Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS KECIL

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Pembimbing:
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh :

Rizty Mayang SHF 1620221196

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal Februari 2018

Disusun oleh:

Rizty Mayang SHF 1620221196

Purwokerto, Februari 2018


Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati, Sp.P

2
I. PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
menurunnya usia harapan hidup dan semakin tingginya paparan faktor risiko,
seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin
banyaknya jumlah perokok, khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja
(Mangunnegoro, 2003).
Data di dunia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa PPOK mengenai 210 jiwa,
dan penyakit ini merupakan penyebab kematian ke 5 pada tahun 2002 dan akan
meningkat menjadi ke 4 pada tahun 2030 (WHO, 2016). Diperkirakan jumlah
penderita PPOK di Cina tahun 2006 mencapai 38,1 juta penderita, di Jepang
sebanyak 5 juta penderita dan Vietnam sebanyak 2 juta penderita. Sedangkan di
Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta penderita PPOK. Data yang
didapatdi BBKPM (Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta pada tahun
2012 menunjukan terdapat 439 pasien PPOK, pada tahun 2013 sebanyak 434 orang,
dan pada tahun 2014 sebanyak 224 orang.
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di5
rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, JawaTimur,
Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati
urutan pertama penyumbang angka kesakaitan (35%),diikuti asma bronkial
bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%)(Depkes RI, 2004).
Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko
terhadap penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) maka diduga jumlah penyakit
tersebut juga akan meningkat. Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia pada tahun
1990 meningkat dari 60 tahun menjadi 68 tahun pada tahun 2006, dan apabila
PPOK tidak dapat ditanggulangi dengan baik, maka UHH di Indonesia akan
menjadi menurun karena perjalanan PPOK bersifat kronik dan progresif (PDPI,
2011).

1
II. PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Usia : 42 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pekerja proyek
Alamat : Karang Cangkring
Tanggal kontrol : 20 Februari 2018
Tanggal Periksa : 20 Februari 2018
No. CM : 02029222

II. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Sesak nafas
2. Keluhan tambahan : Batuk, pusing
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien Tn. R datang ke poli paru RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
pada hari Selasa, 20 Februari 2018 untuk kontrol rutin. Pasien saat ini
mengeluh sesak napas. Sesak napas dirasakan hampir setiap hari selama 4
bulan terakhir dan dirasakan mulai berkurang sehingga tidak mengganggu
aktivitasnya sehari-hari. Sesak nafas dirasakan terus menerus dan memberat
bila pasien terlalu capek bekerja dan jongkok. Ketika pasien beristirahat
atau dalam posisi duduk sesak terasa berkurang. Tidak ada bunyi nafas ngik
ketika pasien merasakan sesak. Pasien mengaku pernah di rawat di RS 1 kali
karena sesak napas ini.
Pasien juga pernah mengeluhkan batuk berdahak dalam waktu
beberapa minggu. Pasien batuk dengan frekuensi jarang, pada saat batuk,
dahak pasien berwarna kehijauan, pasien biasanya batuk ketika malam hari
saat udara dingin. Pasien mengaku pusing berputar beberapa hari terakhir.
Pusing tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Keluhan lain seperti

2
keringat malam, nyeri dada ataupun dada berdebar, gangguan kencing,
gangguan buang air besar, demam, mual, dan muntah disangkal. Pasien
menyangkal pernah menjalani pengobatan dalam waktu yang lama ( OAT
disangkal ).
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat hipertensi : diakui
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat operasi : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat penyakit paru : disangkal
h. Riwayat konsumsi OAT : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit paru : disangkal
g. Riwayat konsumsi OAT : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang tidak terlalu padat penduduk. Rumah
satu dengan yang lain cukup berdekatan. Hubungan antara pasien
dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Anggota keluarga pasien lain
yang tinggal satu rumah dan tetangga sekitar pasien tidak ada keluhan
seperti pasien.
b. Home
Pasien tinggal bersama istri, dan tiga orang anak. Rumah tersebut
berdinding tembok, berlantai ubin dan memiliki langit-langit dan

