Anda di halaman 1dari 9

CAMBUK

Kriinng Kriing...... Kriing Kriiing.......

Jam weker itu sudah berdering beberapa kali, benar benar menyebalkan! Hafidz
mengerang sesaat. Ia menyesal karena lupa mengaturnya semalam, padahal jelas-jelas hari ini
masih hari libur.

Hafidz berusaha mematikan weker sialan itu, dan dia kehilangan keiginan untuk
melanjutkan tidurya. Ia kemudian duduk termenung di tepi ranjangnya, ia masih menguap
untuk kesekian kalinya, lalu tangannya berusaha membersihkan kotoran mata yang biasanya
menempel setelah bangun tidur. Ia terdiam sembari menunggu semua jiwanya kembali
berkumpul untuk mengetahui sekelilingnya.

“Astaghfirullah,” ujar Hafidz lirih.

Sudah pukul 06.00 pagi, keterlaluan sekali! Ia meninggalkan sholat shubuhnya, lagi.
Dan masalah terbesarnya adalah hari ini adalah hari pertama puasa. Ia telah melewatkan
waktu sahur. Apa tak ada yang berusaha membangunkannya?

Hafidz beranjak dari ranjangnya dan berjalan mendekati jendela, ia meraih ujung
korden lalu menggesernya supaya cahaya matahari bisa masuk. Tapi, sepertinya sia-sia saja,
cuaca diluar mendung, mungkinkah alam mendukung suasana hatinya sekarang. Yang jelas,
semua begitu kelam sejak dua minggu yang lalu. Ia merasa kehilangan semangat hidup.

Tepatnya beberapa hari sebelum dua minggu itu, Hafidz adalah orang yang ceria,
supel, penuh rasa optimis. Hidupnya terasa menyenangkan. Seperti biasa, ia kembali meraih
peringkat pertama di semester kemarin. Pepatah yang mengatakan bahwa masa SMA adalah
masa yang paling indah sangat cocok dengannya. Namun, sekarang ia menyadari bahwa
mendapat peringkat satu bukanlah hal yang membuatnya bahagia.

Dua minggu lalu, kebahagiaan itu bak menguap tak berbekas. Kedua orang tua Hafidz
meninggal setelah mengalami kecelakaan.

Malam itu, masih jelas percakapan terakhir yang ia lakukan dengan orang tuanya.
Mereka masih terlihat baik-baik saja ketika makan malam bersama.
“Ayah, dua minggu lagi bulan puasa nih, apa ada yang sudah ayah siapkan?,” tanya
Hafidz.

Ayahnya meneguk teh anget yang ada dihadapannya, kemudian ia tersenyum lebar
dan menjawab “Tidak ada, menurutmu apa? Menurut ayah, yang penting persiapan mental
dan banyak instrospeksi diri. Ayah harap sholat tarawihmu bisa penuh. Oke?,”

Hafidz menganggukkan kepalanya.

“Ohya, apa besok kau ada acara?,” kali ini ibunya yang betanya pada Hafidz.

“Aku? Tidak ada. Ah,,, paling main ke rumah teman, Bu. Liburan semester genap
ditambah libur puasa itu bukankah sudah lebih dari cukup untuk membuat kita merasa sangat
bosan?,”

“Besok ayah dan ibu ada acara resepsi pernikahan teman ayah di Purwokerto. Jadi,
kalau kau juga pergi rumahnya akan kosong,”

“Sudah biasa kan, Bu,” sahut Hafidz, ia kembali mengisi mangkuk supnya yang sudah
kosong.

Acara makan malam adalah yang paling menyenangkan bagi Hafidz selama sehari.
Tapi, sudah dua minggu suasana itu hilang. Beginikah nasib anak tunggal, meskipun sudah
terbiasa dengan kesendirian namun sangat berbeda rasanya ketika kehilangan tempat
bersandar. Ia pikir dia sudah mandiri, tapi, kenyataannya bahkan dua minggu ini ia sering
kelaparan. Paman Neo yang tinggal bersamanya pasca kematian ayah dan ibu hanya lebih
memperhatikan Gita, putri semata wayang yang tentunya lebih berharga.

