Anda di halaman 1dari 16

Makalah Hukum Pajak : Kebijakan Biaya

Perolehan Hak atas Tanah


dan Pembangunan

Oleh :

Thio Cie Kiang


Nim : 2801037

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI


EBEN HAEZAR
MANADO
2011
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Terdapat progress dalam peradaban manusia


terutama dalam bidang pajak termasuk dalam hal perolehan hak atas tanah dan
pembangunan. Lahirnya otonomi daerah merupakan salah satu pemicu
perkembangan dalam perolehan hak atas tanah dan pembangunan. Berawal dari
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (UU No. 22 Tahun 1999) Tentang
Pemerintahan Daerah hingga lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (UU
No. 32 Tahun 2004) Tentang Pemerintahan Daerah. Menciptakan perubahan
sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi.

Pembangunan selalu menjadi agenda utama program dari pemerintah daerah demi
mencapai perkembangan daerah. Namun untuk mencapai pembangunan tersebut
dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk pembangunan daerah tidak semua
pembiayaan diberikan kepada daerah. Sehingga daerah harus mencari sumber lain
yang tidak menyalahi ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku. Sumber
lain yang menjadi sumber pendapatan daerah antara lain pajak daerah, retribusi
daerah, hasil perusahaan daerah, dan sumber pendapatan lainya. Usaha yang lain
yang ditempuh oleh pemerintah daerah untuk mengatur pendapatan daerah untuk
menjalankan pembangunan daerah adalah membenahi kebijakan fiskal dan
moneter daerah. Kebijakan fiskal ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai
pertumbuhan dan juga sebagai langkah untuk menstabilkan perekonomian. Hal ini
dapat terwujud apabila peraturan dan kebijakan fiskal disusun sesuai kebutuhan
masing-masing. Tanpa mengesampingkan asas-asas yang berlaku dalam
pemungutan penerimaan negara yang salah satunya adalah Pajak.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga
dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak
dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya
produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Pajak tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah dalam rangka penyelengaraan negara
demi kepentingan umum.

Pajak daerah yang ditangani oleh pemerintah daerah propinsi terdiri atas pajak
kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak atas pemanfaatan air bawah
tanah dan air permukaan, yang ditangani oleh pemerintah daerah kabupaten/kota
terdiri dari pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan dan pajak
parkir, sedangkan yang termasuk pajak pusat adalah pajak bumi dan bangunan dan
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Biaya perolehan hak atas tanah dan pembangunan atau yang disebut Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis pajak pusat
yang dikenakan kepada setiap orang pribadi atau badan yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan. Untuk memperoleh pendapatan
BPHTB seperti yang diharapkan, maka perlu merencanakan terlebih dahulu
Anggaran BPHTB sebagai pedoman pelaksanaan operasional yang digunakan
dalam jangka waktu tertentu yang akan datang. Bertujuan agar dapat dengan
mudah merealisasikan pemungutan BPHTB sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan demikian, akan diketahui dengan jelas sisi perbedaan antara target yang
dianggarkan dengan hasil realisasi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu.

Namun dalam mewujudkan pengembangan daerah melalui pembangunan daerah


tersebut. Saat ini lahir masalah yang menuntut pemerintah daerah untuk bertindak
lebih dalam mendapatkan pendapatan daerah yang lebih. Hal ini disebabkan
bantuan pemerintah pusat yang semakin kecil kepada pemerintah daerah. Untuk
maka perlu dikaji lebih dalam faktor yang menyebabkan bantuan tersebut menjadi
semakin kecil. Serta dicari problem solving sebagai solusi atas permasalahan yang
ada.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan tentu dapat terlihat
banyak hal yang peru dibenahi. Maka dapat ditentukan hal-hal yang akan menjadi
rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimanakah proses dalam pemungutan biaya perolehan hak atas tanah dan
pembangunan ?
2. Mengapa bantuan pemerintah pusat kepada daerah bisa semakin kecil ?
3. Bagaimanakah problem solving untuk menyelesaikan pembangunan daerah
dengan bantuan pemerintah pusat kepada daerah yang semakin kecil ?

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pajak

Berbicara mengenai BPATB sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun


2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. “Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPATB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.” Sedangkan
“Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan” sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 2 UU No.
20 Tahun 2000. Mengenai hak atas tanah dan atau bangunan dalam Pasal 1 angka 2
UU No. 20 Tahun 2000 disebutkan “Hak atas tanah dan atau bangunan
merupakan hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di
atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.”

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut pajak.
Terdapat beberapa pengertian menurut ahli mengenai pajak yaitu :

 Prof. Dr. P. J. A. Adriani

Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
 Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro S.H.

Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

 Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R.

Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah,
bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung
dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk
menjalankan pemerintahan.

Penerimaan pendapatan negara salah satunya bersumber dari penerimaan


pajak. Dalam hal ini pajak BPHTB yang cukup besar jumlahnya dan sangat
berpengaruh bagi pembangunan di Indonesia. Salah satu pajak yang menjadi
sumber utama dalam pembangunan di Indonesia adalah Pajak pusat. Pajak pusat
merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dipungut oleh pemerintah
yang dilakukan di daerah-daerah untuk menunjang pembangunan dan belanja
negara. Menurut Erly Suandi dalam buku “Perpajakan” menyebutkan bahwa
“Pajak pusat ialah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, yang
menyelenggarakannya di daerah, dilakukan oleh inspeksi pajak setempat dan
hasilnya untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya”.

Pajak pusat dirancang secara khusus oleh pemerintah yang dalam pelaksanaannya
akan diselenggarakan di daerah-daerah yang dilakukan oleh inspeksi pajak
setempat untuk membiayai pengeluaran negara pada umumnya.

Adapun jenis-jenis pajak pusat yang diantaranya sebagai berikut :

 Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.

 Pajak Pertambahan nilai (PPN)


Pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak di dalam daerah pabean

 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah
yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang
tergolong mewah di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak yang dikenakan kepada setiap orang atau badan yang mempunyai
hak/manfaat atas bumi atau memiliki, menguasai/memperoleh manfaat atas
bangunan.

 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB)

Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

 Bea Meterai

Pajak yang dikenakan atas dokumen yang disebut dalam undang-undang (kertas,
benda meterai, tanda tangan, pemateraian kemudian, pejabat pos).

Selain Pajak Pusat, terdapat pajak lain yang dipergunakan dalam pembangunan
yaitu Pajak daerah. Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah
yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk digunakan dalam menunjang otonomi
daerah. Pajak daerah menjadi pendapatan asli daerah yang diperoleh daerah dari
sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan ketentuan
Undang-Undang (UU). Pajak Daerah sendiri merupakan pajak yang dipungut oleh
daerah sesuaai peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan
pembiayaan rumah tangga pemerintah tersebut.

Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Pajak ada 7 (tujuh)


jenis pajak Kabupaten/Kota. Walaupun demikian, Daerah Kabupaten/Kota dapat
tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan, apabila
potensi pajak di Daerah Kabupaten/Kota tersebut dipandang kurang memadai yaitu
antara lain :

 Pajak Hotel
Pajak yang dikenakan atas bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk
dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya yang
dapat dipungut bayaran termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan
dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.

 Pajak Restoran

Pajak yang dikenakan atas tempat menyantap makanan dan/atau minuman yang
disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga.

 Pajak Hiburan

Pajak yang dikenakan atas semua jenis pertunjukan, permainan, permainan


ketangkasan, dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton
atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk
penggunaan fasilitas untuk berolahraga.

 Pajak Reklame

Pajak atas penyelenggaraan reklame yang terdiri dari benda, alat, perbuatan atau
media menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersil,
dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan, atau memujikan suatu
barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca, didengar dari
suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh pemerintah.

 Pajak Penerangan Jalan

Pajak yang dikenakan atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di
wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh
pemerintah daerah.

 Pajak Pengambilan Bahan Galian C

Pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

 Pajak Parkir

Pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan oleh
orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha
maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat
penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut
bayaran.

Selain pajak diatas, daerah memiliki sumber pendapatan lain dalam


penyelenggaraan pemerintahan didaerah. Salah satunya adalah Biaya Perolehan
Hak Atas Tanah dan Pembangunan (BPATP). Sampai saat ini BPATP mengalami
perkembangan yang cukup pesat yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak (WP)
telah menyadari untuk membayar pajak khususnya bea perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan.

