Anda di halaman 1dari 29

LANGKAH-LANGKAH CLINICAL REASONING SISTEM GENITOURINARIA

Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing:
Ns. Henni Kusuma, M.Kep., Sp.Kep.MB
Disusun oleh:
1. Grahya Febriella MNP 220220115120039
2. Melinda Kumala Sari 220220115130082
3. Ayu Martha Puri 220220115120043
4. Rikarda Ogetai 22020113100053
5. Muliawati N 220220115120047
6. Verawati 220220115130085
7. Eko Joko P 220220115130110
8. Cici Melati N 220220115140065
9. Karina Setiawan 220220115120041
10. Putwi Marinesia Nur 220220115120037
Kelas A.15.1

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


DEPARTEMEN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
KASUS
Seorang pasien laki-laki usia 50 tahun dibawa ke RS mengeluh sesak napas dan keluar urin
sedikit sejak satu minggu terakhir. Pasien juga mengatakan kulitnya gatal-gatal, sering
pusing, dan lemas. Pasien tidak nafsu makan karena mual, makannya hanya habis ¼ porsi.
Pasien mempunyai riwayat sakit batu ginjal 5 tahun yang lalu, dan sudah dilakukan ESWL.
Hasil pemeriksaan fisik: tekanan darah 190/110 mmHg, RR 30 kali/menit, suhu 37,5° C.
Hasil laboratorium ureum: 135 mg/dl, kreatinin 8 mg/dl, Hb 7 mg/dl, leukosit 13.000 LPK.
Pasien akan dilakukan pemeriksaan sempel urin.
LANGKAH-LANGKAH DALAM PROSES CLINICAL REASONING

