Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain,
masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan
dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan
umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang
silaturrahmi yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga
kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama
Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya aturan.

Secara bahasa, kata Mu’amalat yang kata tunggalnya mu’amalah yang berakar
pada kata ‫ ﻋامل‬secara arti kata mengandung arti “saling berbuat” atau berbuat secara timbal
balik. Lebih sederhana lagi berarti “hubungan antara orang-orang”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka kami


dapat mengambil kesimpulan bahwa rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai
berikut:

1. Mengetahui hakekat mu'amalah


2. Mengetahui ruang lingkup mu'amalah
3. Mengetahui prinsip-prinsip mu'amalah
4. Mengetahui akhlak bermu'amalah
5. Mengetahui pandangan Islam tentang kehidupan dunia
6. Mengetahui makna spiritual tentang kejayaan hidup
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:

1. Dapat memberi pemahaman tentang Mu'amalah.


2. Dapat memberikan pengetahuan bagi pembaca makalah ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakekat Mu'amalah

Mu’amalah secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah, yaitu saling
berbuat. Kata ini, menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan
seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Atau
Mu’amalah secara etimologi itu artinya saling bertindak, atau saling mengamalkan.

Secara terminologi, Mu’amalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian
mu’amalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.

Pengertian mu’amalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum-hukum) Allah


untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan dunia dalam pergaulan sosial.

Pengertian mu’amalah dalam arti sempit yaitu semua akad yang memperbolehkan
manusia saling menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah
ditentukan Allah dan manusia wajib mentaati-Nya.

Dalam buku enslikopedia islam jilid 3 halaman 245 dijelaskan bahwa mu’amalah
merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang
lain, baik seseorang itu pribadi tertentu maupun berbentuk badan hukum, seperti
perseoran, firma, yayasan, dan negara. Contoh hukum islam yang termasuk mu’amalah,
seperti Jual-beli, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Nikah (Munakaha), Khiyar,
Syirkah (Kerja Sama), Bank, Riba, dan Rente, Asuransi, ‘Ariyah (Pinjaman), Hiwalah
(Pemindahan Utang), Al-Rahn (Gadai/Peminjaman dengan jaminan),Al-Ijarah (Sewa-
menyewa dan Upah).

Jadi, Mu’amalat adalah semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan
dunia,dengan memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli, tukar-
menukar, pinjam-meminjam dan sebagainya. Muamalat juga merupakan tatacara atau
peraturan dalam perhubungan manusia sesama manusia untuk memenuhi keperluan
masing-masing yang berlandaskan syariat Allah s.w.t yang melibatkan bidang ekonomi
dan sosial Islam.
B. Ruang Lingkup Mu'amalah

Ruang lingkup mu’amalah terbagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup mu’amalah
madiyah dan adabiyah.

Ruang lingkup pembahasan mu’amalah madiyah ialah masalah:

1. Jual-beli (al-ba’i/al-tijarah)
2. Gadai (al-rahn)
3. Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
4. Pemindahan utang (al-hiwalah)
5. Batasan bertindak (al-hajru)
6. Perseroan atau pengkongsian (al-syirkah)
7. Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
8. Sewa-menyewa (al-ijarah)
9. Pemberian hak guna pakai (al-‘araiyah)
10. Barang titipan (al-wadhi’ah)
11. Barang temuan (al-luqathah)
12. Garapan tanah (al-muzara’ah)
13. Sewa-menyewa tanah (al-mukhabarah)
14. Upah (ujrah al-‘amal)
15. Gugatan (al-syuf’ah)
16. Sayembara (al-ji’alah)
17. Pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
18. Pemberian (al-hibah)
19. Pembebasan (al-ibra’)
20. Damai (al-shulhu)
21. Masalah kontemporer (al-mu’ashirah/al-muhaditsah), seperti masalah bunga
bank, asuransi kredit, dan masalah-masalah baru lainnya.

Ruang lingkup mu’amalah yang bersifat adabiyah ialah masalah:

1. Ijab kabul
2. Saling merindai
3. Hak dan kewajiban
4. Kejujuran pedagang
5. Penipuan
6. Pemalsuan
7. Penimbunan
8. Segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.

