Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Abses paru merupakan kondisi nekrosis dari jaringan pulmonal dan pembentukan kavitas yang
terisi debris nekrosis atau cairan yang disebabkan oleh infeksi mikroba(1). Pembentukan abses
kecil multiple (< 2cm) biasanya merujuk pada pneumonia nekrosis atau gangrene paru. Abses
paru dan pneumonia nekrosis memiliki proses patologis yang sama(2). Kegagalan untuk
mengenali dan pengobatan abses paru berhubungan dengan luaran klinis yang buruk(1,2).

Pada tahun 1920an, hampir sepertiga pasien dengan abses paru meninggal, dr. David Smith
memiliki hipotesa bahwa aspirasi bakteri oral merupakan mekanisme infeksi. Dia melakukan
observasi bahwa bakteri yang ditemukan di dinding abses paru saat otopsi adalah bakteri yang
ditemukan pada gingiva. Abses paru tertentu dapat dilakukan ulang pada model hewan coba
dengan pemberian biakan intratrakeal, tidak hanya 1 namun 4 jenis mikroba yaitu
Fusobacterium nucleatum, Peptostreptococcus spesies, bakteri anaerob gram negatir, dan
Prevotella melaninogenicus(1).

Abses paru merupakan penyakit yang ditakuti pada era preantibiotik, saat sepertiga pasien
meninggal, sepertiga lainnya pulih, dan sepertiga sisanya mengalami penyakit sisa seperti abses
rekuren, empyema kronik, bronkiektasis, atau konsekuensi lain dari infeksi pyogenic kronis.
Pada periode awal postantibiotik, sulfonamide tidak memberikan perbaikan pada pasien
dengan abses paru hingga penicillins dan tetrasiklin tersedia. Walaupun pembedahan reseksi
sering menjadi pilihan terapi di masa lalau, peranan pembedahan telah banyak dikurangi saat
ini karena kebanyakan pasien dengan abses paru tanpa komplikasi dapat berespon dengan
terapi antibiotic jangka panjang(1).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Abses didefinisikan sebagai kumpulan pus pada salah satu bagian dalam tubuh. Pada paru-
paru, dapat ditemukan abses tunggal atau multipel dan berasal dari berbagai penyebab(1,3).
Abses paru terjadi saat infeksi bakteri menyebabkan nekrosis dan produksi kavitas pada
parenkim paru. Sebuah abses paru primer timbul saat satu atau dua kavitas dengan air-fluid
level terbentuk di parenkim paru sebagai hasil dari aspirasi sekresi pathogen(2). Defnisi abses
paru tidak termasuk pengumpulan pus dalam ruang atau rongga yang sudah ada sebelumnya
seperti kista bronkogenik terinfeksi atau bula(4).

Klasifikasi Abses paru dapat dilakukan berdasarkan durasi dan etiologinya. Abses akut
merupakan abses dengan onset < 4-6 minggu, sedangkan abses kronis dengan durasi yang lebih
panjang. Abses primer merupakan abses dengan infeksi sebagai penyebab awalnya, sedangkan
pada abses sekunder disebabkan oleh kondisi penyakit sebelumnya (obstruksi), menyebar dari
lokasi ekstrapulmonar, bronkiektasis, dan atau kondisi immunocompromised (1,2).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Frekuensi abses paru pada populasi umum di Amerika Serikat masih belum diketahui.
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer membaik setelah pemberian antibiotic dengan
tingkat penyembuhan mencapai 90-95%. Faktor host berhubungan dengan prognosis yang
buruk termasuk diantaranya usia lanjut, keterbatasan fisik, malnutrisi, infeksi HIV atau bentuk
supresi imun lainnya, malignansi, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Angka kematian untuk
pasien dengan status IC sebelumnya atau obstruksi bronkial yang kemudian mengalami abses
paru dapat hingga 75%(1).

Secara karakteristik host, laki-laki lebih cenderung mengalami abses paru sesuai dengan
laporan pada serial publikasi kasus. Abses paru lebih sering terjadi pada pasien tua karena
peningkatan insiden penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi disfagia dan aspirasi,
Namun serial kasus dari pusat pendudukan dengan prevalensi tinggi pengguna alkohol
melaporkan rata-rata umur penderita abses paru adalah 41 tahun(1).

2
3

2.3 PATOFISIOLOGI

Abses paru paling sering berasal dari komplikasi pneumonia aspirasi oleh mikroba anaerob
mulut. Pasien yang menderita abses paru telah memiliki predisposisi aspirasi dan penyakit
periodontal(1). Aspirasi materi orogingival yang mengandung sejumlah besar bakteri akan
berperan dalam pembentukan abses paru terutama bila jumlah bakteri meningkat akibat
kebersihan gigi buruk atau penyakit gusi. Tidak semua pasien dengan faktor risiko aspirasi
akan membentuk abses paru, faktor lain khususnya penyakit komorbid dan kerusakan sistem
pertahanan tubuh juga berperan penting terhadap pembentukan abses paru(4). Inoculum bakteri
dari gingiva mencapai saluran napas bawah dan infeksi dimulai karena bakteri tidak mampu
dibersihkan optimal oleh mekanisme pertahanan host. Hasil dari pneumonitis aspirasi dan
perkembangan menjadi nekrosis jaringan membutuhkan waktu 7-14 hari, berujung pada
pembentukan abses paru(1,4).

Lokasi terbentuknya abses ditentukan oleh gravitasi dan posisi tubuh saat terjadi aspirasi. Posisi
terbanyak saat aspirasi terutama pada posisi tegak dan posisi terlentang (supine) sehingga abses
paru secara khas menempati lokasi pada segmen basal dan superior lobus bawah dan segmen
posterior lobus atas terutama pada paru kanan(4).

Mekanisme pembentukan abses paru termasuk juga pada kondisi bacteremia atau endocarditis
katup tricuspid, menyebabkan emboli septik (biasanya multiple) menuju paru - paru. Sindrom
Lemierre, infeksi orofaring akut diikuti oleh thrombophlebitis septik dari vena jugular interna,
merupakan salah satu penyebab abses paru yang lebih jarang(1,4).

2.4 ETIOLOGI

Infeksi bakteri dapat mencapai paru-paru melalui berbagai jalur. Jalur paling sering adalah
aspirasi konten orofaring. Pasien dengan resiko tinggi berkembangnya abses paru memiliki
faktor resiko sebagai berikut:

 Penyakit periodontal
 Penyakit kejang
 Penyalahgunaan alkohol
 Disfagia

Pasien lain yang berada pada resiko tinggu berkembangnya abses paru adalah ketidakmampuan
untuk proteksi jalur nafasnya dari aspirasi massif karena berkurangnya reflek muntah (gag)
4

atau reflek batuk, yang dapat disebabkan oleh gangguan kesadaran (seperti pada alkohol,
depresan sistem saraf pusat lainnya, anestesi umum, atau ensefalopati)(1,5).

Lebih jarang lagi dibandingkan hal diatas, etiologi infeksi pada pneumonia sebagai berikut
dapat berkembang menjadi nekrosis parenkim dan pembentukan abses paru, yaitu:

 Pseudomonas aeruginosa
 Klebsiella pneumonia
 Staphylococcus aureus (dapat menimbulkan abses multiple)
 Streptococcus pneumonia
 Spesies Nocardia
 Spesies Fungal(1,3)

Sebuah abses juga dapat berkembang dari komplikasi infeksi pada penyakit sebelumnya seperti
kista paru atau bulla paru. Selain itu, dapat pula berkembang sekunder dari karsinoma bronkus.
Obstruksi bronkus menyebabkan pneumonia postobstruktif yang nantinya dapat berkelanjutan
menjadi pembentukan abses(1). Penyakit dasar neoplasma yang tersering adalah kanker paru
jenis sel squamosal(4). Selain proses malignansi sebagai dasarnya, diketahui bahwa PPOK
merupakan penyakit mendasar paru-paru yang paling umum pada abses paru(3,6).

