CEDERA SENDI
DISUSUN OLEH :
Sarah Amithia Sari Bulan . S
Disti
1
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat
rahmat dan Karunia-Nya makalah yang berjudul Cedera Sendi ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Bealakang........................................................................... 1
1.2. Tujuan......................................................................................... 1
BAB 3 PENUTUP........................................................................................ 17
3.1. Kesimpulan................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 18
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Makalah ini diselesaikan guna melengkapi tugas dalam menjalani Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Orthopaedi RSUP H.Adam
Malik Medan - Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Cedera sendi adalah cedera yang terjadi pada sendi, dapat berupa trauma
ligament, occult joint instability, subluksasi dan dislokasi. Mekanisme cedera
sendi dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung.3
4
2.2. Jenis- Jenis Persendian
Jenis sendi terdiri atas:2
a. Sendi sinarthrosis
Sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang yang berhubungan dapat
bergerak satu sama lain.
b. Sendi amfiatrosis
Merupakan sendi yang memungkinkan tulang-tulang yang saling
berhubungan dapat bergerak secara terbatas, misalnya sendi antara
manubrium sterni dengan korpus sterni dan sendi antara tulang vertebra.
c. Sendi diartrosis (synovial)
Sendi dengan pergerakan bebas. Permukaan sendi diliputi oleh lapisan tipis
rawan hialin yang ujungnya dipisahkan oleh rongga sendi. Susunan ini
memungkinkan pergerakan yang luas. Rongga sendi dibatasi oleh membran
sinovial yang berjalan dari pinggir permukaan sendi ke permukaan sendi
lainnya. Membran sinovial dilindungi oleh membran fibrosa yang kuat yang
dinamakan kapsul sendi. Permukaan sendi dilumasi oleh cairan kental (cairan
sinovial). Bantalan lemak yang terletak pada beberapa sendi sinovial terletak
antara membran sinovial dan kapsula fibrosa, misalnya pada sendi panggul
dan sendi lutut. Sendi synovial dapat dikelompokkan berdasarkan pada
bentuk facies articularisnya dan tipe peregerakan yang mungkin dilakukan:3,4
- Sendi peluru. Pada sendi ini memungkinkan gerakan tiga arah. Contohnya
adalah sendi panggul.
- Sendi kondiloid. Gerakan yang mungkin dilakukan sendi ini adalah fleksi,
ekstensi, abduksi, adduksi, dan sedikit rotasi. Contohnya adalah sendi
lutut, sendi metakarpophalangeal.
- Sendi engsel. Sendi ini menyerupai engsel pintu sehingga member
kemungkinan untuk gerakan fleksi dan ekstensi. Contohnya adalah sendi
cubiti, sendi genus, dan sendi talocruralis.
- Sendi pivot. Pada sendi ini terdapat pasak tulang yang dikelilingi oleh
cincin ligamentum bertulang. Hanya mungkin dilakukan gerakan rotasi.
Contohnya adalah sendi radioulnaris superior.
- Sendi ellipsoid. Pada sendi ini, facies articularis berbentuk konveks elips
yang sesuai dengan facies articularis konkaf elips. Gerakan fleksi,
ekstensi, abduksi, adduksi dapat dilakukan kecuali rotasi. Contohnya
adalah sendi radiocarpalis.
5
- Sendi plana. Pada sendi ini memungkinkan pergeseran anatar tulang yang
satu dengan yang lainnya. Contohnya adalah sendi interkarpalia.
- Sendi pelana (saddle). Sendi ini dapat melakukan fleksi, ekstensi, abduksi,
adduksi, dan rotasi. Contohnya adalah sendi carpometacarpal.
6
secara stres dengan anastesia umum. Pengobatan trauma pada ligamen ini
berdasarkan dengan metode “RICE” (Rest, Ice, Compression, Elevate).1
Rest. Pada 24-48 jam pertama dianggap sebagai masa kritis dan pergerakan
harus dibatasi serta aktivitas yang menyebabkan nyeri dihindari. Penggunaan
bidai diperlukan untuk imobilisasi.
Ice. Pada 48 jam pasca cedera, dilakukan kompres dengan menggunakan es
pada lokasi cedera selama 20 menit setiap 3-4 jam. Kompres es ini tidak boleh
dilakukan lebih dari 20 menit karena dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan.
Compression. Pada awal pengobatan dilakukan kompresi ketika
mengelevasikan sprain atau strain. Penggunaan Ace bandage mungkin
diperlukan.
Elevate. Posisikan lokasi dari sprain atau strain lebih tinggi dari jantung.
2.4.2. Subluksasi
Subluksasi adalah suatu keadaan dimana sendi mulai mengalami dislokasi.
Subluksasi dapat terjadi karena adanya suatu trauma atau cedera akut. Subluksasi
juga dapat terjadi akibat sendi yang longgar. Pada gambaran klinis, pasien dengan
subluksasi tidak mengalami gejala sehingga tidak memerlukan pengobatan. Jika
sudah muncul gejala, pengobatan dapat diberikan.6
2.4.3. Dislokasi
A. Dislokasi Sendi Bahu
Klasifikasi dislokasi sendi bahu:
1. Dislokasi anterior (dislokasi preglenoid, subkorakoid, dan subklavikuler)
Merupakan kelainan yang tersering ditemukan, biasanya penderita jatuh
dengan tangan dalam keadaan out stretched atau trauma pada scapula sendiri dan
anggota gerak dalam posisi rotasi lateral sehingga kaput humerus menembus
kapsul anterior sendi. Pada dislokasi anterior, kaput humerus berada di bawah
glenoid , subaraknoid dan subklavikuler.1
7
Pada gambaran klinis didapatkan rasa nyeri yang hebat serta gangguan
pergerakan sendi bahu.1,9 Kontur sendi bahu menjadi rata karena kaput humerus
bergeser ke depan. Pada radiologi kaput humerus berada di depan dan medial
glenoid.1
a. b.
Pengobatan dislokasi ini dengan reposisi tertutup dapat dilakukan dengan dan
tanpa pembiusan umum. Pada pembiusan umum dapat digunakan metode
hipocrates dan kocher. Pada pengobatan tanpa pembiusan umum dapat
menggunakan teknik menggantung lengan. Setelah reposisi berhasil, lengan harus
difiksasi di daerah toraks selama 3-6 minggu dan bila reposisi tidak dilakukan
dapat terjadi dislokasi rekuren. 1
2. Dislokasi Posterior
Dislokasi posterior lebih jarang ditemukan dan biasanya disebabkan karena
trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna. Pada gambaran
8
klinis ditemukan adanya nyeri tekan serta benjolan di bagian belakang sendi. Pada
pemeriksaan radiologis sitemukan tanda khas berupa light bulb karena adanya
rotasi interna humerus. Pengobatan dislokasi ini dengan cara dilakukan reduksi
dengan menarik lengan ke depan secara hati-hati dan rotasi eksterna, serta
immobilisasi selama 3-6 minggu.1
a. b.
9
4. Dislokasi disertai dengan fraktur tuberositas mayor humerus
Jenis ini biasanya adalah dislokasi tipe anterior disertai fraktur. Apabila
dilakukan reposisi pada dislokasi, biasanya fraktur akan tereposisi dan melekat
kembali pada humerus. 1
10
Dislokasi anterior lebih jarang ditemukan, biasanya terjadi oleh karena jatuh
dengan trauma langsung pada prosesus olekranon. Gambaran klinis pada dislokasi
ini berupa trauma dengan pembengkakan yang hebat di sekitar sendi siku sewaktu
siku dalam posisi semi fleksi.1,10 Selain itu dijumpainya adanya pemanjangan
lengan pada lengan yang sakit.10 Olekranon dapat terbatas di bagian belakang.
Pada dislokasi sendi siku harus dilakukan reposisi secepatnya. 1
11
Kaput femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma
yang dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi panggul dalam posisi fleksi
atau semifleksi.1
Klasifikasi dislokasi untuk rencana pengobatan menurut Thompson Epstein
(1973) :
a. Tipe I : dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang kecil
b. Tipe II : dislokasi dengan fragmen tulang ysng besar pada bagian
posterior asetabulum
c. Tipe III : dislokasi dengan frkatur bibir asetabulum yang komunitif
d. Tipe IV : dislokasi dengan fraktur dasar asetabulum
e. Tipe V : dislokasi dengan fraktur kaput femur
Pengobatan yang dilakukan adalah mereposisi secepatnya dengan pembiusan
umum disertai relaksasi yang cukup.1,11 Perawatan pasca reposisi adalah traksi
kulit selama 4-6 minggu, setelah itu tidak menginjakkan kaki dengan jalan
mempergunakan tongkat selama 3 bulan.1
Pada anak umur 5 tahun, asetabulum sebagian besar terdiri dari tulang rawan
lunak dan terdapat kerenggangan pada sendi termasuk sendi panggul. Apabila otot
mengalami relaksasi, maka dengan trauma yang ringan dapet terjadi dislokasi
panggul. Mungkin juga terdapat perbedaan antara ruang panggul dan kaput femur.
12
Dengan bertambahnya umur, sendi panggul menjadi lebih kuat, sehingga dislokasi
hanya terjadi bila terkena trauma yang lebih besar. Dislokasi tipe posterior terjadi
akibat trauma hebat pada lutut dan anggota gerak dalam posisi fleksi. Pada
gambaran klinis tampak tungkai atas dalam keadaan fleksi, interna rotasi dan
adduksi. Pengobatan pada tipe ini dengan reduksi tertutup dan dapat dilakukan
dengan beberapa metode Bigelow, Stimson, dan Allis. 1
2. Dislokasi anterior
Dislokasi anterior terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian
atau trauma dari belakang pada saat berjongkok dan posisi penderita dalam
keadaan abduksi yang dipaksakan. Leher femur atau trokantermenabrak
asetabulum dan terjungkir keluar melalui robekan pada kapsul anterior. Bila sendi
panggul dalam keadaan fleksi, maka akan terjadi dislokasi tipe obturator dan bila
sendi panggul dalam posisi ekstensi maka terjadi dislokasi tipe pubik atau iliaka.
Pada dislokasi tipe ini gejala klinis yang tampak berupa abduksi, rotasi eksterna
dan sedikit fleksi.1
Pengobatan dislokasi tipe ini dengan reduksi tertutup dengan cara member
traksi pada tungkai dalam keadaan fleksi dan rotasi intern serta abduksi panggul
yang selanjutnya disusul imobilisasi seperti pada dislokasi posterior.11
3. Dislokasi sentral
Dislokasi sentral terjadi apabila kaput femur terdorong ke dinding medial
asetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul tetap utuh . Frkatur asetabulum
13
terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh dari ketinggian pada satu
sisi atau suatu tekanan yang melalui femur dimana panggul dalam keadaan
abduksi. 1
Pada dislokasi sentral yang disertai fraktur asetabulum tidak terlihat gambaran
deformitas pada tungkai bawah, hanya terdapat gangguan pergerakan pada sendi
panggul. Pengobatan dislokasi tipe ini dapat dengan reduksi memerlukan traksi
tulang dengan K-wire untuk beberapa minggu karena dislokasi sentral disertai
fraktur asetabulum. 1
14
selama 7-8minggu. Apabila setelah reposisi ternyata lutut tidak stabil dalam posisi
varus dan valgus maka harus dilakuakn operasi untuk perbaikan ligamen. 1
15
Gangguan pembuluh darah dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat traksi
sewaktu reposisi atau karena tekanan kaput humerus
- Tidak dapat tereposisi
Kegagalan reposisi dapat terjadi karena adanya cekikan leher botol pada
muskulus skapularis sehingga perlu dilakukan reposisi secara operasi
- Kaku sendi
Kaku sendi yang terjadi pasca reposisi perlu dilakukan fisioterapi yang
intensif
2.5.2.
Sendi Siku1,10
- Kekakuan sendi siku
- Kerusakan arteri brakhialis
- Kerusakan saraf medianus
- Kerusakan saraf ulnaris
- Adanya fraktur yang bersamaan dengan cedera
- Avulsi dari trisep
- Fragmen tulang yang masuk ke jarak antar sendi
- Kekakuan sendi dengan penurunan pergerakan
- Miositis ossifikans
- Kompartemen sindrom
- Dislokasi rekuren sendi siku
- Pembentukan tulang heterotropik pada anak-anak. Pembentukan tulang ini
mengganggu pergerakan sendi siku secara permanen dan lokalisasinya biasa di
bawah epikondilus medialis atau epikondilus lateralis sepanjang ligament
kolateral.
16
d. Trauma rectum dan vagina
e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan
massif sampai sok
f. Trauma pada saraf
2. Komplikasi lanjut
a. Pembentukan tulang heterotrofik
Pembentukan tulang heterotrofik biasanya terjadi setelah suatu trauma
jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi.
b. Nekrosis avaskuler
Nekrosis avaskuler dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu
setelah trauma
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoarthritis sekunder
Apabila terjadi fraktur pada daerah asetaulum dan tidak dilakukan
reduksi yang akurat sedangkan sendi ini menipang berat badan, maka
akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan
pergerakan serta osteoarthritis dikemudian hari
d. Skoliosis kompensatoar
17
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Cedera sendi adalah robeknya sebagian dari ligamen yang disertai perdarahan
tanpa mengakibatkan gangguan stabilitas, yang biasanya disebabkan oleh
regangan yang tiba-tiba
2. Beberapa jenis persendian adalah sendi sinarthrosis, sendi amfiartrosis, sendi
diartrosis (sinovial)
3. Derajat stabilitas sendi terbagi atas tiga yaitu occult joint instability,
subluksasi, dan dislokasi
4. Cedera sendi yang sering dijumapai adalah trauma pada ligamen , subluksasi,
dan dislokasi.
5. Subluksasi adalah suatu keadaan dimana sendi mulai mengalami dislokasi.
Subluksasi dapat terjadi karena adanya suatu trauma atau cedera akut.
6. Dislokasi adalah suatu keadaan diamana tidak ada lagi hubungan dari kedua
permukaan sendi
DAFTAR PUSTAKA
18
2. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC:
Jakarta. 15.
3. C. Scanlon, v., 2007, Essentials of anatomy and physiology, Davis company:
Philadelvia. 128-129.
4. Faller, A., M. Schuenke. 2004. The Locomotor System (Musculosckeletal
System. The Human Body An Introduction to Structure And Fucntion. Thieme;
New York. 120-122.
5. Salter , Robert Bruce. 1999. Textbook of disorders and injuries of the
musculoskeletal system. USA: Lipinccot willianm and wilkin. 490
6. Cluett, J., 2008. Dislocation And Subluxation.
http://orthopedics.about.com/od/dislocations/g/subluxation.htm [Diakses 25
Mei 2011].
7. Cluett., J., 2008. Sprain Ligamen.
http://orthopedics.about.com/cs/sprainsstrains/a/sprain.htm [Diakses 25 Mei
2011].
8. Corwin, E J., 2009. Sistem Muskuloskeletal. Buku Saku Patofisiologi. EGC:
Jakarta. 332.
9. Wilson, S R., 2009. Shoulder Dislocation In Emergency Medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/823843 [Diakses 30 Mei 2011].
10. Halstead, M A., 2008. Elbow Dislocation. http://emedicine.medscape.com/
[Diakses 30 Mei 2011].
11. De Jong, Wim. 2005. Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
EGC: Jakarta. 865; 876-878.
19