C. Prinsip - Prinsip Mu'amalah

Kata prinsip, diartikan sebagai asas, pokok, penting, permulaan, fundamental,


dan aturan pokok. Ada beberapa prinsip Muamalah, diantaranya:

1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan
oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam memberi kesempatan luas
perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hidup masyarakat.
2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela , tanpa mengandung unsur paksaan.
Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan.
3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Bahwa sesuatu bentuk
muamalat dilakukan ats dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-
unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Bahwa segala bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak
dibenarkan.
5. Haramnya segala kezaliman dengan memakan harta secara bathil, seperti : riba,
ghasab, korupsi, monopoli, penimbunan , dll

D. Akhlak Bermu'amalah

Macam-macam akhlak bermu’amalah adalah Shiddiq, Istiqamah, Fathanah,


Amanah, Tablig.

1. Shiddiq artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan,


dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang benar berdasarkan ajaran Islam.
Tidak ada kontradiksi dan pertentagan yang disengaja antaea ucapan dengan
perbuatan. Karena itu Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk
senantiasa memiliki sifat shiddiq dan menciptakan lingkungan yang shiddiq.
Dalam dunia kerja dan usaha, kejujuran ditampilka dalam bentuk kesungguhan
dan ketepatan. Baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, pelaporan, mengakui
kelemahan dan kerugian (tidak ditutup-tutupi) untuk kemudian diperbaiki secara
terus-menerus, serta menjauhkan diri dari berbuat bohong dan menipu (baik pada
diri, teman sejawat, perusahaan maupun mitra kerja)
2. Istiqamah mempunyai arti konsisten dalam ima dan nilai-nilai yang baik,
meskipun menghadapi berbagai godaan dan tantangan. Istiqamah dalam
kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran serta keuletan sehingga
menghasilkan sesuatu yang optimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses
yang dilakukan secara terus-menerus. Misalnya interaksi yang kuat dengan Allah
dalam bentuk shalat, zikir, membaca Al-Qur’an, dan lain-lain. Proses itu
menumbuh-kembangkan suatu sistem yang memungkinkan, kebaikan, kejujuran,
dan keterbukaan teraplikasikan dengan baik. Sebaliknya, keburukan dan ketidak
jujuran akan terduksi dan ternafikan secara nyata. Orang dan lembaga yang
istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus
mendapatkan solusi dan jalan keluar dari segala persoalan yang ada.
3. Fathanah mempunyai arti mengerti, memahami, dan menghayati secara
mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini aka
menumbuhkan kreatifitas dan kemampuan melakukan berbagai macam inovasi
yang bermanfaat. Kreatif dan inovatif hanya mungkin dimiliki manakala seorang
selalu berusaha untuk menambah berbagai ilmu pengetahuan, peraturan, dan
informasi, baik yang berhubungan dengan pekerjaan maupun perusahaan secara
umum. Sifat fathanah (perpaduan antara ‘alim dan hafidz) telah mengantarkan
Nabi Yusuf a.s. dan timnya berhasil membangun kembali negeri Mesir. Dan sifat
itu pula yang mengantarkan Nabi Muhammad saw. (sebelum menjadi nabi) oada
keberhasilan dalam kegiatan perdagangan (riwayat Imam Bukhari)
4. Amanah, mempunyai arti bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas
dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan
yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal. Sifat amanah
harus dimiliki setiap mukmin, apalagi yang mempunyai pekerjaan yang
berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat.dalam sebuah hadists
dikemukakan bahwa Rasulullulah saw. bersabada bahwa amanah itu akan
menarik rezeki, sebaiknya khianat itu akan mengakibatkan kefakiran.
5. Tabligh berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk
melaksaakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan kita sehari-hari.
tabligh yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentatif, dan persuasif
akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang semakin solid dan kuat.

E. Pandangan Islam Tentang Kehidupan Dunia

Manusia dewasa ini telah berada di persimpangan jalan, antara agama dan kemajuan
ilmu pengetahuan. Kebimbangan pun datang mengusik lamunan di malam hari,
membangunkan dari mimpi-mimpi indahnya sepanjang malam. Manusia cenderung
menilai realita kehidupan dunia yang tampak di depan mata tanpa menoleh fenomena
kehidupan di masa lalu. Ada sebagian darinya yang tidak merujuk kepada perintah-
perintah agama sebagai pedoman hidup di dunia. Padahal, sejarah peradaban manusia telah
terukir dari beberapa peristiwa kebajikan dan kebathilan. Padahal, yang di cari manusia
dalam kehidupan di dunia adalah kebahagiaan.