Kesulitan dalam pengambilan material yang tidak terkontaminasi oleh kolonisasi bakteri non
pathogen saluran napas atas, abses paru cenderung untuk jarang dilakukan diagnosis
mikrobiologi(1). Laporan publikasi sejak dimulainya era antibiotic telah menampakkan bahwa
bakteri anaerob merupakan pathogen yang paling signifikan pada abses paru(1,3,7). Dalam
penelitian Bartlett dkk pada tahun 1974, 46% pasien dengan abses paru hanya ditemukan
bakteri anaerob terisolasi pada kultur sputum, sedangkan 43% pasien lainnya memiliki
campuran bakteri anaerob dan aerob(1,7). Bakteri anaerob yang paling sering ditemukan antara
lain spesies Peptostreptococcus, spesies Bacteroides, spesies Fusobacterium, dan streptococci
mikroeaerofilik(1,3,7). Bakteri aerob yang cenderung lebih jarang menyebabkan abses paru
antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumonia
(jarang), Klebsiella pneumonia, Haemophilus influenza, spesies Actinomyces, spesies
Nocardia, dan bacilli gram negative(1,3,7).

Opini terbaru dari ahli saat ini, berdasarkan studi dari Wang dkk melaporkan bahwa
karakteristik bakteriologi dari abses paru telah berubah. Dalam penelitian serial 90 pasien
dengan community-acquired abses paru di Taiwan, bakteri anaerob hanya ditemukan dari 28
5

pasien (31%), bakteri yang dominan adalah Klebsiella pneumonia pada 30 pasien (33%).
Temuan signifikan lainnya bahwa jumlah resistensi anaerob dan Streptococcus milleri terhadap
klindamisin dan penisilin telah meningkat dibandingkan laporan sebelumnya(3,8). Temuan
diatas dikonfimasi oleh penelitian yang dilakukan oleh Takayanagi dkk menunjukkan bahwa
spesies Streptococcus merupakan spesies tersering penyebab, diikuti oleh (dengan urutan
menurun) bakteri anaerob, spesies Gemella, dan Klebsiella pneumonia. Spesies diatas
teridentifikasi dalam penelitian ini dengan aspirasi jarum transthorakal perkutan dengan
panduan ultrasonografi dan hapusan specimen yang terproteksi pada populasi berjumlah 205
pasien(9). Kedua studi diatas oleh Wang dkk dan Takayanagi dkk menunjukkan bahwa
organisme aerobic mulai sering ditemukan pada individu dengan diabetes mellitus dan penyakit
periodontal yang merupakan dua faktor risiko terjadinya abses paru komunitas didapat.(1).

Pathogen nonbakteri dan bakteri atipik dapat juga menyebabkan abses paru, terutama pada host
IC. Mikroorganisme ini termasuk parasite (Paragonimus dan spesies Entamoeba), fungi
(Aspergillus, Cryptococcus, Histoplasma, Blastomyces, dan spesies Coccidioides), dan spesies
Mycobacterium(1,4).

2.5 MANIFESTASI KLINIS

2.5.1 Anamnesis

Gejala abses paru tergantung pada jenis abses disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob atau
bakteri lainnya. Pada abses paru oleh infeksi bakteri anaerob ditemukan pasien sering
mengeluhkan gejala yang lambat muncul namun terus berkembang dalam periode waktu
minggu hingga bulan. Gejala yang biasa muncul adalah demam, batuk dengan produksi dahak,
keringat dingin, anoreksia, dan penurunan berat badan. Dahak yang dikeluarkan memiliki
karakteristik berbau busuk dan berasa tidak enak. Pasien juga dapat mengalami hemoptysis
atau pleuritis(1,2,5). Dari gejala-gejala diatas, gejala paling spesifik dan petanda patognomonik
infeksi kuman anaerob adalah napas berbau atau sputum berbau busuk meskipun hanya
ditemukan pada 50-60% pasien, sedangkan untuk kejadian hemoptisis didapatkan pada 25%
pasien(4).

Pathogen lainnya penyebab abses paru akan memberikan gejala yang berbeda, yaitu pasien
cenderung mengalami kondisi yang lebih gawat secara alamiahnya dan biasanya tampak seperti
pasien dengan pneumonia bakteri. Kavitasi muncul selanjutnya sebagai tanda nekrosis
parenkimal. Abses dari fungi, spesies Nocardia, dan spesies Mycobacteria cenderung memiliki
perjalanan penyakit yang lamban dan gejala dengan progresif gradual(1).
6

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Temuan pada pemeriksaan fisik pasien dengan abses paru bervariasi. Temuan fisik dapat
merupakan akibat sekunder dari kondisi terkait seperti pneumonia atau efusi pleura. Temuan
pemeriksaan fisik juga dapat bervariasi tergantung pada organisme yang berperan, keparahan
dan perluasan penyakit, dan juga status kesehatan serta komorbiditas pada pasien(1).

Pasien dengan abses paru dapat mengalami demam (60-90% kasus) dengan karakteristik
demam subfebris pada infeksi anaerobic, sedangkan pada infeksi lainnya dapat terjadi demam
dengan temperature lebih dari 38,50C(1,4). Secara umum pasien dengan abses paru akan
ditemukan bukti penyakit gingival. Temuan klinis dari konsolidasi yang terjadi dapat muncul
berupa penurunan suara nafas, perubahan sonor menjadi pekak pada perkus, suara nafas
bronchial, dan dapat juga terdengan rhonki kasar pada inspirasi. Suara nafas cavernous atau
amphorik hanya dapat terdengar pada praktek modern. Bukti dari friction rub pleura dan tanda
berkaitan dengan efusi pleura, empyema dan pyopneumothorax dapat ditemukan. Tandanya
dapat berupa perkusi ditemukan pekak, pergeseran organ mediastinum kea rah kontralateral,
dan hilangnya suara nafas pada posisi efusi(1). Pada abses paru kronik akan memperlihatkan
clubbing fingers (jari tabuh), efusi pleura dan kakeksia. Jari tabuh dapat terjadi pada 20%
pasien(4).

2.6 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, kondisi predisposisi dan
temuan laboratorium serta radiografi(2). Melalui anamnesis yang baik mengenai perjalanan
penyakit, termasuk onset, derajat keparahan gejala dan faktor risiko atau predisposisi yang
memungkinkan terjadinya abses paru. Berdasarkan gejala tersebut maka dapat dilakukan
konfirmasi perluasan penyakit dari temuan fisik dan juga memperkirakan etiologi yang
berperan. Apabila telah memenuhi tanda dan gejala sesuai yang dipaparkan diatas maka
selanjutnya dapat diperkirakan untuk melakukan pemeriksaan penunjang. Selain itu, perlu
disingkirkan diagnosa banding untuk mengetahui kejadian abses paru terjadi primer atau
sekunder akibat ada penyakit mendasar(1).

