Anda di halaman 1dari 20

PROFESIONALISME ISLAM

STRATEGI BISNIS ISLAM : STRATEGI KEUANGAN

Diajukan untuk memenuhi nilai mata kuliah Profesionalisme Islam


Pengampu : Ust. H. Mintaraga Eman Surya, Lc., MA.

NENO OCTAL IRIANI


1708020179

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


ANGKATAN XXVII
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan


YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah Profesionalisme Islam dengan judul “Strategi Bisnis Islam : Strategi
Keuangan” ini dengan lancar. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi nilai mata kuliah Profesionalisme Islam dan menambah ilmu tentang
bagaimana cara menjalankan bisnis yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam penyusunan makalah ini saya sebagai penyusun mengambil


referensi atau materi dari buku panduan yang terkait dengan materi ini, kemudian
saya susun dan rangkum menjadi bentuk yang lebih terperinci.

Saya harap makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Memang
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka saya mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Purwokerto, 8 November 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1


A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................. 2
D. Manfaat ............................................................................................... 2

BAB II. ISI .................................................................................................... 3


A. Strategi Keuangan .............................................................................. 3
B. Prinsip Strategi Keuangan .................................................................. 3
1. Prinsip bagi hasil .......................................................................... 3
2. Prinsip jual beli ............................................................................ 6
3. Prinsip kepercayaan ..................................................................... 8
4. Prinsip sewa ................................................................................. 9
5. Prinsip kesejahteraan sosial.......................................................... 10
C. Dasar Keuangan dalam Islam............................................................. 11
D. Prinsip Dasar Keuangan dalam Islam ................................................ 11
1. Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik .............. 11
2. Halal cara perolehan: melalui perniagaan yang berlaku
secara rela sama rela .................................................................... 12
3. Halal cara perolehan: berlaku adil dan menghindari keraguan ... 13
4. Halal cara penggunaan: saling tolong menolong dan
menghindari resiko yang berlebihan ........................................... 13

BAB III. PENUTUP ..................................................................................... 16


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mempertahankan hidupnya, manusia diberi kebebasan dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebebasan merupakan unsur dasar
manusia dalam mengatur dirinya dalam memenuhi kebutuhan yang ada.
Namun kebebasan manusia ini tidak berlaku mutlak, kebebasan dibatasi oleh
kebebasan manusia lain. Bila antara manusia melanggar batas kebutuhan
antara sesamanya, maka akan terjadi konflik. Bila terjadi hal ini, maka
manusia akan kehilangan peluang untuk mendapatkan kebutuhan yang
diharapkannya. Apalagi interaksi manusia itu berhubungan dengan
perekonomian atau usaha bisnis dewasa ini.
Menurut Yusuf Qardawi, bahwa zaman kita sekarang ini penuh
dengan brbagai persoalan dunia usaha (bisnis) dan persoalah baru dalam
bidang ekonomi dan keuangan yang hal itu belum pernah dikenal oleh orang-
orang yang hidup zaman dahulu. Persoalan perekonomian tersebut misalnya:
asuransi, reksdana, pasar modaldan lain sebagainya. Apalagi pada abad ke-21
ini yang sering diidentikkan dengan abad globalisasi, dimana ciri utama abad
ini adalah kompetensi bebas, sehingga bisa berakibat menang atau kalah.
Globalisasi akan membawa dampak negatif, namun sekaligus juga ada celah-
celah membawa dampak positif, ketika yang menghadapi mempunyai
persiapan matang. Justru muncul kesempatan baru untuk kemampuan, dan
sekaligus akan dapat menjadi kesmepatan bagi ekonomi Islam atau segala
bentuk aktifitas yang berkaitan dengan ekonomi yang berlandaskan syariah
untuk bersaing secara global.
Perkembangan implementasi sistem ekonomi yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah diharapkan dapat mendukung tujuan pembangunan
untuk kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial. Namun kesemuanya itu
perlu adanya konsep dan dasra yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan
hadis Nabi SAW., sehingga diharapkan segala transaksi muamalah yang
dilakukan di dunia, selain menguntungkan di dunia, juga bernilai religius
(pahala) di sisi Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1. Apa tujuan dilakukannya strategi keuangan ?
2. Apa saja prinsip yang terdapat dalam strategi keuangan ?
3. Bagaimana dasar keuangan dalam Islam ?
4. Apa saja prinsip dasar keuangan dalam Islam ?