Terangkatnya posisi manusia sebagai khalifah di muka bumi merupakan suatu


kemuliaan yang tinggi dari Allah swt. Alam dan seisinya juga dipersembahkan kepada
manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya tanpa harus membayar upeti kepada Allah.
Anugerah yang tidak ternilai berupa akal seharusnya mampu menjadikan manusia sebagai
sosok kekhalifahannya, mulia. Tetapi, mengapa manusia masih berambisi mencari
kehidupan dunia sebagai sesuatu yang kekal? Dunia bukanlah semata-mata warisan untuk
anak cucu manusia , tetapi sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di
hadapan Allah Yang Maha Kuasa.

Syeikh Muhammad ‘Ali as Shobuni dalam kitabnya Shofwatu al Tafasir menuliskan


bahwa Allah swt menciptakan langit dan bumi hanya dalam enam hari. Hal ini bukan
menunjukkan bahwa Allah swt tidak mampu menciptakannya hanya dalam sekejap, namun
Allah ingin mengajarkan kepada hamba-hamba Nya satu sifat yang tidak tergesa-gesa
dalam melakukan pekerjaan. Dan masih ada beberapa firman Allah yang menjelaskan
tentang penciptaan dunia, namun penulis dalam hal ini lebih termotivasi dalam membahas
kehidupan dunia.
Sebuah realita tentang kehidupan dunia abad ini diterjemahkan sebagai kehidupan
yang sementara, tempat untuk bersenang-senang, kehidupan modern, kehidupan yang
abadi dan sebuah kehidupan yang fana. Di sisi lain kehidupan dunia dipandang sebagai
jembatan menuju kehidupan setelah mati (akhirat), tempat mencari amal kebajikan, tempat
menimba ilmu pengetahuan dan lain-lainya. Berangkat dari pemahaman di atas maka
nyatalah kehidupan dunia yang fana ini hanyalah sebuah ujian bagaimana mengemban
tugas-tugas kehidupan dan amanat kemanusiaan. Dengan demikian manusia akan merasa
puas dan hidup tidak menjadi sia-sia tanpa melemahkan semangat berjuang dalam
kehidupan.

Akhirnya, dapatlah digambarkan bahwa persepsi kehidupan dunia memiliki tujuan


yang beragam, yaitu; kesenangan, kemegahan, kesehatan, kepintaran, kesuksesan,
ketenteraman jiwa, ketenangan hidup dan kebahagiaan. Tidak cukup sampai disitu,
manusia akan terus mempertanyakannya setelah mampu meraih segala apa yang
diinginkannya atau sebaliknya, manusia akan terus mencari-cari jawaban dari sebuah
pertanyaan yang membosankan.

Mengapa pertanyaan demi pertanyaan itu muncul seolah tidak merasa puas dengan
kenyataan hidup, atau sebaliknya? Islam sebagai agama melalui kajian al qur’an dan
hadits-hadits Rasulullah dapat menjawab pertanyaan demi pertanyaan tersebut dengan
menanamkan kepercayaan terhadap Allah dan Rasulullah. Oleh karena itu jugalah penulis
mencoba menghadirkan jawaban-jawaban yang bersumber dari nash-nash al Qur’an dan
beberapa Hadits Nabi saw, sekaligus dapat memberikan keyakinan yang kuat dalam diri.

Jikalau manusia menjadikan kehidupan dunia sebagai bentuk yang mempesonakan


terhadap kemewahan harta, kebanggaan memiliki anak-anak dan lainnya, atau sangat
mencintai perabot kehidupan duniawi, sehingga lalai dan lupa akan sebuah hakikat, maka
islam menjawabnya, bahwa semua bentuk kesenangan dunia tersebut bersifat temporer,
sebuah sandiwara, permainan dan kesenangan sesaat. Maka, untuk apa terlalu mengejar
kesenangan sesaat sementara kesenangan yang kekal dan hakikat adalah akhirat?.