Adapun kondisi penyakit yang dapat dijadikan diagnosa banding sebagai berikut:
 Penyalahgunaan alkohol.
 Kondisi Infeksi lain: Epyema, Pleuropulmonal, Endokarditis infektif, Nocardiosis, Infeksi
Pneumococcal, Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP), Aspirasi Pneumonia, Pneumonia
7

Bakterial, Pneumonia Fungal, Emboli Pulmonal, Sarkoidosis, Thrombophlebitis Septik,


dan Tuberkulosis
 Kondisi Malignansi: Karsinoma Paru Non Small Cell dan Karsinoma Paru Small Cell(1,4).
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.7.1 Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan peningkatan White Blood Cell (WBC), dengan
diferensiasi dapat menunjukkan leukositosis dan terjadinya pergeseran ke kiri (left shift). Dari
pemeriksaan sputum dapat dilakukan pengecetan gram, kultur, dan uji sensitivitas. Jika
dicurigai tuberculosis maka dapat dilakukan pengecetan bakteri tahan asam (BTA) dan kultur
mikobakterium jika diperlukan. Kultur darah juga dapat membantu dalam penentuan etiologi
saat infeksi telah menyebar secara sistemik. Pemeriksaan sputum untuk penilaian ova dan
parasite juga dapat dilakukan apabila parasite dicurigai sebagai penyebab abses paru(1).
2.7.2 Radiografi
a. Foto Thorak
Pada foto thorak akan ditemukan gambaran abses paru sebagai cavitas berbentuk irregular
dengan adanya air fluid level didalamnya(1,2). Namun, temuan ini juga dapat ditemukan pada
kondisi patologis lainnya seperti bulla terinfeksi, kavitas tumor, infeksi mikobakterium, infark
pulmonal, sekuestrasi pulmonal dan vaskulitis. Adanya penyakit paru sebelumnya dan juga
lokasi yang tidak sesuai membuat temuan pada foto menjadi tidak bernilai diagnostic untuk
abses paru(2). Pada kasus abses paru yang berasal dari aspirasi sering terjadi di bagian posterior
lobus atas atau segmen superior dari lobus bawah(1).Diagnosis dibuat paling banyak
berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Kelainan radiologis yang sama dapat terlihat pada cairan
yang terdapat pada kista atau bleb berisi cairan. Abses di perifer dengan foto toraks biasa
kemungkinan sulit dibedakan dengan empiema terlokalisir dengan fistula bronkopleural
sehingga diperlukan pemeriksaan CT-scan toraks(4).

Perluasan air fluid level pada abses cenderung sama pada jenis foto posteroanterior (PA)
ataupun lateral. Abses dapat terjadi meluas hingga ke dinding pleura, yang nantinya akan
menampakkan gambaran sudut akut pada dinding pleura. Ketebalan dinding abses paru dari
tebal menjadi tipis dan dari awalnya sakit menjadi perbaikan kondisi akan tampak saat
penyembuhan infeksi paru. Dinding kavitas dapat bertepi mulus atau kasar, dan sangat jarang
nodular yang merupakan tanda dari karsinoma dengan pembentukan kavitas. Infeksi anaerob
dapat dicurigai jika ditemukan kavitas dengan konsolidasi padat segmental pada zona paru
dependen. Sedangkan infeksi paru oleh organisme virulen menghasilkan nekrosis jaringan
8

yang lebih luas, yang dapat meluas dari infeksi awalnya hingga gangrene pulmonal. Hampir
dari sepertiga abses paru dapat diikuti dengan kejadian epyema(1).
Gambar 1. Kavitas dengan air fluid level Gambar 2. Air fluid level pada lobus tengah
pada lobus tengah paru dextra(2). paru sinistra, pada pasien ♂, usia 21
tahun(10).
b. Computed Tomography (CT) Scan Thorak
Gambaran CT Scan paru akan membantu visualisasi anatomi yang lebih baik dibandingkan

radiografi foto thorak biasa. CT scan sangat membantu dalam identifikasi terjadinya epyema
atau infark paru. Pada CT scan, abses sering tampak sebagai lesi radioluscent berbentuk bulat
dan air-fluid level pada area parenkim paru yang dirusak dengan dinding tebal dan batas yang
irregular saat kondisi penyakit aktif(1,2).

Gambar 3. CT scan pasien ♂, 21 tahun Gambar 4. CT scan pasien ♂, 21 tahun


sebelum terapi antibiotika dengan kavitas setelah terapi antibiotika, terjadi resolusi
disertai konsolidasi(10). konsolidasi dengan kavitas yang masih
persisten(10).
Cabang bronkial dan pembuluh darah pulmonal biasanya berakhir pada batas luar ireguler dari
abses paru(2). Pembuluh darah dan bronkus tersebut tidak terdorong oleh lesi seperti pada
gambaran epyema. Abses paru berlokasi di parenkima dibandingkan dengan epyema yang
cenderung terlokalisir, yang akan lebih sulit dibedakan pada radiografi thorak. Lesi membentuk
sudut akut dengan dinding pleura(1).

c. Ultrasonography (USG) Paru

Abses paru perifer dengan kontak pleura atau berada didalam konsolidasi paru dapat terdeteksi
menggunakan USG paru di tempat tidur (bedside USG). Abses paru tampak sebagai lesi
9

hipoekhoik berbentuk bulat dengan margin diluarnya. Jika terdapat kavitas, tanda hiperekhoik
tambahan dapat muncul sebagai gambaran batas jaringan dan gas(11).

2.7.3 Prosedur Diagnostik

Material diagnostic yang tanpa terkontaminasi oleh bakteri kolonisasi saluran nafas atas dapat
diambil dari kultur anaerob dengan cara berikut:
 Kultur darah
 Cairan pleura (jika terjadi epyema)
 Aspirasi transtrakeal
 Aspirasi transthorak pulmonal
 Spesimen pembedahan
 Bronkhoskopi fiberoptik dengan sikat proteksi
 Bilas Bronkhoalveolar dengan kultur kuantitatif.

Dahak yang dikeluarkan atau metode pengumpulan sampel lainnya pada saluran nafas atas
tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk kultur anaerob karena kavitas oral memiliki
kolonisasi bakteri anaerob yang sangat banyak. Kultur darah jarang menunjukkan hasil yang
positif pada pasien dengan abses paru dan epyema(1).

Modalitas lainnya tergolong invasive, berbiaya mahal dan memerlukan ahli laboratorium.
Bronkhoskopi menggunakan sikat proteksi untuk mengambil specimen yang tidak
terkontaminasi oleh saluran nafas atas atau kultur kuantitatif organisme dari cairan bilas
bronkhoalveolar telah disarankan dilakukan untuk diagnosis bakteriologis pada abses paru.
Namun, pengalaman dengan teknik ini dalam diagnosis infeksi paru anaerob terbatas dan
penilaian diagnosis menjadi tidak terlalu bermanfaat. Lebih penting lagi yang diperhatikan
adalah kultur susah untuk tampak positif walaupun dengan metode ini jika telah diberikan
inisiasi antibiotic. Bronkhoskopi fiberoptik fleksibel dilakukan untuk mengeksklusi karsinoma
bronkhogenik saat dicurigai adanya obstruksi bronchial(12,13).

2.7.4 Pemeriksaan Histologi

Abses paru dimulai dari nekrosis zona kecil yang berkembang dalam segmen konsolidasi pada
pneumonia. Terdapat area yang kabur untuk mebentuk area tunggal atau multiple supurasi yang
menandakan adanya abses paru. Jika antibiotic telah diberikan dan mengganggu perjalanan
alamiah penyakit pada stadium awal, maka hasil penyembuhan akan menunjukkan perubahan
tanpa residu. Saat inflamasi progresif menuju ke bronchus, konten dari abses akan dikeluarkan
10

menjadi sputum yang berbau busuk. Selanjutnya dapat berkembang fibrosis yang
menyebabkan jaringan parut padat dan terpisah dari abses. Abses dapat tetap terdapat pada
paru, dan persebaran pus ke cabang bronchus akan menyebarkan infeksi(1).

