Makalah Pemicu 1
Makalah Pemicu 1
PEMICU I
Perpindahan Kalor Konduksi
Kelompok 10
DEPOK 2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah Pemicu I, dengan topik Perpindahan
Kalor Konduksi ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
tugas PBL Perpindahan Kalor dan juga sebagai media pembelajaran yang mandiri untuk dapat
lebih memahami topik mengenai perpindahan kalor konduksi pada keadaan tunak dan tak tunak
serta pembahasan persoalan perpindahan kalor yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam proses penulisan makalah ini, kami menemui banyak kesulitan. Namun, berkat
bantuan dan bimbingan berbagai pihak, makalah ini akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu, kami mengucapkan kepada,
1. Dr. Dianursanti, S.T., M.T. dan Dr. Tania Surya Utami, S.T., M.T. selaku fasilitator
dan pembimbing kami dalam penyusunan makalah ini;
2. Kak Renno yang telah membantu penulis dalam pemeriksaan tugas-tugas sehingga
penulis mengetahui cara pembuatan laporan yang baik dan benar; serta
3. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini yang tidak dapat
kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa baik dalam segi sistematika penyusunan maupun materi yang
dipaparkan masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami berharap agar adanya
kritik dan saran yang sekiranya dapat membantu kami untuk perbaikan di masa yang akan
datang. Semoga makalah ini bisa bermanfaat.
Kelompok 10
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1. ALIRAN PANAS PADA DINDING DATAR BERLAPIS BANYAK .......................................... 4
GAMBAR 2. ANALOGI LISTRIK MATERIAL DATAR BERLAPIS BANYAK ............................................. 4
GAMBAR 3. PIPA SILINDER TERINSULASI ................................................................................................... 5
GAMBAR 4. GRAFIK VARIASI Q TERHADAP R ........................................................................................... 5
GAMBAR 5. ILUSTRASI EFEK TAHANAN KONTAK TERMAL .................................................................. 7
GAMBAR 6. SKETSA MASALAH KONDUKSI PADA SATU DIMENSI DENGAN PEMBENTUKAN
PANAS ................................................................................................................................................................... 9
GAMBAR 7. SKETSA ANALISIS MATEMATIK............................................................................................ 13
GAMBAR 8. PERPINDAHAN KALOR SAAT MENCAPAI MAKSIMUM ................................................... 18
GAMBAR 9. SKEMA BENDA SEMI TAK BERHINGGA .............................................................................. 18
GAMBAR 10. SKEMA BENDA SEMI TAK BERHINGGA ............................................................................ 19
GAMBAR 11. BENDA PADAT SATU DIMENSI YANG TIBA-TIBA DIBERI LINGKUNGAN KONVEKSI
PADA T∞ .............................................................................................................................................................. 23
DAFTAR GRAFIK
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
tahanan kontak termal, penentuan sudut pandang dimensi (tunggal-rangkap), serta
pendekatan analitik, grafik dan numerik.
2. Membentuk pemahaman tentang prinsip metode perpindahan kalor konduksi tak
tunak, yaitu analisis pendekatan sistem kalor tergabung, pendekatan aliran kalor
transien serta kondisi batas konveksi.
3. Mencari fakta-fakta dan isu penting terkait insulasi panas, konsep dan mekanisme
perpindahan kalor di dalamnya, penerapan perpindahan kalor secara tunak dan tak
tunak pada insulasi panas, dan pengaruh faktor-faktor tertentu pada insulasi panas
dalam proses perpindahan kalor.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tugas A
2.1.1. Soal Pertama
Bagaimana mekanisme perpindahan kalor yang terjadi pada sistem insulasi panas
yang dipasang di atap/dinding rumah?
Dalam insulasi panas, digunakan sebuah bahan isolator panas mengurangi laju
perpindahan panas itu sendiri. Panas dapat lolos meskipun ada upaya untuk
menutupinya, tetapi isolator mengurangi panas yang lolos tersebut. Kemampuan
insulasi suatu bahan diukur dengan konduktivitas termal (k). Konduktivitas termal
yang rendah setara dengan kemampuan insulasi (resistansi termal atau nilai R) yang
tinggi.
Jika sistem insulasi pada rumah dianggap tunak, maka perpindahan kalor yang
melalui insulasi dapat didasarkan hukum Fourier dasar berikut.
𝑑𝑇
𝑞 = −𝑘𝐴 .......... (1)
𝑑𝑥
Bahan dengan konduktivitas termal (k) rendah menurunkan laju aliran panas.
Jika nilai k lebih kecil, value, maka nilai resistansi termal yang berkaitan (R) akan
lebih besar. Konduktivitas termal diukur dengan satuan watt-per-meter per Kelvin
(W·m−1·K−1), dilambangkan dengan k. Semakin tebal bahan insulator, semakin
tinggi pula resistansi termal atau nilai R bahan itu.