Gambaran kehidupan dunia dengan perumpamaan seperti di atas bukanlah


bermaksud untuk meremehkan kehidupan dunia, namun sebagai satu peringatan agar
manusia tidak terlena dan lalai, atau tidak menjadikan hidup mereka sia-sia dan merugi.
Kemudian islam menawarkan kehidupan akhirat yang kekal sebagai tempat bersenang-
senang yang abadi, dan hal ini tentunya menjadi kabar gembira bagi mereka yang percaya
kepada Allah dan kehidupan di akhirat. Ada beberapa dalil al Qur’an dan Hadits Nabi saw
di bawah ini yang bisa dijadikan pedoman bagi manusia dalam menyikapi kehidupan
dunia, dan mungkin sebagai renungan bersama, diantaranya adalah:

‫ّار َو ِإنِّ َولَ ِعبِ لَهْوِ ِإ َِّل ال ُّد ْنيَا ا ْل َح َياةِ َه ِذ ِِه َو َما‬ َِ ‫يَ ْعلَمونَِ كَانوا لَ ِْو ا ْل َحيَ َوانِ لَ ِه‬
َِ ‫ي ْاْل ِخ َر ِةَ الد‬

Artinya:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan. Dan
sesungguhnya akhirat itulah sebenar-benar kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. al
‘Ankabut: 64).

‫َن أَ ِْوَلَدك ِْم َو َِلَ أ َ ْم َوالك ِْم ت ْل ِهك ِْم َِلَ آ َمنوا الّذِينَِ يَاأَيُّهَا‬
ِْ ‫للاِ ِذك ِِْر ع‬
ِ ‫ن‬ ِْ ‫َو َم‬

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan


kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi”. (al Munafiqun: 9).

Telah menjadi ketentuan Allah jikalau manusia hidup sebagai makhluk sosial,
bertetangga, bergaul dengan sesama walaupun terdapat perbedaan bahasa, suku dan warna
kulit. Lantas agama menjawabnya agar manusia menjaga tali silaturrahmi dan saling
mengenal antar satu dengan lainnya, saling menghormati dan menghargai hak-hak sesama.
Islam mengakui kemajemukan manusia sebagai suatu komunitas plural, tetapi bukan untuk
saling membedakan, namun untuk saling mengenal antar satu dengan lainnya. Islam
melarang untuk berlaku sombong dan angkuh karen perbedaan posisi, keadaan, suku, ras,
dan lainnya. Dan kesombongan itu tidak sepantasnya dilakukan manusia karena segala
sesuatunya akan kembali kepada Allah Yang Maha Menciptakan.

Kesuksesan manusia dalam meningkatkan mutu dan kualitas ilmu pengetahuannya


memang perlu untuk dibanggakan, namun kebanggan itu bukan untuk menjadikan dirinya
sombong, angkuh dan tidak tunduk kepada Allah. Manusia lebih cenderung menyibukkan
dirinya dengan kesuksesan duniawi, namun lalai akan mengerjakan amal shalih. Manusia
mampu seharian duduk di kantornya, namun ketika suara azan memanggilnya untuk sholat
dilalaikan. Apalah artinya segudang ilmu dan kekayaan, namun sholat saja masih
dilalaikan. Apa gunanya semashur nama di mata masyarakat, namun masih menyimpan
perasaan iri, dengki dan menceriterakan prihal orang lain dibelakang. Allah Maha
Mendengar dari segala perkataan manusia.

Islam tidak membedakan status sosial antara si miskin dan kaya, seharusnya si kaya
yang menyantuni, mengasihi dan menyayangi si miskin dan bukan untuk membeda-
bedakan derajat. Allah yang menurunkan rezeki, meluaskan dan menyempitkannya.
Apakah pantas bagi manusia untuk berlaku bakhil dan kikir? Nyatalah, yang menjadi
pembeda adalah mereka yang paling bertaqwa, bukan mereka yang lebih putih, kaya,
cantik, dan berkedudukan. Kesuksesan manusia merupakan kesempatan baik yang
diberikan Allah, tetapi Allah juga Maha Mampu merubah kesempatan baik itu sebagai
ujian bagi manusia.

Kehidupan dunia adalah sebuah ketentuan Allah (sunnatullah) yang tidak mungkin
ada seorangpun yang mampu merubahnya. Seperti halnya perputaran langit dan bumi,
tanam-tanaman yang tumbuh subur, gunung-gunung yang Allah tinggikan dan tangguhkan,
lautan dan daratan yang terbentang luas.