2.8 PENATALAKSANAAN

2.8.1 Terapi Medikamentosa

Terapi abses paru didasarkan pada mikrobiologi yang tersedia dan pengetahuan mengenai
kondisi yang mendasari penyakit abses paru atau kondisi lain yang berhubungan. Tidak ada
rekomendasi terapi disarankan oleh spesialisasi mayor secara spesifik untuk abses paru, namun
ringkasan guideline dari Infectious Diseases Society of America, petunjuk praktis utnuk terapi
antimicrobial parenteral rawat jalan tersedia. Beberapa penelitian klinis mengadakan penelitian
dengan memasukkan pasien pneumonia aspirasi sebagai sampelnya baik dengan ataupun tanpa
abses paru(1).

Kebanyakan abses paru berkembang sekunder dari kejadian aspirasi sebelumnya dan
disebabkan oleh bakteri anaerob. Riwayat yang mengarah kepada adanya community acquired
pneumonia (CAP) atau riwayat perkembangan abses pada pasien yang dirawat di rumah sakit
menjadi penting untuk diketahui sebagai dasar penetapan cakupan antibiotik yang sesuai
diberikan(1). Terapi standar untuk infeksi anaerobic adalah Klindamicin dengan dosis 600 mg
intravena (IV) setiap 8 jam diikuti 150 – 300 mg per oral (PO) empat kali sehari. Regimen ini
telah dibuktikan superior dibandingkan penisilin parenteral dalam beberapa penelitian(1,5). Di
Indonesia berdasarkan petunjuk terapi farmakologis infeksi saluran pernapasan tahun 2005
oleh Depkes RI, pada abses paru akibat pneumonia aspirasi yang didapat di komunitas terapi
antibiotika yang disarankan adalah golongan Penisilin sebagai lini pertama, namun untuk lini
kedua dengan pertimbangan banyak bakteri anaerob yang resisten penisilin maka
direkomendasikan pula Klindamisin dengan dosis sesuai diatas secara per oral(14).

Beberapa bakteri anaerob dapat memproduksi beta-laktamase (seperti spesies Bacteroides dan
Fusobacterium) dan kemudian akan menimbulkan resistensi terhadap penisilin(1,5). Profil
Klindamisin digunakan secara umum untuk terapi infeksi kulit dan jaringan lunak yang berat
oleh staphylococcus. Antibiotika jenis ini juga efektif terhadap streptococcus aerobic dan
anaerobic, kecuali terhadap enterococci. Antibiotika ini bekerja dengan menghambat
pertumbuhan bakteri melalui bloking disosiasi peptidyl t-RNA dari ribosom, menyebabkan
sintesis protein bergantung RNA mejadi terhenti(1).
11

Walaupun Metronidazole merupakan antibiotika yang efektif terhadap bakteri anaerob,


pengalaman dalam terapi menggunakan metronidazole untuk pengobatan abses paru cenderung
mengecewakan karena infeksi ini secara umum tergolong polimikrobial atau disebabkan oleh
lebih dari hanya bakteri anaerob. Angka kegagalan dengan terapi metronidazole tunggal
mencapai 50%. Metronidazole diketahui selain sebagai bakteri yang efektif terhadap anaerob
juga efektif terhadap protozoa. Penggunaannya kombinasi dengan agen antimikroba lainnya
(kecuali untuk enterokolitis Clostridium difficile). Tidak terdapat standar praktis yang
menyarankan penggunaan metronidazole tunggal karena beberapa cocci anaerobic dan
kebanyakan streptococci mikroaerofilik telah resisten terhadap agen antibiotic ini saja(1).

Pada pasien rawat inap yang mengalami aspirasi kemudian berkembang menjadi abses paru,
terapi antibiotic sebaiknya memiliki kemampuan untuk mengatasi Staphylococcus aureus dan
spesies Enterobacter serta Pseudominas(1,14). Ampicillin kombinasi dengan sulbaktam
ditoleransi baik dan memiliki efektivitas yang sama dengan klindamisin dengan atau tanpa
tambahan cephalosporins dalam terapi pneumonia aspirasi dan abses paru. Moxifloxacin juga
diketahui efektif secara klinis dan memiliki keamanan yang sama dengan ampicillin plus
sulbaktam dalam terapi pneumonia aspirasi dan abses paru(1). Berdasarkan panduan terapi
Depkes RI 2005 direkomendasikan bahwa terapi yang diberikan dapat langsung berupa
klindamisin dengan tambahan salah satu jenis aminoglikosida(14).

Durasi terapi untuk abses paru hingga saat ini belum dipbuliskan secara resmi, namun
kebanyakan ahli secara umum meresepkan terapi antibiotic untuk 4-6 minggu(1,5). Beberapa
ahli lainnya menyatakan bahwa terapi antibiotic sebaiknya dilanjutkan hingga radiografi thorak
menunjukkan resolusi abses paru atau keberadaan lesi kecil yang stabil. Alasan untuk
pemanjangan terapi adalah untuk menjaga kemungkinan resiko kekambuhan yang dapat terjadi
pada pemberian antibiotika dengan durasi lebih pendek(1).

Respon terapi abses paru dengan antibiotika yang sesuai biasanya akan terlihat dalam
perbaikan kondisi klinis, yaitu berupa perbaikan demam antara hari ke-3 hingga ke-4 setelah
pemberian awal terapi antibiotic. Periode bebas demam diharapkan terjadi pada hari ketujuh
hingga kesepuluh terapi. Demam persisten pada periode ini menandakan bahwa telah terjadi
kegagalan terapi, dan pasien ini sebaiknya menjalani pemeriksaan diagnostic lebih lanjut untuk
mengetahui penyebab kegagalan tersebut(1,5,14).

Hal yang sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan respon buruk terhadap terapi
antibiotic adalah obstruksi bronkus dengan benda asing atau neoplasma atau infeksi dengan
12

bakteri, mikobakteri atau fungi yang resisten. Ukuran kavitas yang besar (diameter > 6 cm)
biasanya memerlukan terapi yang lebih panjang. Karena epyema dengan air-fluid level dapat
dianggap salah dengan abses parenkimal, maka CT scan sebaiknya dilakukan untuk
membedakan proses ini dengan abses paru. Penyebab penyakit kavitas paru non bacterial dapat
saja timbul, seperti infark paru, neoplasma pembentuk kavitas, dan vaskulitits. Infeksi dari
keadaan sekuestrasi, kista atau bulla yang memang sudah ada sebelumnya dapat menjadi
penyebab respon yang lambat terhadap antibiotika(1).

2.8.2 Terapi Pembedahan

Pembedahan sangat jarang diperlukan untuk pasien abses paru tanpa komplikasi. Indikasi
untuk pembedahan adalah kegagalan berespon terhadap terapi medis, kecurigaan neoplasma,
atau malformasi paru kongenital. Prosedur pembedahan dilakukan berupa lobektomi atau
pneumektomi. Saat terapi konvensional gagal, drainase perkutan dengan kateter atau reseksi
pembedahan biasanya dipertimbangkan. Drainase abses paru melalui endoskopi dapat
dipertimbangkan pada kondisi adanya koneksi saluran nafas menuju kavitas tersebut.
Kesuksesan prosedur ini dapat sebagai opini tambahan atau terapi adjuvant dibandingkan
drainase perkutan dengan kateter atau reseksi pembedahan(1).

Indikasi utama untuk dilakukannya drainase perkutan (DP) adalah saat terapi medis gagal, dan
memerlukan pengganti untuk thoracotomy dan lobektomi. DP cenderung bermanfaat saat
resiko pembedahan sangat tinggi, namun dapat juga dipertimbangkan dilakukan pada pasien
yang layak secara klinis untuk dilakukan pembedahan. Beberapa kasus yang telah ditangani
dengan DP menunjukkan pemulihan komplit tanpa adanya komplikasi atau kekambuhan
setelah periode 2-5 tahun. Pemulihan komplit setelah drainase eksternal menyebabkan lebih
dipilih dibandingkan lobektomi, terutama pada pembedahan yang akan melibatkan lebih
banyak parenkim paru yang masih berfungsi baik dan memberikan trauma yang lebih besar
dibandingkan DP. Selain itu, beberapa studi juga melaporkan bahwa komplikasi lebih besar
setelah pembedahan dibandingkan DP. Angka kematian postoperative untuk tindakan reseksi
abses paru bervariasi dari 11-16%, sedangkan angka kematian kumulatif abses paru dengan DP
hanya 4,8%(15).

