Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berdasarkan tinjauan sejarah mengenai evolusi perjuangan masyarakat adat
(indegenious peoples) di dunia, di mulai dari sebelum Perang Dunia II (PD II) di
Eropa pada masa pendudukan Spanyol dan Amerika yang menimbulkan tindakan
tirani terhadap masyarakat Indian yaitu adanya pelabelan sebagai masyarakat
penyembah berhala yang berakar dari pandangan di kawasan Eropa Selatan (Spanyol
dan Portugis) pada masa itu, kemudian mendapat mandat dari Paus di Roma
mengkristekan penduduk Indian dan menduduki tanah-tanah tak bertuan atas nama
penemuan. Tindakan tirani tersebut menerima perlawanan yang dirintis oleh
Francisco de Vitoria, de Vitorio dan Hugo Grotius, yang pada pertengahan abad 17
menemukan moment puncak yaitu ditanda tanganinya perjanjian Westphalia pada
1648 untuk mengakhiri hegemoni dan dominasi politik gereja. Kemudian pasca PD
II, era modern pengembangan konsep HAM dan mulai menemukan bentuknya,
kemudian dibentuk PBB sebagai wahana pencapaian tujuan perjuangan hak
masyarakat adat, lalu kemudian terbentuk badan-badan multirateral yang memberikan
perhatian khusus terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di dunia. 1
Di Indonesia, masyarakat adat tampil pada awal dekade 1990’an untuk merespon
persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari dampak program pembangunan yang
dicanangkan oleh pemerintah orde baru meliputi persoalan pengabaian,
pendiskriminasian dan perampasan hak-hak masyarakat adat atas nama
pembangunan.2 Politik identitas dijalankan dengan cermat oleh Orde Baru melalui
konsep suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Ambivalensi negara dalam
persoalan identitas dapat dilihat dari kebijakan negara dan kebiasaan birokrasi negara
yang mendorong pemajuan hak-hak budaya, seperti tari-tarian dan seni ukir/lukis,
tetapi mengeliminir identitas sipil politik komunitas-komunitas masyarakat hukum

1
Emil Ola Kleden. Evolusi Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional.
Makalah untuk disajikan dalam Advanced Training on Indigenous Peoples’ Rights untuk Dosen-Dosen Pengajar Hak Asasi
Manusia; diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta, 21
Agustus 2007.
Diakses dari pusham.uii.ac.id>article>id_emil_K (pada 6 Juni 2017)
2
https://yancearizona.net/2014/06/18/new-york-2014-mendefinisikan-indigenious-peoples-di-indonesia/ (diakses pada 6 Juni
2017)

1
adat. Hal ini kemudian berdampak pada gerakan masyarakat adat, mulai dari yang
berkarakter komunal seperti Baduy, sampai kepada gerakan petani menuntut tanah
garapan, bahkan perdebatan bisa sampai kepada komunitas Betawi.3
Adapun pasca reformasi, persoalan masyarakat adat di Indonesia sebagaiamana
disebutkan diatas juga tidak berhenti dan masyarakat adat juga tampil melakukan
perlawanan terhadap negara yang melakukan penguasaan terhadap tanah adat demi
agenda pembangunan. Pada titik ini, maka kajian mengenai masyarakat adat pasca
reformasi menjadi isu penting, selain dalam akademik isu masyarakat adat menjadi
kajian bidang tertentu (indegenious peoples), juga karena dalam bidang sosiologi
bahwa masyarakat adat merupakan salah satu cakupan yang menjadi sasaran fokus
kajian sebab masyarakat adat merupakan bentuk kehidupan sosial, sehingga tidak
terlepas dari persoalan-persoalan fundamental meliputi aspek sosial-politik, ekonomi
dan budaya.
Salah satu persoalan fundamental yang dihadapi masyarakat adat pasca reformasi
terutama keterkaitanya dengan pembangunan yaitu persoalan pengambil alihan lahan
adat oleh negara sehingga menimbulkan konflik dan sengketa tanah adat, yang
kemudian menghadapkan masyarakat adat dengan kepentingan negara yang lebih
mengutamakan pembangunan namun mengesampingkan kesejahteraan masyarakat
adat. Keterkaitan antara agenda pembangunan yang cepat, desentralisasi, otonomi
daerah, bahkan sampai pada kemiskinan struktural dengan kondisi ketidakadilan yang
diterima oleh masyarakat adat meliputi pengambil alihan lahan adat dan praktik
marginalisasi oleh negara terhadap hak masyarakat adat, membuat masyarakat adat
tampil melakukan perjuangan untuk mengambil kembali bagian haknya atas tanah
adat dengan mengusung tuntutan ganti rugi dan melakukan upaya pengambil alihan
lahan adat yang digunakan negara untuk kepentingan pembangunan (perusahaan
perkebunan kelapa sawit), namun tidak jarang perlawanan yang dilakukan menuai
kekalahan.
Melihat kondisi tersebutlah, menarik penulis untuk mengkaji persoalan
masyarakat adat dan keterkaitannya dengan isu pembangunan yang diagendakan oleh
negara yang berkolaborasi dengan pasar (kapital), yang terjadi dalam lingkup wilayah