Mungkin saat inilah masa sulit dalam kehidupan datang, entah kapan akan berakhir
Selama orang tuanya hidup, belaian kasih sayang bahkan tak pernah putus. Apapun yang
menjadi keinginan Hafidz, tak jarang untuk dituruti. Demikian yang membuatnya semakin
sulit terlepas dari masa sulit itu.
“Hari ini aku harus apa?,” gumam Hafidz, ia bertanya pada dirinya sendiri.
Liburan yang menyenangkan hanya berlangsung dua hari, selebihnya berantakan. Lusa hari
aktif sekolah kembali dimulai. Liburan yang biasanya ia habiskan untuk bepergian, kali ini
justru dihabiskannya dengan dirumah paman Neo, baru dua hari yang lalu ia kembali ke
rumahnya sendiri dengan pamannya yang beromong manis akan menjaganya sampai ia
berhasil melewati masa sulit.

Hafidz menghela nafas panjang, matanya mengamati kamarnya yang berantakan


padahal baru kemarin dibersihkan. Ia hanya mengambil gulingnya yang tergeletak dibawah
ranjang dan tak meneruskan tindakan yang lainnya, ia enggan menata tempat tidurnya. Ia lalu
berjalan keluar kamar.

Sepi. Semua korden masih tertutup. Hafidz berjalan menuju dapur, masuk ke toilet
dan membasuh wajahnya. Namun, sesampainya di ruang makan pandangannya tertarik pada
secarik kertas yang tergeletak di meja.

“Pagi ini paman mengantar Gita yang ada kegiatan tadarus bersama di sekolahnya.
Mungkin jam 9 sudah selesai. Maaf, paman tidak membangunkanmu sahur. Sebenarnya
paman sendiri baru bangun setelah mendengar adzan shubuh. Gita merengek tak mau
berpuasa, tapi paman berhasil membujuknya. Kuharap kau juga memutuskan untuk
berpuasa.”

Hafidz meletakkan kertasnya kembali. Ah,,, haus sekali, gumamnya. Ia meraih gelas
yang tak jauh darinya dan menuangkan air putih. Hampir meneguknya, tapi tiba-tiba saja akal
sehatnya mencegah itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ah,,, okelah, aku akan berpuasa,” ujarnya.

Ia lalu menyambar handuknya dan masuk ke kamar mandi.

-------

Hafidz sudah berdiri dengan penampilan rapi di teras, dia menunggu paman dan
adiknya pulang. Tak lama kemudian sebuah mobil masuk dan berhenti di depan garasi.
Mereka sudah datang.
Gadis kecil berjilbab putih turun dari pintu depan dengan memeluk tas kecilnya yang
berwarna pink. “Kakak!! Wah,,, kakak sudah bangun?! Ayo main kak, aku ingin maen game
di komputernya kakak,” teriak gadis itu sembari berlari ke arah Hafidz.

“Wah,,, tapi hari ini kakak tidak bisa. Kakak ada acara,” sahut Hafidz dengan raut
muka penuh penyesalan. Merasa mendapat respon negatif, gadis itu langsung menghambur
masuk tanpa komentar apapun.

“Bagaimana kabarmu, Hafidz? Sepertinya sudah terlihat baik,” ujar pamannya yang
juga berjalan ke arah Hafidz.

“Seperti yang paman lihat sekarang. Barang-barang milik ibu dan ayah sudah selesai
kubereskan. Jadi, aku takkan menangis lagi. Hari ini aku ingin berkunjung ke rumah teman.
Liburanku hampir berakhir, paman,”

“Oke, bersenang-senanglah. Paman yang akan jaga Gita, hari ini paman libur bekerja.
Ah, apa kau berpuasa?,”

Hafidz memiringkan kepalanya, berpikir sebentar lalu mengangguk pelan.

“Baiklah, hati-hati di jalan,”

-------

Setelah hampir 90 menit berjalan kaki, Hafidz tiba di depan sebuah rumah sederhana.
Ia memencet bel yang terpasang di dekat jendela. “Assalamu’alaikum,”

Tak ada respon, ia kembali memencet belnya.

Tiga kali memencet bel, masih belum ada respon. Di menit ke empat, seorang wanita
paruh baya muncul dari samping rumah, “Adik mencari siapa?,”

“Oh, apa Arfan di rumah?,”

“Oh, adik ini temannya Den Arfan ya?, dia baru saja keluar rumah dengan nyonya
dan tuan,” kata wanita itu.
Hafidz mengangguk paham. Arfan bagaimana sih, katanya dia butuh bantuanku hari
ini, batinnya. “Baiklah, terima kasih, Bi,” jawab Hafidz. Ia melenggang pergi.