BPATP dalam penyusunannya dilakukan oleh pemerintah pusat dengan


persetujuan Menteri Keuangan, begitu juga dengan proses penyusunan
anggarannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini ditangani oleh Dirjen
Anggaran. Setelah BPATP tersebut disusun dengan baik, selanjutnya dilakukan
pemberitahuan sekaligus pemungutan kepada wajib pajak yang terutang untuk
menyetorkan pajak terutangnya pada tempat-tempat diwilayah kabupaten, kota,
atau propinsi yang meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang telah diatur oleh
pemerintah pusat. Pemungutan pajak dilakukan sebagai perwujudan dari
pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara
dan pembangunan nasional.
PEMBAHASAN

A. Pembahasan Secara Umum

Dalam penyelenggaraan pemerintahan didaerah dibutuhkan biaya yang tidak


sedikit. Biaya tersebut sebagian besar didapatkan dari pajak yang dipungut oleh
negara. Biaya yang menjadi sumber besar pendapatan tersebut dialokasikan dalam
berbagai bidang. Salah satunya adalah APBD yang disalurkan ke setiap daerah.
Namun disaat bantuan biaya dari pemerintah yang semakin kecil maka pemerintah
daerah kini harus bekerja ekstra untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Salah satu yang menjadi agenda wajib dari pemerintah daerah dalam
mempergunakan bantuan dana dari pemerintah adalah melakukan pembangunan
didaerah.

Ketika bantuan pemerintah pusat kedaerah yang semakin kecil, pemerintah pusat
harus melakukan pemaksimalan sumber daya didaerah untuk menutupi kekurangan
pendapatan daerah atas adanya pengurangan bantuan dari pemerintah pusat
tersebut. Salah satu solusinya adalah meningkatkan Biaya Perolehan Hak Atas
Tanah dan Pembangunan (BPATP).

Penerimaan pendapatan negara yang cukup banyak dalam pembangunan di


Indonesia yang berasal dari BPHTB mengalami progress. Dalam pencapaian
pendapatan negara yang berkembang dengan grafik pendapatan negara yang
meningkat tidak didapatkan begitu saja. Anggaran merupakan bagian penting
untuk mendapatkan pendapatan negara yang meningkat. Anggaran yang disusun
berdasarkan prosedur yang ada dengan target yang ingin dicapai. Menuntut
penyusunan anggaran dirancang dengan baik dan pelaksanaan pemungutan yang
baik, sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan yang diharapkan. Setelah
pelaksanaan tersebut kemudian maka dilakukan evaluasi mengenai anggaran yang
harus ditargetkan apakah sudah memenuhi batasan yang telah ditetapkan dalam
tujuan pelaksanaan. Hal ini sebagai bentuk konsekuensi tahun selanjutnya agar
dilakukan peningkatan bukan malah sebaliknya terjadinya penurunan.

Sama halnya dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan evaluasi.


Apabila hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang sudah ditargetkan maka
harus dilakukan peningkatan kinerja. Anggaran (target) dan pelaksanaan
pemungutan (realisasi) yang akan dikaji lebih mendalam sehinga dapat dilakukan
pengasumsian pengertian mengenai target dan realisasi tersebut. Hal ini dilakukan
untuk mendapat target yang ingin dicapai sesuai dengan yang akan terealisasi
Target adalah bagian dari rencana yang sudah disusun secara terukur yang akan
dicapai secara nyata dalam jangka waktu tertentu. Realisasi adalah hasil nyata dari
penerimaan atas suatu targe yang telah diperhitungkan. Mengenai cara untuk
memperhitungkan target pajak BPHTB dilakukan berdasarkan pada besar kecilnya
pajak terutang dikalikan dengan tarif pajak BPHTB yaitu 5persen. Setelah
ditetapkan cara perhitungannya maka selanjutnya akan ditentukan cara
pemungutannya oleh pemerintah.

Terkait dengan bantuan pemerintah pusat ke daerah yang semakin kecil maka
daerah harus menempuh kebijakan dalam menentukan biaya perolehan hak atas
tanah dan pembangunan. Dalam menempuh kebijakan ini pemerintah daerah
membuat ketetapan dalam bidang moneter dan fiskal daerah. Itu dilakukan untuk
menutupi celah dalam keuangan daerah yang berkurang.