Kemudian dalam kehidupan dunia dijadikan tempat untuk bercocok tanam, berternak
dan lainnya. Dunia merupakan tempat manusia berkembang biak dan meneruskan sejarah.
Semua penciptaan ini merupakan sunnatulah yang harus disyukuri oleh manusia sebagai
makhluk yang lemah di hadapan Allah swt. Inilah dari tanda-tanda kebesaran dan
kekuasaan Allah swt Yang Maha Kuasa bagi orang-orang yang mau merenungi.

Manusia tidak melihat kekuasaan Allah Yang Maha Mampu dalam mengatur
peredaran benda-benda langit. Manusia ingkar dan meremehkan kekuasaan Allah. Padahal
manusia sangat lemah dihadapan Allah. Manusia lupa dan amat jarang merenungi
beberapa kekuasaan Allah. Padahal, kepada Allah dan Rasulullah sebaik-baik pengaduan
dari segala urusan. Dunia memang salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah swt yang
nyata, agar manusia benar-benar beriman dan tunduk kepada Nya.

Bagi orang-orang yang beriman, Allah menjadikan kehidupan dunia sebagai


jembatan untuk kehidupan yang kekal (akhirat). Allah membimbing mereka meraih dua
kebahagiaan yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta mengajarkan mereka untuk
mencari nafkah di dunia tanpa melalaikan waktunya untuk mengingat Allah. Dan juga
memberikan kabar gembira sekaligus menuntun mereka dengan ajaran islam bahwa
kehidupan dunia sebagai kehidupan untuk bertaubat dan mencari bekal di akhirat. Karena
itu Allah menganjurkan manusia supaya teliliti dengan kehidupan dunia ini agar hidup
tidak sia-sia. Membimbing manusia sebagai makhluk yang pandai bersyukur. Semua ini
tidak lain hanyalah ujian bagi orang-orang yang beriman kepada Nya dan mengikuti ajaran
islam.

F. Makna Spiritual tentang Kejayaan Hidup

Masyarakat modern dewasa ini menghadapi problem yang sangat serius


yaitu alienasi. Alienasi dalam pandangan Eric Fromm (1995) sejenis penyakit kejiwaan
dimana seseorang tidak lagi merasa memiliki dirinya sendiri, sebagai pusat dunianya
sendiri melainkan terenggut kedalam mekanisme yang sudah tidak lagi mampu
dikendalikan. Masyarakat modern merasakan kebingungan, keterasingan dan kesepian
karena apa yang dilakukan bukan atas kehendaknya sendiri melainkan adanya kekuatan
luar yang tidak diketahuinya menurut perasaan dan akalnya.

Itulah yang juga dikritik oleh Karl Marx, dia menilai akumulasi modal dan alat
produksi pada sekelompok elite membuat dunia mengalami kesenjangan sosial yang hanya
memunculkan kemiskinan massal di mana rakyat yang miskin semakin miskin dan yang
kaya menjadi kaya. Orang miskin menjadi sangat bergantung pada pemilik modal yang
menguasai pusat-pusat produksi dan ekonomi sehingga kebebasan individu untuk memilih
pekerjaan sebagai aktualisasi diri tidak mendapatkan tempat yang kondusif. Penindasan
terjadi secara terus menerus mereka bekerja hanya untuk menjaga keberlangsungan
hidupnya semata sementara disisi lain pemilik modal memeras dengan seenaknya.

Kritik Karl Marx hampir sulit diingkari kebenarannya tentang problem alienasi pada
masyarakat modern, hal ini juga diperkuat oleh pandangan Chistropher Lasch yang
menyebutkan bahwa krisis kejiwaan yang menimpa masyarakat kapitalis terutama barat
telah menyebabkan mereka kehilangan sense of meaning dalam hidupnya.

Relevansi dari kuatnya arus globalisasi sebagai bukti dari perkembangan zaman
menurut pendapat sebagian pakar merupakan proses menghilangnya sekat-sekat
pembatasan ruang dan waktu yang berdampak kepada semakin transparannya proses
transformasi nilai-nilai dan terjadinya asimilasi budaya yang semakin cepat dan
nyaris tanpa batas (the world without border) (Tilaar, 2000).

