Anda di halaman 1dari 11

BAB 3

PATOFISIOLOGI SINDROM USUS PENDEK

3.1. Definisi dan Etiologi Sindrom Usus Pendek

Sindrom usus pendek adalah berkurangnya panjang usus sehingga menyebabkan


intestinal failure. Intestinal failure adalah kurangnya kemampuan usus dalam
mengabsorpsi nutrisi, air, dan elektrolit, sehingga tidak mampu mendapatkan
hidrasi dan nutrisi yang cukup untuk menjaga kesehatan, pertumbuhan dan
perkembangan. Sindrom usus pendek umumnya disebabkan oleh reseksi ekstensif
usus karena penyakit pada usus (Tabel 3.1.). Usus pendek kongenital juga dapat
terjadi, walaupun jarang ditemukan (1).

Tabel 3.1. Penyebab umum sindrom usus pendek

Dewasa Anak
Penyakit Crohn Necrotizing Enterocolitis
Kanker dan kerusakan akibat terapi Atresia usus
radiasi Gastroskisis atau omfalokel
Iskemia mesenterik atau penyakit Ileus mekonium atau peritonitis
vaskular Volvulus atau malrotasi
Trauma Penyakit Hirschsprung
Obstruksi usus berulang Usus halus pendek kongenital

Sumber: daftar referensi no (2-4)

Tingkat keparahan malabsorpsi pada sindrom usus pendek ditentukan oleh panjang
usus dan jenis usus yang tersisa, ada atau tidak-nya katup ileosekal, serta tingkat
adaptasi dari sisa usus. Sindrom usus pendek pada dewasa umumnya terjadi bila
sisa usus halus yang fungsional kurang dari 200 cm atau 50% dari panjang usus
setelah reseksi dilakukan, tanpa kolon yang fungsional (atau sisa kolon yang
fungsional kurang dari 60 cm (2, 5).

1 Universitas Indonesia
2

3.2. Patofisiologi dan Gejala Sindrom Usus Pendek

Gejala pada sindrom usus pendek yang terjadi setelah reseksi usus adalah akibat
dari berkurangnya luas permukaan absorpsi usus, berkurangya lokasi absorpsi yang
spesifik, berkurangnya produksi hormon usus, dan hilangnya katup ileosekal (6).

Absorpsi karbohidrat berkurang hingga 75% dari asupan. Karbohidrat yang tidak
dapat dicerna berperan paling besar dalam menambah muatan osmotik hingga
menyebabkan diare. Absorpsi protein hanya sedikit terganggu, berkurang hingga
81% dari asupan. Sedangkan absorpsi lemak paling terganggu, berkurang hingga
50% dari asupan (7).

3 jenis reseksi usus yang umumnya dilakukan pada pasien sindrom usus pendek
adalah anatomosis jejunoileal, anastomosis jejunokolik, dan jejunostomi (Gambar
3.1.) (3).

Gambar 3.1. Jenis reseksi usus: (A) anastomosis jejunoileal, (B) anastomosis
jejunokolik, (C) jejunostomi.

Sumber: daftar referensi no (3)

Pada anastomosis jejunoileal, sebagian jejunum dan terkadang sebagian dari ileum
direseksi dan bagian yang tersisa disambungkan kembali. Pada pasien ini terdapat
ileum terminal dan kolon yang masih terhubung dengan usus halus. Pada
anastomosis jejunokolik, jejunum dihubungkan dengan kolon setelah dilakukan
reseksi ileum dan terkadang sebagian kolon. Pasien dengan end jejunostomy
memiliki stoma di abdomen yang dihubungkan dengan jejunum yang tersisa. Ileum,
kolon, dan sebagian dari jejunum dipotong. Karena patofisiologi yang terjadi akibat
perubahan anatomi, terdapat perbedaan tingkat keparahan gejala sindrom usus
pendek pada masing-masing jenis reseksi tersebut (Tabel 3.2.) (3).