3
beratap genting. Rumah memiliki jendela dan ventilasi yang memadai
di bagian depan, sedangkan belakang rumah sangat pengap.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang kepala keluarga, pasien bekerja sebagai
pekerja proyek.
d. Personal Habbit
Pasien mengaku makan sehari 3 kali sehari dan tidak pernah berolah
raga. Pasien mempunyai riwayat merokok 1 bungkus rokok untuk 3 hari,
kira-kira 4 batang perhari. Pasien mulai merokok sejak mulai bekerja
menjadi pekerja proyek dan telah merokok selama 10 tahun. Pasien mulai
berhenti merokok sejak setahun yang lalu. Indeks Brinkman = 4 x 10 = 40
= perokok ringan. Selain itu pasien juga sering terpajan asap rokok ketika
menjadi pekerja proyek, karena lingkungan pasien yang selalu merokok
meskipun pasien sedang tidak merokok.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : sakit ringan
2. Kesadaran : E4M6V5
3. Vital sign
TD : 140/98 mmHg
N : 81x / menit
RR : 25x / menit
S : 36,5oC
SpO2 : 95
4. Berat badan : 67 kg
5. Tinggi badan : 172 cm
6. IMT : 22.6 (Normoweight)
Status Generalis
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)
Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
terdistribusi merata

4
Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm
Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil
lidah (-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5 ±
2 cm
Pulmo
Anterior
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-), barrel chest (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (+/+),
wheezing (-/-)
Posterior
Inspeksi : Dinding punggung simetris, retraksi interkostal (-),
ketinggalan gerak (-), jejas (-), barrel chest (-), kelainan
vertebre (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (+/+),
wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V linea midclavicula sinistra,
kuat angkat (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal
(-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra dan
kuat angkat (-)

5
Perkusi : Batas ataskanan : SIC II LPSD
Batas ataskiri : SIC II LPSS
Batas bawahkanan : SIC IV LPSD
Batas bawahkiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
clubbing finger (-), sianosis (-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Ro Thorax (20 Desember 2017)

Gambar 1. Ro Thorax

6
V. DIAGNOSIS KERJA
PPOK

VI. PENATALAKSANAAN
A. Farmakologi :
a. Nebul combivent
b. Acetyl cysteine 200mg 3x1 kaps
c. Seretide diskus 500mcg 2x1 hisap (pagi dan sore)
d. Spiriva refill 18mcg 1x1 hisap (pagi)
e. Retaphyl SR 300mg 1x1

B. Non-Farmakologi :
a. Istirahat
b. Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi pencetus, terapi,
komplikasi penyakit, prognosis penyakit.

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

7
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau
gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2011).

B. Faktor Resiko
Penentuan langkah untuk pencegahan dan penatalaksanaan PPOK dimulai
dari identifikasi faktor risiko. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko PPOK
dalam banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan
hubungan antara faktor-faktor risiko sehingga memerlukan investigasi lebih
lanjut. Menurut GOLD (2006), faktor risiko terjadinya PPOK meliputi :
1. Asap Rokok
Kebiasaan merokok merupakan penyebab paling penting untuk
diidentifikasi, sebab asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai
penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa
penelitian dilaporkan bahwa asap rokok menyebabkan penurunan rerata
VEP1.
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap,
usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok
(Indeks Brinkman )
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun :

8
 Ringan : 0-200
 Sedang : 200-600
 Berat : > 600
2. Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK.
Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi
menjadi (WHO, 2016):
a. Polusi di dalam ruangan
 Asap rokok
 Asap kompor
b. Polusi di luar ruangan
 Gas buang kendaraan bermotor
 Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

3. Stres Oksidatif
Terdapat 2 jenis oksidan yaitu oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok.
Jika terdapat ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan,
misalnya peningkatan jumlah oksidan dan atau deplesi antioksidan akan
menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek
kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai
awal inflamasi paru.
4. Infeksi Saluran Nafas Bawah Berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan
secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada
anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala
respirasi pada saat dewasa.

9
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab
keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai
penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor
risiko pada PPOK.
5. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan
yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan
status sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini.
6. Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi
paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalisis
menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
7. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological
Study” didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko
terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok.
Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan
ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel.
8. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah
kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat
resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan
penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok
dengan kekurangan alfa-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu
dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.
Meskipun kekurangan alfa-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari
populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan

10
pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK. Gambaran diatas
menjelaskan bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap
timbulnya PPOK.