-------

Hari pertama puasa, jalan raya terlihat lebih sepi. Setelah gagal bertemu dengan
Arfan, Hafidz tak tahu lagi harus kemana. Ia tak mungkin pulang dan melakukan ini itu yang
baginya sudah membosankan. Kurang lebih dua puluh menit ia menaiki bus kota lalu sampai
di pusat kota. Di pusat kota, suasana puasa mulai terasa berkurang, beberapa toko makanan
tampak buka. Kali ini, sepertinya ia dalam masalah.

Melangkahkan kaki di sepanjang kompleks pertokoan, sampailah Hafidz pada warung


es buah. Pembelinya terlihat banyak, memang rasanya segar sekali meyeruput es di cuaca
panas seperti ini. Ia tak bisa menahan kakinya untuk berbelok dan duduk di salah satu meja
yang tersedia.

“Bapak, saya pesan satu ya! Diminum disini,” ujar Hafidz.

Lelaki penjual es itu mengangguk kemudian tersenyum pada Hafidz. Ia sibuk


melayani para pembelinya. Sementara Hafidz kembali ke tempat duduknya sembari
menunggu.

Lebih banyakan perempuan, sih. Tapi beberapa anak laki-laki juga terlihat asyik
mengobrol. Mungkin saja mereka bukan muslim atau orang-orang yang bernasib sepertiku?
batin Hafidz. Ia kemudian mengeluarkan earphonenya dan memutar beberapa lagu.

Tak jauh dari tempatnya, tiba-tiba saja mata Hafidz tertarik mengamati seorang bocah
yang tengah menjajakan beberapa koran dan majalah.
Saat bocah itu balik menatap dirinya, ia gunakan kesempatan itu untuk memberi
isyarat agar bocah itu mendekat. Sebenarnya, Hafidz bukan orang yang suka membaca berita
melalui koran. Hanya saja bukankah kita bisa mengobrol dengan siapapun.

Namun, sebuah insiden tak diinginkan tiba-tiba terjadi. Belum jauh bocah itu
melangkah, seorang pria mencurigakan yang sedari tadi berdiri tak jauh dari bocah itu
menimpuk tumpukan koran dan menyambar tas kecil yang terikat dipinggang si bocah.

Bodoh!

Hafidz tergesa-gesa beranjak dari duduknya. Ia mengambil sebuah balok kayu


dibawah gerobak es kemudian secepat kilat melemparnya ke depan. Ia tak menyadari
beberapa pasang mata memperhatikan tindakannya. Sementara bocah penjual koran itu mulai
berteriak “copet!”, Hafidz sudah berlari mengejar pria pencopet itu. Dibelakangnya bocah
penjual koran mengikutinya.

Dengan akal cerdiknya, Hafidz meraih kulit pisang yang nongol di salah satu tempat
sampah di pinggir jalan. Ia melemparkannya kedepan, dan berhasil. Pria pencopet terpelesat
dan tas kecil itu terpelanting ke belakang. “Dasar pria bodoh!,” umpatnya. Ia meraih tas kecil
itu dengan nafasnya yang masih terengah-engah.

“Terima kasih, Kak,” ujar bocah itu saat Hafidz menyerahkan tas kecil itu.

Hafidz hanya tersenyum sembari mengacak rambut bocah itu.

Bocah itu balas tersenyum. Kemudian Hafidz kembali melangkahkan kakinya


kembali ke kedai es buah tadi. Pencopet bodoh yang mencuri dompet penjual koran,
kelihatannya menarik, pikir Hafidz dalam benaknya.

“Tunggu, Kak,”

Hafidz menghentikan langkahnya ia kembali menegok ke belakang. Bocah itu


memanggilnya.

“Ayo ikut denganku,”


“Ah,,, tidak apa-apa kok, Dik. Santai saja,” Hafidz menatap mata kecil bocah itu
untuk meyakinkan bahwa dirinya tak usah diberi imbalan apapun.

“Ayo, kak,” bujuk bocah itu.