C. Tujuan
1. Agar mampu memahami tujuan dilakukannya strategi keuangan.
2. Agar mampu memahami prinsip-prinsip yang terdapat dalam strategi
keuangan.
3. Agar mampu memahami dasar keuangan dalam Islam.
4. Agar mampu memahami prinsip-prinsip dasar keuangan dalam Islam.

D. Manfaat
Dapat memberikan pemahaman terkait tujuan serta prinsip-prinsip yang
terdapat dalam strategi keuangan. Selain itu dapat pula memberikan
pemahaman terkait dasar keuangan dalam Islam.
BAB II

ISI

A. Strategi Keuangan
Strategi keuangan dilakukan untuk tujuan memanfaatkan sumber daya
keuangan demi kelancaran bisnis, baik jangka panjang maupun jangka
pendek. Strategi keuangan ini mencakup penghapusan riba, spekulasi
(gharar) dan perjudian (maisir) dalam semua transaksi, peningkatan
kekayaan dan pemerataan distribusi pendapatan serta pencapaian masyarakat
yang sejahtera di bawah perlindungan Allah SWT.

B. Prinsip Strategi Keuangan


1. Prinsip bagi hasil
Prinsip bagi hasil (Profit and Loss Sharing) mencakup
musyarakah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah. Prinsip bagi hasil
seperti mudharabah dan musyarakah sudah ada sebelum datangnya Islam.
Kemitraan bisnis berdasarkan bagi hasil yang sederhana semacam ini
berkanjut dengan bentuk yang sama sekali tidak berubah selama beberapa
abad, tetapi tidak berkembang menjadi sarana investasi berskala luas yang
membutuhkan pengumpulan dana besar-besaran dari banyak penabung
perorangan, meskipun menurut mazhab Hanafi, bisa saja memperluas
kemitraan mudharabah dengan mengikuti bentuk sederhana seperti itu.
a. Musyarakah (Syirkah)
Syirkah atau syarikah atau musyarakah merujuk pada kemitraan dua
orang atau lebih. Walaupun tidak menggunakan isilah musyarakah
yang mempunyai arti kemitraan dalam suatu kongsi bisnis, namun
demikian surat Al Qur’an yang berkait erat dengan musyarakah
adalah An Nissa’ ayat 12: .... Tetpi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersyarikat dalam yang sepertiga
itu. Demikian pula surat Shaad ayat 24: .... Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian berbuat
zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang shaleh ..... Rasulullah SAW melakukan
kemitraan (syirakah) dalam berbisnis.
Dalam transaksi syirkah tersebut menghendaki adanya ijab dan qabul
sekaligus, sebagaimana layaknya transaksi yang lain. Artinya di dalam
menyatakan ijab dan qabul tersebut harus ada makna yang
menunjukkan salah satu dari merek mengajak kepada yang lain, baik
secara lisan maupun tertulis untuk mengadakan kerjasama.
b. Mudharabah (Bagi hasil)
Mudharabah berasal dari kata dh-r-b, yang mempuntai arti perjalanan
atau perjalanan untuk tujuan dagang. Secara istilah, mudharab
merupakan kontrak antara dua belah pihak, pihak pertama disebut rab
al maal (shahibul maal) atau investor yang mempercayakan kepada
pihak kedua, yang disebut mudharib, dengan tujuan menjalankan
dagang. Mudharib menyediakan tenaga dan waktunya serta mengelola
syarat-syarat kontrak. Keuntungan dibagi antara rab al maal dengan
mudharib berdasarkan yang telah disepakati. Jika mengalami
kerugian, ditanggung shahibul maal selama kerugian itu bukan
kelalaian mudharib.
Surat dalam Al Qur’an yang memiliki kaitan erat dengan mudharabah
antara lain surat Al Baqarah ayat 272: (Berinfaklah) kepada orang-
orang kafir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak
dapat (berusaha) di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Surat
An Nissa’ ayat 101: Dan apabila kamu berjalan di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu menqashar shalat (mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu musuh
yang nyata bagimu. Demikian pula surat Al Muzzammil ayat 20:
....Orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah ....
Dalam pengelolaan mudharabah terdapat biaya yang dikeluarkan.
Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di
lingkungan atau daerahnya sendiri. Demikian juga bila ia mengadakan
perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah di
ambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta tidak akan
memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya
tersebut besar atau bahkan lebih besar dari keuntungan.
Namun bila pemilik modal mengizinkan pengelola untuk
membelanjakan modal mudharabh guna keperluan dirinya ditengah
perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan,
maka ia boleh menggunakan modal mudharabah. Jadi, biaya
pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada pengelola
modal, namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan apabila
pemilik modal mengizinkannya atau berlaku kebiasaan.
c. Muzara’ah
Muzara’ah berasal dari kata zara’a yang berarti menyemai, menanam,
menaburkan benih. Muzara’ah adalah kerjasama antara orang yang
mempunyai tanah yang subur untuk ditanamai dengan orang orang
yang mempunyai ternak dan mampu untuk menggarapnya,
imbalannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau
persentase dari hasil panen yang telah ditentukan.
Surat yang berkait erat dengan akar kata tersebut adalah surat Al
An’aam ayat 141: Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang
berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman
yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan
yang tidak sama. Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan. Bentuk lain dari muzara’ah adalah
mukharabah. Mukharabah adalah menyewakan kebunatau ladang
dengan pembayaran 1/3 atau ¼ hasil panennya atau seperberapanya.
d. Musaqah
Musaqah merupakan kerjasama antara orang yang memiliki tanah
yang ditanami pohon menghasilkan buah-buahan dengan orang yang
mampu memelihara (menyirami) pohon tersebut dengan imbalan
orang yang memelihara tersebut mendapat imbalan sesuai dengan
kesepakatan dari hasil panen. Musaqah berasal dari kata saqyu. Surat
dalam Al Qur’an yang berhubungan dengan akar kata saqyu adalah
surat Ar Ra’d ayat 4: Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang
berdampingan dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan
pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang disirami
dengan air yang sama.
2. Prinsip jual beli
a. Murabahah
Secara bahasa murabahah merupakan bentuk mutual (saling) dari kata
ribh yang artinya keuntungan, yakni pertambahan nilai modal atau
saling mendapatkan keuntungan. Sedangkan menurut terminologi
ilmu fiqih, murabahah adalah menjual dengan modal asli bersama
tambahan keuntungan yang jelas.
Dalam surat Al Baqarah ayat 275: Keadaan mereka yang demikian itu
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Demikian pula dalam Al Qur’an surat An
Nisaa’ ayat 29: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
saling mamakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu.
b. Salam
Secara bahasa, salam atau salaf artinya terdahulu. Sedangkan menurut
terminologi ilmu fiqih, salam atau salaf adalah jual beli terhadap satu
barang yang digambarkan dan dalam kepemilikan dengan pembayaran
tunai dalam perjanjian, tetapi penyerahan barangnya tertunda. Dalam
bermuamalah secara tidak tunai, Allah memerintahkan untuk
menulisnya. Dalam surat Al Baqarah ayat 282: Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Rasulullah SAW
menganjurkan dalam salam untuk menggunakan takaran yang pasti,
timbangan yang pasti dan waktu yang pasti.
c. Istishna’ (Pemesanan)
Secara bahasa, istishna’ berarti pemesanan atau meminta dibuatkan.
Sedangkan menurut terminologi ilmu fiqih, istishna’ mengandung arti
perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan
penjual dengan syarat dibuatkan oleh penjual atau meminta dibuatkan
dengan cara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Istishna’ menurut sebagian besar ulama termasuk aplikasi jual beli
salam, sehingga berlaku persyaratan jual beli salam, misalnya dengan
pembayaran di muka, adanya batasan waktu dan tidak adanya hak
pilih. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istishna’ merupakan
perjanjian non-permanen sebelum kepentingan kedua belah pihak
terlaksana, tanpa perlu perselisihan dan kedua belah pihak mempunyai
hak pilih untuk membatalkannya.
d. Syuf’ah
Syuf’ah merupakan hak membeli bagian dari rumah atau yang
dipunyai oleh dua orang yang bersekutu. Satu tanah atau satu rumah
yang dipunyai oleh dua orang yang batas-batasnya dan jalan-jalannya
belum dibuat, maka seorang dari dua orang itu tidak boleh menjual
bagiannya kepada orang lain, sebelum ditawarkan kepada sekutunya.
Sebaliknya, satu tanah atau satu rumah yang dipunyai oleh dua orang
yang batas-batasnya dan jalan-jalannya sudah dibuat atau sudah
dipisah, maka masing-masing orang boleh menjual bagiannya kepada
orang lain.
Allah menyuruh berbuat baik dengan tetangga, seperti dalam surat An
Nisaa’ ayat 36: Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatin,
tetangga yang dengan dan yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.