C. Patogenesis
Pajanan asap rokok dan partikel berbahaya lainnya yang terhirup
menyebabkan inflamasi di saluran napas dan paru. Respon inflamasi abnormal
ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema,
dan mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran
napas kecil (PDPI, 2011).
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.
Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien
ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan
proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan
patologis PPOK (GOLD, 2010).
Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang
melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator
inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan
parenkim paru-paru (GOLD, 2010).
Neutrofil meningkat dalam dahak perokok. Peningkatan neutrofil pada
PPOK sesuai dengan beratnya penyakit. Neutrofil ditemukan sedikit pada
jaringan. Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi lendir dan
pelepasan protease (GOLD, 2010).
Makrofag banyak ditemukan di lumen saluran napas, parenkim parudan
cairan bronchoalveolar lavage (BAL). Berasal dari monosit yangmengalami
diferensiasi di jaringan paru. Makrofag meningkatkanmediator inflamasi dan
protease pada pasien PPOK sebagai responterhadap asap rokok dan
menunjukkan fagositosis yang tidaksempurna (GOLD, 2010).
Limfosit T sel CD4+ dan CD8+ meningkat pada dinding saluran napas dan
parenkim paru. Peningkatan sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 yang mensekresikan
interferon dan mengekspresikan reseptor kemokin CXCR3, mungkin merupakan

11
sel sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang berkontribusi terhadap kerusakan
alveolar (GOLD, 2010).
Limfosit B meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel limfoid
sebagai respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran napas. Eosinofil
meningkat di dalam sputum dan dinding saluran napas selama eksaserbasi. Sel
epitel: mungkin diaktifkan oleh asap rokok sehingga menghasilkan mediator
inflamasi (GOLD, 2010).
Mediator inflamasi akan menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor
kemotaktik), menguatkan proses inflamasi (sitokin pro inflamasi), dan
mendorong perubahan struktural (faktor pertumbuhan). Faktor kemotaktik
terdiri dari lipid mediator misalnya, leukotriene B4 (LTB4) menarik neutrofil
dan limfosit T. Kemokin: misalnya, interleukin-8 (IL-8) menarik neutrofil dan
monosit (GOLD, 2010).
Sitokin proinflamasi: misalnya tumor necrosis factor- alfa (TNF-alfa),IL-1
ß, dan IL-6 memperkuat proses inflamasi dan berkontribusiterhadap efek
sistemik PPOK. Faktor pertumbuhan misalnya, TGF-ß dapat
menyebabkanfibrosis pada saluran napas perifer (GOLD, 2010).
Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam PPOK.
Biomarker stres oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8-isoprostan)
meningkat dalam dahak, kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada
pasien PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan
yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang dihirup lainnya yang
dilepaskan dari sel-sel inflamasi ( seperti makrofag dan neutrophil ) diaktifkan.
Mungkin juga ada penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK (GOLD,
2010).
Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di paru,
termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi sekresi
lendir, dan stimulasi eksudasi plasma meningkat. Banyak dari efek samping
dimediasi oleh peroxynitrite, yang dibentuk melalui interaksi antara anion
superoksida dan oksida nitrat. Oksida nitrat yang dihasilkan oleh sintase oksida
nitrat induktif, terdapat pada saluran udara perifer dan parenkim paru pasien
PPOK. Stres oksidatif juga dapat mencakup pengurangan dalam kegiatan histone

12
deacetylase pada jaringan paru dari pasien PPOK, yang dapat menyebabkan
peningkatan ekspresi gen inflamasi dan juga pengurangan tindakan anti-
inflamasi glukokortikosteroid (GOLD, 2010).
Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan antiprotease
pasien PPOK, yaitu protease yang memecah komponen jaringan ikat dan
antiproteases yang melindunginya. Beberapa protease, berasal dari sel inflamasi
dan sel epitel, yang meningkat pada pasien PPOK. Proteasemediated perusakan
elastin, komponen jaringan utama penghubung dalam parenkim paru-paru,
adalah faktor penting dari emphysema dankemungkinan tidak dapat diubah
(GOLD, 2010).

D. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi PPOK (GOLD, 2010)
Derajat Klinis Faal Paru

Derajat 0 Gejala kronik (batuk, dahak). Normal


Terpajan faktor risiko
Derajat I : Gejala batuk kronik dan VEP1 / KVP < 70 %.
PPOK produksi sputum ada tetapi tidak VEP1 > 80% prediksi
Ringan sering. Pada derajat ini pasien
sering tidak menyadari bahwa
fungsi paru mulai menurun

Derajat II : Gejala sesak mulai dirasakan VEP1 /KVP < 70 %


PPOK saat aktivitas dan kadang 50% < VEP1 < 80%
Sedang ditemukan gejala batuk dan Prediksi
produksi sputum. Pada derajat
ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya

Derajat III Gejala sesak lebih berat, VEP1 /KVP < 70 %


PPOK penurunan aktivitas, rasa lelah 30% < VEP1 < 50%
Berat dan serangan eksaserbasi Prediksi
semakin sering dan berdampak

13
pada kualitas hidup pasien

Derajat IV: Gejala di atas ditambah tanda- VEP1/ KVP < 70 %


PPOK tanda VEP1< 30% prediksi atau
Sangat gagal napas atau gagal VEP1 < 50% prediksi
Berat jantung kanan dan disertai gagal napas
ketergantungan oksigen. Pada kronik
derajat ini kulitas hidup pasien
memburuk dan jika eksaserbasi
dapat mengancam jiwa

E. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
a) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
b) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
e) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
 Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
 Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema tungkai

14
 Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing (pink puffer) atau
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer (blue bloater).
b) Palpasi
 Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c) Perkusi
 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d) Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Faal Paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
 Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%
 VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
b) Laboratorium
Darah rutin, Analisis Gas Darah
c) Rontgen Thoraks
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran :

15
1. Hiperinflasi
2. Hiperlusen
3. Ruang retrosternal melebar
4. Diafragma mendatar
5. Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
1. Normal
2. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

F. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis (PDPI, 2011)
a) Edukasi
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
 Pengetahuan dasar tentang PPOK
 Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
 Cara pencegahan perburukan penyakit
 Menghindari faktor pencetus
 Penyesuaian aktivitas
b) Pengurangan pajanan faktor risiko
Pengurangan paparan asap rokok, debu pekerjaan, bahan kimia dan
polusi udara indoor maupun outdoor, termasuk asap dari memasak
merupakan tujuan penting untuk mencegah timbul dan perburukan
PPOK.
a) Berhenti Merokok
Berhenti Merokok merupakan intervensi yang paling efektif untuk
mengurangi risiko pengembangan PPOK, maka nasihat berhenti
merokok dari para profesional bidang kesehatan membuat pasien lebih
yakin untuk berhenti merokok.
b) Nutrisi
Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat diberikan
dalam porsi kecil tetapi sering karena kekurangan kalori dapat

16
menyebabkan meningkatnya derajat sesak Komposisi nutrisi
berimbang pada pasien PPOK dapat berupa tinggi lemak, rendah
karbohidrat. Hal ini didasarkan karena pemberian karbohidrat yang
berlebih menimbulkan penumpukan CO2 sebagai hasil metabolisme
aerob. Hal ini menambah keparahan PPOK karena pada pasien PPOK
terdapat kesulitan untuk mengeluarkan CO2,.
c) Rehabilitasi
 Latihan bernapas dengan pursed-lips
 Latihan ekspektorasi
 Latihan otot pernapasan dan ektremitas

2. Farmakologis (PDPI, 2011)


a) Bronkodilator
Pasien dengan PPOK mendapatkan terapi berupa bronkodilator yang
dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, sedangkan
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting). Macam - macam bronkodilator
(Wedzicha, 2011):
(1) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari). Obat yang termasuk golongan antikolinergik di antaranya
yaitu atrovent. Efek samping obat ini yaitu sifatnya yang
mengentalkan dahak dan dapat pula menyebabkan takikardia. Selain
itu, dapat pula menyebabkan mulut kering, obstipasi, sukar
berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan akomodasi.
Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini.

(2) Golongan agonis beta -2 (adrenergik)

17
Mekanisme kerjanya adalah dengan menstimulasi reseptor b2 di
trakea dan bronkus yang kemudian menyebabkan aktivasi enzim
adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat
(ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin monophosphat
(cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-
proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel
menghasilkan efek bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan
mediator oleh sel mast.Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi
sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang.Bentuk injeksi subkutan atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi berat. Contoh obat yang termasuk
golongan ini yaitu salbutamol.
(3) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh obat yang
termasuk golongan ini adalah aminofilin dan teofilin. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk
suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg.

c) Ekspektoran

18
Gunakan obat batuk hitam (OBH)
d) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein).
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
e) Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan iritatif.

3. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi(PDPI, 2011)


Eksaserbasi PPOK terbagi menjadi derajat ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan derajat ringan diatasi di poliklinik rawat jalan. Derajat
sedang dapat diberikan obat-obatan perinjeksi kemudian dilanjutkan dengan
peroral. Sedangkan pada eksaserbasi derajat berat obat-obatan diberikan
intra vena untuk kemudian bila memungkinkan dirujuk ke rumah sakit yang
lebih memadai setelah kondisi daruratnya teratasi.
Gejala eksaserbasi :
a) Sesak bertambah
b) Produksi sputum meningkat
c) Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
a) Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b) Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c) Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.
Penyebab eksaserbasi akut
1. Primer :
a. Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
2. Sekunder :
a. Pnemonia

19
b. Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
c. Emboli paru
d. Pneumotoraks spontan
e. Penggunaan oksigen yang tidak tepat
f. Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak
tepat
g. Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
h. Nutrisi buruk
i. Lingkunagn memburuk/polusi udara
j. Aspirasi berulang
k. Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan
berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh
penderita yang telah diedukasi dengan cara :
1. Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk
nebuliser
2. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
3. Menambahkan mukolitik
4. Menambahkan ekspektoran

Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara
rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di :
1. Poliklinik rawat jalan
2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU

Penatalaksanaan di poliklinik rawat jalan


Indikasi :
1. Eksaserbasi ringan sampai sedang

20
2. Gagal napas kronik
3. Tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik
4. Sebagai evaluasi rutin meliputi :
a. Pemberian obat-obatan yang optimal
b. Evaluasi progresifiti penyakit
c. Edukasi

Penatalaksanaan rawat inap


Indikasi rawat :
1. Esaserbasi sedang dan berat
2. Terdapat komplikasi
3. infeksi saluran napas berat
4. gagal napas akut pada gagal napas kronik
5. gagal jantung kanan

Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan :


1. Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara
evaluasi klinis yang tepat dan terapi adekuat
2. Terapi oksigen dengan cara yang tepat
3. Obat-obatan maksimal, diberikan dengan drip, intrvena dan nebuliser
4. Perhatikan keseimbangan asam basa
5. Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang
6. Rehabilitasi awal
7. Edukasi untuk pasca rawat

Penanganan di gawat darurat


1. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya
- Infeksi saluran napas
- Gangguan keseimbangan asam basa
- Gawat napas

2. Triase untuk ke ruang rawat atau ICU

21
Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat (belum
memerlukan ventilasi mekanik)
1. Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser
2. Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask
3. Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
4. Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik

Indikasi perawatan ICU:


1. Sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang
rawat
2. Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirsi
3. Setelah pemberian osigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan
4. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)

Tujuan perawatan ICU


1. Pengawasan dan terapi intemsif
2. Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi
mekanik yang tepat
3. Mencegah kematian

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah


mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal
napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah
kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia

2. Terapi oksigen adekuat

22
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat,
ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau
Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan
kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%.
Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung
kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam
penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive
Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik
digunakan dengan intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a. Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasiantibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat
jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide,
bila ringan dapat diberikan tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan
dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan
dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator
lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai
oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter
untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan
xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator lainnya karena
mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di

23
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser,
dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama
1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian
lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi
lebih banyak menimbulkan efek samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan
mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik
dengan intubasi
6. Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera
dapat mencegah dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan
ventilasi mekanik.
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :
- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi

24
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma,
efusi pleura dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal
G. Prognosis
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan
secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal
dalam waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh
karena kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung atau emboli paru
(Kusumawati, 2013).

25
IV. KESIMPULAN

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
2. Faktor resiko yang berhubungan dengan PPOK diantaranya pajanan asap
rokok, polusi udara, stres oksidatif, gen, tumbuh kembang paru, sosial
ekonomi dan infeksi saluran nafas bawah yang berulang.
3. Penyebab terjadinya PPOK adalah inflamasi paru yang diperberat oleh stres
oksidatif dan kelebihan proteinase.
4. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti
berikut sesak nafas yg progresif, bertambah berat ketika beraktivitas. Batuk
kronik berdahak atau kering. Riwayat terpajan faktor resiko seperti asap
rokok, debu dan bahan kimia ditempat kerja, asap dapur.
5. Penatalaksanaan PPOK terdiri atas non farmakologis dan farmakologis.

26
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman Surveilans Penyakit


Tidak Menular. Jakarta
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2010. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention ofchronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and
Blood Insitute.
Kusumawati, Risala. 2013. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut di RSUP Sardjito Yogyakarta.
Naskah Publikasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Mangunnegoro, H. 2003. PPOK Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2011. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di
IndonesiaJakarta : PDPI.
Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator Therapy For COPD. New England Journal
Medicine.
World Health Organization (WHO). 2016. Chronic obstructive pulmonary disease
(COPD).

27

Anda mungkin juga menyukai