Kondisi demikian pada akhirnya menjadikan individu dituntut untuk semakin


kompetitif dan mampu bersaing dengan individu yang lainnya. Pada saat itu, individu yang
lambat akan tertinggal dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan
hidup dengan segala kenikmatannya. Sebaliknya, kesuksesan hanya akan dimiliki oleh
individu yang mampu bersaing dan memiliki kedewasaan dalam berpikir dan
mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial masyarakatnya.

Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat pada hakikatnya adalah sistem terbuka
yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan sistem sebagai dampak
globalisasi mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam
masyarakat, yang pada akhirnya akan mewarnai cara berpikir dan perilaku manusia.

Nilai menjadi hal yang penting pada tiap fase perkembangan individu karena nilai
menjadi dasar dalam menentukan pengambilan keputusan. Rusaknya nilai dalam
mesyarakat tentunya berdampak negatif pula terhadap perkembangan masyarakat itu
sendiri. Sebagai imbasnya setiap aspek kehidupan, baik yang secara langsung atau tak
langsung memberikan pengaruh terhadap masyarakat ikut terganggu dan bahkan menjadi
"hancur" (Tirtarahardja,1994).

Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya mengalami percepatan.


Percepatan perubahan ini berdampak kepada hal-hal sebagai berikut: (1) kecenderungan
globalisasi yang makin kuat; (2) perkembangan IPTEK yang makin pesat; (3)
perkembangan arus informasi yang makin padat dan cepat, dan (4) tuntutan
peningkatan layanan profesional dalam berbagai aspek kehidupan manusia. (Tirtarahardja,
1994).

Alfin Tofler (Ancok, 2002) menggambarkan kemasakinian dalam konteks peradaban


dunia dengan istilah Gelombang Keempat (Fourt Wave); yaitu respiritulisasi berupa
bentuk akomodatif terhadap potensi dan antisipatif terhadap tantangan dan perubahan yang
semakin cepat, dengan jalan membentuk kerjasama antar tiap individu dalam adegan
mikro, messo dan juga makro; sehingga terjadi suatu harmoni dalam kehidupan dan
keseimbangan (equilibirium) dalam tatanan kehidupan, baik dengan individu itu sendiri,
alam, maupun dengan lingkungan sekitar.
Sayyed Hossein Nasr berpandangan bahwa manusia modern dengan kemajuan
teknologi dan pengetahuannya telah tercebur kedalam lembah pemujaan terhadap
pemenuhan materi semata namun tidak mampu menjawab problem kehidupan yang sedang
hadapinya. Kehidupan yang dilandasi kebaikan tidaklah bisa hanya bertumpu pada materi
melainkan pada dimensi spiritual.

Terkait dengan aspek spiritualitas atau pada istilah lain adalah releigiusitas/
transedensi, dalam kajian keilmuan bimbingan dan konseling terdapat beberapa pandangan
yang disampaikan para ahli psikologi, khususnya yang beraliran fenomenologis-
eksistensial. Pertama, yang dipelopori oleh Viktor E. Frankl dengan faham Logo
Terapinya; dan kedua, Abraham E. Maslow dengan te'ori kebutuhannya (need
theory) mencetuskan tentang konsep yang terkait dengan upaya membantu individu untuk
mencapai perkembangan optimal, walaupun dengan pemaknaan dan perspektif
yang berbeda untuk masing-masing faham. Frankl memaknai transen-densi sebagai
akumulasi pengalaman individu yang bertendensi negatif dan positif, sehingga melahirkan
kebermaknaan hidup; sedangkan Maslow memaknai trensendensi sebagai
pencapaian aktualisasi diri (self actualization) oleh individu.

Walaupun perspektif mereka berbeda, akan tetapi yang perlu dicatat di sini adalah
keberanian dan pencapaian "kontemplasi" mereka dalam mengetengahkan tentang sisi
keterbatasan individu dalam memahami peristiwa ataupun pengalaman yang
dialami individu yang berada di luar jangkauan pemahaman inderawi dan nalar logik
manusiawi. Dari pemahaman itu, pada akhirnya mendorong individu untuk meyakini
hakikat ketuhanan, menyadarkan akan kelemahan yang dimilikinya, dan sekaligus menjadi
motivasi untuk mengembangkan potensi diri secara proporsional.