Prosedur ini biasanya dilakukan dibawa sedasi kesadaran menggunakan fentanyl dan
midazolam. Pada pasien pediatric, anetesi umum diperlukan. Prosedur dapat dilakukan dengan
posisi pasien supine, prone, decubitus atau semidekubitus. Lokasi pungsi awal dilokalisir
menggunakan CT scan preprosedur setelah pasien disiapkan dan di kondisikan steril. Sekali
13

lokasi pungsi kulit dianestesi menggunakan lidokain 1% dengan epinephrine, insisi kecil
kemudian dilakukan. Walaupun teknik Trocar dapat digunakan untuk mengakses kavitas secara
langsung, teknik Seldinger dengan petunjuk wire biasanya direkomendasikan karena
cenderung kurang nyeri, lebih nyaman, dan tingkat komplikasi yang lebih rendah. Saat jarum
akses 18 Gauge dimasukkan menuju abses paru, parenkim paru normal sebaiknya dihindari
untuk mencegah terjadinya fistula bronkhopleural atau pyopneumothorak. Jarum sebaiknya
dimasukkan secara transversal ke parenkima paru yang terdampak menuju ke posisi abses paru.
Sekali jarum telah berhasil masuk ke pusat kavitas abses, maka cairan dapat diaspirasi untuk
diagnosis atau untuk proses terapeutik. Jarum kemudian diganti untuk dilator berukuran 0,038
inchi Newton-J atau 0,035 Bentson guidewire dan jalurnya itu kemudian dikembangkan.
Dilator kemudian diganti dengan kateter locking pigtail berukuran 10F atau 12F melalui
guidewire. Kateter drainase sebaiknya dilekatkan ke kulit dengan cara dijahit dan kemudian
ditutup menggunakan perban steril. Kateter drainase kemudian disambungkan ke sistem
penampung penyedot sendiri, seperti drain Hemovac atau Jackson-Pratt (JP). Sebuah Pleur-
evac juga dapat digunakan untuk dranase tertutup dibawah air. Selanjutnya CT scan post
prosedur sebaiknya dilakukan untuk konfirmasi posisi optimal dari kateter drainase dan untuk
evaluasi kemungkinan komplikasi. Kateter drainase sebaiknya disemprot dan dibilas dengan
saline steril 5-15 mL setiap harinya(2,16,17).

Periode waktu yang paling tepat untuk memulai drainase perkutan masih belum diketahui.
Namun, abses paru refrakter sebaiknya tidak dibiarkan untuk waktu yang lama tanpa drainase.
Periode waktu 10-14 hari terapi medis konservatif tanpa perbaikan klinis direkomendasikan
untuk drainase. Dalam kasus sepsis, penurunan kondisi pasien atau kondisi yang berkaitan
dengan angka mortalitas tinggi, abses sebaiknya didrainase segera tanpa penundaan. Walaupun
demikian, drainase perkutan segera yang diindikasikan dalam manajemen abses paru besar
tanpa terapi antibiotic sebelumnya masih belum diketahui. Dalam dua penelitian, dua pasien
dengan abses yang besar sukses dilakukan drainase dalam 24 jam munculnya gejala tanpa
adanya kejadian komplikasi, kematian atau kekambuhan. Di sisi lain, durasi optimum drainase
belum ditentukan, kriteria untuk melepas drainase berbeda-beda dari laporan satu dengan yang
lainnya. Reduksi ukuran abses yang bermakna dengan mengalirnya cairan purulent untuk
setidaknya 3 hari dengan tanpa adanya gejala klinis abses, walaupun sebelumnya kavitas abses
telah pulih komplit merupakan kriteria yang dapat digunakan untuk melepas selang drainase(15).
Gejala sepsis biasanya membaik pada 48 jam setelah penempatan kateter drainase. Abses paru
akan membaik dengan sendirinya setelah 10-15 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi dari
14

tindakan kateter drainase perkutan antara lain pneumothorak, pyopneumothorak dan fistula
bronkhopleural(2).

2.9 MONITORING TERAPI

2.9.1 Pemantauan Rawat Inap

Perhatian saat rawat inap disarankan pada pasien dengan abses berdasarkan diperlukannya
evaluasi dan manajemen status respirasi pasien, pemberian antibiotika intravena, dan drainase
abses atau epyema sesuai yang dibutuhkan(1).

2.9.2 Pemantauan Rawat Jalan

Pada pasien yang memiliki abses paru, dengan kondisi klinis tidak sakit berat, dan yang
tergolong reliable, pelayanan secara rawat jalan dapat dipertimbangkan setelah melakukan
prosedur diagnostic lengkap seperti kultur sputum, kultur darah dan laboratorium patologi
klinik darah secara umum. Setelah pemberian terapi antibiotika intravena inisial di awal, pasien
selanjutnya dapat diberikan terapi secara rawat jalan untuk melengkapi terapi jangka
panjangnya yang sering diperlukan untuk penyembuhan(1).

2.9.3 Pencegahan

Pencegahan terjadinya aspirasi merupakan hal yang penting untuk mengurangi resiko kejadian
abses paru. Intubasi awal pada pasien yang memiliki keterbatasan kemampuan untuk proteksi
saluran nafasnya dari aspirasi massif (berkurangnya reflek batuk dan muntah), sebaiknya
dipertimbangkan. Penempatan pasien dengan posisi supine (terlentang) dengan sudut 300 akan
mengurangi resiko aspirasi. Pasien muntah sebaiknya berada pada posisi tidur miring.
Tingkatkan kebersihan rongga mulut dan perawatan gigi pada orang tua dan pasian yang
mengalami kecacatan atau keterbatasan untuk mengurangi resiko terbentuknya abses paru
anaerobik(1).

2.9.4 Komplikasi

Komplikasi dari abses paru dapat berupa hal dibawah ini:

 Ruptur menuju ruang pleura menyebabkan epyema


 Fibrosis pleural
 Paru-paru terbungkus
 Gagal nafas
15

 Fistula bronkhopleural
 Fistula pleural kutaneus

Pada pasien dengan kondisi epyema sebelumnya dan abses paru, drainase epyema saat
pemberian terapi antibiotic yang diperpanjang sering diperlukan(1).

2.9.5 Prognosis

Prognosis untuk abses paru yang diikuti oleh terapi antibiotic secara umum baik (dubius ad
bonam). Hampir 90% abses paru dapat ditangani dengan penanganan medis saja, kecuali
disebabkan oleh obstruksi bronkus sekunder oleh karena karsinoma(1).
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : IWD
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat SD
Status : Menikah
Pekerjaan : Petani
Alamat : Jln. Tukad Yeh Aya III no. 12, Renon Denpasar

3.2 ANAMNESIS

Keluhan utama: Sesak Napas

3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dalam keadaan sadar ke UGD RSUD Badung dengan keluhan utama sesak nafas
pada tanggal 13 November 2014 pukul 22.00 WITA. Sesak nafas sudah dirasakan sejak ± 20
hari SMRS dan dirasakan memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak nafas dirasakan sepanjang hari
dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Sesak nafas dikatakan sangat mengganggu
aktivitas pasien.

Pasien juga mengeluhkan batuk sejak ± 20 hari SMRS. Batuk dikatakan tidak berdahak. Batuk
dialami sepanjang hari. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan nyeri pada dada sebelah kanan sejak 2 minggu SMRS. Nyeri dada dikatakan
bertambah berat 3 hari SMRS. Nyeri dada dikatakan seperti ditusuk-tusuk dan tidak menjalar
dan terasa lebih berat ketika menarik nafas.

Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan dalam 3 tahun terakhir ini. Pasien mengatakan
bahwa dulu badannya gemuk dengan berat badan ± 75 kg dan sekarang menjadi ±60kg. Pasien
juga merasakan nyeri pada dada kanan bawah sejak 3 hari SMRS dan bertambah berat 1 hari
SMRS. Nyeri dada dikatakan memberat ketika pasien menarik nafas. Pasien juga mengatakan
mengalami penurunan berat badan yaitu sekitar 2 kg sekitar 2 bulan terakhir. Riwayat batuk

16
17

yang lama dan tidak sembuh serta pilek disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak memiliki
riwayat alergi obat. Pasien memiliki bebrapa gigi berlubang serta gigi rusak yang berwarna
hitam. Pasien mengatakan sebulan terakhir mengeluh sakit gigi.

3.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya untuk suatu penyakit tertentu. Riwayat
penyakit sistemik seperti kencing manis, jantung, ginjal, hati, hipertensi, dll disangkal oleh
pasien.

3.2.3 Riwayat Pengobatan

Pasien sempat berobat ke bidan dan diberikan obat panas serta obat batuk. Pasien lupa akan
nama obatnya.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat
penyakit kencing manis, jantung, dan hipertensi di keluarga disangkal oleh pasien.

3.2.5 Riwayat Sosial

Pasien bekerja sebagai petani di sawah dibantu oleh istrinya. Pasien memiliki dua orang anak
yang masih duduk di sekolah dasar. Pasien tinggal di daerah pemukiman padat penduduk
dengan ruangan yang kurang mendapatkan pencahayaan langsung dari sinar matahari.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

3.3.1 Status Present

Kesadaran : compos mentis

Kesan sakit : sedang

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 110 x/menit

Respirasi : 26 x/menit

Temp. Axilla : 38,6 0 C

Berat badan : 60 kg

Tinggi badan : 172 cm


18

BMI : 20,28 kg/m2

3.3.2 Status General

Mata : Konjungtiva pucat -/-, Ikterus -/-, Reflek Pupil +/+ isokor, katarak -/-

Telinga : Daun telinga N/N, Discharge -/-

Hidung : Hidung luar N/N, Sekret -/-

Tenggorok : Tonsil T1/ T1, merah muda +/+. permukaan rata, detritus -/-, kripte
tidak melebar, Faring merah muda, hipertrofi granular -/-

Mulut :
Bibir sianosis : (-)
Mukosa mulut : Dalam batas normal
Gusi : Dalam batas normal
Gigi geligi : Gigi berlubang (+), berwarna kehitaman (+)
Lidah : Dalam batas normal

Leher : Kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening (-), kelenjar tiroid
dalam batas normal, tekanan vena jugularis ± 2cmH2O

Thorax : Simetris
Cor :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus kordis pada ICS V 1cm dari MCL kiri,
irama teratur
Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas bawah jantung setinggi ICS V
Batas kanan jantung PSL kanan
Batas kiri jantung ICS V MCL kiri
Auskultasi : S1, S2, tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
Palpasi : Pergerakan simetris, vokal fremitus normal normal
menurun normal
menurun normal
19

Perkusi : sonor sonor


pekak sonor
pekak pekak

Auskultasi : Vesikuler , Ronki , Wheezing

Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar/lien tidak teraba, ginjal tidak teraba, nyeri
tekan (-), nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : ascites (-)
Ekstremitas : Hangat + + , Edema - -
+ + - -

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

3.4.1 Pemeriksaan Darah lengkap (13/11/2014)

Pemeriksaan Hasil Normal Keterangan


WBC 23,03 4.0 – 11.00 Tinggi
Neu % 81,20 47.00 – 80.00 Tinggi
Lym % 10,7 13.00 – 40.00 Rendah
Mo % 7,80 2.00 – 11.00
Eo % 0,10 0.00 – 5.00
Ba % 0,2 0.00 – 2.00
Neu # 18,71 2.50 – 7.50 Tinggi
Lym # 2,46 1.00 – 4.00
Mo # 1,80 0.10 – 1.20 Tinggi
Eo # 0,10 0.00 – 0.50
Ba # 0,20 0.00 – 0.10
RBC 4,43 4,00 – 5,90
HGB 12,6 12,00 – 17,50 Normal
HCT 35,3 36,00 – 46,00 Rendah
20

MCV 79,7 80,00 – 100,00 Rendah


MCH 28,4 26,00 – 34,00
MCHC 35,7 31,00 – 36,00
PLT 450 140,00 – 440,00 Tinggi

3.4.2 Pemeriksaan Kimia Darah


Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
SGOT/AST 25,0 U/L 11.00-27.00
SGPT/ALT 41,0 U/L 11.0-34.00 Tinggi
BUN 19,00 mg/dL 10.0-23.0
Creatinine 0,78 mg/dL 0.50-1.20
Glukosa Darah Sewaktu 89,00 mg/dL 60-140
Natrium 132 135-155 Rendah
Kalium 4,1 3,6-5,5
Chlorida 104 95-108

3.4.3 Rontgen Thorak PA:


Kesan:
- Cor : besar dan bentuk normal
- Pulmo: tampak infiltrate basal paru
kanan dan kiri, tampak kavitas bulat
dengan air fluid level pada basal paru
kanan, corakan bronkovaskular
meningkat.
- Sinus pleura kanan tumpul, kiri tajam
- Diafragma kanan dan kiri normal
- Tulang-tulang: tak tampak kelainan

Kesimpulan:
Abses Paru Dextra
Pneumonia Dextra
Efusi Pleura Dextra dd/ Empyema
3.5 DIAGNOSIS

Susp. Abses Paru Dextra


Efusi Pleura Dextra dd/ empyema
Community Acquired Pneumonia (CAP) PSI class II (skor: 54)
21

3.6 PENATALAKSANAAN

MRS
IVFD RL 20 tpm
Farmadol flash jika Temp Ax >38o
Nebulizer farbivent setiap 8 jam
Methylprednisolone 2 x 62,5 mg iv
Cefoperazone Sulbactam 2 x 1 gram iv
Levofloxacin 1 x 750 mg iv

3.7 PERJALANAN PENYAKIT PASIEN


Tanggal Subyektif-Obyektif Assesment Planning
14/11/14 S : Batuk (+), sesak (+) -Susp. Abses Paru -Terapi lanjut
O: KU: sedang , CM Dextra
TD : 130/80 mmHg N:82x/mnt -Efusi Pleura Dextra
Tax: 36oC RR: 28x/mnt dd/ empyema
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/- -CAP PSI class II
15/11/14 S : Batuk (+), sesak (+) -Susp. Abses Paru -Terapi lanjut
berkurang, dahak berbau Dextra - Cek BTA Sputum
O : KU: sedang, CM -Efusi Pleura Dextra
TD : 120/80 mmHg N: 82x/mnt dd/ empyema
Tax: 36oC RR: 24x/mnt -CAP
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/-
16/11/14 S : Batuk (+), sesak (+), sakit -susp. Abses Paru -Terapi lanjut
dada kanan Dextra - Cek BTA Sputum
O: KU: Sedang, CM -Efusi Pleura Dextra - CT Scan Thorax
TD : 130/80 mmHg N: 84x/mnt dd/ empyema
Tax: 36oC RR: 28x/mnt -CAP
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/-
17/11/14 S:Batuk (+), sesak (+), nyeri (+) -susp. Abses Paru - Terapi lanjut
O: KU: sedang , CM Dextra - BTA Sputum
TD : 120/80 mmHg N: 84x/mnt -Efusi Pleura Dextra - CT Scan Thorax
Tax: 36oC RR: 26x/mnt dd/ empyema
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/- -CAP
22

Hasil Pemeriksaan Penunjang Lanjutan:


 Pemeriksaan Dahak Untuk BTA S/P/S : Negatif / Negatif / Negatif
 CT Scan Thorax (18/11/2014):

KESAN:
- Konsolidasi dengan air filling
space pada segmen postero-
lateral basal lobus inferior paru
dextra, kesan mengarah pada
pneumonia dengan
kecenderungan terjadi abscess
formation.
- Pneumonia interstisial lobus
inferior paru dextra.
- Efusi pleura dextra dd/ empyema
- Pleuritis dextra disertai
penebalan fissure oblique dextra.

18/11/14 S:Batuk (+), sesak (+),sakit dada -Abses Paru Dextra - Terapi lanjut
kanan, -Efusi Pleura
O: KU: sedang , CM Dextra dd/
TD : 130/80 mmHg N: 82x/mnt empyema
Tax: 36oC RR: 28x/mnt -Community
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/- Acquired
Pneumonia
19/11/14 S:Batuk (+), sesak (+), sakit dada -Abses Paru Dextra - Terapi lanjut
kanan -Efusi Pleura
O: KU: sedang , CM Dextra dd/
TD : 130/80 mmHg N: 82x/mnt empyema
Tax: 36oC RR: 22x/mnt -CAP
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/-
23

20/11/14 S:Batuk (+), sesak (+), sakit dada -Abses Paru Dextra - Terapi lanjut
kanan, -Efusi Pleura
O: KU: sedang , CM Dextra dd/
TD : 130/80 mmHg N: 90x/mnt empyema
Tax: 36oC RR: 28x/mnt -CAP
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/-
21/11/14 S:Batuk (+), sesak (+), -Abses Paru Dextra - Terapi lanjut
O: KU: sedang , CM -Efusi Pleura - Metronidazole
TD : 130/80 mmHg N: 82x/mnt Dextra dd/ 3x500mg flash
Tax: 36oC RR: 28x/mnt empyema - Codein 3x1 tab
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/- -CAP -farbivent @8jam
Hasil pungsi abses: pus - Pungsi Abses
22/11/14 S:Batuk (+), sesak (+) berkurang -Abses Paru Dextra - Terapi lanjut
O: KU: sedang , CM -Efusi Pleura - Konsul TS
TD : 130/80 mmHg N: 82x/mnt Dextra dd/ bedah,
Tax: 36oC RR: 22x/mnt empyema a/p dr. Krisna ,
Pulmo : Ves+/+, Rh+/+, Wh -/- -Community SpB
Acquired Rujuk SMF
Pneumonia BTKV RSUP
Sanglah
BAB IV
PEMBAHASAN

Abses paru tidak menunjukkan gejala yang spesifik dibandingkan penyakit pada paru-paru
lainnya. Berdasarkan anamnesis sulit untuk mengarahkan langsung gejala yang dialami pasien
menuju abses paru dibandingkan gangguan paru secara umum. Pada pasien IWD gejala awal
yang disampaikan oleh pasien adalah sesak napas dengan durasi yang cukup lama dan
memburuk dalam 1 hari terakhir, dirasakan sepanjang hari dan tidak membaik dengan
perubahan posisi. Pola sesak napas seperti diatas sesuai dengan sesak napas pada gangguan di
paru-paru. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah batuk lama ± 20 hari, tidak berdahak
dan dialami sepanjang hari. Pada pasien dengan batuk lama maka dapat pula muncul
kecurigaan pada infeksi TB paru atau proses infeksi paru lain yang cenderung subakut.

Selain keluhan diatas pasien juga mengalami demam dalam 3 hari terakhir yang kemudian
bersamaan dengan nyeri dada ditusuk-tusuk yang bertambah berat setiap menarik napas.
Berdasarkan keluhan ini maka dapat diperkirakan telah terjadi keterlibatan nyeri pada pleura.
Selama perjalanan penyakit ini pasien juga mengalami penurunan berat badan sekitar 2 kg
dalam 2 bulan terakhir tanpa penyebab yang jelas. Pada abses paru gejala diatas dapat sesuai
dengan teori yang ada, walaupun gejala patognomis seperti dahak yang berbau belum
ditemukan. Selain itu, pada abses paru yang tidak segera tertangani dapat disertai oleh infeksi
parenkim paru seperti pneumonia atau juga hingga keterlibatan pleura. Faktor predisposisi
yang dapat ditemukan pada pasien ini adalah adanya gigi berlubang yang telah dikeluhkan
nyeri pada giginya sejak sebulan terakhir. Dari lingkungan sosial terutama rumah pasien yang
kurang mendapatkan pencahayaan langsung menjadi salah satu faktor risiko adanya infeksi
paru.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan terdapat masalah pada breathing dengan laju respirasi
meningkat, 26x/menit yang terkonfirmasi pada pemeriksaan fisik paru dengan penurunan vocal
fremitus menurun kanan, perkusi pekak kanan pada hilus dan basal paru, serta ronki pada
auskultasi paru kanan hilus dan basal. Dari evaluasi diatas menandakan adanya konsolidasi
pada paru kanan terutama di bagian inferior paru. Pada tanda vital lain ditemukan pasien dalam
keadaan demam dengan suhu axilla 38,60C sesuai dengan keluhan demam pasien yang
memberat dalam 1 hari terakhir, dan menandakan terjadinya kejadian inflamasi sistemik akut
pada pasien. Pemeriksaan fisik lain yang cukup bermakna pada pasien adalah adanya

24
25

konfirmasi gigi berlubang tampak pada pasien, caries dental dengan warna kehitaman. Jika
melihat dari pola demam maka kecenderungan hanya terjadi infeksi anaerob seperti halnya
kejadian paling banyak pada abses paru agak berkurang, maka dapat dipertimbangkan
terjadinya infeksi paru tambahan oleh bakteri aerobik yang sesuai dengan adanya konsolidasi
pada paru-paru kanan. Lokasi konsolidasi pada paru kanan bawah sesuai dengan patofisiologi
abses paru oleh karena aspirasi kuman anaerob mulut yaitu cenderung ke lokasi segmen basal
dan superior dari lobus bawah terutama pada paru kanan.

Dalam penegakan diagnosis abses paru, diperlukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa
laboratorium, radiografi, mikrobiologi dan histologi sesuai dengan fasilitas yang tersedia.
Pada laboratorium pasien ini ditemukan adanya tanda infeksi dengan leukositosis (WBC 23,03
x 103), dengan profil meningkatnya neutrophil menandakan kecenderungan infeksi bakteri.
Selain itu ditemukan trombosit yang meningkat dapat sebagai respon inflamasi reaktif akibat
infeksi sistemik. Dari pemeriksaan kimia darah ditemukan SGPT meningkat kurang dari 2x
nilai batas atas, sehingga tidak spesifik untuk adanya kelainan hati, selain itu juga dari elektrolit
ditemukan hiponatremia ringan (Na: 132). Pada pemeriksaan radiografi thorak PA ditemukan
adanya infiltrate basal paru kanan dan kiri, tampak kavitas bulat dengan air fluid level pada
basal paru kanan. Hasil tersebut konfirmasi dugaan penyakit yang didapat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yaitu dengan diagnosis Suspek Abses Paru, Efusi Pleura Dextra
dd/Empyema, Community Acquired Pneumonia (CAP) PSI class II dengan skor 54.

Berdasarkan diagnosis kerja Abses paru yang disertai efusi pleura dan pneumonia komunitas
maka pada pasien diberikan terapi Antibiotika spectrum luas untuk saluran napas, yaitu
Sefalosporin generasi ketiga, Cefoperazone yang aktif terhadap bakteri aerobic gram positif
dan negative, serta dengan kombinasi Sulbactam yang merupakan antibiotic terhadap bakteri
yang menghasilkan enzim beta laktamase. Selain itu, pada perawatan pneumonia komunitas
yang dirawat inap maka pasien perlu mendapatkan kombinasi golongan fluorokuinolon saluran
napas, yaitu Levofloxacin dengan dosis 750mg sekali sehari. Adapun supportif pada pasien ini
diberikan nebulizer farbivent (salbutamol + ipratropium bromide) setiap 8 jam, dan
methylprednisolone untuk meredakan inflamasi yang terjadi. Penanganan pasien diatas telah
sesuai dengan panduan terapi pada pneumonia komunitas. Dalam proses perawatan, selama 4
hari pasien tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam fungsi respirasi sehingga
pemberian antibiotika empiris untuk pneumonia beserta abses paru perlu mendapatkan evaluasi
dengan melakukan penegakan diagnosis lebih lengkap terhadap diagnosis abses paru. Pasien
selanjutnya dilakukan cek BTA sputum untuk memastikan tidak adanya infeksi mikobakterium
26

TB pada pasien ini dan dilakukan CT scan thorak untuk penegakan volume kavitas abses paru.
Dari hasil pemeriksaan BTA ditemukan hasil negative, yang menandakan pasien tidak
memiliki infeksi TB paru. Pada CT scan thorak ditemukan Konsolidasi dengan air filling
space pada segmen postero-lateral basal lobus inferior paru dextra, kesan mengarah pada
pneumonia dengan kecenderungan terjadi abscess formation. Hasil CT scan ini sesuai dengan
teori yang menyatakan abses paru sering terjadi pada daerah posterior, lateral atau superior
pada lobus basal (lobus inferior) paru dextra. Berdasarkan posisi ini maka abses paru tersebut
sesuai dengan abses paru oleh karena pneumonia aspirasi, sesuai dengan predisposisi pasien
yaitu adanya gangguan periodontal maka kemungkinan bakteri yang dapat ditemukan jika
dilakukan pemeriksaan mikrobiologi adalah bakteri anaerob.

Sesuai dengan teori pada penanganan abses paru didapat komunitas dengan penyebab tersering
adalah bakteri anaerobic, maka pada pasien ini perlu mendapatkan tambahan antibiotika berupa
metronidazole 3 x 500mg secara intravena. Terapi pada pasien ini menjadi telah mendapatkan
kombinasi antibiotika untuk bakteri aerobik spectrum luas dan anaerobik. Hal ini dikarenakan
sesuai infeksi abses paru saat ini cenderung dengan penyebab polimikrobial.

Selain itu diperlukan evaluasi tambahan apakah pasien memerlukan penatalaksanaan di bidang
bedah atau tidak. Hal ini dikarenakan pasien telah mendapat terapi empiris selama hampir 1
minggu namun belum terdapat perbaikan yang signifikan. Sesuai dengan tinjauan pustaka,
indikasi untuk terapi pembedahan salah satunya adalah kegagalan berespon terhadap terapi
medis. Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan berupa drainase perkutan, lobektomi atau
pneumektomi.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan tinjauan pustaka dan laporan kasus yang telah dipaparkan diatas maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut.

1. Penyakit Abses Paru merupakan kasus yang jarang terjadi dan memiliki gejala prodromal
menyerupai penyakit pada paru lainnya, serta harus mempertimbangkan faktor
predisposisi pada pasien untuk terjadinya abses paru. Oleh karena itu, selain melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik diperlukan pula pemeriksaan penunjang laboratorium
dan radiografi dalam penegakan diagnosis abses paru.
2. Diagnosis abses paru akan cenderung disertai oleh beberapa penyakit paru lainnya sebagai
penyakit penyerta, penyakit mendasar, ataupun sebagai komplikasi dari abses paru.
3. Berdasarkan tinjauan pustaka, sebagian besar abses paru akan memberikan respon baik
terhadap antibiotika lini pertama dengan jangka waktu panjang. Sedangkan pada pasien
ini karena dipertimbangkan kurangnya respon terhadap terapi antibiotika awal dan adanya
penyakit paru penyerta lainnya maka memiliki indikasi untuk tindakan pembedahan lebih
lanjut yang dapat berupa reseksi/lobektomi atau tindakan yang lebih minimal invasive
berupa kateter drainase perkutan.
4. Kasus abses paru diatas termasuk kasus yang jarang ditemukan dan menjadi menarik serta
baik untuk dipelajari serta dianalisa lebih lanjut oleh dokter peserta program internship
bersama dokter pembimbing dan dokter pendamping.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kamangar N, Bahk JE, Peters SP, Talavera F, Rice TD, Byrd RP, et al. 2014. Lung
Abscess. Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/299425 [Akses: 8 Desember
2014].
2. Yu, Hyeon. 2011. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess.
Seminars In Interventional Radiology. Vol 28(1): 83-86.
3. Tutar N, Oymak FS, Kanbay A, Büyükoğlan H, Yildirim A, Yilmaz I, et al. 2013. Lung
abscess: analysis of the results as community-acquired or nosocomial. Turkish Journal of
Medical Sciences. 43: 255-262.
4. Subagyo A. 2013. Abses Paru. Sumber: http://www.klikparu.com/2013/01/abses-
paru.html [Akses: 11 Desember 2014].
5. Sopirala MM. 2009. Lung Abscess and Empyema: Review Questions. Self Asessment in
Infectious Disease-Hospital Physician: 27-29
6. Akgül AG, Topçu S, Liman ŞT. 2012. Lung abscess. Turkiye Klinikleri J Thor Surg. 5:
52-6.
7. Bartlett JG, Finegold SM. 1974. Anaerobic infections of the lung and pleural space. Am
Rev Respir Dis. 110(2):56-77.
8. Wang JL, Chen KY, Fang CT, Hsueh PR, Yang PC, Chang SC. 2005. Changing
bacteriology of adult community-acquired lung abscess in Taiwan: Klebsiella pneumoniae
versus anaerobes. Clin Infect Dis. 40: 915-922.
9. Takayanagi N, Kagiyama N, Ishiguro T, Tokunaga D, Sugita Y. 2010. Etiology and
outcome of community acquired lung abscess. Respiration. 80: 98-105.
10. Fernandes AM, Pedreira DG, Janeiro S, Fera M. 2014. Lung Abscess in a young patient.
11. Bouhemad B. Zhang M, Lu Q, Rouby JJ.2007. Clnical review: Bedside lung ultrasound in
critical care practice. Crit Care. 11(1):205.
12. Bartlett JG: 1987. Anaerobic bacterial infections of the lung. Chest. 91(6):901-909.
13. Sosenko A, Glassroth J. 1985. Fiberoptic bronchoscopy in the evaluation of lung abscess.
Chest. 87(4): 489-494.
14. Depkes RI. 2005. Pneumonia Aspirasi dalam Pharmaceutical Care Untuk penyakit Infeksi
saluran Pernapasan.
15. Wali, SO. An update on the drainage of pyogenic lung abscesses. Annals of Thoracic
Medicine. 2012. 7(1): 3-7.

28
29

16. Kelogrigoris M, Tsagouli P, Stathopoulos K, Tsagaridou I, Thanos L. 2011. CT-guided


percutaneous drainage of lung abscess: review of 40 cases. JBR-BTR. 94: 191-195.
17. Yunus M. 2009. CT guided transthoracic catheter drainage of intrapulmonary abscess. J
Pak Med Assoc. 59: 703-709.

Anda mungkin juga menyukai