Hafidz terbengong, sungguh dia tak ingin diberi imbalan apapun, dia ikhlas tanpa
pamrih. Sebelum dia mengatakan sesuatu bocah itu sudah berjalan meninggalkan Hafidz.
Dengan terpaksa dan sedikit penasaran, akhirnya Hafidz mengikuti bocah itu.

Mereka sampai di sebuah emperan toko yang tutup. Kemudian bocah itu duduk di
bangku yang ada disana, Hafidz ikut duduk disamping bocah itu. Tak berapa lama, bocah itu
mengambil tas kecilnya.

“Tidak usah, Dik. Uangnya untuk jajan kamu saja,” ujar Hafidz.

Bocah itu tersenyum. Bukan uang. Ia justru mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas
kecilnya.

“Silahkan kakak lihat fotonya, itu alasan kenapa aku mengajak kakak,”

Sembari malu-malu Hafidz menerima foto itu, lain kali dia tak boleh seperti ini lagi.
Lama ia memandangi foto itu, mencoba menangkap apa maksud bocah itu. Kadang ia melirik
ke arah bocah itu yang tampak intens memandanginya dan membuatnya tak bisa
berkonsentrasi.

“Ah,,, bukankah kita belum berkenalan?,” tanya Hafidz. “Kakak yakin kau orang
yang baik dan kakak bukan orang yang patut dicurigai,” Hafidz mengulurkan tangannya.

“Salman,”

“Hafidz,” jawaban yang sama singkatnya. “Ohya, mungkin kau bisa ceritakan
langsung aja mengenai foto yang kau berikan padaku ini,”

“Itu adalah fotoku, ayah, dan ibuku. Orang tuaku sudah meninggal, kak.”

Hubungannya denganku? Ah, aku juga tak punya orang tua lagi, gumam Hafidz.
“Kau tahu mengapa mereka meninggal?,” tanya Hafidz.

“Latar foto itu, jika kakak perhatikan maka hampir sama dengan toko yang ada
dibelakang kita. Tiga bulan yang lalu toko itu terlihat seperti di foto, namun sekarang seperti
yang kakak lihat, bekas kebakaran.” Jelas Salman.

“Foto ini mungkin kenangan terakhir yang ditinggalkan oleh ibu dan ayah. Aku selalu
menyimpannya di dalam tas kecil ini. Aku merasa dengan begini ayah dan ibu ada selalu
bersamaku. Dan aku takkan pernah menyerah, foto ini sangat berharga.”

“Ibu pernah berpesan, jika nanti saatnya aku harus hidup sendiri. Maka, aku tak boleh
bersedih. Aku harus tetap semangat. Kelak aku akan bertemu dengan keluarga besarku.
Keluargaku yang sama sekali tidak tahu bahwa aku sekarang hidup sendiri. Orang tuaku
mewariskan toko ini padaku, namun dengan kebakaran yang tak menghasilkan sisa aku
putuskan untuk hidup seperti ini. Toh, kupikir aku akan lebih mudah ditemui ketika aku
berjalan-jalan,”

Hafidz terdiam mendengarkan cerita dari bocah itu. Ia merinding dan matanya
berkaca-kaca. Ia melihat bahwa penderitaan yang dialaminya bukan apa-apa dibanding apa
yang dialami Salman.

“Ah,,, kakak tidak puasa yaa?,” tanya Salman, membuyarkan lamunan Hafidz.

Hafidz terlihat gelagapan. “Tentu saja, kakak puasa,”

“Bagaimana dengan es buahnya?,”

“Tidak jadi,” jawab Hafidz. Salman tertawa. Siang itu Hafidz mendapat teman baru
yang menyenangkan. Dia bahkan menawarkan diri untuk membantu menjualkan koran
bersama dengan Salman.

-------

Hari menjelang sore dan Hafidz dalam perjalanan pulang. Selama perjalanan, dia
banyak berpikir. Hari ini bukanlah hari sial dalam hidupnya. Ia mendapat banyak pelajaran
dari bocah yang ditolongnya.
Bocah kecil bernama Salman yang ditemuinya memberikan hal yang selama ini tidak
disadarinya. Ia dan bocah itu mungkin mengalami hal yang sama namun ia merasa ada
perbedaan yang jauh didalamnya. Baiklah, mungkin hal yang perlu disyukuri untuk saat ini
adalah pada akhirnya ia berhasil menyelesaikan puasa dihari pertama.

------ END ------

Anda mungkin juga menyukai