Pat Sbs
Pat Sbs
Dewasa Anak
Penyakit Crohn Necrotizing Enterocolitis
Kanker dan kerusakan akibat terapi Atresia usus
radiasi Gastroskisis atau omfalokel
Iskemia mesenterik atau penyakit Ileus mekonium atau peritonitis
vaskular Volvulus atau malrotasi
Trauma Penyakit Hirschsprung
Obstruksi usus berulang Usus halus pendek kongenital
Tingkat keparahan malabsorpsi pada sindrom usus pendek ditentukan oleh panjang
usus dan jenis usus yang tersisa, ada atau tidak-nya katup ileosekal, serta tingkat
adaptasi dari sisa usus. Sindrom usus pendek pada dewasa umumnya terjadi bila
sisa usus halus yang fungsional kurang dari 200 cm atau 50% dari panjang usus
setelah reseksi dilakukan, tanpa kolon yang fungsional (atau sisa kolon yang
fungsional kurang dari 60 cm (2, 5).
1 Universitas Indonesia
2
Gejala pada sindrom usus pendek yang terjadi setelah reseksi usus adalah akibat
dari berkurangnya luas permukaan absorpsi usus, berkurangya lokasi absorpsi yang
spesifik, berkurangnya produksi hormon usus, dan hilangnya katup ileosekal (6).
Absorpsi karbohidrat berkurang hingga 75% dari asupan. Karbohidrat yang tidak
dapat dicerna berperan paling besar dalam menambah muatan osmotik hingga
menyebabkan diare. Absorpsi protein hanya sedikit terganggu, berkurang hingga
81% dari asupan. Sedangkan absorpsi lemak paling terganggu, berkurang hingga
50% dari asupan (7).
3 jenis reseksi usus yang umumnya dilakukan pada pasien sindrom usus pendek
adalah anatomosis jejunoileal, anastomosis jejunokolik, dan jejunostomi (Gambar
3.1.) (3).
Gambar 3.1. Jenis reseksi usus: (A) anastomosis jejunoileal, (B) anastomosis
jejunokolik, (C) jejunostomi.
Pada anastomosis jejunoileal, sebagian jejunum dan terkadang sebagian dari ileum
direseksi dan bagian yang tersisa disambungkan kembali. Pada pasien ini terdapat
ileum terminal dan kolon yang masih terhubung dengan usus halus. Pada
anastomosis jejunokolik, jejunum dihubungkan dengan kolon setelah dilakukan
reseksi ileum dan terkadang sebagian kolon. Pasien dengan end jejunostomy
memiliki stoma di abdomen yang dihubungkan dengan jejunum yang tersisa. Ileum,
kolon, dan sebagian dari jejunum dipotong. Karena patofisiologi yang terjadi akibat
perubahan anatomi, terdapat perbedaan tingkat keparahan gejala sindrom usus
pendek pada masing-masing jenis reseksi tersebut (Tabel 3.2.) (3).
Universitas Indonesia
3
Tabel 3.2. Akibat yang ditimbulkan sesuai dengan jenis reseksi usus
Pada umumnya, reseksi usus bagian proksimal lebih mudah ditangani daripada
reseksi bagian distal karena adaptasi struktural dan fungsional pada ileum lebih baik
dibandingkan duodenum atau jejunum. Pasien dengan anastomosis jejunoileal
jarang menunjukkan ketidakseimbangan nutrisi atau elektrolit yang parah karena
sisa ileum dan kolon yang masih utuh dapat mengkompensasi bagian usus yang
hilang. Selain itu, setelah dilakukan reseksi, kolon mampu menjadi organ digestif
vital yang dapat menyumbangkan energi tambahan hingga 100 kkal/hari melalui
produksi SCFA (Short Chain Fatty Acid) oleh mikroba usus di kolon dari
karbohidrat yang tidak diabsorpsi (1, 3).
Universitas Indonesia
4
Reseksi ileum juga menyebabkan malabsorpsi vitamin B12 dan asam empedu
karena hilangnya reseptor spesifik B12 dan transporter asam empedu yang terletak
di ileum bagian distal. Gangguan reabsorpsi asam empedu akan mengakibatkan
malabsorpsi lemak, defisiensi vitamin larut lemak, steatorea, dan diare koleretik (1,
3).
Apabila dilakukan reseksi katup ileosekal akan terjadi translokasi bakteri kolon ke
usus halus, juga akan mempercepat waktu transit di usus (1, 2).
Universitas Indonesia
5
3.2.3. Jejunostomi
Ditemukan masalah malabsorpsi yang lebih parah pada end jejunostomy, karena
tidak adanya ileum dan kolon. Pasien dengan sisa usus <100 cm akan menjadi “net
secretors”, artinya output cairan dan garam dari stoma melebihi asupan karena
sekresi lambung dan usus tidak direabsorpsi. Pasien ini umumnya memerlukan PN
jangka panjang (3).
Komplikasi yang terjadi akibat malabsorpsi nutrisi dan cairan pada pasien sindrom
usus pendek dapat terjadi di luar saluran cerna. Malnutrisi yang terjadi akibat
malabsorpsi dapat menyebabkan gangguan neurokognitif, muskuloskeletal,
kardiovaskular, dan imunologi, yang akan mempengaruhi kehidupan pasien (3).
Batu kalsium oksalat di ginjal terbentuk pada hampir ¼ dari pasien dengan
anastomosis jejunokolik dan sisa usus < 200 cm. Pada keadaan normal, kalsium
akan berikatan dengan oksalat di usus bagian distal dan diekskresi di feses.