3
Op.cit

2
masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah yaitu di Desa Tumbang Marak
Kecamatan Katingan Tengah-Kabupaten Katingan.
Agenda Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan mengenai pembangunan daerah
berkolaborasi dengan kapital (perusahaan) dalam mendayagunakan tanah adat dengan
mendorong laju ekspansi perkebunan kelapa sawit dan menjadikan perkebunan
kelapa sawit sebagai salah satu sektor penyumbang bagi Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dengan target pemasukan sekitar Rp 1,6 Milyar pertahun, namun tidak
memperhatikan asas keadilan pelepasan tanah adat hak milik masyarakat adat bagi
perusahaan perkebunan PT KDP di Desa Tumbang Marak.
Kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit besar (PBS) yaitu PT Karya Dewi
Putera (PT KDP) di wilayah administrative Desa Tumbang Marak yang beroperasi
diatas tanah adat betang sangkuwu, menimbulkan persoalan konflik perebutan tanah
adat antar masyarakat adat (kelompok Tamanggong Doho vs kelompok Oko Apang
Beren) dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Karya Dewi Putera (PT
KDP). Pasalnya, persoalan tersebut terjadi karena PT KDP beroperasi dan
menggunakan tanah adat betang sangkuwu tanpa seizin ahli waris Tamanggong Doho
dan hanya mengantongi izin dari pemerintah daerah dan atas persetujuan petinggi
Desa Tumbang Marak saja.
Menariknya dalam konflik perebutan tanah adat betang sangkuwu, kemelut
konflik yang melibatkan perusahaan PT KDP hingga penyelesaian konflik yang
memihak kepada perusahaan tidak lepas dari campur tangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Katingan, mulai dari berdirinya perusahaan PT KDP, kemudian dalam
konflik perebutan muncul kelompok kelompok Oko Apang beren yang digerakkan
oleh ketua Mantir adat Desa Tumbang Marak sebagai kelompok tandingan bagi
kelompok Tamanggong Doho yang diperjuangkan Damang kepala adat, hingga
gagalnya konflik perebutan tanah adat diselesaikan oleh Damang kepala adat yang
memperjuangkan hak milik ahli waris Tamanggong Doho melalui lembaga adat
Kedamangan sebagai peradilan adat, dan berhasilnya pemerintah daerah mengambil
alih ranah adat dengan membentuk tim penyelesaian sengketa betang sangkuwu untuk
menangani konflik, merupakan sederetan upaya pemerintah daerah dalam penguasaan
tanah adat agar PT KDP tetap beroperasi diatas tanah adat betang sangkuwu.