3. Prinsip kepercayaan
a. Wadi’ah
Wadi’ah secara bahasa berarti meninggalkan atau meletakkan, yaitu
meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.
Sedangkan menurut istilah, wadi’ah mempunyai pengertian
memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga
hartanya/barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat
yang bermakna itu.
Dalam surat An Nisaa’ ayat 58: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanah kepada ahlinya. Demikian pula dalam surat
Al Baqarah ayat 283: .... hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanahnya.
b. Wakalah
Wakalah atau wikalah secara bahasa berarti pewakilan atau pemberian
mandat atau penyerahan wewenang atau pendelegasian. Sedangkan
menurut istilah wakalah adalah menjadikan orang lain sebagai wakil
dalam melakukan setiap pekerjaan, misalnya memungut zakat,
melunasi hutang, membeli barang, membayar budak dan sebagainya.
c. Kafalah
Kafalah secara bahasa berarti jaminan atau borg. Sedangkan menurut
istilah, kafalah berarti jaminan yang diberikan oleh orang yang
mampu kepada orang yang memberikan hutang, karena orang yang
diberi hutang tersebut tidak mampu membayarnya.
d. Hawalah
Hawalah atau hiwalah secara bahasa berarti pemindahan atau
pengalihan atau penyerahan. Sedangkan menurut istilah, hawalah
berarti pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang
lain untuk menanggung hutangnya.
e. Rahn (Gadai)
Secara bahasa ar-rihan bentuk tunggalnya rahnun, artinya barang-
barang yang dijadikan sebagai jaminan. Sedangkan menurut istilah,
rahn adalah menahan barang milik seseorang sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya.
Allah membolehkan menggunakan barang tanggungan, jika tidak
memperoleh penulis. Dalam surat Al Baqarah ayat 283: Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunaiI sedangkan
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
4. Prinsip sewa
a. Ijarah
Ijarah secara bahasa berarti menjual manfaat atau menjual kegunaan.
Sedangkan menurut istilah, ijarah adalah menahan barang milik
seseorang sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Orang
yang menyewakan barang disebut musta’jir dan yang membayar sewa
disebut mu’jar.
Allah membolehkan pemindahan hak guna atas barang atau jasa
melalui upah sewa. Dalam surat Al Baqarah ayat 233: Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kepada Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Demikian pula dalam surat Al Qashash ayat 27: Berkatalah dia
(Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka
itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka kamu tidak hendak
memberatu kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang baik.
5. Prinsip kesejahteraan sosial
a. Qardh
Qardh adalah memberikan pinjaman kepada orang lain dengan syarat
pihak peminjam mengembalikan gantinya. Dinamakan qardh karena
orang yang memberikan qardh memotong sebagian dari hartanya
untuk dipinjamkan kepada orang lain.
Surat Al Baqarah ayat 245: Siapakah yang mau memberi pinjaman
kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkankan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya0lah kamu dikembalikan. Dalam
surat Al Maa-idah ayat 12: Dan sesungguhnya Allah telah mengambil
perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka
12 orang pemimpin dan Allah berfirman “Sesungguhnya Aku beserta
kamu, sesungguhnya juka kamu mendirikan shalat dan menunaikan
zakat serta beriman kepada rasul-rasulKu dan kamu bantu mereka
dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya
Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan
Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-
sungai. Maka barang siapa yang kafir di antaramu sesudah itu,
sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” Demikian pula
dalam surat Al Hadid ayat 11: Siapakah yang mau memberi pinjaman
kepada Allah, pinjaman itu untuknya dan akan memperoleh pahala
yang banyak.
b. Waqaf
Secara bahasa, waqaf berarti menahan. Sedangkan menurut
terminologi fiqih, waqaf adalah menahan harta yang dapat
dimanfaatkan untuk jalan kebaikan demi mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Waqaf terdiri dari dua macam, yaitu waqaf ahli dan
waqaf khairi.
Waqaf ahli adalah waqaf yang ditujukan kepada keluarga dan kaum
kerabat, seperti waqaf yang dilakukan oleh Abu Thalhah. Sedangkan
waqaf khairi ditujukan untuk kebajikan.