Pada umumnya insulasi pada atap rumah atau dinding berupa bidang datar
sesuai dengan bentuk dari permukaan dinding/atap itu sendiri, sehingga mekanisme
perpindahan kalor pada insulasi dapat dianggap seperti perpindahan kalor pada bidang
datar umumnya.
3
Gambar 1. Aliran Panas pada Dinding Datar Berlapis Banyak
(sumber: Holman, J.P., “Heat Transfer”, tenth edition)
Kalor dari tempat yang suhunya tinggi akan mengalir menuju tempat yang
suhunya rendah karena adanya gradien suhu tersebut. Kalor akan bergerak melewati
insulasi terlebih dulu. Dari lingkungan medium sekitar, kalor akan berpindah secara
konveksi menuju permukaan, kemudian di dalam insulasi kalor akan merambat secara
konduksi sesuai hukum Fourier pada bidang datar pada gambar di atas, di mana bidang
datar diasumsikan sebagai sistem insulasinya.
Dalam menciptakan suatu insulator termal, sistem perpindahan panas yang
dipakai adalah dengan mengeliminasi sistem konveksi dan radiasi yang terjadi,
sehingga menyisakan komponen kecil dari konduksi panas yang terjadi. Laju kalor
yang bergerak perlahan-lahan akan berkurang dalam insulasi tersebut karena sifatnya
yang tidak baik dalam menghantarkan panas (bergantung pada karakteristik nilai k /
konduktivitas termalnya). Sehingga suhu rumah yang diinsulasi tersebut, kalor yang
masuk ataupun keluar rumah akan sangat kecil disbanding tidak menggunakan sistem
insulasi.
5
Tebal kritis insulasi bergantung pada konduktivitas termal insulasi k dan
koefisien perpindahan panas eksternal h. Nilai dari tebal kritis rcr akan besar jika nilai
k besar dan nilai h kecil. laju perpindahan panas dari silinder meningkat dengan
pertambahan insulasi untuk r2<rcr, mencapai maksimum ketika r2= rcr, dan mulai
mengalami penurunan untuk r2>rcr. Insulasi pipa meningkatkan laju perpindahan
panas dari pipa ketika r2>rcr.
Tahanan kontak termal (thermal contact resistance) terjadi apabila terdapat dua
batangan padat yang masing-masing memiliki konduktivitas yang berbeda,
dihubungkan secara paralel kemudian sisi-sisinya diisolasi, maka akan menyebabkan
terjadinya penurunan temperatur secara tiba-tiba pada persinggungan keduanya dan
aliran kalor hanya berlangsung dalam arah aksial (sejajar poros). Konduktivitas termal
kedua bahan mungkin berbeda, namun jika sisinya diisolasi, maka fluks kalor yang
melewati kedua bahan dalam keadaan tunak (steady state) harus sama.
Nilai kekasaran permukaan bidang kontak akan mempengaruhi laju
perpindahan kalor. Dengan menerapkan neraca energi pada kedua bahan tersebut,
dapat diperoleh persamaan seperti berikut:
Besaran 1/hcA dapat disebut sebagai tahanan kontak termal, dan hc merupakan
koefisien kontak. Faktor ini sangat penting dalam penerapannya karena banyak sekali
situasi perpindahan kalor yang menyangkut persambungan dua bahan.
Ada dua faktor yang menentukan perpindahan kalor pada suatu singgungan,
yaitu:
• Konduksi antara zat padat dengan zat padat lainnya pada titik-titik
Persinggungan (contact spot).
• Konveksi melalui gas yang terkurung pada ruang-ruang lowong yang terbentuk
karena persinggungan (air gap).
6
Kedua faktor tersebut diperkirakan memberikan pengaruh utama terhadap aliran
kalor, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 5. Ilustrasi efek tahanan kontak termal: (a) situasi fisis; (b) profil
suhu
(sumber: Holman, J.P., “Heat Transfer”, tenth edition)
Berikut ini adalah persamaan pada aliran kalor yang melintasi sambungan:
𝑇2𝐴 − 𝑇2𝐵 𝑇2𝐴 − 𝑇2𝐵 𝑇2𝐴 − 𝑇2𝐵
𝑞= + 𝑘𝑓 𝐴 = .......... (8)
𝐿𝑔 𝐿𝑔 𝐿𝑔 1
+ ℎ𝑐 𝐴
2𝑘𝐴 𝐴𝑐 2𝑘𝐵 𝐴𝑐
Tahanan kontak termal akan meningkat jika tekanan gas sekitar diturunkan
hingga dibawah nilai dari lintasan bebas rata-rata molekul (mean free path). Hal
tersbut terjadi karena konduktans termal efektif gas yang terkurung akan menurun
pada keadaan inI. Sebaliknya, tahanan kontak termal akan menurun jika tekanan
sambungan ditingkatkan, karena hal ini akan menyebabkan adanya deformasi kontak
(perubahan luas kontak) dan dengan demikian memperluas bidang kontak antar dua
zat padat tersebut.
Dalam kaitannya dengan sistem insulasi, U mempunyai hubungan dengan nilai R (R-
value) melalui persamaan matematis
1 .......... (13)
𝑈=
𝑅 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒
Pada dinding tiga dimensi, seperti tanur, aliran kalor pada bagian tengah dan
tepi dihitung dengan menggunakan faktor bentuk konduksi yang berbeda-beda.
Apabila semua dimensi dalam lebih besar daripada seperlima tebal dinding, maka
faktor bentuk konduksi dapat diformulasikan sebagai:
8
𝐴
𝑆𝑑𝑖𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 = .......... (15)
𝐿
𝑆𝑡𝑒𝑝𝑖 = 0,54𝐷 .......... (16)
𝑆𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 = 0,15𝐿 .......... (17)
dimana,
A = luas dinding
L = tebal dinding
Berbagai bentuk memiliki faktor konduksi yang berbeda-beda, hal ini akan
ditunjukkan pada tabel di Lampiran 1.
Pada gambar diatas, suatu dinding datar dengan sumber kalor yang terbagi rata
memiliki tebal dinding di arah x yaitu 2L, sedangan dimensi di kedua arah lain
dianggap cukup besar sehingga aliran kalor dapat dianggap menjadi satu dimensi.
Kalor yang dikeluarkan per satuan volume adalah q, dan dapat diasumsikan bahwa
konduktivitas termal tidak berubah dengan suhu. Dalam situasi praktis, keadaan ini
9
dapat terjadi jika arus listrik dialirkan melalui bahan pengantar. Berikut ini adalah
persamaan diferensial yang mengatur aliran kalor:
𝑑2 𝑇 𝑞 .......... (18)
2
+ =0
𝑑𝑥 𝑘
Sebagai kondisi batas kita tentukan suhu kedua muka dinding, yaitu:
T = Tw pada x = ± L .......... (19)
Karena suhu masing-masing dinding harus sama, maka nilai C1 harus nol. Suhu
pada bidang tengah adalah T0, sehingga dari persamaan (20) diperoleh:
𝑇0 = 𝐶2 .......... (21)
𝑞 2
𝑇 − 𝑇0 = − 𝑥 .......... (22)
2𝑘
𝑇 − 𝑇0 𝑥 2 .......... (23)
=( )
T𝑤 − 𝑇0 𝐿
Dari persamaan diatas, A adalah luas penampang pada plat. Gradien suhu pada dinding
diperoleh dengan diferensial dari persamaan (23), yaitu:
𝑑𝑇 2𝑥 2
] = (T𝑤 − 𝑇0 ) ( 2 )] = (T𝑤 − 𝑇0 ) .......... (25)
𝑑𝑥 𝑥= 𝐿 𝐿 𝑥= 𝐿 𝐿
kemudian,
2
−𝑘(T𝑤 − 𝑇0 ) = 𝑞𝐿 .......... (26)
𝐿
dan
𝑞𝐿2
𝑇0 = + T𝑤 .......... (27)
2𝑘
10
Silinder dengan Sumber Panas
Mempertimbangkan sebuah silinder dengan jari – jari dilambangkan dengan R
yang diberikan pendistribusian panas pada laju konduktivitas panas yang konstan. Jika
silinder memiliki panjang yang cukup, maka suhu hanya dapat dipengaruhi oleh
fungsi dari jari-jari.
𝑑 2 𝑇 1 𝑑𝑇 𝑞 .......... (29)
+ + =0
𝑑𝑟 2 𝑟 𝑑𝑟 𝑘
Kondisi batasnya adalah
T = Tw at r=R .......... (30)
dan persamaan menghasilkan panas sama dengan kehilangan panas pada permukaan
𝑑𝑇
𝑞𝜋𝑅 2 𝐿 = −𝑘2𝜋𝑅𝐿 ] .......... (31)
𝑑𝑟 𝑟=𝑅
Ketika fungsi suhu harus kontinu pada tengah silinder, kita harus
mengasumsikan bahwa:
𝑑𝑇
=0 at r=0 .......... (32)
𝑑𝑟
Meskipun demikian, hal tersebut tidak terlalu diperhatikan, karena sejak hal itu
akan terkalibrasi sendiri secara otomatis ketika 2 batas sudah sesuai dengan yang
seharusnya.
𝑑 2 𝑇 𝑑𝑇 −𝑞𝑟 .......... (33)
𝑟 2+ =
𝑑𝑟 𝑑𝑟 𝑘
11
𝑞𝑅 2
𝐶2 = 𝑇𝑤 + .......... (39)
4𝑘
Untuk bentuk silinder yang dibentuk dan didistribusi oleh sumber panas, maka kondisi
akan menjadi bentuk:
T = Ti pada r = ri (didalam permukaan)
T = Ti pada r = ri (didalam permukaan)
Maka menjadi
−𝑞𝑟 2
𝑇 = + 𝐶1 ln 𝑟 + 𝐶2 .......... (43)
2𝑘
Sehingga menjadi:
𝑇𝑖 − 𝑇0 + 𝑞 (𝑟𝑖2 −𝑟02 )⁄4𝑘 .......... (44)
𝐶1 =
ln(𝑟𝑖 ⁄𝑟0 )
.......... (47)
Bagian kiri dan kanan persamaan tidak saling bergantung karena x dan y adalah
dua variabel bebas dan masing-masing bagian harus sama dengan suatu konstanta.
Dengan menggunakan konstanta ini, didapatkan dua buah persamaan diferensial
𝑑2𝑥
+ λ2 𝑋 = 0 .......... (49)
𝑑𝑥 2
𝑑2𝑦
+ λ2 𝑌 = 0 .......... (50)
𝑑𝑦 2
di mana λ2 disebut konstanta separasi atau tetapan pemisahan yang nilainya harus
ditentukan dari kondisi batas. Bentuk penyelesaian persamaan (49) dan (50)
13
bergantung pada tanda λ2 apakah nol, negatif, atau positif. Dengan mensubstitusikan
nilai λ2 ke persamaan sebelumnya didapatkan distribusi T sebagai berikut:
Dapat dilihat bahwa yang sesuai dengan fungsi sinus pada persamaan ketiga
diatas adalah distribusi T untuk λ2>0. Selanjutnya digunakan pendekatan θ = T-Ti
untuk memudahkan perhitungan. Penurunan persamaan selanjutnya menghasilkan
persamaan
.......... (51)
dengan demikian, nilai sin λW harus sama dengan nol. Ada beberapa nilai λ yang
memenuhi persamaan tersebut dan dapat ditulis sebagai
𝑛𝜋
λ= .......... (52)
𝑤
dimana n adalah bilangan bulat. Jumlah ini tak berhingga sehingga dihasilkan suatu
deret
.......... (53)
yang memerlukan Cn = 0 untuk n>1. Setelah dilakukan penurunan persamaan lebih
lanjut berdasarkan kondisi batas tanpa pendekatan θ dihasilkan perpindahan kalor
memenuhi persamaan
.......... (54)
Analisis Grafik
Aliran kalor ini mengikuti hukum Fourier dengan asumsi kedalaman satu satuan:
T
q k x(1) (24) .......... (55)
y
Jika Δx = Δy, maka ΔT melintas unsur: ΔT = ΔTmenyeluruh / N
Aliran kalor yang terjadi tidak tergantung dari dimensi Δx dan Δy sehingga
aliran kalornya sama, dan perpindahan kalor total dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
M M
q k Tmenyeluruh k (T2 T1 ) (26)
.......... (56)
N N
Oleh karena itu, yang terpenting dalam metode analisis grafik ini adalah
keterampilan kita dalam menggambarkan kurvilinier dengan Δx ≈ Δy.
14
Analisis Numerik
Bila situasi yang dihadapi dibatasi kondisi geometri yang sedemikian rupa,
sehingga penyelesaian tersebut semakin kompleks dan sulit, maka pendekatan yang
tepat adalah pendekatan numerik dengan dasar sebagai berikut.
Terdapat benda dua dimensi yang terbagi atas sejumlah increment besarnya
(arah x dan y). Makin kecil increment-nya maka pendekatan terhadap distribusi
suhu juga semakin baik.
Pada kondisi itu tersebut diberikan titik-titik node, dengan m sebagai
pertambahan arah x, sedangkan n sebagai pertambahan arah y.
Penentuan suhu tiap titik digunakan persamaan awal sebagai kondisi penentu.
Secara umum, dengan menggunakan persamaan sebelumnya, didapatkan
aproksimasi beda berhingga sebagai berikut:
Tm1,n Tm1,n 2Tm,n Tm,n 1 Tm,n 1 2Tm,n .......... (57)
0 (27)
(x) 2
(y) 2
jika Δx = Δy
Tm1,n Tm1,n Tm,n1 Tm,n1 4Tm,n = 0 (28)
.......... (58)
Jika ada unsur pembangkitan kalor maka persamaannya menjadi
Tm1,n Tm1,n 2Tm,n Tm,n 1 Tm,n 1 2Tm,n q
0 .......... (59) (29)
(x)2 (y)2 k
jika Δx = Δy
q(x)2
Tm1,n Tm1,n Tm,n 1 Tm,n 1 4Tm,n = 0 .... (60) (30)
k
Jika benda padat berada dengan perumukaan datar dalam kondisi batas
konveksi dan jika Δx = Δy, maka suhu permukaan harus dihitung dengan cara
yang berbeda:
hx hx
T 2Tm1,n Tm,n1 Tm,n1 0 ..... (61)
1
Tm,n 2 (31)
k k 2
Jika benda padat berada dalam kondisi batas konveksi pada bagian sudut
maka
y Tm,n Tm1,n x Tm,n Tm,n 1 x y
k k h (Tm,n T ) h (Tm,n T ) ... (62) (32)
2 x 2 y 2 2
jika Δx = Δy
hx hx
2Tm,n 1 2 T Tm1,n Tm,n1 0 ... (63) (33)
k k
15
2.1.8. Soal Kedelapan
Apakah yang dimaksud dengan sistem tak tunak dalam perpindahan kalor?
Bagaimana metode penyelesaian dalam sistem perpindahan kalor tak tunak tersebut?
Konduksi terjadi ketika adanya gradien suhu melalui suatu padatan atau fluida
stasioner. Pada keadaan tak tunak, konduksi merupakan mekanisme perpindahan
kalor secara konduksi di mana terdapat perubahan variabel tertentu terhadap
perubahan waktu. Variabel yang dimaksud pada pernyataan di atas adalah perbedaan
temperatur.
Bilangan Biot yang kecil menunjukan hambatan konduksi yang kecil dan
gradien temperatur yang kecil pula di dalam tubuh benda. Secara umum, Analisis
Sistem Seragam dapat diaplikasikan apabila Bi ≤ 0,1. Tentu saja semakin kecilnya
bilangan Biot akan semakin membuat Analisis Sistem Tergabung semakin akurat.
Pada t = 0, benda ditempatkan ke dalam suatu medium bersuhu T∞ dan
perpindahan kalor terjadi antara benda dan lingkungannya dengan koefisien
perpindahan kalor h. Selama waktu dt, suhu pada badan benda tersebut berubah
sebesar dT. Neraca energinya dapat dituliskan sebagai berikut.
(𝑇(𝑡) − 𝑇∞ ) ℎ 𝐴𝑠 .......... (67)
𝑙𝑛 =− 𝑡
(𝑇 − 𝑇∞ ) 𝜌𝑉𝐶𝑝
16
(𝑇(𝑡) − 𝑇∞ ) .......... (68)
= 𝑒 −𝑏𝑡
(𝑇 − 𝑇∞ )
Di mana:
ℎ 𝐴𝑠
𝑏= .......... (69)
𝜌𝑉𝐶𝑝
Persamaan diatas dapat diplot seperti nampak pada Grafik berikut ini.
Total nilai perpindahan kalor antara benda dan lingkungannya selama interval
waktu t = 0 hingga t adalah perubahan yang terjadi pada benda.
𝑄 = 𝑚𝐶𝑝 (𝑇(𝑡) − 𝑇𝑖 ) .......... (71)
Total nilai perpindahan kalor mencapai batas atasnya ketika benda mencapai
suhu lingkungannya 𝑇∞ . Kemudian, perpindahan kalor maksimum antara benda dan
lingkungannya adalah
𝑄𝑚𝑎𝑥 = 𝑚𝐶𝑝 (𝑇∞ − 𝑇𝑖 ) .......... (72)
17
Besarnya perbedaan suhu maksimum dalam tubuh benda sangat dipengaruhi
oleh kemampuan konduksi ke permukaan relatif terhadap kemampuan konveksi panas
ke lingkungan yang direpresentasikan oleh bilangan Biot.
18
Bentuk semi tak hingga memiliki karakteristik termofisik yang konstan,
menandakan tidak adanya perubahan panas internal (heat generation), sehingga ada
bentukan kondisi termal di permukaan yang tepapar yang memiliki suhu awal Ti. dan
tiba-tiba diturunkan hingga menjadi 𝑇𝑂 . Perpindahan kalor disini hanya terjadi di arah
normal ke permukaan (arah x) sehingga disebut satu dimensi. Sedangkan pada suatu
kedalaman padatan tersebut besar (𝑥 → ∞) jika dibandingkan dengan kedalaman yang
dapat ditembus oleh panas, dan fenomena ini dapat dinyatakan secara matematis
sebagai kondisi batas sebagai 𝑇(𝑥 → ∞, 𝜏) = 𝑇𝑖 .
Dalam hal ini kita akan membuat persamaan yang menunjukkan distribusi suhu
pada plat tersebut sebagai fungsi waktu. Distribusi ini selanjutnya dapat kita gunakan
untuk menghitung aliran kalor pada setiap posisi x pada benda padat itu sebagai fungsi
waktu.
Konduksi panas dalam benda padat semi-tak berhingga diatur oleh kondisi
termal yang dikenakan pada permukaan terbuka, dan dengan demikian solusi sangat
bergantung pada kondisi batas pada x = 0. Ketika temperatur permukaan diubah
menjadi T0 pada t = 0 dan setiap kali dipertahankan konstan pada nilai tersebut,
persamaan diferensial untuk distribusi suhu T(x,τ) ialah
𝜕 2 𝑇 1 𝜕𝑇 .......... (73)
2
=
𝜕𝑥 𝛼 𝜕𝜏
kondisi batas: 𝑇(0, 𝜏) = 𝑇0 𝑑𝑎𝑛 𝑇(𝑥 → ∞, 𝜏) = 𝑇𝑖 .......... (74)
kondisi awal: 𝑇(𝑥, 0) = 𝑇𝑖 .......... (75)
19
Dalam kasus tersebut kita dapat menggunakan teknik transform Laplace.
Penyelesaiannya sebagai berikut
𝑇(𝑥,𝑡)− 𝑇𝑜 𝑥
= erf 2 .......... (77)
𝑇𝑖 − 𝑇𝑜 √𝛼𝜏
Persamaan ini disebut sebagai persamaan kesalahan dari η dengan grafik atau
tabel yang ada pada Lampiran 2.
Bila definisi galat tersebut disisipkan pada persamaan diatas, maka persamaan
untuk distribusi suhu menjadi
𝑇(𝑥,𝑡)− 𝑇𝑜 2 𝜂 −𝜂 2
= ∫ 𝑒 𝑑𝜂 .......... (79)
𝑇𝑖 − 𝑇𝑜 √𝜋 0
.......... (82)
20
Fluks kalor awal permukaan yang tetap sebesar 𝑞0 /𝐴 pada permukaan. Kondisi
awal dan kondisi batas menjadi
𝑇(𝑥, 0) = 𝑇𝑖 .......... (83)
𝑞0 𝜕𝑇
= −𝑘 𝜕𝑥 ] untuk 𝜏 > 0 .......... (84)
𝐴 𝑥=0
(86)
(89)
21
.......... (90)
1
𝑚 ≡ (𝑘𝑝𝑐)2 adalah faktor bobot (weighting factor) yang menentukan Ts akan
mendekati 𝑇𝐴,𝑖 (𝑚𝐴 > 𝑚𝐵 ) atau 𝑇𝐵,𝑖 (𝑚𝐵 > 𝑚𝐴 ).
22
Grafik 2. Distribusi suhu pada benda padat semi-tak-berhingga dengan kondisi
batas konveksi
(sumber: Holman, J.P., “Heat Transfer”, tenth edition)
Gambar 11. Benda padat satu dimensi yang tiba-tiba diberi lingkungan konveksi
pada T∞ : (a) pelat tak-berhingga dengan tebal 2L; (b) silinder tak-berhingga dengan
jari-jari r0; (c) bola dengan jari-jari r0.
(sumber: Holman, J.P., “Heat Transfer”, tenth edition)
23
Dalam semua kasus tersebut, suhu lingkungan konveksi ditandai dengan:
T∞ = suhu lingkungan konveksi
T0 = suhu pusat untuk x = 0 dan r = 0
Ti = suhu awal yang seragam pada titik waktu nol
Penyelesaian itu telah dikerjakan pula untuk berbagai bentuk geometri lain.
Kasus yang terpenting adalah yang berkaitan dengan plat yang ketebalannya kecil
sekali dibandingkan dengan dimensi lainnya, silinder yang diameternya kecil
dibandingkan dengan panjangnya, dan bola. Suhu benda padat tersebut merupakan
fungsi waktu dan kedudukan dalam ruang dituangkan dalam grafik yang disebut
bagan Heisler (ada pada lampiran 3) dengan mengingat definisi-definisi berikut:
𝜃 = 𝑇(𝑥, 𝜏) − 𝑇∞ = 𝑇(𝑟, 𝜏) − 𝑇∞ .......... (93)
𝜃𝑖 = 𝑇 𝑖 − 𝑇∞ .......... (94)
𝜃0 = 𝑇 𝑜 − 𝑇∞ .......... (95)
Jika suhu garis pusat yang dicari, untuk mencari nilai θ0 dan T0, hanya
memerlukan satu bagan. Sementara untuk menentukan suhu di luar pusat, diperlukan
dua bagan untuk menghitung hasil
𝜃 𝜃0 𝜃
= .......... (96)
𝜃𝑖 𝜃𝑖 𝜃0
Rugi Kalor
Rugi kalor untuk beberapa geometri ditunjukkan pada grafik pada Lampiran 4.
Persamaan untuk Rugi Kalor adalah
𝑄0 = 𝜌𝑐𝑉(𝑇𝑖 − 𝑇∞ ) = 𝜌𝑐𝑉𝜃𝑖 .......... (97)
2.2. Tugas B
2.2.1. Soal Pertama
A furnace wall is to be designed to transmit a maximum heat flux of 200 btu/lb ft3 of
wall area. The inside and outside wall temperature are to be 2000 oF and 300oF,
respectively. Determine the most economical arrangement of bricks measuring 9 by 4
½ to 3 in, if they are made from two materials, one with a k of 0,44 btu/h ft oF and a
maximum usable temperature of 1500oF and other with a k of 0,94 btu/h ft oF and a
maximum usable temperature of 2200oF. Bricks made of each material cost the same
amount and may be laid in any manner.
Jawaban
Diketahui:
Q = 200 btu/lb ft3
24
T1 = 2000oF
T2 = 300oF
Brick dimension = 9 x 4,5 x 3 in
Material brick 1: Ka = 0,44 btu/h ft oF and Tmax = 1500oF
Material brick 2: Kb = 0,94 btu/h ft oF and Tmax = 2200oF
Ditanya: Menghitung susunan batubata paling ekonomis
Jawab:
Dengan asumsi tujuan adalah insulasi, maka susunan yang paling ekonomis
adalah susunan dengan sebanyak-banyaknya material namun meemiliki konduktivitas
rendah. Untuk itu harus dicari ketebalan minimum dari material 2 (ketika suhu di sisi
luar material dalah 1500 0F), yaitu suhu dimana material 1 mulai dapat digunakan
𝑘∆𝑇
𝑞=−
𝐿
0,94×(1500 − 2000)
200 = −
𝐿
𝐿 = 2,35 𝑓𝑡 = 28,2 𝑖𝑛
Karena ketebalan dari susunan bata tidak bisa tepat 28,2 in, maka dicari nilai
terdekat yang lebih besar dari ketebalan minimum yang bisa dihasillkan dari susunan
bata, yaitu 28,5 in atau 2,375 ft. Setelah itu dihitug temperatur sisi luar material 2
untuk memperoleh temperatur sisi dalam material
0,94(𝑇 − 200)
200 = −
2,375
T = 1494,7 0F
Dari nilai tersebut, dapat diperoleh ketebalan dari material 1:
0,44(300 − 1494,7)
200 = −
𝐿
𝐿 = 2,63 𝑓𝑡 = 31,56 𝑖𝑛 ≈ 32 𝑖𝑛
Dengan asumsi yang sama seperti pada penentuan ketebalan sesungguhnya material
2, dapat diperoleh ketebalan sesungguhnya material 1, yaitu sebesar 32 in.
26
• 𝜌 : 940kg/𝑚3
• k : 0,47 W/mK
• Cp : 3.8KJ/KgK
• h : 15W/m.K
(15)(4/3)(𝜋)(0,05)3
= < 0,1
(0,47)(4)(𝜋)(0,05)2
= 0,531< 0,1
Dari perhitungan angka Biot diketahui bahwa penyelesaian menggunakan
lumped- heat parameter tak dapat digunakan. Sehingga penyelesaian perlu
menggunakan distibuted parameter.
𝛼t (0,47)t
= = 5,26 x 10−5 t
𝑟𝑜2 (940)(3800)(0,05)2
T − T∞
= 0,5
T0 − T∞
k 0,47
= = 0,627
hro 15(0,05)
Dari grafik diperoleh
X ≅ 0,17 = 5,26 x 10−5 t
t = 3232 sekon = 53,86 min
27
Grafik 3. Temperatur pada tengah bola dengan radius r0 : (a) skala penuh
(sumber: Holman, J.P., “Heat Transfer”, tenth edition)
𝑉 𝑠𝑖𝑙𝑖𝑛𝑑𝑒𝑟 = 𝜋𝑟 2 𝑡
𝜋𝑟 2 𝑡 = 0,00225
𝜋𝑟 2 (2𝑟) = 0,00225
𝑟 3 = 3,581 ×10−4
𝑟 = 0,0712 𝑚 = 7,12 𝑐𝑚
2. Menghitung biot number
ℎ𝑟𝑜
𝐵𝑖 =
𝑘
15 𝑊/𝑚2 𝐾×0,0712 𝑚
𝐵𝑖 =
0,575 𝑚𝑊/𝐾
𝐵𝑖 = 1,852
28
Karena Bi > 0,1, maka penyelesaian soal ini tidak dapat menggunakan
metode kapasitas kalor tergabung. Penyelesaian soal juga tidak dapat
menggunakan metode kondisi batas konveksi karena roast bukan merupakan
silinder tak-berhingga. Oleh karena itu, digunakanlah metode aliran kalor
transien dalam benda padat.
3. Mencari nilai t
Persamaan distribusi suhu pada aliran kalor transien
T(x,τ) − To x
= erf
Ti − To 2√aτ
95 − 190 x
= erf
5 − 190 2√aτ
x
erf = 0,514
2√aτ
x x
Melakukan interpolasi untuk mendapatkan nilai 2 pada erf = 0,514
√aτ 2√aτ
x
− 0, 48
2√aτ 0,514 − 0,503
=
0,50 − 0,48 0,521 − 0,503
x
= 0,492
2√aτ
0,071
= 0,492
2√0,137 x 10−5 τ
τ = 15338,23 s atau 4,3 jam
Jadi, waktu minimum yang digunakan untuk memasak daging tersebut adalah
sekitar 4,3 jam.
29
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan mengenai pemicu 1 “Konduksi Tunak dan Tak
Tunak” adalah sebagai berikut:
1. Perpindahan kalor merupakan salah satu jenis fenomena perpindahan di mana
kalor dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya apabila terdapat
gradien suhu.
2. Proses perpindahan kalor terbagi menjadi 3 jenis, yakni konduksi, konveksi, dan
radiasi.
3. Perpindahan kalor konduksi merupakan mekanisme perpindahan kalor dari suatu
tempat ke tempat lain melalui tumbukan antar molekul dengan menggunakan laju
aliran kalor.
4. Perpindahan kalor mengikuti Hukum Fourier yang tertulis dalam persamaan
sebagai berikut:
𝑑𝑇
𝑞 = −𝑘𝐴
𝑑𝑥
5. Faktor yang mempengaruhi perpindahan kalor konduksi adalah nilai
konduktivitas termal, luas permukaan, suhu, dan jarak.
6. Perpindahan kalor konduksi terbagi ke dalam 2 jenis, yaitu konduksi tunak
(steady state) dan konduksi tak tunak (unsteady state). Pada konduksi tunak
(steady state), tidak adanya perubahan variabel tertentu terhadap waktu.
Sementara, konduksi tak tunak (unsteady state), terdapat adanya perubahan
variabel tertentu terhadap waktu.
7. Pada konduksi tunak, hal yang berkaitan adalah nilai koefisien perpindahan kalor
menyeluruh, ketebalan kritis suatu isolator, nilai laju perpindahan kalor konduksi
tunak pada sistem dengan penampang yang berbeda dan sistem dengan sumber
kalor.
8. Penyelesaian masalah pada konduksi tunak meliputi metode matematik/analitik,
metode grafik, dan metode numerik.
9. Pada kondisi tak tunak, metode penyelesaian perpindahan kalor dilakukan dengan
metode kalor tergabung, aliran kalor transien, dan kondisi batas konveksi.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
Lampiran 1
32
Gambar (Lampiran 1.1). Faktor bentuk konduksi
(Holman, J.P. 1987. Heat Transfer 10th. New York: Mc Graw Hill)
33
Lampiran 2
34
Lampiran 3
Gambar (Lampiran 3.1). Suhu bidang tengah pelat tak-berhingga, tebal 2L.
(sumber: Holman, J.P. Perpindahan Kalor Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. 1988)
Gambar (Lampiran 3.2). Suhu sebagai fungsi suhu pusat pada pelat tak-berhingga, tebal 2L.
(sumber: Holman, J.P. Perpindahan Kalor Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. 1988)
35
Gambar (Lampiran 3.3). Suhu sebagai fungsi suhu sumbu pada silinder tak-berhingga, jari-
jari r0.
(sumber: Holman, J.P. Perpindahan Kalor Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. 1988)
Gambar (Lampiran 3.4). Suhu sebagai fungsi suhu pusat pada bola, jari-jari r0.
(sumber: Holman, J.P. Perpindahan Kalor Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. 1988)
36
Lampiran 4
Gambar (Lampiran 4.1). Rugi kalor tak berdimensi Q/Q0 dari bidang datar tak berhingga,
tebal 2L.
(sumber: Holman, J.P. Perpindahan Kalor Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. 1988)
Gambar (Lampiran 4.2). Rugi kalor tak berdimensi Q/Q0 dari silinder tak berhingga, jari-jari
r0.
(sumber: Holman, J.P. Perpindahan Kalor Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. 1988)
37
Gambar (Lampiran 4.3). Rugi kalor tak berdimensi Q/Q0 dari bola, jari-jari r0.
(sumber: Holman, J.P. Perpindahan Kalor Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. 1988)
38