Namun sebelum melakukan perubahan kebijakan dalam bidang moneter dan fiskal
daerah. Perlu diperhatikan besaran anggaran BPHTB untuk mengetahui faktor
yang menyebabkan bantuan pemerintah pusat ke daerah berkurang. Hal tersebut
perlu selain untuk mengetahui alasan bantuan pemerintah pusat dikurangi. Perlu
juga untuk mengetahui anggaran BPHTB pada setiap daerah. Selain itu untuk
menemukan apakah ada faktor lain yang tidak diketahui misalnya pelaksanaan
pemungutan BPHTB yang bermasalah. Maka perlu juga dilakukan analisis
perbedaan antara anggaran BPHTB dengan pendapatan tang didapatkan atas
BPATP apakah sebanding dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB.

Menghadapi masalah yang sedang dialamai di bidang BPHTB. Muncul wacana


untuk membuat pengaturan mengenai BPHTB untuk menjadi Peraturan Daerah
(Perda). BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
bangunan. BPHTB merupakan penyempurnaan atas bea balik nama harta tetap atas
tanah dan bangunan, dan bukan merupakan pajak jenis baru. BPHTB digolongkan
sebagai pajak tidak langsung dan merupakan pajak pemerintah pusat dan pajak
negara. Dalam pembagian hasil menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.
20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yaitu Pasal
23 bahwa dalam pembagiannya pendapatan dari BPHTP 20persen untuk
Pemerintah Pusat dan 80persen untuk Pemerintah Daerah/ Kabupaten/ Kota. Untuk
itu menjadi pertanyaan besar mengapa bantuan pemerintah pusat ke daerah
semakin berkurang.

BPHTP adalah amanat yang tertuang dalam UU nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sekaligus kebijakan nasional yang harus
dilaksanakan. Sesuai dengan manfaat pajak sendiri yakni selain sebagai sumber
utama penerimaan daerah, dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, pajak yang
telah diperdakan ini juga semata-mata untuk meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat daerah.

Ternyata salah satu faktor mengapa bantuan pemerintah pusat ke daearah


berkurang adalah adanya kebijakan pembebasan pajak. Kebijakan ini diberlakukan
pada pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah sederhana dengan harga di
bawah Rp 70 juta dan maksimal seluas 36 meter persegi. Tetapi pada kenyataannya
kebijakan ini belum tentu meningkatkan jumlah permintaan rumah sederhana.
Karena kebijakan yang ditempuh oleh Menteri Keuangan tersebut dinilai belum
selaras dengan program Kementerian Perumahan dalam memberikan kredit
pemilikan rumah (KPR) yang memanfaatkan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maksimal
Rp 80 juta. Masyarakat penerima manfaat FLPP untuk kategori kelompok
berpenghasilan Rp 2,5 juta untuk MBR dan kelompok berpenghasilan Rp 4,5 juta
untuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Menengah (MBM) masih dikenakan
tingkat suku bunga KPR. Kebijakan ini seharusnya disinkronkan dulu dengan fakta
yang terjadi di lapangan. Sebab dengan keadaan ekonomi saat ini pengembang
dalam melakukan pembangunan perumahan terlebih dahulu melihat keadaaan
pasar. Kalau ada permintaan tentu pengembang akan membangun sesuai
permintaan.

Faktanya saat ini, kebutuhan rumah kelas menengah ke bawah paling banyak
berada di Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi), yang jumlahnya
hampir 60 persen dari kebutuhan di daerah lain. Total kebutuhan perumahan
nasional berjumlah 8 juta unit per tahun, namun pertumbuhannya hanya sekitar
700 ribu unit per tahun. Sedangkan produksi nasional paling hanya sebanyak 120
ribu rumah, jika ditambah dengan perumahan mewah dan apartemen pun
jumlahnya hanya 200 ribu. Oleh karena itu, pemerintah semestinya memberikan
banyak stimulan dan insentif kepada pengembang perumahan maupun masyarakat
miskin agar program pembangunan perumahan bisa terwujud. Pemerintah
diharapkan memberi kemudahan perizinan pembangunan perumahan. Selama ini
perizinan yang dilakukan membutuhkan waktu lama dan mahal. Sehingga
kebijakan fiskal dan moneter oleh pemerintah daerah sangat perlu untuk dilakukan
untuk mengatasi masalah BPHTB yaang terjadi saat ini.