3
Dalam penguasaan tanah adat bagi kepentingan perusahaaan, pemerintah daerah
melakukan praktik dominasi menggunakan kewenangan mengatur kebermanfaatan
atas tanah dan hak-hak adat diatas tanah dan kewenangan mengatur esksistensi
aparatus adat, menjadi modal simbolik yang sekaligus merupakan kekuasaan simbolik
sebagai strategi dominasi pertaruhan modal, membangun jaringan dan investasi
modal, serta membentuk kelompok tandingan untuk membuat krisis otoritas
Kedamangan (membuat Kedamangan gagal melaksanakan peradilan adat) agar
pemerintah menduduki ranah adat.
Pada praktik dominasinya, modal simbolik sekaligus kekuasaan simbolik yang
dimiliki pemerintah digunakan secara sewenang-wenang dengan menyalahi ketentuan
yang terdapat dan telah diatur oleh sumber kewenangan itu sendiri yaitu PERDA No.
16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah
dan PERGUB No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas
Tanah di Kalimantan Tengah, untuk melakukan kooptasi terhadap dua elit adat (ketua
Mantir adat desa dan ketua Mantir adat kecamatan), serta melakukan intervensi dan
mengesampingkan bahkan tidak mengakui wewenang fungsionaris Kedamangan
menetapkan hak kepemilikan tanah adat yang dimiliki Damang kepala adat karena
Damang melakukan pelawanan terhadap pemerintah daerah untuk memperjuangkan
tanah adat betang sangkuwu yang merupakan hak milik kelompok Tamanggong Doho
kepada perusahaan PT KDP.
Adapun dipihak lain sebelum konflik perebutan diselesaikan oleh pemerintah
daerah dengan membentuk tim penyelesaian sengketa atau dengan kata lain sebelum
konflik perebutan jatuh ke ranah pemerintah yang mengusung kepentingan
perusahaan, ahli waris Tamanggong Doho sempat melakukan perlawanan dan tidak
tinggal diam menghadapi praktik dominasi pemerintah daerah terhadap penguasaan
tanah adat betang sangkuwu bagi kepentingan perusahaan PT KDP, dimana ahli waris
sempat memperjuangkan haknya dengan bantuan Damang kepala adat pemimpin
Kedamangan untuk melakukan tuntutan kepada perusahaan PT KDP dengan strategi
perlawanan berupa pertaruhan modal menggunakan modal budaya (pengetahuan
menerapkan hinting pali dan singer) dan modal simbolis (dimilikinya legalitas
kepemilikan tanah adat yang kuat berupa laporan silsilah keturunan dan riwayat

4
perjalanan Tamanggong Doho, beserta surat warisan) menjadi instrument melakukan
perlawanan terhadap pemerintah dan perusahaan untuk memperjuangakan hak
kempilikan tanah adat betang sangkuwu.
Akan tetapi, perjuangan masyarakat adat ahli waris Tamanggong Doho bersama
Damang kepala adat mendapat kebuntuan karena pemerintah berhasil melakukan
krisis otoritas Kedamangan yang membuat lembaga peradilan adat Dayak
Kedamangan Katingan Tengah gagal membawa persoalan ke ranah adat, sedangkan
pemerintah yang mengusung kepentingan perusahaan PT KDP berhasil menduduki
ranah adat dengan strategi dominasi yang membuat pemerintah mengakumulasi
berbagi jenis modal baik mendapatkan modal sosial (dukungan yang diberikan dari
dua elit adat yang mampu dikoptasi kepada pemerintah untuk menangani sengketa),
penambahan modal simbolik (pengakuan dua elit adat yang mampu dikooptasi
terhadap wewenang yang disalahgunakan pemerintah), dan modal ekonomi
(hubungan pemerintah dengan perusahaan PT KDP).
Demikian gambaran singkat narasi konflik antar masyarakat adat yang melibatkan
peran negara yang mengusung kepentingan kapital atas nama pembangunan yang
terjadi di Desa Tumbang Marak. Dengan mengambil judul Dominasi Negara Dalam
Penguasaan Tanah Adat Bagi Kepentingan Kapital (studi terhadap peran pemerintah
daerah atas krisis otoritas Kedamangan bagi kepentingan perusahaan PT KDP pada
konflik perebutan tanah adat betang sangkuwu di Desa Tumbang Marak), maka fokus
penelitian ini diarahkan pada upaya pemerintah yang melakukan praktik dominasi
untuk menduduki ranah adat demi kepentingan perusahaan PT KDP dan pada upaya
masyarakat adat kelompok Tamanggong Doho bersama Damang kepala adat
memperjuangkan hak kepemilikan atas tanah adat betang sangkuwu.

