Anda di halaman 1dari 16

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/ bahan berbahaya.

Selain narkoba, istilah lain yang


diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang
merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba"
ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi
penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika
yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit
tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang
semestinya.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 22 tahun 1997).

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.

Bahan adiktif lainnya adalah bahan lain bukan narkotika atau psikotropika yang penggunaannya dapat
menimbulkan ketergantungan. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol yang
diproses dari bahan hasil pertanian ataupun secara sintetis yang mengandung karbohidrat dengan cara
fermentasi destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, maupun yang diproses dengan cara mencampur
konsentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman yang mengandung etanol.
Berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap pemakainya, narkoba dikelompokkan menjadi golongan
halusinogen, depresan, stimulan, dan adiktif.

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA dalam jumlah berlebihan, secara berkala atau terus-
menerus, berlangsung cukup lama sehingga dapat merugikan kesehatan jasmani, mental dan kehidupan
sosial (Joewana, 2004). Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan
sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering
dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan
dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologic terhadap obat. Toleransi
adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi
merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).

2.2 JENIS DAN EFEK YANG DITIMBULKAN OLEH NARKOTIKA


Narkotika merupakan narkoba yang sangat cepat menimbulkan ketergantungan, berupa serbuk putih
dengan rasa pahit. Dalam pasaran warnanya bisa putih, coklat atau dadu, cara penggunaan dapat
disuntikan, dihirup dan dimakan. Menimbulkan rasa kantuk, lesu, penampilan “dungu”, jalan
mengambang, rasa senang yang berlebihan. Konsumsi dihentikan menimbulkan rasa sakit dan kejang-
kejang, kram perut, menggigil, muntah-muntah, mata berair, hidung berlendir, hilang nafsu makan dan
kehilangan cairan tubuh. Menimbulkan kematian bila over dosis.

Ganja menimbulkan ketergantungan psikis yang diikuti oleh kecanduan fisik dalam waktu lama,
terutama bagi mereka yang telah rutin menggunakannya. Bentuk daun kering, cairan yang lengket,
minyak ‘damar ganja’. Menurunkan keterampilan motorik, peningkatan denyut jantung, rasa cemas,
banyak bicara, perubahan persepsi tentang ruang dan waktu, halusinasi, rasa ketakutan dan agresif, rasa
senang berlebihan, selera makan meningkat. Pengaruh jangka panjang peradangan paru-paru, aliran
darah ke jantung berkurang, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, mengurangi kesuburan, daya
pikir berkurang, perhatian ke sekitar berkurang.

Morfin merupakan analgesik yang kuat, tidak berbau, berupa kristal putih yang warnanya menjadi
kecoklatan. Mengurangi rasa nyeri, kantuk atau turunnya kesadaran. Menyebabkan sembelit, gangguan
menstruasi dan impotensi. Pemakaian dengan jarum suntik menyebabkan HIV/AIDS, Hepatitis B & C.
Pemakaian dikurangi atau dihentikan : hidung berair, keluar air mata otot kejang, mual, muntah dan
mencret.

Psikotropika memiliki bentuk berupa tablet dan kapsul warna warni. Cara penggunaan ditelan secara
langsung. Mendorong tubuh melakukan aktivitas melampaui batas maksimum. Meningkatkan detak
jantung dan tekanan darah, rasa senang yang berlebihan, hilangnya rasa percaya diri. Setelahnya akan
terjadi perasaan lelah, cemas dan depresi yang dapat berlangsung beberapa hari. Gerakan tak
terkontrol, mual dan muntah, sakit kepala, hilang selera makan dan rasa haus yang berlebihan.
Kematian terjadi karena tidak seimbangnya cairan tubuh, baik karena dehidrasi ataupun terlalu banyak
cairan, menimbulkan kerusakan otak yang permanen.