Universitas Indonesia
3

Tabel 3.2. Akibat yang ditimbulkan sesuai dengan jenis reseksi usus

Akibat Anastomosis Anastomosis Jejunostomi


jejunoileal jejunokolik
Kemungkinan Rendah, namun Bervariasi**, Bervariasi**, lebih
ketergantungan meningkat bila sisa umumnya lebih tinggi bila sisa
PN* jejunum <35 cm tinggi bila sisa jejunum <115 cm
jejunum <60-65 cm
Manifestasi klinis Hipersekresi asam Diare meningkat; Output stoma
lambung sementara defisiensi vitamin meningkat;
dan gangguan B12; gangguan malabsorpsi nutrisi
digesti resorpsi asam dan cairan yang
empedu; defisiensi signifikan;
vitamin larut defisiensi
lemak; malabsorpsi magnesium;
lemak dan defisiensi vitamin
steatorea; diare B12; gangguan
koleretik resorpsi asam
empedu
Prognosis Baik Cukup baik Cukup baik
*) PN= Parenteral Nutrition, **)Tergantung panjang jejunum yang tersisa

Sumber: daftar referensi no (3)

3.2.1. Anastomosis Jejunoileal

Pada umumnya, reseksi usus bagian proksimal lebih mudah ditangani daripada
reseksi bagian distal karena adaptasi struktural dan fungsional pada ileum lebih baik
dibandingkan duodenum atau jejunum. Pasien dengan anastomosis jejunoileal
jarang menunjukkan ketidakseimbangan nutrisi atau elektrolit yang parah karena
sisa ileum dan kolon yang masih utuh dapat mengkompensasi bagian usus yang
hilang. Selain itu, setelah dilakukan reseksi, kolon mampu menjadi organ digestif
vital yang dapat menyumbangkan energi tambahan hingga 100 kkal/hari melalui
produksi SCFA (Short Chain Fatty Acid) oleh mikroba usus di kolon dari
karbohidrat yang tidak diabsorpsi (1, 3).

Universitas Indonesia
4

Reseksi jejunum dapat menyebabkan berkurangnya hormon regulatori yang


diproduksi sel jejunum. Misalnya, hipersekresi asam lambung sering muncul pada
fase akut post-reseksi karena hilangnya mekanisme feedback negatif oleh CCK dan
sekretin yang berfungsi meregulasi gastrin dan sekresi asam lambung. Akibatnya
terjadi denaturasi enzim pankreas dan gangguan digestif karena lingkungan usus
kecil bagian proksimal yang semakin asam. Hipersekresi asam lambung biasanya
hanya terjadi sementara dan dapat diatasi dengan pemberian proton pump inhibitor
(PPI) atau antagonis H2 (3, 7).

3.2.2. Anastomosis Jejunokolik

Reseksi ileum biasanya mengakibatkan gejala yang lebih parah dibandingkan


reseksi jejunum karena kapasitas adaptasi jejunum yang lebih sedikit dibandingkan
ileum. Semakin ekstensif reseksi ileum, gejala akan semakin parah. Kemungkinan
terjadi diare juga lebih tinggi pada reseksi ileum karena reabsorpsi air oleh usus
halus bagian distal yang menurun menyebabkan beban lebih pada kapasitas
absorpsi air yang dimiliki kolon. Apalagi bila sebagian kolon juga direseksi, diare
akan semakin parah (3, 7).

Reseksi ileum juga menyebabkan malabsorpsi vitamin B12 dan asam empedu
karena hilangnya reseptor spesifik B12 dan transporter asam empedu yang terletak
di ileum bagian distal. Gangguan reabsorpsi asam empedu akan mengakibatkan
malabsorpsi lemak, defisiensi vitamin larut lemak, steatorea, dan diare koleretik (1,
3).

Apabila dilakukan reseksi katup ileosekal akan terjadi translokasi bakteri kolon ke
usus halus, juga akan mempercepat waktu transit di usus (1, 2).