Faham-faham yang dilontarkan para tokoh aliran fenomeno-logis-eksistensial


tersebut secara langsung membantah pandangan psikoanalitik yang cenderung memandang
individu dari sudut negatif dengan sifat-sifatnya yang pesimisitik, deterministik, dan juga
penuh kecemasan; begitupun behavioristik yang memandang individu mekanistik yang
dapat diubah dengan formula S-R (Stimulus dan Respon). Faham ini seolah menyadarkan
individu tentang hakikat hidup dan potensi diri yang sesungguhnya masih banyak yang
belum terungkap, sehingga mengantarkan individu untuk meyakini terhadap suatu
kekuatan yang berada di luar jangkauan dan kekuatan diri mereka.
Nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan individu menjadi urgen karena pada diri
individu terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikiran dan
kontemplasi pada realitas di luar wilayah materi yang bersifat fisik (Hidayat,
2002). Kecenderungan ini membawa pada suatu kesadaran diri (self awareness) tentang
kelebihan dan kelemahan diri, dan keterbatasan aspek-aspek inderawi dalam memahami
sesuatu yang berada di luar jangkauan fisik dan rasio kamanusiaan.

Dimensi spiritualitas dalam aktivitas konseling menjadi cukup signifikan, karena


konseling merupakan aktivitas yang fokus pada upaya membantu (building
relationship) individu/klien dengan segala potensi dan keunikannya untuk mencapai
perkembangan yang optimal. Sementara itu dimensi spiritualitas berfungsi sebagai radar
yang mengarahkan pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat aspek-aspek kompleks
pada diri individu yang tak terjangkau untuk ditelusuri dan dijamah, serta menyadarkan
bahwa aspek hidayah hanya datang dari Sang Penggenggam kehidupan itu sendiri.Dimensi
pada akhirnya menjadi penting pada aktivitas konseling, yang berupa motivasi untuk
semakin konsisten dengan profesi yang ditekuni dan menimbulkan kobaran api semangat
untuk membantu individu/klien dengan penuh keikhlasan, serta menciptakan nilai-nilai
luhur keyakinan pada aktivitas bantuan yang dilakukan dalam bentuk empati, perhatian,
dan kasih sayang.

Hal utama kaitan dimensi spiritualitas dalam konseling adalah upaya memandang
sebagai bagian dari proses kepentingan pembinaan tersebut. Oleh karena itu, dimensi
spiritual dalam bimbingan konseling selalu mengutamakan hakekat manusia. Sebagai
keilmuan yang mengkaji tentang hubungan kemanusiaan, maka bimbingan dan konseling
memiliki pandangan tentang dimensi kemanusiaan. Djawad Dahlan (2002) memaparkan
dimensi kemanusiaan dalam perspektif bimbingan dan konseling sebagai berikut:

1) Pandangan yang menganggap manusia sebagai makhluk yang pada dasarya


bersifat deterministik, pesimistik, mekanistik dan reduksionalistik. Menurut
pandangan ini, individu dipan-dang tidak mampu meraih kebebasan susila, karena
segala gerak dan ucapnya dipandang datang dan ditentukan oleh dorongan-
dorongan instinktif yang tidak terbendung, tidak dapat dikendalikan dan bahkan
tidak mungkin untuk dikenal. Segala perilaku manusia, bahkan yang bersifat etis
religius pun dipandangnya tidak lain sebagai sublimasi dari dorongan-dorongan
tidak disadari.
2) Terdapat juga konsep bimbingan dan konseling yang berwama behavioristik.
Pandangan ini pun menyandang ciri deterministik, sehingga perilaku individu
menurut paham ini, sepenuhnya dapat ditentukan dan ditempa dari luar,
melalui pembentukan hubungan stimulus-respon, latihan atau training. Latihan,
pembiasaan, reinforcement, extinction, desentisitasi, merupakan tindakan-
tindakan lunci untuk merubah perilaku klien. Sederhananya individu adalah
makhluk mekanistik yang dapat dikendalikan dari luar oleh lingkungan.
3) Pandangan yang agak sejalan dengan pemberian latihan untuk berbuat,
mengimplikasikan bahwa pemberian bantuan kepada klien hendaknya berupa
peningkatan keterampilan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya
sekarang ini, dalam kehidupan ini, di tempat ini dan dengan kondisi seperti
ini. Keterlibatan kepada tempat, waktu, situasi dan kondisi, membuat klien sulit
untuk mempunyai pandangan kedepan. Bagi mereka, keadaan seperti ini tidak
dipandang sebagai persoaian yang serius, karena memang segala sesuatu
tiada yang tetap, melainkan selalu berubah.