5
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana strategi dominasi pemerintah daerah atas krisis otoritas Kedamangan
bagi kepentingan perusahaan PT KDP pada konflik perebutan tanah adat betang
sangkuwu di Desa Tumbang Marak ?
b. Bagaimana masyarakat adat melakukan perlawanan untuk memperjuangkan
tanah adat milik ahli waris Tamanggong Doho dari penguasaan pemerintah
daerah yang mengusung kepentingan perusahaan PT KDP pada konflik
perebutan tanah adat betang sangkuwu di Desa Tumbang Marak ?
c. Bagaimana pengaruh strategi dominasi pemerintah daerah terhadap kewenangan
Kedamangan pada konflik perebutan tanah adat betang sangkuwu di Desa
Tumbang Marak ?
1.3. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan strategi dominasi pemerintah daerah menggunakan
kewenangannnya membuat krisis otoritas Kedamangan agar dapat menguasai
tanah adat betang sangkuwu bagi kepentingan perusahaan PT KDP melalui peran
aktor pemerintah daerah.
b. Untuk menjelaskan perlawanan, mengetahui kekuatan dan kelemahan
perlawanan, yang dilakukan oleh masyrakat adat adat melalui aktor kelompok
Tamanggong Doho bersama Damang kepala adat untuk memperjuangkan tanah
adat betang sangkuwu milik kelompok Temanggong Doho.
c. Untuk mengetahui posisi kewenangan Kedamangan sebagai lembaga peradilan
adat Dayak dalam konflik perebutan tanah adat betang sangkuwu.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pengetahuan yang membuka
wawasan kita agar dapat lebih kritis menyikapi ekspansi kelapa sawit di wilayah
masyarakat adat. Secara khusus ada dua manfaat penelitian dari kajian ini, antara lain:
Pertama, manfaat secara akademis. Sejalan dengan kerangka teoritik yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori Bourdieu maka penelitian ini sama
halnya dengan tujuan teori Bourdieu yaitu untuk menunjukkan bahwa penelitian
ilmiah dapat menjadi instrument pembebasan yang tidak bebas nilai dan sosiologi

6
memiliki panggilan politik, menghasilkan analisis yang menunjukkan ketidakadilan
untuk mengkritik situasi tertentu.
Manfaat secara praktis, penelitian ini merupakan kritikan terhadap Pemerintah
Daerah Kabupaten Katingan sebagai penentu kebijakan yang menyalahgunakan
kewenangannya untuk tidak bersikap adil terhadap masyarakat adat yang menjadi
korban kehadiran perkebunan kelapa sawit, selain itu penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat sebagai evaluasi kinerja lembaga adat Kedamangan di Kalimantan
Tengah dengan realita tidak berfungsinya Kedamangan sebagai lembaga peradilan
adat akibat krisis otoritas Kedamangan yang dibuat oleh pemerintah daerah,
khususnya Kedamangan Kecamatan Katingan Tengah yang berkedudukan di
Tumbang Samba dengan wilayah hukum adat yang menaungi sebelas desa.
Selanjutnya, melalui penelitian ini dirumuskan upaya yang dapat memperkokoh
kembali kewenangan Kedamangan sebagai lembaga peradilan adat untuk
menegakkan hukum adat.
1.5. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang masyarakat adat di Indonesia dalam kaitan dengan pembangunan
dan konflik tanah adat sudah menjadi kajian yang umum selama ini terutama pasca
reformasi, adat tampil lagi dengan gerakan masyarakat adat yang menuntut untuk
dikembalikannya hak komunal. Kajian dengan tema mengenai masyarakat adat,
pembangunan dan konflik telah banyak, dan peneliti memilih kajian terkait tema
tersebut melingkupi kajian mengenai masyarakat adat dan akses sumber daya alam,
msyarakat adat dan akses terhadap pembangunan, dan masyarakat adat tampil dalam
konteks politik lokal keterkaitannya dengan desentralisasi.
Akan tetapi sebenarnya persoalan pembangunan dan masyarakat adat juga tidak
hanya terjadi di Indonesia saja namun juga telah terjadi diluar konteks Indonesia,
seperti di Amerika Latin dalam Donna Lee Van Cott (2010)4 membuat review singkat
atas studi-studi indigenity politics di Amerika Latin ke dalam tiga tema yaitu
citizenship, hubungan indigenity dengan partai politik dan reformasi negara. Terkait
tema citizenship, para penstudi melacak klaim kewargaan masyarakat adat dalam