Konsentrasi plasma dari mediator hormon pencernaan juga terpengaruh. Selama


kolon masih terisa, terjadi peningkatan kadar PYY, GLP-1, dan GLP-2 yang
ketiganya disintesis oleh sel-L di ileum bagian distal dan kolon. GLP-1 dan PYY
menghambat pengosongan lambung, sekresi asam lambung, dan motilitas usus
halus. Sehingga pada reseksi ileum dengan kolon yang tersisa, pengosongan
lambung dan waktu transit di usus nampak normal. Hipersekresi asam lambung
juga lebih ringan dibandingkan pada reseksi jejunum. Mediator lainnya yaitu GLP-

Universitas Indonesia
5

2, merupakan hormon intestinotropik yang meningkatkan tinggi vili usus dan


proliferasi sel kripta, sehingga memiliki peran dalam proses adaptasi usus (1, 3).

3.2.3. Jejunostomi

Ditemukan masalah malabsorpsi yang lebih parah pada end jejunostomy, karena
tidak adanya ileum dan kolon. Pasien dengan sisa usus <100 cm akan menjadi “net
secretors”, artinya output cairan dan garam dari stoma melebihi asupan karena
sekresi lambung dan usus tidak direabsorpsi. Pasien ini umumnya memerlukan PN
jangka panjang (3).

Defisiensi magnesium sering ditemukan pada end jejunostomy, karena absorpsi-nya


terjadi di ileum distal dan kolon. Defisiensi nutrisi yang diabsorpsi pada lokasi
spesifik seperti vitamin B12 dan asam empedu juga terjadi (3).

Berbeda dengan kondisi pada anastomosis jejunokolik, pada end jejunostomy


terjadi peningkatan kecepatan pengosongan lambung dan waktu transit. Hal
tersebut terjadi karena tidak adanya sekresi PYY oleh sel-L yang terletak di ileum
distal dan kolon (3).

3.2.4 Gejala Lainnya

Komplikasi yang terjadi akibat malabsorpsi nutrisi dan cairan pada pasien sindrom
usus pendek dapat terjadi di luar saluran cerna. Malnutrisi yang terjadi akibat
malabsorpsi dapat menyebabkan gangguan neurokognitif, muskuloskeletal,
kardiovaskular, dan imunologi, yang akan mempengaruhi kehidupan pasien (3).

Batu kalsium oksalat di ginjal terbentuk pada hampir ¼ dari pasien dengan
anastomosis jejunokolik dan sisa usus < 200 cm. Pada keadaan normal, kalsium
akan berikatan dengan oksalat di usus bagian distal dan diekskresi di feses.
Defisiensi asam empedu yang terjadi, menyebabkan gangguan absorpsi asam lemak
yang akan berikatan dengan kalsium intraluminal. Kemudian, oksalat yang
berlebih akan diabsorpsi oleh mukosa kolon dan diekskresi oleh ginjal, sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya batu ginjal (3).

Batu empedu terjadi pada 25-45% pasien dengan sindrom usus pendek, yang
disebabkan penumpukan kolesterol karena kurangnya sekresi asam empedu.

Universitas Indonesia
6

Kemungkinan terjadinya batu empedu lebih besar bila sisa usus lebih pendek,
dengan etiologi penyakit Crohn, tidak ada katup ileosekal, dan ketergantungan PN
jangka panjang. Dapat pula terjadi kolesistitis pada 10% pasien (3).

3.3. Adaptasi Usus

Adaptasi usus adalah proses kompensasi alami yang terjadi setelah dilakukan
reseksi usus ekstensif. Proses adaptasi dimulai 24-48 jam setelah reseksi dan terjadi
perubahan struktural serta fungsional usus (Tabel 3.3.) untuk meningkatkan
absorpsi nutrisi dan cairan oleh usus yang tersisa. Tingkat adaptasi usus tergantung
dari panjang dan jenis usus yang tersisa, stimulasi lumen dengan nutrisi enteral, dan
faktor intestinotropik. Tergantung dari tingkat adaptasinya, pasien dapat lepas dari
ketergantungan PN dan kembali ke nutrisi enteral atau membutuhkan PN seumur
hidupnya (5, 7).