1. Pertimbangkan situasi klien: Jelaskan fakta, konteks, maupun tentang kondisi


personal
a. Seorang laki-laki
b. Usia 50 tahun
c. Mengeluh sesak nafas dan keluar urin sedikit sejak 1 minggu terakhir
d. Riwayat sakit batu ginjal 5 tahun yang lalu, dan sudah dilakukan ESWL
e. Kulit gatal-gatal, sering pusing, dan lemas
f. Tidak nafsu makan, mual, makan hanya habis ¼ porsi
g. TD: 190/110 mmHg, RR: 30x/menit, Suhu: 37,5 °C
h. Hasil lab; ureum: 135 mg/dl, kreatinin: 8 mg/dl, Hb: 7 mg/dl, leukosit: 13000
LPK
2. Mengumpulkan informasi dan tanda-tanda khusus
a. Mereview informasi saat ini
Laki-laki 50 tahun dengan riwayat batu ginjal 5 tahun yang lalu.
Seorang laki-laki usia 30-50 tahun lebih berisiko terkena penyakit batu ginjal.
Gejala awal tidak akan terasa karena ukuran batu yang relatif kecil (Pranandari
& Supadmi, 2015). Penanganan batu ginjal besar, antara lain (Fauzi dan Putra,
2016):
1) ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotripsy), yaitu penghancuran
batu dengan gelombang.
2) Uteroskopi, yaitu memasukkan alat ureteroskop melalui uretra dan
kandung kemih hingga diketahui letak batu, kemudian batu
dihancurkan dengan instrumen lain atau laser.
3) PCNL (Percutaneous Nephrolithotomy), yaitu membuat sayatan diatas
permukaan kecil dekat ginjal sehingga alat nephroscope dapat masuk
untuk memecahkan dan mengangkat serpihan batu.
Komplikasi yang dapat muncul akibat batu ginjal yaitu terjadinya infeksi
ginjal (prelonetritis), terinfeksinya ginjal dapat menyebabkan bakteri dan
mikroorganisme masuk ke aliran darah. Batu ginjal juga dapat menyebabkan
kerusakan permanen ginjal (Fauzi dan Putra, 2016).
Klien mengeluh sesak nafas, keluar urine sedikit sejak satu minggu terakhir,
gatal-gatal, sering pusing, lemas, tidak nafsu makan dan mual (makannya
hanya habis ¼ porsi). Apabila fungsi ginjal klien mengalami penurunan maka
keseimbangan cairan dalam tubuh mengalami kerusakan dan dapat memicu
penumpukan cairan dalam tubuh. Penumpukan cairan ini kebanyakan
menghasilkan pembengkakan terutama pada bagian kaki dan organ vital paru-
paru. Saat ginjal mengalami kerusakan dan tidak bisa mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh penderita biasanya menjadi
oliguria. Kulit gatal dan tidak nafsu makan karena mual dikarenakan kadar
ureum yang tinggi dalam darah (Yaswir dan Ferawati, 2012).
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil; tekanan darah: 190/110 mmHg,
RR: 30x/menit, Suhu: 37,5 °C. Hasil lab; ureum: 135 mg/dL, kreatinin: 8
mg/dl, Hb: 7 mg/dl, leukosit: 13000 LPK.
b. Mengumpulkan informasi baru
1) Klien akan dilakukan sampel urine, pemeriksaan aliran
urine/uroflometri, dan hiperkalemia.
Pemeriksaan uroflometri adalah prosedur diagnostik untuk
mengukur jumlah air seni dan kecepatan warna atau dapat disebut tes
pancaran kencing caranya, yaitu klien diminta untuk buang air kecil di
toilet yang dilengkapi alat pengukur uroflowmetri eleektronik lalu
dengan otomatis alat ini akan mengukur jumlah urin yang dikeluarkan,
kecepatan keluarnya urin per detik, waktu yang dibutuhkan, tingkat
keparahan kandung kemih jika terdapat obstruksi (IAUI, 2015).
Pemeriksaan hiperkalemia dapat dilakukan dengan tes darah, tes urin,
dan EKG. Ketika fungsi ginjal terganggu, ginjal tidak mampu
membuang kelebihan kalium dalam tubuh.
Pemeriksaan sampel urine dibagi menjadi dua yaitu:
a) Pemeriksaan makroskopik
Meliputi warna, volume, berat jenis, bau, pH, buih (busa)
b) Pemeriksaan mikroskopik
Eritrosit, leukosit, epitel, silinder, kristal, silindroit, benang
lendir, spermatozoa, bakteri, jamur, trichomonas st
2) Melakukan pemeriksaan nutrisi dan intake output cairan
Pemeriksaan nutrisi
a) Antropometri (BB, TB, LILA)
b) Biokimia (lab)
c) Clinical (kondisi umum, GCS)
d) Dietary (recall intake makanan)
3) Melakukan perkusi ginjal
Perkusi ginjal dilakukan untuk mengkaji nyeri ketok ginjal,
dilakukan di daerah kostovertebra, yaiitu dengan menekan atau
mengetuk pada daerah sudut antara costa tereakhir dengan vertebra.
Pada pasien denggan penyakit ginjal, hanya dengan menekan daerah
tersebut maka akan muncul rasa nyeri.
4) Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal
yaitu sinar X-abdomen, CT-Scan
Pemeriksaan sinar-X abdomen yang dikenal denganistilah KUB
(Kidney, Ureter, Bladder) dilakukan untuk melihat ukuran, bentuk,
serta posisi ginjal dan mengidentifikasi semua kelainan seperti batu
dalam ginjal atau traktus urinarius, hidronefrosis (distensi pelvis
ginjal), kista, tumor, ataupergeseran ginjal akibat abnormalitas pada
jaringan di sekitarnya.
Pemeriksaan CT-Scan merupakan teknik non-invasif yang akan
memberikan gambar penampang ginjal serta saluran kemih yang
sangat jelas.
5) Pemeriksaan asites, pitting edema untuk mengetahui status cairan.
Asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus
(hipertensi porta) dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat
hipoalbuminemia. Asites terjadi akibat tingginya tekanan portal yang
disertai dengan kadar albumin yang rendah dan retensi natrium.
Rendahnya tingkat albumin dalam darah yang menyebabkan
perubahan tekanan yang diperlukan untuk mencegah pertukaran cairan
(tekanan osmotik), perubahan tekanan memungkinkan cairan
merembes keluar dari pebuluh darah. Pada penyakit ginjal urin tidak
dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi
sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema
dan asites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam
tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya (Ingrum, 2001).
Pemeriksaan asites dapat dilakukan dengan meminta klien
melepas baju kemudian berbaring dan rileks. Inspeksi bagian perut
klien dengan dilihat bagaimana bentuk perut (datar, cembung, atau
cekung), lihat apa ada tanda peradangan dibagian perut. Palpasi bagian
perut dengan cara pasien diminta untuk meletakkan tangannya di
bagian umbilicus, lalu tangan kita ada disebelah kanan dan kiri sis
perut pasien, lalu pukul dengan menggunakan lima jari sisi perut
bagian kiri. Rasakan apakah ada rasa semacam hentaman cairan pada
tangan sebelah kanan. Pemeriksaan ini dinamakan pemeriksaan
undulasi. Perkusi dimulai dari bagian umbilicus atau bagian tengan
operut pasien, terus ke arah bawah. Suara yang terdengar pada orang
yang menderita asites adalah pada awalnya timpani, tetapi semakin ke
bawah, yang dirasakan adalah semakin redup dan akhirnya redup. Pada
tahap ini tentukan batas perubahan suara antara redup dan timpani.
Klien diminta untuk memiringkan badannya ke arah kita, yaitu ke arah
kiri, lalu kita perkusi lagi, formatnya dari perbatasan tadi ke atas. Suara
yang terdengar adalah redup, redup, redup sampai akhirnya timpani.
Perlu diketahui, pada pemeriksaan ini batas redup akan bergeser ke
atas, hal ini disebabkan karena cairan yang berada disebelah kiri pasien
berpindah ke sebelah kanan (FK Unhas, 2015).
6) Melakukan auskultasi untuk mengetahui suara nafas tambahan
Manifestasi klinis sistem pulmoner pada gagal ginjal kronis
menurut Suyono (2001) dalam Hutapea (2013) adalah bunyi nafas
crackles (ronki basah), nafas dangkal, kusmaull, dan sputum kental.
Adanya suara nafas abnormal crackles jika terdapat kelebihan cairan di
rongga alveolus. Akumulasi tersebut terjadi karena perpindahan cairan
dari kompartemen intravaskuler ke dalam rongga alveolus sehubungan
dengan terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik yang dihasilkan
jantung karena adanya peningkatan volume cairan di dalam pembuluh
darah. Akumulasi cairan tersebut dapat menimbulkan komplikasi gagal
nafas.
7) Melakukan pengkajian psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri, konsep diri, serta
pola interaksi. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan penderita mengalami gangguan dalam
menyelesaikan masalahnya.
8) Melakukan pemeriksaan pruritus
Pruritus atau rasa gatal. Pemeriksaan fisik membantu dalam
membedakan antara penyebab sistemik dengan penyakit dermatologik.
Dalam kasus pruritus yang disebabkan oleh sistemik, pemeriksaan
penunjang dilakukan harus sesuai dengan kondisi yang ditunjukkan
(Graham dan Burns, 2005). Contohnya : Uji fungsi ginjal pada gagal
ginjal kronis:
a) Pemeriksaan kadar ureum
b) Pemeriksaan kadar kreatinin
c) Pemeriksaan asam urat
d) Pemeriksaan Cystatin C
e) Pemeriksaan β2 Microglobulin
f) Pemeriksaan Mikroalbuminuria
g) Pemeriksaan Inulin
h) Pemeriksaan Zat Berlabel Radioisotop
9) Melakukan pemeriksaan fatigue
Kelelahan, atau disebut juga fatigue, adalah kondisi di mana
selalu merasa lelah, lesu, atau kurang tenaga. Individu dengan
penyakit jantung, penyakit paru-paru atau anemia dapat mengalami
sesak napas atau mudah lelah setelah melakukan aktivitas yang
minim.
Gejala kelelahan lainnya dapat meliputi:
a) Penurunan berat badan
b) Nyeri pada dada dan sesak napas
c) Muntah dan diare
d) Demam dan menggigil
e) Kelemahan atau nyeri otot
f) Kecemasan dan depresi.
10) Melakukan pengkajian insomnia
Masalah tidur yang umum dialami oleh pasien gagal ginjal
yang melakukan hemodialisis adalah insomnia, restless syndrome,
sleep apneu, dan excessive daytime, sleepness. Faktor yang
berkontribusi gangguan tidur yaitu seperti durasi terapi hemodialisis,
tingginya kadar urea dan atau kreatunin, nyeri, disability, malnutrisi,
kraam otot, periferal neuropati, dan masalah somatik. Gangguan tidur
dapat mempengaruhi kualitas tidur dari segi tercapainya jumlah tidur
atau lama tidur yang berdampak pada aktivitas kesehatan individu
(Nurkamila dan Hidayati, 2013).
11) Melakukan pengkajian eliminasi
Pada pengkajian eliminasi yang dikaji yaitu eliminasi fekal dan
eliminasi urin (Hutapea, 2013).
Eliminasi fekal : pola eliminasi fekal, frekuensi, konsistensi
Eliminasi urin : pola berkemih, frekuensi, volume, komposisi
urin, warna, bau.
Pada penderita penyakit gagal ginjal biasanya terjadi masalah pada
eliminasi urin.
c. Mengingat pengetahuan sebelumnya
1) Definisi penyakit ginjal kronis
Gagal ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam
beberapa bulan atau tahun. Atau dapat didefinisakn sebagai kerusakan
ginjal dan/atau penurunan GFR kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 selama
minimal 3 bulan (Nurkamila dan Hidayati, 2013).
2) Etiologi gagal ginjal
National Kidney Foundation (NKF) menyebutkan bahwa dua
penyebab utama penyakit ginjal kronis adalah diabetes dan hipertensi.
Kondisi lain yang dapat memengaruhi ginjal yaitu (Sitaga, 2015):
a) Glomerulonefritis, yang merupakan kumpulan penyakit yang
menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada unit penyaring
pada ginjal
b) Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik, yang mana
dapat menyebabkan pembentukan kista pada ginjal dan
merusak jaringan di sekitarnya
c) Lupus dan penyakit lain yang dapat mempengaruh sistem
kekebalan tubuh
d) Obstruksi yang disebabkan karena batu ginjal, tumor atau
pembesaran kelenjar prostat pada pria serta
e) Infeksi saluran kencing yang berulang