Methamphetamine dikenal shabu atau ubas. Bentuknya berupa serbuk kristal dan cairan. Mudah larut
dalam alkohol dan air. Cara penggunaannya dihisap dengan bantuan alat (bong). Menimbulkan perasaan
melayang sementara yang berangsur-angsur membangkitkan kegelisahan luar biasa. Aktivitas tubuh
dipercepat berlebihan. Penggunaan shabu yang lama akan merusak tubuh, bahkan kematian karena
over dosis. Pada mata, anda akan melihat sesuatu yang tidak ingin anda lihat, karena sangat
mengerikan. Pada otak, menyebabkan depresi, kepanikan, kecemasan yang berlebihan dan dapat
menyebabkan kerusakan otak secara permanen. Pada kulit, pembuluh darah akan mengalami panas
berlebihan dan pecah. Pada hati, bahan-bahan kimia yang terkandung dalam shabu bisa melemahkan
aktivitas sel-sel hati yang mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi hati.

Obat penenang dikenal obat tidur, pil koplo, BK, Nipam, Valium, Lexotan, dll. Bentuknya berupa tablet.
Digunakan dengan cara ditelan secara langsung. Memiliki efek bicara jadi pelo, jalan sempoyongan,
persepsi terganggu memperlambat kerja otak, pernapasan dan jantung. Dalam dosis tinggi akan
membuat pengguna tidur. Penggunaan campuran dengan alkohol akan menghasilkan kematian. Gejala
putus zat bersifat lama dan serius, sakit kepala, cemas, tidak bisa tidur, halusinasi, mual, muntah dan
kejang.

Alkohol memiliki efek memperlambat kerja sistem syaraf pusat, memperlambat refleks motorik,
menekan pernafasan, denyut jantung dan mengganggu penalaran dan penilaian. Menimbulkan perilaku
kekerasan, meningkatkan resiko kecelakaan lalu lintas. Gejala putus zat mulai dari hilangnya nafsu
makan, sensitif, tidak dapat tidur, kejang otot, halusinasi dan bahkan kematian.

Zat yang mudah menguap/solvent dikenal Lem Aica Aibon, Thinner, Bensin, Spiritus. Efeknya begitu
dihisap masuk ke darah dan segera ke otak. Memperlambat kerja otak dan sistem syaraf pusat.
Menimbulkan perasaan senang, pusing, penurunan kesadaran, gangguan penglihatan dan pelo. Problem
kesehatan terutama merusak otak, ginjal, paru-paru, sumsum tulang dan jantung. Kematian timbul
akibat otak kekurangan oksigen, berhentinya pernafasan dan gangguan pada jantung.

Zat yang menimbulkan halusinasi dikenal jamur, kotoran kerbau, sapi, kecubung. Efek yang ditimbulkan
bekerja pada sistem syaraf pusat untuk mengacaukan kesadaran dan emosi pengguna. Perubahan pada
proses berfikir, hilangnya kontrol, hilang orientasi dan depresi.

2.3 TANDA DAN GEJALA

Berikut ini adalah beberapa tanda dan gejala yang sering tampak pada para pengguna NAPZA, dilihat
dari :

Ciri-ciri Umum

Terjadi perubahan perilaku yang signifikan


Sulit diajak bicara

Mulai sulit untuk diajak terlibat dalam kegiatan keluarga

Mulai sering pulang terlambat tanpa alasan

Mudah tersinggung

Mulai berani membolos dan meninggalkan pekerjaan sehari-hari

Perubahan Fisik dan Lingkungan

Jalan sempoyongan, bicara pelo, dan tampak terkantuk-kantuk

Mata merah dan berair

Hidung berair atau seperti pilek

Pola tidur berubah, bangun di malam hari dan bangun di siang hari

Kamar tidak mau diperiksa atau selalu terkunci

Sering menerima telpon atau tamu yang tidak dikenal

Ditemukan obat-obatan, kertas timah, jarum suntik, dan korek api di kamar atau di dalam tas

Terdapat tanda-tanda bekas suntikan atau sayatan di bagian tubuh

Sering kehilangan uang atau barang di rumah

Mengabaikan kebersihan diri

Perubahan Perilaku Sosial

Menghindari kontak mata langsung ketika berbicara dengan orang lain

Berbohong atau memanipulasi keadaan

Kurang disiplin

Bengong atau linglung

Suka membolos sekolah atau dari pekerjaan kantor

Mengabaikan kegiatan ibadah

Menarik diri dari aktivitas bersama keluarga

Sering menyendiri atau bersembunyi di kamar mandi, di gudang atau tempat-tempat tertutup
Perubahan Psikologis