4
Indigenious Peoples’ Politics in Latin America. Annual Review of Politics Sciense. Vol : 13385-405 (Volume publication date 15
June 2010). (hlm. 385-405)
Diakses dari https://doi.org.10.1146/annurev.polisci.032708.133003. (pada 06 Juni 2017)

7
negosiasinya dengan versi kewargaan liberal. Menarik terkait dengan tema
citizenship, menyebutkan potensi gerakan indigenity di Amerika Latin dalam
negosiasinya dengan versi multikultural neoliberal (masukan dari artikel..Jackson dan
artikel Meksiko). Studi-studi-hubungan antara Indigenous people dan partai politik
memperlihatkan bagaimana partai yang berbasiskan indigenity mengartikulasikan
kepentingan mereka di level nasional. Sebagai contoh di Ekuador misalnya, di
Ekuador Pachakuatik mewakili serikat-serikat pekerja, intelektual-intelektual kiri
yang membawa isu ketidakpuasan masyarakat atas korupsi dan polarisasi dalam
politik nasional Ekuador (Jackson & Warren, 2005)5. Atau juga di Bolivia MAS
menghubungkan indigenous peasant-movement dengan intelektual kiri dan kelas
menengah urban. Sedangkan studi-studi mengenai indigenous movement dalam
kaitannya dengan reformasi negara memperlihatkan ketegangan versi
multikulturalisme konstitusional dengan pentingnya fungsi representasi dan
partisipasi masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan publik.
Di Indonesia sendiri, tampilnya masyarakat adat untuk mengakses kembali
sumber daya alam sebagai dampak kegagalan pembangunan yang justru memicu
kekerasan dan konflik horizontal karena krisis agraria, telah di lakukan oleh Tania
Murray Li (2012)6 yang melakukan kajian pada masyarakat di Sulawesi Tengah,
khususnya di Poso, Tentena dan Taman Nasional Lore Lindu. Dalam kajian Tania Li
bahwa “kehendak untuk memperbaiki” sudah berjalan di Indonesia sejak masa
kolonial hingga orde baru, adanya praktik pembangunan berkolaborasi dengan
kapitalisme justru menghasilkan kontradiksi dengan “kehendak untuk memperbaiki”,
yaitu malah menghasilkan kegagalan pembangunan dan berdampak pada masyarakat
kehilangan akses dan penghilangan kepemilikan atas tanah, bahkan pengusiran,
akibat pengambil alihan negara mengatasnamakan hukum dan proyek-proyek
pembangunan pemerintah, selain itu akibat kehendak untuk memperbaiki itu pun
membuat terjadi perubahan cara pandang terhadap tanah yang dianggap sebagai

5
Indigenious Movement in Latin America, 1992-2004 : Controversies, Ironies, New Direction. Annual Review if Anthropology.
Vol. 34: 549-573 (Volume publication date 21 October 2005). (hlm. 555)
Diakses dari https://doi.org.10.1146/annurev.anthro.34.081804.120529. (pada 06 Juni 2017)
6
Li Tania Murray. 2012. The Will To Improve : Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di Indonesia. Terj. Herry Santoso
dan Pujo Semedi. Jogjakarta: Margin Kiri.
Diakses dari http://www.goodreads.com/book/show/15716518-the-will-to-improve (pada 2 Mei 2017)