3) Klasifikasi gagal ginjal


Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom
klinis yang disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan,
sedang dan tahap akhir. Ada beberapa klasifikasi dari gagal ginjal
kronik yang dipublikasikan oleh National Kidney Foundation (NKF)
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) (Nurkamila
dan Hidayati, 2013). Klasifikasi tersebut diantaranya adalah
(Nurkamila dan Hidayati, 2013):
a) Tahap pertama (stage 1) merupakan tahap dimana telah terjadi
kerusakan ginjal dengan peningkatan LFG (>90 mL/min/1.73
m2) atau LFG normal.
b) Tahap kedua (stage 2) reduksi LFG mulai berkurang sedikit
(kategori mild) yaitu 60-89 mL/min/1.73 m2.
c) Tahap kedua (stage 3) reduksi LFG telah lebih banyak
berkurang (kategori moderate) yaitu 30-59 mL/min/1.73.
d) Tahap kedua (stage 4) reduksi LFG sangat banyak berkurang
yaitu 15-29 mL/min/1.73.
e) Tahap kedua (stage 5) telah terjadi gagal ginjal dengan LFG
yaitu <15 mL/min/1.73.

4) Tanda dan gejala gagal ginjal


Beberapa tanda atau gejala gagal ginjal umum yang perlu diketahui
(Warianto, 2011):
a) Kencing terasa kurang dibandingkan dengan kebiasaan
sebelumnya.
b) Kencing berubah warna, berbusa, atau sering bangun malam
untuk kencing.
c) Sering bengkak di kaki, pergelangan, tangan, dan muka.
Antara lain karena ginjal tidak bisa membuang air yang
berlebih.
d) Lekas capek atau lemah, akibat kotoran tidak bisa dibuang oleh
ginjal.
e) Sesak napas, akibat air mengumpul di paru-paru. Keadaan
ini sering disalahartikan sebagai asma atau kegagalan
jantung.
f) Rasa pegal di punggung.
g) Gatal-gatal, utamanya di kaki.
h) Kehilangan nafsu makan, mual, dan muntah
5) Penatalaksanaan gagal ginjal
a) Penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan dua tahap yaitu
dengan terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal (Haryanti
dan Nisa, 2015).