Mudah tersinggung

Sering terjadi perubahan mood yang mendadak

Malas melakukan aktivitas sehari-hari

Sulit berkonsentrasi

Tidak memiliki tanggung jawab

Emosi tidak terkendali

Tidak peduli dengan nilai dan norma yang ada

Merasa dikucilkan atau menarik diri dari lingkungan

Cenderung melakukan tindak pidana kekerasan

2.4 TERAPI

Upaya pemulihan yang sesungguhnya adalah dengan merubah gaya hidup dan sikap pada seorang
pecandu secara mendasar, yaitu pola pikir dan perilaku adiktif yang menyebabkannya kecanduan
narkoba (martono 2006).

Pengobatan

Terapi pengobatanyang dilakukan untuk pasien NAPZA misal dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah
upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat dengan dua cara:

Detoksifikasi tanpa substitusi

Klien hanya dibiatkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri. Klien yang ketergantungan
tidak diberikan obat untuk menghilangkan gejala putus obat tersebut.

Detoksifikasi dengan substitusi

Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan
metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya
diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti
sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala
yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non
medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan
dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan
pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga
kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).

Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan


konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan
(pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program
berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).

Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program
terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di
unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama
rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1
tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan
mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang
selalu terjadi (DepKes, 2001).

Jenis program rehabilitasi:

a) Rehabilitasi psikososial

Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program).
Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai
kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai
menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.

b) Rehabilitasi kejiwaan

Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku maladaptif
berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga
mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan
mengasuhnya.
Meskipun sudah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang,
keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain
seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering
disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih
dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif
(menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang
penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok.

Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap
sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga brokenhome. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003)
menyatakan jka konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek
kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.

c) Rehabilitasi komunitas

Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin oleh
seorang mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor, setelah mengikuti
pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih
keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga
dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps.

Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan
perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain.

d) Rehabilitasi keagamaan

Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk
memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing.
Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan
kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin
terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.

2.5 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MASALAH PENYALAHGUNAAN NAPZA


2.5.1 PENGKAJIAN

Setiap melakukan pengkajian, tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat.

I. IDENTITAS KLIEN

Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien tentang: nama klien,
panggilan klien, jenis kelamin (pria > wanita), usia (biasanya pada usia produktif), pendidikan (segala
jenis/ tingkat pendidikan beresiko menggunakan NAPZA), pekerjaan (tingkat keseriusan/ tuntutan dalam
pekerjaannya dapat menimbulkan masalah), status (belum menikah, menikah atau bercerai), kemudian
nama perawat, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan.

II. ALASAN MASUK

Biasanya karena timbul gejala-gejala penyalahgunaan NAPZA (fsikososial) atau mungkin klien
mengatakan tidak tahu, karena yang membawanya ke RS adalah keluarganya. Alasan masuk tanyakan
kepada klien dan keluarga.

III. Faktor Predisposisi

Kaji hal-hal yang menyebabkan perubahan perilaku klien menjadi pecandu/ pengguna NAPZA, baik dari
pasien maupun keluarga.

IV. Fisik

Pengkajian fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ akibat gejala yang biasa timbul dari jenis
NAPZA yang digunakan seperti tanda-tanda vital, berat badan,dll.

V. Psikososial

1. Genogram

a. Buatlah genogram minimal tiga gcncrasi yang dapat menggambarkan hubungan klien dan keluarga.

2. Konsep diri

a Gambaran diri : Klien mungkin merasa tubuhnya baik-baik saja


b. Identitas : Klien mungkin kurang puas terhadap dirinya sendiri

c. Peran : Klien merupakan anak pertama dari dua bersaudara

d. Ideal diri : Klien menginginkan keluarga dan orang lain menghargainya

e. Harga diri : Kurangnya penghargaan keluarga terhadap perannya

3. Hubungan sosial

Klien penyalahgunaan NAPZA biasanya menarik diri dari aktivitas keluarga maupun masyarakat. Klien
sering menyendiri, menghindari kontak mata langsung, sering berbohong dan lain sebagainya.