Berdasarkan ketiga pandangan di atas, lebih lanjut Djawad Dahlan (2002)


menegaskan bahwa apabila pandangan tersebut selamanya menjadi referensi bagi upaya
membantu perkembangan klien, tentunya individu hanya dihargai sebagai makhluk
yang degradasi yang sepenuhnya tunduk kepada naluri dan dorongan impulsif, atau tunduk
kepada kekuasaan dari !uar dirinya, maka muncuilah pandangan lain yang diametral dan
mendewa-dewakan manusia.

Pandangan ini bersifat optimistis, penuh harapan terhadap kemampuan individu dan
memandangnya memiliki kemampuan untuk berbuat sendiri di bumi ini dan menentukkan
tujuannya sendiri. Himbauannya terhadap pendidikan dan bimbingan dan konseling ialah
agar individu dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Akan tetapi kebebasan berpikir dan mengembangakan diri yang
dilakukan klien tidak menutup kemungkinan akan berbenturan dengan tata nilai dan norma
yang berlaku di keluarga, sekolah ataupun lingkungan masyarakat, apalagi jikalau satuan
norma yang berlaku lebih banyak bermuatan aspek kebebasan dari tatanan nilai-
nilai agama dan spiritual.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mu’amalat adalah semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan


dunia,dengan memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli, tukar-
menukar, pinjam-meminjam dan sebagainya. Muamalat juga merupakan tatacara atau
peraturan dalam perhubungan manusia sesama manusia untuk memenuhi keperluan
masing-masing yang berlandaskan syariat Allah s.w.t yang melibatkan bidang ekonomi
dan sosial Islam. Ruang lingkup mu’amalah terbagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup mu’amalah
madiyah dan adabiyah. Diharamkan riba, ghasab, korupsi, monopoli, penimbunan dalam
bermu’amalah. Dan macam-macam akhlak bermu’amalah adalah Shiddiq, Istiqamah,
Fathanah, Amanah, Tablig.

B. Saran

Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam ini, diharapkan dapat


menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama Islam . Disamping itu
kami juga menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas
selanjutnya lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Fiana,Ahla. (2013). PENGERTIAN FIQIH MUAMALAH . diambil dari:


http://artikelilmiahlengkap.blogspot.com/2013/03/pengertian-fiqih-muamalah.html
(Diakses tanggal 8 Juni 2015)

Ghazaly,Abdul Rahman.et.all. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group

Hafidhuddin,Didin. (2003). Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press

Nugraha, Dede Adi. (2012). Makalah pai tentang mu’amalah (jual beli). Diambil dari:
http://www.slideshare.net/dhanshei/makalah-pai-tentang-muamalah-jual-beli-14851959.
(Diakses tanggal 8 Juni 2015)

Suwarno, Muji. (2012). Pustaka Islam. Diambil dari:


http://sajadahislam.blogspot.com/p/pustaka-islam.html (Diakses tanggal 8 Juni 2015)

Yandi,Debu. (2014). MATERI 10 : Muamalat dalam Islam. Diambil dari: http://lppkk-


umpalangkaraya.blogspot.com/2014/09/materi-10-muamalat-dalam-islam.html (Diakses
tanggal 8 Juni 2015)
MAKALAH MU’AMALAH
Dosen Pembimbing: Bp. Syahbana daulay, M.Ag

Di susun oleh :
Kelompok 4

1. Lufik Fadilah (1601016)


2. Maya Sri Mahastuti Agung (1601017)
3. Mifta Zakiatul Miskiah (1601018)
4. Novia Nur Qomariah (1601019)
5. Novia Nurzuhriyanti (1601020)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KLATEN


Jl. Jombor Indah, Buntalan, Klaten Tengah, Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah 57419
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puja dan puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “MU’AMALAH”

Keberhasilan tugas makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu
kami sampaikan terima kasih kepada Dosen pembimbing dan semua pihak yang telah
membantu pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tugas yang lain.

Klaten, Mei 2017

Penyusun

Anda mungkin juga menyukai