Fakta yang terjadi dilapangan yang menjadi pembuktian atas kebijakan pemerintah
dalam BPHTB belum mampu menjawab persoalan yang terjadi. Salah satunya
adalah pengembang di Jawa Tengah (Jateng) pesimistis dapat merealisasikan
pembangunan rumah sesuai target 2011 dan mampu menekan kebutuhan rumah
(backlog), akibat beberapa kebijakan pemerintah masih tumpang tindih hingga
menghambat aktivitas mereka. Sebab selama ini masih tedapat ganjalan perizinan
yang tumpang tindih dan menghambat upaya pencapaian pembangunan rumah
yang ditargetkan pemerintah. Diantaranya pelimpahan BPHTB dari Ditjen Pajak
kepada Pemkab/Pemkot hingga saat ini ternyata belum sinkron di tingkat daerah.
Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi pembangunan rumah di Jateng pada 2010
hanya mencapai kurang dari 8.000 unit, padahal ingin dicapai target sebanyak
10.000 unit. Demikian pula dengan tahun ini, target ditingkatkan menjadi sebanyak
15.000 unit, para pengembang pesimistis realisasi hanya akan mencapai sekitar
12.000 unit. Tetapi, kalau Pemerintah provinsi (Pemprov) segera tanggap dengan
membentuk tim percepatan, maka lahir optimistis dalam pembangunan rumah di
Jateng akan lebih meningkat lagi.

Masalah yang dihadapi Jateng saat ini perlu melakukan studi banding dengan
berkaca pada Jatim yang membentuk tim percepatan pembangunan rumah
sederhana. Untuk mengatasi angka kekurangan kebutuhan rumah (backlog) di
provinsi yang sudah mencapai 1,2 juta kepala keluarga (KK). Karena fakanya sejak
tim persepatan tersebut dibentuk Pemprov Jatim, provinsi ini berhasil
mengakselerasi pembangunan rumah hingga 20.000 unit per tahun, dari semula
hanya 12.000 unit per tahun. Sehingga bisa dilakukan hipotesis kalau tidak ada
percepatan maka di Jateng angka backlog akan semakin bertambah, sehingga
sudah saatnya provinsi ini membutuhkan tim percepatan.

Selain pembentukan tim percepatan tersebut, perlu sinergitas antara pengembang


dan Pemda yang selama ini belum terjalin di wilayah Jateng. Sehingga,
pembangunan rumah sering meleset dari target yang ditetapkan pengembang. Pada
awalnya pengembang optimistis dengan target 10.000 unir rumah pada
2010, lantaran telah diterbitkan kebijakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP) pada kuartal III/2011, yang diharapkan mampu mendorong
permintaan sehingga dapat memicu pembangunan perumahan. Namun ternyata
harapan yang melambung tinggi berbanding terbalik dengan realitanya. Ganjalan
perizinan yang tumpang tindih selama ini mengakibatkan realisasi pembangunan
rumah di Jateng pada tahun lalu hanya mencapai kurang dari 8.000 unit, bahkan
tahun ini target ditingkatkan menjadi 15.000 unit bagi pengembang pun masih
dibayangi pesimistis. Langkah untuk membedah peraturan-peraturan terbaru
tentang perumahan perlu juga dilakukan demi pencapaian sinergi serta mengatasi
tumpang tindih antar setiap kebijakan karena rakyat yang akan menjadi tumbal atas
kesalahan pemerintah.
Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah bahwa pemerintah pusat memiliki bidang yang menjadi urusan
pemerintahan yaitu : “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

1. politik luar negeri;


2. pertahanan;
3. keamanan;
4. yustisi;
5. moneter dan fiskal nasional; dan
6. agama.”

Moneter dan fiskal nasional adalah urusan pemerintah pusat maka dalam
penyelesaian masalah dalam BPATB ditingkat nasional menjadi urusan
pemerintah. Sedangkan BPATB ditingkat daerah sendiri merupakan urusan dari
pemerintah daerah. Agar mudah dalam penyelesaiannya dalam mengatasi masalah
dalam BPHTB maka perlu diketahui dengan jelas apa yang menjadi objek dari
pajak adalah BPHTP itu sendiri. Sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2000
yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Sedangkan hal-hal yang menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (2), Perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

 pemindahan hak karena:

1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.penggabungan usaha;
11.peleburan usaha;
12.pemekaran usaha;
13.hadiah.
14.pemberian hak baru karena:
15.kelanjutan pelepasan hak;
16.di luar pelepasan hak.
Sedangkan pada Pasal 2 ayat (3) UU No, 20 Tahun 2000 yang menjadi Hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:

 hak milik;

1. hak guna usaha;


2. hak guna bangunan;
3. hak pakai;
4. hak milik atas satuan rumah susun;
5. hak pengelolaan.

Maka dalam penanganan masalah pajak BPHTB perlu dipahami lebih dalam
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan BPHTB termasuk objeknya, cara
pemungutannya, anggarannya dan juga pelaksanaan pemungutannya. Hal itu perlu
agar diketahui tidak terjadi salah mengambil langkah dalam penyelesaiannya.
Karena bukan perkara mudah untuk diatasi dan juga jika terjadi salah mengambil
langkah maka rakyat yang akan menjadi korbannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pajak BPHTB adalah sumber penting dalam pendapatan negara terutama untuk
daerah. Karena hanya sebagian kecil yaitu 20 persen untuk pusat dan 80 persennya
merupakan bagian dari daerah. Sehingga dibutuhkan sinergi antara pemerintah
dengan masyarakat dalam menjaga konsistensi dalam pembangunan. Demi
mendapatkan hasil yang maksimal atas pajak BPHTN. Memberikan konsekuensi
kepada pemerintah untuk memberikan stimulan dan insentif kepada pengembang
perumahan maupun masyarakat miskin agar program pembangunan perumahan
bisa terwujud. Sebagai salah satu upaya dalam pembanguna atas pajak BPHTB.
Sedangkan di bidang hak atas tanah maka perizinan atas tanah serta pembangunan
semestinya tidak melalui administrasi yang berbelit-belit agar tidak mejadi maslah
baru dalam penyelesaian masalah BPHTB saat ini. Terjadinya pengurangan
bantuan dari pemerintah pusat kedaerah juga tidak sepenuhnya menjadi masalah
dan pugas pemerinth dalam penyelesaiannya. Masyarakat juga memiliki tanggung
jawab untuk menyelesaikannya.

B. Saran

Pemerintah pusat dan daerah diharapkan memberi kemudahan dalam pengurusan


perizinan pembangunan perumahan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hak
atas tanah. Karena realitanya selama ini perizinan dalam pengurus atas tanah dan
pembangunan membutuhkan waktu lama dan mahal. Sebagai langkah lanjutan
dalam mengatasi masalah peru dilakukan pembebasan kebijakan fiskal seperti
penghapusan PPN, PPH, BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
dalam beberapa bagian pembangunan.

Dalam penyusunan anggaran dan pelaksanaan BPHTP harus ada sinergi agar target
yang tinggi sesuai dalam pelaksanaannya. Sehingga bisa dilakukan pembandingan
antara anggaran dan pelaksanaan. Dari pembandingan tersebut bertujuan untuk
memberikan masukan dan manfaat dalam menentukan kebijakan. Serta, bahan
evaluasi dalam menyusun anggaran dan juga dorongan melakukan pemungutan
pajak yang lebih baik terutama untuk BPHTB. Pembandingan juga harus dilakukan
untuk menjadi referensi meningkatkan informasi dalam penyusunan anggaran dan
pelaksanaan BPHTB yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Brotodihardjo, Santoso. 2008. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika


Aditama

Yudhanti, Ristina. 2010. Hukum Pajak. Semarang: Fakultas Hukum Universitas


Negeri Semarang

Website

http://hileud.com/rei-ragu-akan-kebijakan-pembebasan-ppn-rumah-sederhana.html
diakses Jumat tanggal 01 Juli 2011 pukul 13:17

http://humashss.blogspot.com/2011/01/penetapan-perda-bea-perolehan-hak-
atas.html diakses Jumat tanggal 01 Juli 2011 pukul 13:17

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak diakses Jumat tanggal 01 Juli 2011 pukul 13:15

http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2011/06/pengembang-pesimistis-mampu-
penuhi-target-15-000-rumah/ diakses Jumat tanggal 01 Juli 2011 pukul 13:21

Undang-Undang

Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Anda mungkin juga menyukai