4. Spiritual

a. Nilai dan keyakinan : Menurut masyarakat, NAPZA tidak baik untuk kesehatan.

b. Kegiatan ibadah : Tidak menjalankan ibadah selama menggunakan NAPZA.

VI. Status Mental

1. Penampilan.

Penampilan tidak rapi, tidak sesuai dan cara berpakaian tidak seperti biasanya dijelaskan.

2. Pembicaraan

a. Amati pembicaraan yang ditemukan pada klien, apakah cepat, keras, gagap, membisu, apatis dan
atau lambat

b. Biasanya klien menghindari kontak mata langsung, berbohog atau memanipulasi keadaa,
bengong/linglung.

3. Aktivitas motorik

Klien biasanya menunjukkan keadaan lesu, tegang, gelisah, agitasi, Tik, grimasen, termor dan atau
komfulsif akibat penggunaan atau tidak menggunakan NAPZA

4. Alam perasaan.
Klien bisa menunjukkan ekspresi gembira berlebihan pada saat mengkonsumsi jenis psikotropika atau
mungkin gelisah pada pecandu shabu.

5. Afek

Pada umumnya, afek yang muncul adalah emosi yang tidak terkendai. Afek datar muncul pada pecandu
morfin karena mengalami penurunan kesadaran.

6. lnteraksi selama wawancara

Secara umum, sering menghindari kontak mata dan mudah tersingung. Pecandu amfetamin
menunjukkan perasaan curiga.

7. Persepsi.

Pada pecandu ganja dapat mengalami halusinasi pengelihatan

8. Proses pikir

Klien pecandu ganja mungkin akan banyak bicara dan tertawa sehingga menunjukkan tangensial.
Beberapa NAPZA menimbulkan penurunan kesadaran, sehingga klien mungkin kehilangan asosiasi dalam
berkomunikasi dan berpikir.

9. lsi pikir

Pecandu ganja mudah percaya mistik, sedangkan amfetamin menyebabkan paranoid sehingga
menunjukkan perilaku phobia.

Pecandu amfetamin dapat mengalami waham curiga akibat paranoidnya.

10. Tingkat kesadaran

Menunjukkan perilaku bingung, disoreientasi dan sedasi akibat pengaruh NAPZA.

11. Memori.
Golongan NAPZA yang menimbulkan penurunan kesadaran mungkin akan menunjukkan gangguan daya
ingat jangka pendek.

12. Tingkat konsentrasi dan berhitung

Secara umum klien NAPZA mengalami penurunan konsentrasi. Pecandu ganja mengalami penurunan
berhitung.

13. Kemampuan penilaian

Penurunan kemampuan menilai terutama dialami oleh klien alkoholik. Gangguan kemampuan penilaian
dapat ringan maupun bermakna.

14. Daya tilik diri

Apakah mengingkari penyakit yang diderita atau menyalahkan hal-hal diluar dirinya.

VII. Kebutuhan Persiapan Pulang

Lakukan observasi tentang:

1. Makan

2. BAB/BAK,

3. Mandi

4. Berpakaian

5. lstirahat dan tidur

6. Penggunaan obat

7. Pemeliharaan kesehatan

8. Kegiatan di dalam rumah

9. Kegiatan di luar rumah

VIII. Mekanisme Koping

Maladaptif.
IX. Masalah Psikososial dan Lingkungan

Klien NAPZA tentu bermasalah dengan psikososial maupun lingkungannya.

X. Pengetahuan Kurang

Biasanya tentang mekanisme koping dan akibat penyalahgunaan NAPZA

XI. Aspek Medik

Sesuaikan dengan terapi medik yang diberikan.

2.5.2 POHON MASALAH

2.5.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Resiko perilaku kekerasan

Intoksikasi

Penyalahgunaan zat

Harga diri rendah

Gangguan konsep diri

Koping individu tidak efektif

2.5.4 INTERVENSI

Diagnosa: Resiko perilaku kekerasan


Pasien

Tujuan Intervensi

Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan

Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan

Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya

Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya

Pasien dapat menyebutkan cara mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasannya

Pasien dapat mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, dan social
dengan terapi psikofarmaka

SP 1

Mengidentifikasi tanda dan gejala, penyebab dan akibat perilaku kekerasan

Menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1: tarik nafas dalam dan fisik 2: pukul
kasur/ bantal

Malatih klien cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1: tarik nafas dalam dan fisik 2: pukul
kasur/bantal

Melatih memasukkan kegiatan tarik nafas dalam dan pukul kasur/ bantal ke dalam jadwal kegiatan
harian

SP 2

Menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat secara teratur menggunakan
prinsip 6 benar

Mendiskusikan manfaat minum obat dan kerugian tidak minum obat

Melatih cara minum obat secara teratur menggunakan prinsip 6 benar

Melatih memasukkan kegiatan minum obat secara teratur ke dalam jadual kegiatan harian

SP 3

Menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan verbal/bicara baik-baik

Melatih cara verbal/bicara baik-baik

Melatih memasukkan kegiatan bicara baik-baik ke dalam jadual kegiatan harian


SP 4

Menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan cara spiritual

Melatih cara spiritual

Melatih klien memasukkan kegiatan spiritual ke dalam jadual kegiatan harian

Keluarga

Tujuan Intervensi

Keluarga dapat merawat pasien di rumah SP1

Mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat klien resiko perilaku kekerasan

Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya dan akibat perilaku kekerasan

Mendiskusikan masalah dan akibat yang mungkin terjadi pada klien resiko perilaku kekerasan

Menjelaskan cara merawat klien resiko perilaku kekerasan: latihan tarik nafas dalam dan pukul
kasur/bantal

Latih keluarga latihan tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal

Menganjurkan keluarga memotivasi, membimbing dan memberi pujian klien klien latihan tarik nafas
dalam dan pukul kasur/bantal

SP 2

Menjelaskan kepada keluarga tentang obat yang diminum klien

Mendiskusikan manfaat minum obat dan kerugian tidak minum obat

Melatih keluarga cara klien minum obat menggunakan prinsip 6 benar

Menganjurkan keluarga memotivasi, membimbing dan memberi pujian saat klien latihan minum obat
sesuai dengan jadwal

SP 3

Menjelaskan kepada keluarga cara mengontrol perilaku kekerasan secara verbal/ bicara baik-baik

Melatih keluarga latihan verbal/bicara baik-baik

Menganjurkan keluarga memotivasi, membimbing dan memberi pujian saat klien latihan verbal/bicara
baik-baik.

SP 4
Menjelaskan kepada keluarga cara mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual

Melatih keluarga cara latihan spiritual

Memotivasi, membimbing dan memberi pujian kepada klien cara spiritual

Menjelaskan setting lingkungan rumah yang mendukung perawatan klien

Menjelaskan cara memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia

Menjelaskan kemungkinan klien relaps dan pencegahan relaps

Mengidentifikasi tanda-tanda relaps dan kemungkinan kambuh

Menjelaskan dan menganjurkan follow up dan merujuk klien ke pelayanan kesehatan.

2.5.5 EVALUASI

Evaluasi pada klien:

1. Evaluasi perasaan (subjektif);

2. Evaluasi kemampuan klien (objektif);

3. Rencana latihan klien;

4. Rencana tindakan keperawatan lanjutan.

Evaluasi pada keluarga:

1. Evaluasi perasaan (subjektif);

2. Evaluasi kemampuan keluarga (objektif);

3. Rencana asuhan keluarga kepada klien:

4. Menyepakati rencana pertemuan berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E., et all. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri Edisi 3. Jakarta: EGC

Keliat, Budi A., dkk. 2011. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta: EGC

Martono lydia harlina, dkk. 2006. Pemulihan pecandu narkoba berbasis masyarakat. Jakarta: Balai
Pustaka.

Saddock, Benjamin J. dan Virginia A. Saddock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC.

Tira. 2012. Indonesia Sejahtera Tanpa Nrkoba.


http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=1539 diakses pada 20 September
2014 pukul 09.30

www.narconon.org/drug-abuse.html diakses pada 22 September 2014 pukul 21.00 WIB

www.metro.polri.go.id diakses pada 22 September 2014 pukul 21.00 WIB

http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien%20dengan%20Masalah%20P
sikososial%20dan%20Gangguan%20Jiwa_Normal_bab%201.pdf (diakses pada 22 september 2014 pukul
22.11 WIB)

journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1243/1148

Anda mungkin juga menyukai