8
komoditas yang diperjual belikan oleh negara dan kapital, yang kemudian memicu
ketegangan sosial. Kegagalan pembangunan menimbulkan kekecewaan masyarakat
yang berbuah pada perlawanan masyarakat melalui Forum Petani Merdeka untuk
mengembalikan claim atas sumber daya terutama tanah yang diambil alih oleh
pemerintah atas nama pembangunan.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan ini, yang mana juga terdapat adanya
praktik pembangunan yang berkolaborasi dengan kapital di Desa Tumbang Marak
Kecamatan Katingan-Kalimantan Tengah, juga memicu perlawanan masyarakat adat
untuk mengakses sumber daya melalui kekuatan lembaga adat Kedamangan untuk
melakukan claim tanah adat karena desakan agenda pembangunan yang merampas
hak masyarakat adat atas tanah adat demi kepentingan kapital dan tidak memberikan
keadilan bagi masyarakat adat.
Masih pada persoalan masyarakat adat pasca reformasi di Indonesai terkait
dengan pembangunan dan akses terhadap sumberdaya alam, dalam kajian disertasi
Linggua Sanjaya Usop (2015)7 bertitik tolak dari dinamika dan resolusi konflik
dengan melihat gerakan perlawanan masyarakat adat Dayak menggunakan kearifan
lokal maniring hinting sebagai instrument pergerakan untuk melakukan
pembertahanan dan sebagai alternative penyelesaian konflik agraria yang tak kunjung
selesai mengenai hak atas tanah di Kabupaten Kota Waringin Timur-Kalimantan
Tengah, dari klaim pemerintah dan pengusaha yang mendominasi sumber daya alam
sehingga memicu resistensi dari masyarakat adat Dayak. Selain itu perlawanan
masyarakat terkait persoalan serupa juga ditemukan dalam kajian Yulia Fringka
(2016)8 yang bertitik tolak pada konflik karena perbedaan kepentingan antara
pemerintah, korporasi dan masyarakat yang memicu perlawanan masyarakat di
Nagari III Koto-Sumatera Barat, menjadikan adat sebagai instrument perlawanan
yang dilakukan untuk menolak kehadiran pembangunan (pertambangan), dilatar
belakangi motif kultural untuk mempertahankan nagari, adat, kehidupan sosial dan

7
Usop, S. Linggua. 2015. Maniring Hinting Sebagai Gerakan Kontra Hegemoni Masyarakat Dayak Dalam Pembertahanan Hak-
Hak Atas Tanah Di Kabupaten Kotawaringin Timur. Studi Kajian Budaya. Universitas Udayana.
8
Fringka, Yulisa. 2016. “Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat Nagari III Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat,
terhadap Rencana Tambang Bukit Batubasi.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(2):205-231
Diakses dari journal.ui.ac.id>article>download>pdf (pada 3 Juni 2017)

9
budaya dari proses pembangunan tambang yang dianggap dapat menghancurkan
sendi-sendi kultural.
Kemudian juga ada kajian masyarakat adat terhadap akses sumber daya alam dan
pembangunan yang dilakukan oleh Maribeth Erb (2007)9 di Flores Barat tepatnya di
Manggarai, dimana pasca reformasi adat kembali bangkit yang terhubung dengan rasa
kehilangan masyarakat Manggarai akan adat (lost of tradition) sebagai dampak dari
rezim orde baru dengan agenda pembangunan nasional yang menempatkan adat
dengan penilain negative dengan menganggap bahwa lembaga adat adalah
penghambat kemajuan dan investasi, serta makna adat ditempatkan sama dengan
budaya sebagai suatu “pertunjukkan”. Pasca reformasi, adat kembali bangkit menjadi
wadah perjuangan masyarakat Manggarai bergabung dengan LSM Nasional untuk
menyelesaiakan klaim pemerintah daerah atas tanah terkait kebijakan konservasi yang
memarjinalkan masyarakat Manggarai terhadap lahan hutan yang terjadi sebelum dan
sesudah orde baru.
Persoalan masyarakat adat, negara dan pembangunan pun juga terjadi di Filipina
tepatnya pada Provinsi Abra di Cordillera, Luzon Tengah, dalam kajian yang
dilakukan oleh Richard F. Dorall (1993)10 menunjukkan persoalan suku asli Abra
yaitu orang Tinggian terhadap akses sumber daya alam terkait kolaborasi agenda
pembangunan pemerintah dengan kapital berupa masuknya perusahaan asing
(Cellophil Resource Corporation) yang merupakan pengelola hasil hutan (kayu pinus)
dengan membawa janji agenda pembangunan yaitu “kemajuan” bagi suku asli
Tinggian, namun yang dihasilkan adalah sebuah kontradiksi dimana terjadi
ketidakstabilan dan penderitaan bagi suku asli berupa pelanggaran terhadap lahan
adat karena kesewenang-wenangan prosedur perusahaan namun mendapat
perlindungan dari pemerintah. Kodisi yang dialami suku asli Tinggian mendorong
perlawanan mulai dari upaya damai mencapai kompromi sampai pada sikap anti-
pemerintah dan akhirnya menjadi militan, bahkan persoalan meluas sampai pada
provinsi-provinsi tentangga.