3. Memproses informasi yang ada


a. Menginterpretasikan
1) Laki-laki
Pria lebih rentan terkena gangguan ginjal daripada wanita,
seperti penyakit gagal ginjal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
volume pada urine atau kelebihan senyawa (senyawa alami yang
mengandung kalsium yang terdiri dari oxalate/ fosfat dan senyawa lain
seperti uric acid dan amonia acid cystine), pengaruh hormon, keadaan
fisik dan intesitas aktivitas. Dimana saluran kemih pria yang lebih
sempit membuat batu ginjal menjadi sering tersumbat dan
menyebabkan masalah (Hartini, 2016).
Pria juga berisiko terkena gangguan ginjal karena kebiasaan
merokok dan minum alkohol yang menyebabkan ketegangan pada
ginjal, sehingga ginjal bekerja keras. Karsinogen alkohol juga dapat
merusak sel-sel ginjal sehingga berpengaruh pada fungsi ginjal.
Testosteron pada laki-laki dapat menyebabkan terjadinya apaptosis
pedosit (yang berperan penting dalam terjadinya glomeruloskerosis).
Hormon estrogen mempunyai efek protektif terhadap kerusakan ginjal
(Hartini, 2016).
2) Usia
Semakin bertambahnya usia, fungsi ginjal semakin menurun.
Secara normal, penurunan fungsi ginjal ini telah terjadi pada usia
diatas 40 tahun. Pada usia lebih dari 40 tahun, akan terjadi proses
hilangnya nefron dan nilai GFR 60-89 ml/menit (Pranandari &
Supadmi, 2015).
3) Sesak napas
Pada penderita gagal ginjal disebabkan karena adanya kelebihan
volume cairan dan gejala uremik yang menyebabkan asidosis
metabolik yang ditandai dengan meningkatnya respiratori rate
(Aningrum, 2015).
Hubungan sesak nafas dengan gagal ginjal kronik lainnya berkaitan
dengan kadar kreatinin di dalam darah. Saat fungsi ginjal menurun,
ginjal akan kesulitan membuang urine, sehingga akan ada penumpukan
zat-zat sisa metabolisme dalam darah. Kreatinin ini akan kembali
mengalir bersama darah ke seluruh tubuh. Akibatnya, darah akan
mengalami penurunan fungsi juga karena adanya kelebihan kadar
limbah di dalamnya. Penurunan fungsi darah ini akan berefek pada
penurunan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Jika kondisi ini
terus berlangsung, maka penderita gagal ginjal kronik akan mengalami
sesak nafas, karena oksigen dalam darah lebih sulit diedarkan secara
maksimal ke seluruh tubuh.
Hubungan sesak nafas dengan gagal ginjal kronik lainnya adalah
berkaitan dengan anemia atau kekurangan sel darah merah. Seperti
yang dijelaskan di atas, ginjal juga turut berperan serta dalam proses
pembentukan sel darah merah di dalam tubuh. Jika ginjal terganggu,
maka proses pembentukan sel darah merah di sumsum tulang juga
akan ikut terganggu. Akibatnya, sel darah merah yang dihasilkan
jumlahnya akan menurun. Hal ini menyebabkan anemia. Karena sel
darah merah memiliki fungsi untuk menghantarkan oksigen ke seluruh
tubuh, maka jika sel darah menurun jumlahnya, tentu jumlah oksigen
yang bisa dihantarkan ke seluruh tubuh juga berkurang. Hal ini jugalah
yang menyebabkan penderita gagal ginjal kronis tidak bisa bernafas
secara normal dan mengalami sesak nafas.
4) Urin keluar sedikit
Urin keluar sedikit dapat disebut dengan oliguria. Oliguria adalah
keluaran urine kurang dari 1 ml/kg/jam pada bayi, kurang dari 0,5
ml/kg/jam pada anak, dan kurang dari 400mg/hari pada dewasa.
Oliguria merupakan salah satu tanda klinik gagal ginjal. Pada saat
kreatinin meningkat sebagai tanda kerusakan dari ginjal dan ginjal
tidak bisa mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam
tubuh, penderita biasanya mengalami oliguria.
5) Kulit gatal
Kulit gatal, kulit kering terjadi akibat tingginya kadar ureum dalam
darah. Ureum seharusnya difiltrasi dan dikeluarkan oleh ginjal tetapi
jika ada kerusakan filtrasi pada ginjal maka ureum tidak bisa disaring
dan dibuang melalui urine akibatnya ureum akan tertinggal dan
mengendap dalam darah. Menurut Brunner & Suddarth (2001)
mengungkapkan bahwa rasa gatal merupakan manifestasi dari CKD,
hal ini terjadi karena penumpukan kristal ureaa di kulit.
6) Pusing dan lemas
Pusing dan lemas disebabkan karena kurangnya suplai oksigen
pada jaringan / kondisi anemia. Anemia pada penderita GGK karena
defisiensi relatif eritropoetin (EPO) yang menyebabkan Hb turun
(Hutapea, 2013).
7) Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko gagal ginjal karena
hipertensi dapat memperberat kerusakan ginjal yaitu, melalui
peningkatan intraglomerular yang menimbulkan gangguan struktural
dan fungsional glomerulus (Pranandari & Supadmi, 2015).
8) Tidak nafsu makan karena mual
Mual terjadi karena peningkatan amonia yang menyebabkan iritasi
dan rangsangan pada mukosa lambung dan usus halus (Putri, 2010).
9) ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotripsy)
ESWL yaitu metode penghancuran batu ginjal dengan gelombang
suara (ultrasona) (Fauzi dan Putra, 2016).
10) Ureum 135 mg/dl
Kadar ureum normal adalah 15-40 mg/dl. Kadar ureum darah yang
meningkat menunjukkan kemungkinan penurunan fungsi ginjal
(Verdiansyah, 2016).
11) Kreatinin 8 mg/dl
Kada kreatinin normal adalah 0,5-1,5 mg/dl. Penumpukan kreatinin
menyebabkan metabolisme diusus terganggu sehingga penderita
mengalami mual dan muntah (anoreksia). Dari kasus menunjukkan
bahwa kreatinin mengalami peningkatan kreatinin dihasilkan selama
kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin fosfat. Kreatinin di
ekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam darah sebagai indikator
fungsi ginjal. Nilai kreatinin yang menunjukkan terjadinya penurunan
fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka (Verdiansyah, 2016).
12) Hb 7 mg/dl
Nilai normal Hb wanita 12-16 mg/dl, nilai normal Hb pria 14-18
mg/dl (Yayasan Spiritia, 2007). Dari kasus menunjukkan bahwa Hb
mengalami penurunan. Salah satu fungsi ginjal mengahsilkan hormon
eritropoetin yang membantu merangsang sumsum tulang belakang
untuk membentuk sel-sel darah merah. Ketika fungsi ginjal menurun
maka eritropoetin yang dihasilkan menurun sehingga sel-sel darah
merah yang dihasilkan menurun dan menyebabkan anemia (Hutapea,
2013).
13) Leukosit 13000 LPK
Nilai normal dari leukosit adalah 4000-10000 /mm3. Jumlah sel
darah putih tinggi menunjukkan peningkatan produksi sel darah putih
untuk melawan infeksi, gangguan sistem kekebalan tubuh yang
membuat produksi sel darah putih meningkat, reaksi terhadap obat
yang meningkatkan produksi sel darah putih (Yayasan Spiritia, 2007).
b. Membedakan informasi-informasi penting
1) Sesak napas
Pernapasan normal 16-20x/menit pada orang dewasa, sedangkan
pada kasus pernapasan klien 30x/menit.
2) Kadar ureum tinggi dalam darah
Kadar ureum normal yaitu 10-50 mg/dl, sedangkan pada kasus
kadar ureum klien 135 mg/dl. Kadar ureum tinggi dalam darah
dikarenakan fungsi ginjal mengalami penurunan sehingga ginjal tidak
bisa mengeluarkan ureum melalui urin.
3) Kadar kreatinin tinggi dalam darah
Kadar kreatinin normal yaitu 0,5-1,5 mg/dl, sedangkan pada kasus
kadar ureum klien 8 mg/dl. Kadar kreatinin tinggi dalam darah
dikarenakan fungsi ginjal mengalami penurunan sehingga ginjal tidak
bisa mengeluarkan kreatinin melalui urin.
4) Kulit gatal
Kulit gatal dikarenakan adanya ureum di dalam darah yang tinggi.
5) Pusing dan lemas
Ginjal memiliki fungsi sebagai penghasil eritropoetin (EPO)
namun karena ginjal mengalami kerusakan maka ginjal tidak bisa
memproduksi eritropoetin (EPO) dan ini mengakibatkan masalah pada
pembentukan sel darah merah sehingga mengakibatkan anemia dan
menimbulkan pusing dan lemas (Biotek LIPI, 2015).
6) Hipertensi
Hipertensi dapat memperberat kerusakan ginjal yaitu melalui
peningkatan tekanan intraglomerulus yang menimbulkan gangguan
struktural dan gangguan fungsional pada glomerulus (Pranandari &
Supadmi, 2015).
7) Tidak nafsu makan karena mual
Mual dan muntah dapat disebabkan kareana adanya refleks
terhadap nyeri akibat obstruksi akut pada saluran kemih. Pada penyakit
ginjal, mual dan muntah merupakan tanda dari uremia, di mana uremia
menyebabkan anoreksia dan gangguan kompleks dalam metabolisme
protein sehingga dapat terjadi malnutrisi.
8) Hb 7 mg/dl
Ginjal memiliki fungsi sebagai penghasil eritropoetin (EPO)
namun karena ginjal mengalami kerusakan maka ginjal tidak bisa
memproduksi eritropoetin (EPO) dan ini mengakibatkan masalah pada
pembentukan sel darah merah sehingga mengakibatkan anemia dan
menimbulkan Hb turun (Hutapea, 2013).
9) Leukosit 13.000 LPK
Leukosit normal 4.000-10.000/mm3, sedangkan pada kasus jumlah
leukosit klien 13.000 LPK.
10) Urin sedikit
Saat kreatinin meningkat sebagai tanda terjadi kerusakan pada
ginjal dan ginjal tidak bisa mempertahankan homeostatis cairan dan
elektrolit (urin sedikit) penderita biasanya menjadi oliguria (Hutapea,
2013).
11) Edema
Pada saat proses pembentukan urin, natrium seharusnya
dikeluarkan bersama dengan urin, namun karena terjadi kerusakan
pada ginjal natrium tetap berada dalam pembuluh darah.
Adanya retensi air karena hilangnya GFR, yang menyebabkan
retensi natrium dan cairan. Cairan bergerak ke ruang ekstravaskuler
karena tekanan hidrostatik meningkat, menyebabkan edema.
c. Membuat hubungan
Intervensi
Batu ginjal ESWL Hipertensi

Kerusakan ginjal Gagal ginjal Defisiensi Eritropoetin


Melukai
saluran kemih
Jumlah
Menurunnya Hb turun oksigen turun
Teruji kemampuan filtrasi ginjal
Infeksi saluran Leukosit
kemih meningkat

Anemia Sesak napas

Meningkatnya kadar Retensi Na+


kreatinin dan ureum
dalam darah Pusing

Edema

Sesak napas Kulit gatal

Ekstremitas Paru-paru
Mual dan muntah
d. Mengambil kesimpulan
Berdasarkan analisa informasi dalam kasus tersebut dapat disimpulkan
bahwa pasien tersebut mengalami gagal ginjal. Kesimpulan ini didukung oleh
data klien pernah memiliki riwayat batu ginjal yang dapat berkomplikasi
menjadi gagal ginjal serta hasil pemeriksaan laboratorium yang ada, juga
menunjukkan tanda gejala gagal ginjal pada pasien.
e. Menyesuaikan dengan situasi saat ini dan situasi terakhir, dan sebaliknya
1) Klien mengalami masalah sesak napas.
Intervensi yang bisa digunakan yaitu pemberian posisi semi fowler yaitu
15°-45°. Posisi ini efektif karena dapat membantu dalam pengembangan
paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma. Menurut
Hermawan (2008) dalam Safitri dan Andriyani (2011) mengungkapkan
bahwa memberikan oksigen pada seseorang yang mengalami sesak napas
yaitu untuk memaksimalkan oksigen untuk penyerapan vaskuler,
pencegahan atau mengantisipasi hipoksia. Dongoes (2015) dalam Safitri
dan Andriyani (2011) mengatakan pemberian posisi semi fowler dalam
waktu 3x24 jam dapat menunjukkan adanya perubahan pola napas
menjadi efektif.
2) Klien mengalami masalah mual.
Intervensi yang bisa digunakan yaitu dengan pemberian terapi
komplementer, salah satu terapi tersebut dengan aromaterapi. Aroma
terapi yang dapat digunakan yakni aromaterapi lemon, bekerja melalui
proses penciuman. Di mana bau tersebut akan menimbulakn rasa tenang
yang akan merangsang daerah di otak yang disebut nucleus rafe untuk
memproduksi serotonin, mempunyai fungsi menimbulkan rasa nyaman,
sehingga mampu menurunkan intensitas mual (Primadiati, 2002 dalam
Widagdo dkk, 2014). Intervensi lain yang dapat dilakukan yaitu relaksasi
otot progresif, dengan menegangkan dan melemaskan sekelompok otot
secara berurutan dan memfokuskan perhatian pada perasaan yang dialami
antara saat otot tegang (Kozier et al, 2011 dalam Widagdo dkk, 2014).
Menurut sumber lain, dalam mengatasi mual yaitu dengan akupreser.
Stimulasi atau penekanan yang dilakukan pada titik P6 dan St36 diyakini
akan memperbaiki aliran energi di lambung sehingga dapat mengurangi
gangguan pada lambung termasuk mual muntah (Dibble et al, 2007 dalam
Syarif, 2017).
3) Klien mengalami gatal-gatal.
Kadar ureum yang tinggi pada klien dengan penyakit ginjal kronis dapat
menimbulkan gangguan integritas kulit, pada jurnal penelitian oleh
Alatriste dkk (2014) menunjukkan hasil adanya penurunan kadar ureum
darah pasien PGK pada stase 3 dan 4 lebih dari 10% dengan pemberian
6
Lactobacillus casei Shirota (LcS) dosis 16x10 CFU dan diberi diet
isocalorik (30 kcal/kg ideal BB) dan isoproteik (0,8 g/kg ideal BB) selama
2 bulan.
Intervensi lain yang dapat dilakukan yakni pemakaian krim kulit yang
berisi asam lemak berupa lamellar lipid dan endocannabidoid, yang
dipakai selama 3 minggu berturut-turut secara teratur dapat membantu
mengurangi gatal-gatal (Schartz dan Ialna, 2000 dalam Setyaningsih,
2014). Penggunaan 6 g ethyl ester dari minyak zaitun dapat memperbaiki
komposisi lemak esensial sehingga rasa gatal berkurang (Peck dan
Monsen, 1996 dalam Setyaningsih, 2014).
f. Memprediksi outcome yang ditargetkan
Outcome :
1. Mengatasi anemia
2. Mengatasi sesak nafas dan hiperventilasi
3. Mengatasi kerusakan integritas kulit
4. Mengatasi mual muntah
5. Mengatasi edema
6. Mengatasi hipertensi
4. Mengidentifikasi masalah maupun issues: menginsitesis fakta dan kesimpulan
untuk membuat diagnosis masalah klien

No Data pendukung Masalah Etiologi Dx


keperawatan
1. DO : Ketidakefektifan Hambatan Ketidakefektifan
RR 30x/menit pola napas upaya napas pola napas b.d.
DS: hambatan upaya
Klien mengeluh napas
sesak napas
2. DO : Kelebihan Gangguan Kelebihan
- Hb : 8 mg/dL voulune cairan mekanisme volume cairan
- Terlihat adanya regulasi b.d. gangguan
adema mekanisme
ekstremitas * regulasi
DS :

Klien mengeluh
keluar urin sedikit
sejak satu minggu
terakhir

3. DO : - Mual Gangguan Mual b.d.


DS : biokimia gangguan
- Klien (uremia) biokimia
mengatakan (uremia)
tidak napsu
makan karena
mual
4. DO : - Gangguan Gangguan Gangguan
DS : integritas kulit metabolisme integritas kulit
Klien mengatakan berhubungan
kulitnya gatal- dengan
gatal gangguan
metabolisme
5. DO : Ketidakefektifan Kurang Ketidakefektifan
- Klien koping percaya diri koping b.d.
menjalani dalam Kurang percaya
hemodialisa kemampuan diri dalam
- Klien tidak mengatasi kemampuan
mengikuti masalah mengatasi
organisasi di masalah
lingkungan
rumah *
DS :
- Klien
mnegatakan
sulit tidur
karena
memikirkan
penyakitnya *
- Klien
mengatakan
khawatir
tentang
penyakitnya *

Prioritas Diagnosa Keperawatan


a. Ketidakefektifan pola napas b.d. hambatan upaya napas
b. Kelebihan volume cairan b.d. gangguan mekanisme regulasi
c. Mual b.d. gangguan biokimia
d. Gangguan integritas kulit b.d. gangguan metabolisme
e. Ketidakefektifan koping b.d. Kurang percaya diri dalam kemampuan
mengatasi masalah
5. Menetapkan tujuan: menguraikan apa yang diinginkan, outcome yang diharapkan, berdasarkan kerangka waktu tertentu

No Hari/ tanggal Dx keperawatan Kriteria Hasil Intervensi


1 Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan intervensi 3 x 24 Terapi Oksigen (IIK-3320)
napas b.d. hambatan jam dapat mencapai status
1. Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakhea
upaya napas pernapasan normal, dengan kriteria
dengan tepat (IIK-3320-1)
hasil:
2. Pertahankan kepatenan jalan napas (IIK-3320-3)
- Frekuensi pernapasan mengalami
3. Siapkan peralatan oksigen melalui simple masker
deviasi cukup berbeda dengan
dan berikan melalui sistem humidifier (IIK-3320-
kisaran normal: 21-24 x/menit (IIF-
4)
041501-3)
- Terdapat deviasi ringan pada
kedalaman napas (IIF-041503-4)
- Terdapat sesak napas ringan saat
istirahat (IIF-041514-4)
2 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan selama 3 Manajemen Cairan/Elektrolit (IIN-2080)
x 24 jam kelebihan volume cairan
1. Pertahankan catatan intake dan output yang
klien dapat diatasi, dengan kriteria
akurat (IIN-2080-19)
hasil:
2. Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan
- Dapat menyeimbangkan intake retensi cairan (BUN, serum kreatinin, osmolaritas
dan output (IIF-050402-3) urin, kalium/potasium) (IIN-2080-17)
- Nilai kreatinin serum mengalami 3. Monitor tanda-tanda vital (nadi, RR, TD, suhu,)
deviasi berat dari normal (6 (IIN-2080-23)
mg/dl) (IIF-050427-1) 4. Pantau adanya tanda dan gejala adanya retensi
- Edema di ekstremitas dan di paru cairan (misalnya crackles atau rongki basah,
berkurang (IIF-050432-3) edema, oliguria) (IIN-2080-03)
5. Kaji lokasi dan luas edema di ekstremitas dan di
paru (IIN-2080-03)
6. Monitor perubahan status paru atau jantung yang
menunjukkan kelebihan cairan (IIN-2080-02)
7. Monitor manifestasi dari ketidakseimbangan
elektrolit (IIN-2080-26)
8. Berikan cairan yang sesuai (misal krystaloid atau
cairan desktrosa) (IIN-2080-06)
9. Konsultasikan dengan dokter jika tanda dan
gejala ketidakseimbangan cairan/ elektrolit
menetap/ memburuk (IIN-2080-32)
3 Mual b.d. gangguan Setelah dilakukan intervensi setiap 8 Manajemen Mual (IE-1450)
biokimia jam, klien dapat mencapai kontrol 1. Dorong pasien untuk belajar strategi mengatasi
mual, dengan kriteria hasil: mual sendiri (IE-1450-2)
- Menggunakan langkah-langkah 2. Identifikasi faktor yang dapat menyebabkan
pencegahan mual (IVQ-161805-5) berkontribusi terhadap mual (mis. Obat) (IE-
- Intake makanan meningkat (IIK- 1450-9)
101406.5) 3. Ajari penggunaan teknik nonfarmakologi
(akupresur) (IE-1450-17)
*akupresur dilakukan pada titik P6 (di dareah
pergelangan tangan dalam) dan St36 (di area
bawah samping lutut) selama 30 kali tekanan
dengan putaran searah jarum jam yang dilakukan
berulang (Dibble et al, 2007 dalam Syarif, 2017).

4 Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan Manajemen Pruritas 1E-3550


b.d. gangguan intervensi setiap hari selama 2 1. Tentukan penyebab terjadinya pruritas (kelainan
metabolisme minggu diharapkan integritas kulit sistemik) (1E-3550-1)
klien membaik dengan kriteria hasil: 2. Memberikan krim dan losion yang mengandung
- Tidak ada lesi kulit (IIL-110115-5) obat, sesuai dengan kebutuhan (1E-3550-4)
- Elestasitas cukup terganggu (IIL- *Untuk mengatasi pruritas dapat diberikan
1103-3) emolien, pemakaian krim kulit yang berisi asam
lemak berupa lamellar lipid dan
endocannabidoid, krim digunakan selama 3
minggu berturut-turut secara teratur. Dan
penggunaan 6g ethylester dari minyak zaitun
(Peck dan Monsen, 1996 dalam Setyaningsih,
2014).
3. Pemberian Lactobacillus casei Shirosa (LcS)
dengan dosis 16 x 106 CFU dan pemberian diet
isocaloric (30 kcal/kg ideal BB) dan isoproteic
(0,8 g/kg ideal BB) selama 2 bulan (Alatriste dkk,
2014).

5 Ketidakefektifan koping Setelah dilakukan tindakan Support Group (IIIR-5130)


b.d. kurang percaya diri keperawatan selama 4 x dalam 1. Manfaatkan kelompok pendukung selama masa
dalam kamampuan seminggu diharapkan koping klien transisi untuk membantu pasien beradaptasi
mengatasi masalah menjadi efektif, dengan kriteria dengan kondisinya (IIIR-5130-1)
hasil: 2. Tekankan pentingnya koping yang efektif (IIIR-
- Menyesuaikan perubahan dalam 5130-25)
status kesehatan (IIIN-130017-5) 3. Identifikai topik-topik yang mungkin muncul
- Melaporkan harga diri postif (IIIN- dalam kelompok (IIIR-5130-26)
130020-5) *langkah-langkah terapi kelompok dukungan:
a. Diskusi antar pasien mengenai emosi
mereka terkait penyakit ginjak kronik,
terapi hemodialisis dan peristiwa yang
terjadi selama perjalanan penyakit.
b. Pemberian pengetahuan kepada klien
mengenai penyakit ginjal kronik
c. Pemberian pengetahuan mengenai koping
aktif yang dimulai dengan pertanyaan
untuk klien mengenai variasi masalah
yang dihadapi.
SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
*langkah-langkah SEFT
 The Set-Up, .Contoh the set-up words adalah
“Yaa Allah…meskipun saya ______ (keluhan),
saya ikhlas, saya pasrah pada-Musepenuhnya”.
 The Tune In, Cara melakukan tune-in adalah
dengan memikirkan sesuatu atauperistiwa
spesifik tertentu yang dapat membangkitkan
emosi negatif yang akandihilangkan atau situasi
dimana seseorang sangat ingin melakukan
kesalahan. Pengingatnya dengankalimat “saya
ikhlas, saya pasrah pada-Mu ya Allah”. Tune-in
tetap dilakukansampai semua teknik terapi
Spiritual Emotional Freedom dilakukan hingga
akhir.
 The Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua
ujung jari pada titik-titik tertentudi tubuh
sebanyak tujuh kali ketukan sambil terus
melakukan tune-in.
 Nine Gamut Procedure adalah sembilan gerakan
untuk merangsang otak. Sembilan
gerakantersebut adalah : menutup mata,
membuka mata, mata digerakkan dengan kuat
kekanan bawah, mata digerakkan dengan kuat ke
kiri bawah, memutar bola matasearah jarum jam,
memutar bola mata berlawanan arah jarum jam,
bergumamdengan berirama selama dua detik,
menghitung satu, dua, tiga, empat, dan, lima,dan
bergumam lagi.
 The Tapping Again, Setelah menyelesaikan nine
gamut procedure, langkahterakhir adalah
mengulang lagi the tapping dan diakhiri dengan
mengambil nafaspanjang kemudian
menghembuskannya
6. Mengambil tindakan: memilih tindakan berdasarkan berbagai alternatif tujuan
yang ada

7. Mengevaluasi: mengevaluasi efektivitas hasil dan tindakan

Diagnosa Hal yang dievaluasi


Ketidakefektifan pola napas 1. Frekuensi napas
b.d. hambatan upaya napas 2. Kedalaman napas
3. Adanya sesak saat istirahat

Kelebihan volume cairan b.d. 1. Intake dan output cairan


gangguan mekanisme 2. Kadar kreatinin darah
regulasi 3. Adanya pitting edema

Mual b.d. gangguan biokimia 1. Kemandirian klien melakukan teknik non-


farmakologi (akupresur)
2. Frekuensi munculnya mual
3. Intake makanan

Gangguan integritas kulit b.d. 1. Kemandirian klien melakukan teknik non-


gangguan metabolisme farmakologi (akupresur)
2. Frekuensi munculnya mual
3. Kadar ureum (karena kadar ureum berpengaruh
pada reaksi gatal)

Ketidakefektifan koping b.d. 1. Harga diri klien


Kurang percaya diri dalam 2. Kulitas hidup klien
kemampuan mengatasi
masalah
Daftar Pustaka

Alatraste, P. V. M, dkk. (2014). Effect of probiotics on human blood urea levels in


patients with chronic renal failure. Nutrhosp, 29(3), 582-590.

