasil
penelitian Irianto (1996), anak balita yang berasal dari
keluarga yang menggunakan jamban yang dilengkapi dengan
tangka septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2%
di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa
tangki septik 12,1% diare terjadi di kota dan 8,9% di desa.
Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga yang
mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja,
yaitu 17% di kota dan 12,7 di desa.

c. Jenis lantai rumah


Menurut Notoatmodjo (2003) syarat rumah yang sehat jenis
lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada
musim penghujan. Lantai rumah dapat terbuat dari: ubin atau semen,
kayu, dan tanah yang disiram kemudian dipadatkan. Lantai yang
basah dan berdebu dapat menimbulkan sarang penyakit. Lantai yang
baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab.
Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, paling tidak
perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik
yang mudah dibersihkan (Depkes, 2002).
Jenis lantai rumah tinggal mempunyai hubungan yang
bermakna pula dengan kejadian diare pada anak balita, Hal ini ditinjau
dari jenis alas atau bahan dasar penutup bagian bawah, dinilai dari
segi bahan dan kedap air. Lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan
lagi, sebab bila musim hujan akan lembab sehingga dapat
menimbulkan gangguan atau penyakit pada penghuninya, oleh karena
itu perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air (disemen, dipasang
keramik, dan teraso). Lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari
permukaan tanah untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah
(Sanropie, 1989).

d. Pembuangan sampah
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak
terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses
industri. Jenis-jenis sampah antara lain, yakni sampah anorganik,
adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya:
logam atau besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik adalah
sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya: sisa
makanan, daun-daunan, dan buah-buahan (Notoatmodjo, 2003).

e. Kondisi rumah
Keadaan kondisi rumah merupakan salah satu faktor yang
menentukan keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Menurut
Notoatmodjo (2003), syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari
ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, fasilitas-fasilitas di dalam
rumah sehat adalah sebagai berikut:
a. Ventilasi
Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di
dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen. Luas
ventilasi kurang lebih 15-20% dari luas lantai rumah.
b. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup,
kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah,
terutama cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga
merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik
siang maupun malam adalah 100-200 lux.
c. Luas bangunan rumah
Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan
tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan
kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni
menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan
kepada anggota keluarga lain.
d. Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat
Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti
penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja,
pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur,
ruang berkumpul keluarga, gudang, dan kandang ternak.

e. Pengelolaan air limbah


Pengelolaan air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal
dari rumah tangga, industri dan pada umumnya mengandung bahan atau
zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam
air limbah, maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan
menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup
antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama
kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen,
tempat berkembang-biaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak
serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air
permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi
produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo,
2003).
Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut
diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut
tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan
tanah, tidak mencemari air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga,
tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan
vektor, tidak terbuka dan terkena udara luar sehingga baunya tidak
mengganggu (Notoatmodjo, 2003).
1.10.4. Faktor perilaku
Menurut Depkes RI (2005), faktor perilaku yang dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko
terjadinya diare adalah sebagai berikut :
f. Pemberian ASI Eksklusif
ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Tidak
memberikan ASI Eksklusif secara penuh selama 4 sampai 6
bulan. Pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita
diare lebih besar dari pada bayi yang diberi ASI penuh dan
kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Pada
bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai
daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian
ASI yang disertai dengan susu formula.
g. Penggunaan botol susu
Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh
kuman, karena botol susu susah dibersihkan. Penggunaan botol
untuk susu formula, biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena
diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
h. Kebiasaan cuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan
yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci
tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang
air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi
makan anak dan sesudah makan, mempunyai dampak dalam
kejadian diare.
i. Kebiasaan membuang tinja
Membuang tinja (termasuk tinja bayi) harus dilakukan secara
bersih dan benar. Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi
tidaklah berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus
atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja bayi dapat pula
menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya.
j. Menggunakan air minum yang tercemar
Air mungkin sudah tercemar dari sumbernya atau pada saat
disimpan dirumah. Pencemaran dirumah dapat terjadi kalau
tempat peyimpanan tidak tertutup atau tangan yang tercemar
menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.
Untuk mengurangi risiko terhadap diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari
kontaminasi.
k. Menggunakan jamban
Penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam
penularan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak
mempunyai jamban sebaiknya membuat jamban dan keluarga
harus buang air besar di jamban. Bila tidak mempunyai jamban,
jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar
hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak,tempat anak-anak
bermain dan harus berjarak kurang lebih 10 meter dari sumber
air, serta hindari buang air besar tanpa alas kaki.
l. Pemberian imunisasi campak
Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian
imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu
segera memberikan anak imunisasi campak setelah berumur 9
bulan. Diare sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak
yang sedang menderita campak, hal ini sebagai akibat dari
penurunan kekebalan tubuh penderita.
II. Kerangka Teori

Penyebab penyakit
(penderita)

Kuman

Makanan

Sumber air
minum

Sanitasi Kualitas Kejadian


Lingkungan Fisik Air Orang Diare
Bersih Sehat Pada
Kepemilikan Balita
Jamban

Jenis Lantai
Rumah

Pembuangan
Sampah

Pengelolaan
Air Limbah

Perilaku

Anda mungkin juga menyukai