9
Erb,Maribeth. 2007. “Adat revivalism in western Flores: culture, religion, and land.” The revival of tradition in Indonesian
politics : the deployment of adat from colonialism to indigenism. Series 14 : 247-268
Diakses dari http://www.amazon.com>Revival-Tradi... (pada 3 Juni 2017)
10
Ghee Teck lim and Gomes G. Alberto. 1993. Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara. Terj. A. Setiawan Abadi. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia. (hlm.59)

10
Lalu, sejalan dengan penelitian Colin Nikholas (1993)11, mengenai persoalan
orang asli dengan negara di Semenanjung Malaysia dalam agenda pembangunan
pemerintah memodernisasi orang asli Semai melalui kebijakan-kebijakan dan proyek
pembangunan pemerintah khususnya pada reorganisasi produksi dan tenaga kerja
yang justru membuat orang asli mengalami keterbelakangan hak istimewa dan
berdampak pada keruntuhan struktur tradisional, serta pengambil alihan tanah-tanah
komunal. Sama halnya dengan masyarakat adat atau pun suku asli dalam menanggapi
persoalan terkait pembangunan di Indonesia dan di Filipina, bahwa orang Semai juga
melakukan penolakan dan bahkan ada hasrat untuk bebas dari kontrol orang luar dan
menentukan cara hidup sendiri.
Persoalan masyarakat adat dan pembangunan di Amerika Tengah pun terjadi yaitu
di Guatemala tepatnya komunitas adat San Miguel Ixtahuacan dan Sipacapa dalam
kajian Joris van de Sandt (2009)12 yang bertitik tolak dari persoalan konflik
pembangunan karena kehadiran perusahaan tambang transnasional (Goldcorp Inc dari
Kanada yang dioperasikan oleh Montana Exploradora de Guatemala S. A.),
memberikan dampak buruk bagi ekonomi, lingkungan dan sosial masyarakat adat
Maya akibat akusisi lahan adat oleh perusahaan namun lembaga pemerintah
cenderung lemah dalam menindak (mengontrol dan mengatur perusahaan
pertambangan) sehingga terjadi praktik pemaksaan dan intimidasi terhadap hak
masyarakat adat oleh perusahaan. Akan situasi tersebut, dua komunitas adat (San
Miguel Ixtahuacan dan Sipacapa) tampil melakukan perlawanan namun dengan pola
perlawanan yang berbeda. Komunitas adat San Miguel Ixtahuacan dalam merespon
kondisi memilih untuk memutuskan hubungan dengan pemerintah dan memilih untuk
melakukan perlawanan dengan membangun kembali struktur tradisional adat (Dewan
Adat Barat) sebagai wadah koordinasi perlawanan namun perlawanan mengalami
kebuntuan dan perjuangan dihubungkan dengan aspek identitas sebagai sumber
modal sosial-politik. Adapun komunitas adat Sipacapa, cenderung melakukan
koordinasi dengan pemerintah dan perusahaan sehingga perlawanan mereka
menciptakan struktur komunitas baru untuk pembangunan partisipatif yang

11
Ibid (hlm. 109)
12
Sandt v.d. Joris. 2009. Mining Conflict and Indigenious People in Guatemala. Den Haag: Cordaid.
Diakses dari http://www.cordaid.org>sites>2012/12 (pada 3 Juni 2017)

11
mendorong hadirnya proyek-proyek pertanian berkelanjutan sebagai program
pembangunan alternative.
Antara kajian terdahulu dengan kajian yang dilakukan peneliti terdapat kesamaan,
pertama posisi kajian ini pada studi masyarakat adat dan pembangunan dalam konflik
tanah untuk mengakses sumber daya alam, kedua bahwa dari beberapa kajian
terdahulu tersebut diatas yang dijadikan tinjauan pustaka meligkupi kajian di
Indonesia Pasca reformasi yaitu kajian oleh Tania M. Li (2012), Maribeth Erb
(2007), Linggua Sanjaya Usop (2012), Yulia Frinka (2016), serta kajian terdahulu
diluar konteks Indonesia namun tetap fokus kepada persoalan masyarakat adat dan
pembangunan yaitu kajian oleh Richard F. Dorall (1993) dan Colin Nikholas (1993),
serta Joris van de Sandt (2009), yang sama-sama menunjukkan satu ritme respon
masyarakat adat terhadap pembangunan yaitu bahwa masyarakat adat tidak pasif
(melainkan agen aktif) dalam menanggapi atau menghadapi agenda pembangunan
yang sering terdapat praktik intervensi oleh pemerintah atas nama pembangunan yang
berkolaborasi dengan kapital (perusahaan), dimana ada penolakan bahkan masyarakat
adat tampil dalam forum, LSM, dan lembaga adat sebagai wadah perjuangan, serta
juga sampai pada resistensi anti-pemerintah bahkan militant bahkan membentuk
partai politik. Yang tidak kalah penting, dimana dalam persoalan yang dihadapi
masyarakat adat terdapat agenda politik kepentingan pemerintah atas nama
pembangunan yang cenderung dalam praktik memarginalisasikan hak masyarakat
adat terhadap akses tanah adat dan akses terhadap pembangunan, dengan
menggunakan penerapan kebijakan-kebijakan/peraturan pembangunan sebagai
instrument.
Sedangkan terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang
dijadikan kajian terdahulu, yaitu penelitian ini menekankan untuk melihat dan
mengulas lebih dalam mengenai proses dominasi yang dilakukan negara (pemerintah
daerah) untuk menguasai tanah adat bagi kepentingan kapital (perusahaan) dengan
bertitik tolak pada persoalan pemindahan hak atas tanah adat oleh pemerintah dengan
penyalahgunaan wewenang, namun tidak mengulas lebih dalam tentang resistensi
atau perlawanan masyarakat adat terhadap dominasi pemerintah.

12
1.6. Batasan Masalah Penelitian
Adapun maksud dari batasan masalah penelitian adalah sebagai koridor atau
batasan permasalahan yang dibahas pada kajian ini dalam konteks kerangka teoritik
Peirre Bourdie sebagai alat analisa permasalahan penelitian, dimana kerangka teoritik
yang peneliti gunakan tersebut memberi konsekuensi kepada sejauh mana analisa
dalam kajian penelitian ini dilakukan. Berikut poin-poin batasan masalah penelitian :
a. Substansi kerangka teoritik Pierre Bourdieu memberi konsekuensi pada fokus
analisis untuk melihat dominasi (aksi-strategi efektif dominasi), kemudian
kerangka teoritik Foucault memberi konsekuensi untuk melihat resistensi
merupakan hasil dari dominasi, bahwa perlawanan yang muncul dari
masyrakat adat terhadap dominasi pemerintah adalah keniscayaan.
b. Fokus kajian penelitian studi ini pada masyarakat adat yang mengalami
dominasi oleh kuasa pembangunan lewat peran pemerintah daerah yang
melakukan praktik dominasi untuk menguasai tanah adat menggunakan
kekuasaan simbolik, lalu dominasi pemerintah menghasilkan resistensi dari
masyarakat adat yang haknya dirampas. Kajian ini diletakkan pada konteks
fenomena sosial-politik (kekuasaan) dalam kerangka teoritik Bourdieu dan
teoritik Foucault.

13

Anda mungkin juga menyukai