Defisiensi asam empedu yang terjadi, menyebabkan gangguan absorpsi asam lemak
yang akan berikatan dengan kalsium intraluminal. Kemudian, oksalat yang
berlebih akan diabsorpsi oleh mukosa kolon dan diekskresi oleh ginjal, sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya batu ginjal (3).
Batu empedu terjadi pada 25-45% pasien dengan sindrom usus pendek, yang
disebabkan penumpukan kolesterol karena kurangnya sekresi asam empedu.
Universitas Indonesia
6
Kemungkinan terjadinya batu empedu lebih besar bila sisa usus lebih pendek,
dengan etiologi penyakit Crohn, tidak ada katup ileosekal, dan ketergantungan PN
jangka panjang. Dapat pula terjadi kolesistitis pada 10% pasien (3).
Adaptasi usus adalah proses kompensasi alami yang terjadi setelah dilakukan
reseksi usus ekstensif. Proses adaptasi dimulai 24-48 jam setelah reseksi dan terjadi
perubahan struktural serta fungsional usus (Tabel 3.3.) untuk meningkatkan
absorpsi nutrisi dan cairan oleh usus yang tersisa. Tingkat adaptasi usus tergantung
dari panjang dan jenis usus yang tersisa, stimulasi lumen dengan nutrisi enteral, dan
faktor intestinotropik. Tergantung dari tingkat adaptasinya, pasien dapat lepas dari
ketergantungan PN dan kembali ke nutrisi enteral atau membutuhkan PN seumur
hidupnya (5, 7).
Proses adaptasi usus setelah reseksi ekstensif terdiri dari 3 fase yaitu fase akut,
fase adaptatif dan fase maintenance (Tabel 3.4.) (2, 6, 7).
Universitas Indonesia
7
Epitel mukosa dari usus halus mengalami self-renewal terus menerus melalui
proliferasi sel kripta, migrasi, dan diferensiasi menjadi sel mukosa terspesialisasi
(enterosit, sel enteroendokrin, sel goblet, atau sel Paneth). Di akhir siklus hidupnya,
sel epitel yang telah berdiferensiasi akan mengalami apoptosis (5).
Setelah dilakukan reseksi, laju proliferasi sel kripta pada usus halus akan
meningkat. Sehingga, tinggi vili usus dan kedalaman kripta meningkat untuk
meningkatkan luas permukaan absorpsi. Peningkatan laju apoptosis yang juga
terjadi bukan merupakan mekanisme adaptasi usus, melainkan sebagai konsekuensi
dari laju proliferasi dan jumlah sel usus yang meningkat. Perubahan tersebut lebih
nampak terlihat pada ileum dibandingkan jejunum. Hal tersebut karena pada
keadaan normal, usus bagian distal lebih sedikit terpapar nutrisi yang merupakan
stimulus poten untuk pertumbuhan usus (5).
Universitas Indonesia
8
Keterangan: SGLT-1= Sodium-glucose cotranporter; Pep-T1= transporter di- dan trisakarida; NHE-
3= Sodium/hidrogen exchangers; DRA= Chloride/bicarbonate exchangers
Gambar 3.2. Adaptasi yang terjadi pada mekanisme transpor selular epitel
Berbagai hormon enterik dan growth factors juga memegang peranan dalam proses
adaptasi usus setelah reseksi (Tabel 3.5.). Produksi faktor-faktor intestinotropik
tersebut distimulasi oleh asupan enteral, yang akan memacu perubahan struktural
pada adaptasi usus (1, 5, 7).
Motilitas lambung juga akan dipengaruhi oleh perubahan hormon yang terjadi. Pada
reseksi ileum atau jejunostomi, pengosongan lambung dan waktu transit di usus
akan meningkat. Peningkatan sekresi PYY, GLP-1, GLP-2, dan neurotensin akan
memperlambat pengosongan lambung dan waktu transit di usus (1, 5, 7).
Universitas Indonesia
9
Tabel 3.5. Hormon dan growth factors yang berperan dalam adaptasi usus setelah
reseksi
Hormon Sumber
Enteroglukagon Sel enteroendokrin
Cholecystokinin (CCK) Sel enteroendokrin duodenum
Gastrin Sel-G lambung
Neurotensin Neuron sel usus
Leptin Adiposit
Growth hormone Kelenjar pituitari anterior
Insulin Sel beta pankreas
Insulin-like growth factors (IGF)-1 dan -2 Hepar dan usus halus
Epidermal growth factor (EGF) Kelenjar Brunner dan submandibular
Heparin-binding EGF (Hb-EGF) Sel otot polos usus
Keratinocyte growth factor (Fibroblast Sel mesenkim
growth factor VII)
Peptida YY (PYY) Sel-L ileum dan kolon
Glucagon-like peptida (GLP)-1 dan -2 Sel-L ileum dan kolon
Sumber: daftar referensi no (1, 5, 7)
Perubahan yang terjadi pada proses adaptasi usus (Gambar 3.3.) tersebut terlihat
pada bayi maupun dewasa, terutama jelas terlihat pada bayi prematur (1). Pada
orang dewasa, adaptasi maksimal diperkirakan tercapai dalam 2 tahun setelah
reseksi usus dilakukan. Pada bayi waktu tercapainya adaptasi maksimal mungkin
akan berbeda, karena masih terjadi pertumbuhan usus seiring bertambahnya usia
(5).
Pemahaman mengenai perubahan yang terjadi pada adaptasi usus setelah dilakukan
reseksi, diharapkan dapat membantu mengoptimalkan terapi pada pasien dengan
sindrom usus pendek.
Universitas Indonesia
10
Keterangan: CHO= karbohidrat; EGF= epidermal growth factor; GLP= glucagon-like peptide; IGF=
insulin-like growth factor; TGF= transforming growth factor
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
11 Universitas Indonesia