Tabel 3.3. Perubahan struktural dan fungsional usus setelah reseksi

Perubahan struktural Perubahan fungsional


Hiperplasia epitel Peningkatan transporter/sel
Angiogenesis Peningkatan laju diferensiasi sel kripta
Dilatasi usus Waktu transit melambat
Penambahan panjang usus Peningkatan absorpsi nutrisi dan cairan
Sumber: daftar referensi no (5)

Proses adaptasi usus setelah reseksi ekstensif terdiri dari 3 fase yaitu fase akut,
fase adaptatif dan fase maintenance (Tabel 3.4.) (2, 6, 7).

Tabel 3.4. Fase adaptasi usus setelah reseksi

Fase akut Fase adaptatif Fase maintenance


Dimulai segera setelah Dimulai dalam 48 jam Kapasitas absorpsi usus
reseksi dilakukan dan setelah reseksi dilakukan mencapai potensi
bertahan hingga 1-3 bulan dan bertahan hingga 1-2 maksimal
tahun

Universitas Indonesia
7

Ditandai dengan absorpsi Fase paling aktif, 90-95%


nutrisi dan cairan yang proses adaptasi usus terjadi
buruk; dismotilitas; diare; pada fase ini
hipersekresi asam lambung
Sumber: daftar referensi no (2, 6, 7)

3.3.1. Perubahan Struktural

Epitel mukosa dari usus halus mengalami self-renewal terus menerus melalui
proliferasi sel kripta, migrasi, dan diferensiasi menjadi sel mukosa terspesialisasi
(enterosit, sel enteroendokrin, sel goblet, atau sel Paneth). Di akhir siklus hidupnya,
sel epitel yang telah berdiferensiasi akan mengalami apoptosis (5).

Setelah dilakukan reseksi, laju proliferasi sel kripta pada usus halus akan
meningkat. Sehingga, tinggi vili usus dan kedalaman kripta meningkat untuk
meningkatkan luas permukaan absorpsi. Peningkatan laju apoptosis yang juga
terjadi bukan merupakan mekanisme adaptasi usus, melainkan sebagai konsekuensi
dari laju proliferasi dan jumlah sel usus yang meningkat. Perubahan tersebut lebih
nampak terlihat pada ileum dibandingkan jejunum. Hal tersebut karena pada
keadaan normal, usus bagian distal lebih sedikit terpapar nutrisi yang merupakan
stimulus poten untuk pertumbuhan usus (5).

Reseksi usus juga dikaitkan dengan peningkatan angiogenesis lokal sehingga


meningkatkan oksigenasi jaringan dan aliran darah yang akan mendukung
pertumbuhan mukosa serta fungsi absorpsi. Perubahan morfologis secara nyata juga
terjadi, yaitu pemanjangan dan dilatasi usus halus setelah reseksi (5).

3.3.2. Perubahan Fungsional

Selain perubahan struktural, juga terjadi perubahan fungsional untuk meningkatkan


kapasitas absorpsi usus yang tersisa. Ditemukan peningkatan protein transporter
dan exchangers yang berperan dalam absorpsi nutrisi, elektrolit dan air; termasuk
sodium-glucose cotransporter (SGLT-1), Na+/H+ exchangers (NHE), Na+/K+
adenosine triphosphatases, dan Cl-/HCO3- exchangers (DRA). Ekspresi Pep-T1,
transporter oligosakarida, ditemukan meningkat di kolon namun tidak di usus halus

Universitas Indonesia
8

(Gambar 3.2.). Perubahan tersebut akan meningkatkan retensi natrium, glukosa,


dan peptida (1, 5).

Keterangan: SGLT-1= Sodium-glucose cotranporter; Pep-T1= transporter di- dan trisakarida; NHE-
3= Sodium/hidrogen exchangers; DRA= Chloride/bicarbonate exchangers

Gambar 3.2. Adaptasi yang terjadi pada mekanisme transpor selular epitel

Sumber: daftar referensi no (1)

Berbagai hormon enterik dan growth factors juga memegang peranan dalam proses
adaptasi usus setelah reseksi (Tabel 3.5.). Produksi faktor-faktor intestinotropik
tersebut distimulasi oleh asupan enteral, yang akan memacu perubahan struktural
pada adaptasi usus (1, 5, 7).

Motilitas lambung juga akan dipengaruhi oleh perubahan hormon yang terjadi. Pada
reseksi ileum atau jejunostomi, pengosongan lambung dan waktu transit di usus
akan meningkat. Peningkatan sekresi PYY, GLP-1, GLP-2, dan neurotensin akan
memperlambat pengosongan lambung dan waktu transit di usus (1, 5, 7).

Universitas Indonesia
9

Tabel 3.5. Hormon dan growth factors yang berperan dalam adaptasi usus setelah
reseksi

Hormon Sumber
Enteroglukagon Sel enteroendokrin
Cholecystokinin (CCK) Sel enteroendokrin duodenum
Gastrin Sel-G lambung
Neurotensin Neuron sel usus
Leptin Adiposit
Growth hormone Kelenjar pituitari anterior
Insulin Sel beta pankreas
Insulin-like growth factors (IGF)-1 dan -2 Hepar dan usus halus
Epidermal growth factor (EGF) Kelenjar Brunner dan submandibular
Heparin-binding EGF (Hb-EGF) Sel otot polos usus
Keratinocyte growth factor (Fibroblast Sel mesenkim
growth factor VII)
Peptida YY (PYY) Sel-L ileum dan kolon
Glucagon-like peptida (GLP)-1 dan -2 Sel-L ileum dan kolon
Sumber: daftar referensi no (1, 5, 7)

Perubahan yang terjadi pada proses adaptasi usus (Gambar 3.3.) tersebut terlihat
pada bayi maupun dewasa, terutama jelas terlihat pada bayi prematur (1). Pada
orang dewasa, adaptasi maksimal diperkirakan tercapai dalam 2 tahun setelah
reseksi usus dilakukan. Pada bayi waktu tercapainya adaptasi maksimal mungkin
akan berbeda, karena masih terjadi pertumbuhan usus seiring bertambahnya usia
(5).

Pemahaman mengenai perubahan yang terjadi pada adaptasi usus setelah dilakukan
reseksi, diharapkan dapat membantu mengoptimalkan terapi pada pasien dengan
sindrom usus pendek.

Universitas Indonesia
10

Keterangan: CHO= karbohidrat; EGF= epidermal growth factor; GLP= glucagon-like peptide; IGF=
insulin-like growth factor; TGF= transforming growth factor

Gambar 3.3. Respons adaptasi di saluran cerna setelah reseksi usus

Sumber: daftar referensi no (1)

Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI

1. Navarro F, Gleason WA, Rhoads JM, Quiros-Tejeira RE. Short Bowel


Syndrome: Epidemiology, Pathophysiology, and Adaptation. NeoReviews.
2009;10(7).
2. Coram. Short Bowel Syndrome. Healthline. 2017;21.
3. Tappenden KA. Pathophysiology of Short Bowel Syndrome:
Considerations of Resected and Residual Anatomy. JPEN J Parenter Enteral Nutr.
2014;38(suppl 1):14S-22S.
4. Sulkowski JP, Minneci PC. Management of Short Bowel Syndrome.
Pathophysiology. 2014;21:111-8.
5. Tappenden KA. Intestinal Adaptation Following Resection. JPEN J
Parenter Enteral Nutr. 2014;38(suppl 1):23S-31S.
6. Eca R, Barbosa E. Short Bowel Syndrome: Treatment Options. J
Coloproctol (Rio J). 2016;36(4):262-72.
7. Rintala RJ, Pakarinen M. Current Concepts of Intestinal Failure.
Switzerland: Springer; 2016.

11 Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai