Disusun oleh :
Narulian Ganiarsih
2311141058
FAKULTAS TEKNIK
CIMAHI
2018
A. Migas Non-Konvensional di Indonesia
Indonesia tengah dihadapkan dengan kendala akan cadangan dan produksi
minyak bumi yang terus mengalami penurunan, sedangkan pemanfaatan energi
lainnya belum signifikan. Di sisi lain, terjadi penurunan harga minyak mentah
(crude oil) di pasar global. Ternyata meningkatnya pasokan minyak di tingkat
global ini disebabkan berlimpahnya produksi migas non-konvensional utamanya
di tiga negara besar, yaitu Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Migas non-
kovensional adalah minyak dan gas bumi yang terkandung dalam batuan induk itu
sendiri maupun yang telah bermigrasi dan berkumpul pada batuan lainnya
(reservoir) yang berdekatan dengan karakteristik permeabilitas rendah-sangat
rendah.
Seiring dengan menipisnya cadangan migas selama ini, maka potensi migas
non-konvensional sangat menjanjikan untuk dieksplorasi dan dikembangkan
karena pada dasarnya sumber migas non-konvensional ini sangat besar bila
dibandingkan dengan migas konvensional. Contohnya yaitu shale oil dan shale
gas.
1. Shale Oil
Shale oil adalah hidrokarbon yang berasal dari oil shale, dimana oil shale ini
adalah jenis batuan sedimen (mudstone atau siltstone) yang kaya kerogen. Oil
shale seringkali disebut dengan batu yang bisa terbakar seperti halnya batu bara.
Hidrokarbon yang terkandung di dalam oil shale ini berbentuk padat sehingga
tidak bias langsung diekstrak seperti halnya crude oil konvensional. Oil shale
butuh ditambang, dipanaskan dan hidrokarbon yang didapat harus diolah lagi
agar menghasilkan shale oil. Shale oil merupakan bahan bakar fossil yang
terbentuk dari sisa-sisa algae, spores, plants, pollen dan berbagai organisme lain
yang hidup pada jutaan tahun lalu.
2. Shale Gas
Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat
terbentuknya gas bumi. Shale merupakan batuan sedimen klastik berbutir halus
yang tersusun atas campuran antara mineral lempung dan fragmen kecil dari
1
mineral lain seperti kuarsa, dolomit, dan kalsit. Shale dikarakterisasi sebagai
laminasi tipis yang sejajar dengan lapisan batuan.
2
proses fracking untuk memperoleh shale gas juga masih dianggap sebagian
pihak membahayakan lingkungan khususnya karena memerlukan air dengan
jumlah yang besar serta penggunaan bahan-bahan kimia yang berpotensi
mencemari lingkungan.
3
Gambar 2. Keberadaan Shale Oil dan Shale Gas
Cekungan–cekungan tersebut dan juga merupakan cekungan-cekungan
penghasil hidrokarbon konvensional yang cukup besar, shale gas sebesar 46 TcF
dan potensi shale oil sebesar 7,9 milyar barel risked, yang secara teknis dapat
diproduksi dan 303 TcF shale gas dan 234 milyar barel shale oil risked.
4
dengan cara pemboran horisontal (horizontal drilling) kemudian pembuatan
rekahan dengan cara menembakkan fluida campuran air dan zat kimia dalam
lapisan target (hydraulics fracturing) sehingga minyak dapat dialirkan melalui
rekahan-rekahan tersebut dan dipompa ke atas permukaan.
2. In-Situ Pyrolysis
Pemanasan kerogen juga dapat dilakukan dari dalam permukaan bumi atau
yang seringkali dikenal dengan nama in-situ pyrolysis. Kerogen oil shale ini
harus dipanaskan dengan suhu antara 650°F dan 700°F. Selain itu, proses surface
retorting juga dibutuhkan yaitu pemanasan dengan menggunakan rentang suhu
antara 900°F sampai 950°F. Pirolisis akan mempercepat proses yang terjadi secara
alami untuk menghasilkan minyak dan gas. Selain itu, proses pyrolisis juga
merupakan proses distilasi tingkat menengah, yakni memisahkan kerosene
(minyak tanah) dan diesel fuel (minyak solar).
Proses pengilangan lebih lanjut memungkinkan oil shale diubah ke
hidrokarbon yang lebih ringan seperti gasoline (bensin). Pirolisis merupakan
reaksi dekomposisi thermal irreversible/searah dari material organik dengan
5
temperatur tinggi dan adanya oksigen. Reaksi ini mencakup perubahan komposisi
kimia dan fase fisika secara bersamaan.
Proses konversi oil shale secara in-situ memakan waktu sekitar dua sampai
enam tahun untuk memanaskan batuan. Tiga proyek utama dari konversi in-situ
sekarang ini adalah: Shell's In-Situ Conversion Process, American Oil Shale,
Total's in-situ rubbilizing approach, dan ExxonMobil's Electrofrac Process.
3. Metode Fracking
Fracking adalah salah satu teknik yang dikembangkan untuk mendapatkan
sisa-sisa minyak bumi yang terdapat pada sumur-sumur produksi, terutama pada
sumur minyak tua. Metode ini cukup efektif untuk meningkatkan jumlah produksi
sumur minyak maupun sumur gas. Tujuan utama penerapan fracking yaitu untuk
memperoleh shale gas maupun oil shale.
6
Gambar 4. Proses Fracking Pada Sumur Migas
Fracking sering juga disebut hydro fracking, hydraulic fracturing, teknologi
hidrolika patahan dapat diartikan sebagai proses ektraksi minyak maupun gas
bumi dengan cara memberikan injeksi liquid yang bertekanan tinggi secara
horisontal ke bawah lapisan batuan dimana gas dan minyak tersebut terjebak.
Umumnya bahan yang digunakan untuk menginjeksi berupa air, pasir/butiran
keramik khusus dan bahan kimia.
Menurut Jesse Jenkins bahwa operasi fracking dilakukan dengan cara
memompakan jutaan galon air, pasir dan bahan kimia (asam sitrat, benzena dan
formaldehida) kedalam perut bumi. Semua material tersebut dipompakan melalui
lubang sumur yang telah dibor horizontal kedalam formasi shale rock dengan
menggunakan tekanan hingga 15.000 lb/in2. Liquid yang diinjeksikan akan
menyebabkan ekstraksi di dalam sumur dan akan melepaskan gas dan minyak dari
celah/pori batuan sehingga minyak dan gas tersebut dapat diproduksi atau
diangkut ke atas permukan.