C. Dasar Keuangan dalam Islam


Dalam pandangan Islam, Allah telah menciptakan alam semesta untuk
kepentingan seluruh umat manusia. Allah telah membuat sumber daya alam
ini bagi manusia dengan bertanggung jawab menggunakannya,
membentuknya, dan merubahnya menurut kebutuhannya. Segala usaha yang
gdilakukan oleh manusia pada prinsipnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya di dunia. Namun dalam hal pengelolaan ekonomi dan keuangan
perlu adanya dasar-dasar yang sesuai dengan norma masyarakat dan agama.
Dalam hal ini sesuai dengan prinsip dan tuntunan agama Islam. Di dalam
Islam, sumber prinsip ekonomi dan keuangan Islam adalah syariah. Syariah
adalah prinsip yang terungkap dan ini menjadi acuan prinsip keuangan dalam
Islam.

D. Prinsip Dasar Keuangan dalam Islam


1. Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik
Pertama-tama, Islam mengajarkan agar dalam berusaha hanya
mengambil yang halal dan baik karena dalam Allah SWT., telah
memerintahkan kepada seluruh manusia. Jadi, bukan hanya untuk orang
yang beriman dan muslim saja. Dan untuk tidak mengikuti langkah-
langkah syaitan dengan mengambil yang tidak halal dan tidak baik.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 168: Hai
sekalian manusia, makanlah (ambillah) yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.
Oleh karena itu dalam berusaha, Islam mengharuskan manusia
untuk hanya mengambil hasil yang halal, meliputi halal dari segi materi,
halal dari cara perolehannya, serta juga harus halal dalam cara
pemanfaatan atau penggunaannya. Banyak manusia yang
memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini. Padahal bagi umat Islam
acuannya sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. Jadi
sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Bila masih diragukan
maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu
sendiri, bila hatinya jernih maka segala yang halal akan menjadi jelas.
Dan sesungguhnya segala sesuatu yang tidak halal, termasuk yang
syubhat, tidak boleh menjadi obyek usaha dan karenanya tidak mungkin
menjadi bagian dari hasil usaha.
2. Halal cara perolehan: melalui perniagaan yang berlaku secara rela
sama rela
Allah telah memerintahkan kepada orang yang beriman agar hanya
memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya dengan jalan perniagaan
(baik perniagaan barang atau jasa) yang berlaku secara rela sama rela,
sesuai QS. An Nisaa’ ayat 29: Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu..... .
Jalan perniagaan itu sendiri mungkin sudah cukup jelas, namun
lebih menjelaskan kaidah berlaku secara rela sama rela, bukan sekedar
suka sama suka. Intisari dari pelajaran yang dibahas oleh Raulullah SAW
adalah bahwa harga seriap perniagaan harus secara adil yaitu melalui
penilaian oleh masyarakat atau melalui mekanisme pasar. Tentunya
selama pasar berjalan dengan wajar sehingga kaidah ‘rela sama rela’ yang
diisyaratkan dapat dicapai, dan untuk memfasilitasi perniagaan melalui
mekanisme pasar tersebut diperlukan prasarana alat tukar nilai yang
disebut sebagai uang.
3. Halal cara perolehan: berlaku adil dan menghindari keraguan
Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan
untuk berbuat adil tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang
tidak disukai. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan takwa,
sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al Maidah ayat 8: Hai orang-
orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kamu, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekan
dengan taqwa..... .
Berlaku adil akan dekat dengan taqwa, karena itu berlaku tidak adil
akan membuat seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena itu dalam
perniagaan, Islam melarang untuk menipu, bahkan sekedar membawa
suatu kondisi yang dapat menimbulkan keraguan yang dapat menyesatkan
atau gharar. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya gangguan pada
mekanisme pasar atau karena adanya informasi penting mengenai
transaksi yang tidak diketahui oleh salah satu pihak. Gangguan pada
mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran, misalnya
akibat adanya penimbunan atau akibat penyalahgunaan posisi penawaran,
misalnya dalam kondisi monopoli. Atau dapat berupa gangguan dalam
permintaan, misalnya dengan menciptakan permintaan palsu seolah-olah
adanya peningkatan permintaan, sehingga mendorong kenaika harga.
Informasi yang tersamar atau tidak lengkap adalah berbeda dengan
ketidak adaan informasi. Karena pada informasi yang tersamar atau tidak
lengkap, seseorang dapt dengan mudah tertipu. Sedangkan dalam hal
ketidakadaan informasi, maka bila pihak tesebut ingin tetap melaksanakan
transaksi, maka hal tersebut tergolong tindakan spekulasi. Jadi dalam hal
perekonomian dan keuangan menurut Islam perbuatan yang dapat
menimbulkan keraguan dan ketidakadilan sangat di tentang, karena
semuanya dapat mencitakan rasa ketidakpercayaan terhadpa pelaku-
pelaku perekonomian tersebut.
4. Halal cara penggunaa: saling tolong menolong dan menghindari
resiko yang berlebihan
Sebagai abdi dan khalifah Allah di muka bumi, manusia diwajibkan
untuk memanfaatkan suber daya yang telah dititipkan Alaah SWT.,
kepadanya untuk sebesar-besar kemaslahatan manusia. Untuk itu manusia
harus bekerjasama, saling tolong menolong karena manusia memang
ditakdirkan untuk diciptakan dengan perbedaan, dimana sebagian
diantaranya diberi kelebihan dibandingkan sebagian yang lain, dengn
tujuan agar manusia dapat bekerjasama untuk mencapai hasil yang lebih
baik, sesuai dengn firman Allah dalam QS. Al Zukhruf ayat 32: Kami
telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.
Atas sumber daya yang dititipkam oleh Allah SWT., kepadanya,
manusia dilarang untuk mengambil resiko yang melebihi kemampuan
yang wajar untuk mengatasi resiko tersebut. Walaupun resiko tersebut
mempunyai probabilita untuk membawa manfaat, namun bila probabilita
untuk membawa kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung
kerugian tersebut, maka tindakan usaha tersebut adalah sama dengan
mengeluarkan yang lebih dari keperluan, sehingga harus dihindari,
sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 219: Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan maysir, (maka) katakanlah pada
keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, dan
dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya. Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan (keluarkan), maka katakanlah
yang lebih dari keperluan, demikianlah Allah menerangkan kepadamu
ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir.
Pengambilan resiko yang melebihi kemampuan untuk
menanggulangi adalah tidak sama dengan menghadapi ketidakpastian.
Karena pada dasarnya tidak ada seorang manusia pun yang dapat dengan
pasti mengetahui apa yang akan terjadi, sehingga semua aspek kehidupan
di dunia ini pada dasarnya adalah ketidakpastian bagi manusia. Namun
kemampuan yang dikembangkan manusia dapat membantu manusia
dalam menghadapi ketidakpastian tersebut dengan memperkirakan
kemungkinan terjadinya hal-hal yang merugikan, tentunya dalam batas-
batas kemampuan manusia, sehingga secara umum dapat dikatakan
manusia dapat berusaha untuk menghindari pengambilan resiko yang
melebihi kemampuan yang wajar untuk menanggulanginya.
BAB III