Aningrum, M. (2015). Studi kasus pada pasien “Tn. S” umur 51 tahun yang
mengalami masalah keperawatan kelebihan volume cairan dengan diagnose
medis gagal ginjal kronik (GGK) di Ruang Sedap Malam RSUD Gambiran
Kota Kediri. Diakses pada 14 Maret 2018, dari:
http://simki.unpkediri.ac.id/mahasiswa/file_artikel/2015/12.2.05.01.0027.pdf

Biotek LIPI. (2015). Erythropoietin (EPO) dari ragi dan barley. Diakses pada 12
Maret 2018, dari:
http://www.biotek.lipi.go.id/index.php/publication/berita/biotek-dalam-
berita/1552-erythropoietin-epo-dari-ragi-dan-barley

Brunner & Suddarth. (2001). Keperawatan medikal-bedah. Jakarta: EGC.

Bulechek, G. M., et al. (2013). Nursing interventions classification (NIC) edisi


keenam. USA: Elsevier.

Fauzi, A., & Putra, M. M. A. (2016). Nefrolitiasis. Majority, 5(2), 69-73.

FK Unhas. (2015). Panduan mahasiswa clinical skill lab sistem


gastroenterohepatologi. FK Unhas.

Graham, B., & Burns, T. (2005). Acne Vulgaris. Dalam: Graham, B. Brown. Burns,
ed. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta: Erlangga.

Haryanti, I. A. P., & Nisa, K. (2015). Terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal
sebagai penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik. Majority, 4(7), 49-54.

Hartini, S. (2016). Gambaran karakteristik pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi. Publikasi Ilmiah JK FIK UMS.

Hutapea, E. L. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat


perkotaan pada pasien chronic kidney disease di ruang perawatan umum lantai
6 Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Karya
Ilmiah FIK UI.

IAUI. (2015). Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak (Benign


Prostatic Hyperplasia/BPH). Jakarta: IAUI.

Ingrum, M. W. (2001). Profil cairan asites pada penderita gagl ginjal terminal
hemodialisis kronik. Tesis FK Undip.

Moorhead, S., et al. (2013). Nursing outcomes classification (NOC) edisi kelima.
USA: Elsevier.
Mugihartadi, dkk. (2014). Efektifitas self help group terhadap kualitas hidup pada
pasien gagal ginjal kronik. Penelitian Ilmiah Program Pasca Sarjana UMY.

NANDA. (2015). Diagnosis keperawatan definisi & klasifikasi 2015-2017 edisi


kesepuluh. Jakarta: EGC.

Nurkamila & Hidayati, T. (2013). Gambaran darah rutin dan kualitas hidup domain
fisik penderita gagal ginjal kronik terminal. Mutiara Medika, 13(2), 111-117.

Pranandari, R., & Supadmi, W. (2015). Faktor resiko gagal ginjal kronik di unit
hemodialisi RSUD Wates Kulonprogo. Majalah Farmaseutik, 11(2), 316-320.

Putri, D. P. W. (2010). Evaluasi penggunaan obat tukak peptik pada pasien tukak
peptic (peptic ulcer disease) diinstalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi
Surakarta tahun 2008. Skripsi Fakultas Farmasi UMS.

Rahman, A. (2014). Optimalisasi pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronik
yang mendapatkan hemodialisis di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusuma Jakarta.
[karya tulis ilmiah]. FIK UI Depok.

Safitri, R., & Andriyani, A. (2011). Kefektifan pemberian posisi semi fowler terhadap
penurunan sesak napas pada pasien asma di ruang inak kelas III RSUD Dr.
Moerwardi Surakarta. Gaster, 8(2), 783-792.

Setyaningsih, F. E. T. (2014). Asuhan keperawatan pasien gagal ginjal kronik dalam


konteks kesehatan masyarakat perkotaan. Diakses pada 14 Maret 2018, dari:
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&v
ed=0ahUKEwjNs4XMjevZAhUKtJQKHbIlC6UQFggoMAA&url=http%3A%
2F%2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F2016-5%2F20390971-PR-
Fanuva%2520Endang%2520Tri%2520Setyaningsih.pdf&usg=AOvVaw2KH
Ga6RUProP-1f-lj-BdD

Sitaga, S. (2015). Hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan dukungan keluarga


dengan asupan protein pasien gagal ginjal kronik (GGK) yang menjalani
hemodialisa (HD) rawat jalan di RSUD Sukoharjo. Karya Ilmiah UMS.

Syarif, H. (2017). Pengaruh terapi akupresur terhadap mual muntah akut akibat
kemoterapi pada pasien kanker; A randomized clinical trial. Idea Nursing
Journal, 2(2), 137-142.
Verdiansyah. (2016). Pemeriksaan fungsi ginjal. CDK-237, 43(2), 148-154.

Widagdo, P. A., Kristiyawati, S. P., & Supriyadi. Pengaruh aroma terapi lemon dan
relaksasi otot progresif terhadap penurunan intensitas mual muntah setelah
kemoterapi pada pasien kanker payudara di Rumah Sakit Telogorejo
Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 2(1), 24-33.
Yaswir, R., & Ferawati, I. (2012). Fisiologi dan gangguan keseimbangan natrium,
kalium, dan klorida serta pemeriksaan laboratorium. Jurnal Kesehatan, 80-85,
1(2).
Yayasan Spiritia. (2007). Hasil tes lab normal. Diakses pada 12 Maret 2018, dari:
http://spiritia.or.id/li/pdf/LI120.pdf

Anda mungkin juga menyukai