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada dasarnya prinsip keuangan dalam Islam yaitu prinsip bagi hasil,
prinsip jual beli, prinsip kepercayaan, prinsip sewa dan prinsip
kesejahteraan sosial.
2. Dasar-dasar keuangan Islam pada prinsipnya mengacu kepada:
(a) Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik
(b) Halal cara perolehan: melalui perniagaan yang berlaku secara rela
sama rela
(c) Halal cara perolehan: berlaku adil dan menghindari keraguan
(d) Halal cara penggunaan: saling tolong menolong dan menghindari
resiko yang berlebihan
DAFTAR PUSTAKA

Al Muslih, Abdullah & Ash Shawi, Shalah. 2008. Fikih Ekonomi Keuangan Islam
(ed. Terj.). Darul Haq : Jakarta.

M. Suyanto. 2008. Muhammad Bussines : Strategy & Ethics. CV. Andi Offset :
Yogyakarta.

Muhammad. Etika Bisnis Islam. Akademi Manajemen Perusahaan YKPN :


Yogyakarta.

Muhammad. 2004. Dasar-Dasar Keuangan Islami. Ed. 1. Cet. 1. Ekonisia


Fakultas Ekonomi UII : Yogyakarta.

Qardawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Gema Insani Press :
Jakarta.

Rivai, Veithzal, dkk. 2012. Islamic Bussines and Economic Ethics. Bumi Aksara :
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai