Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Perpindahan kalor konveksi adalah salah satu mekanisme perpindahan kalor yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Perpindahan kalor konveksi terjadi karena adanya gradien suhu,
namun mekanismenya sedikit berbeda dengan perpindahan kalor konduksi yang juga terjadi
akibat adanya gradien suhu. Peristiwa konveksi dapat dibagi menjadi dua, yakni konveksi alami
dan konveksi paksa.
Konveksi alami dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yang nantinya dapat
mempengaruhi nilai laju kalor. Dalam konveksi alami, sejumlah bilangan-bilangan tak berdimensi
diperkenalkan dan digunakan untuk mempermudah analisis laju kalor. Konveksi alami juga dapat
kita amati langsung fenomenanya dalam kehidupan sehari-hari, seperti pengaruh konveksi pada
cuaca, iklim, dan curah hujan di dunia.
Sedangkan untuk aplikasi konveksi paksa, dapat kita amati pada alat penukar kalor (heat
exchanger). APK adalah salah satu peralatan penting yang digunakan pada hampir seluruh
industri. Selama penggunaannya di industri, alat ini pun tak lepas dari permasalahan yang kerap
kali ditimbulkannya. Masalah korosi dan pembentukan kerak adalah masalah yang sering dijumpai
pada unit APK. Munculnya permasalahan ini diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain: desain,
temperatur operasi, laju alir, pemilihan material, jenis dan dosis inhibitor korosi anti kerak yang
kurang tepat. Oleh karena itu, unit lingkungan perlu dipelihara seoptimal mungkin untuk
memperpanjang umur pelayanannya.

II. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan konveksi alami?


2. Apa saja perbedaan antara konveksi alami dan paksa?
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi laju kalor dalam konveksi alami?
4. Persamaan apa yang digunakan untuk menganalisis konveksi alami?
5. Bilangan-bilangan tak berdimensi apa saja yang digunakan dalam analisis konveksi alami?
6. Apa kaitan konveksi alami dengan curah hujan dan pemanasan global?
7. Apakah yang dimaksud dengan alat penukar kalor?
8. Bagaimanakah prinsip kerja alat penukar kalor?
9. Apa saja komponen penyusun alat penukar kalor?
10. Apa saja jenis-jenis alat penukar kalor?
11. Fenomena-fenomena apa saja yang dapat terjadi pada alat penukar kalor?
12. Parameter apa sajakah yang diperlukan untuk mengetahui kinerja suatu alat penukar kalor?

III. Informasi yang Diperlukan

1. Konsep perpindahan kalor konveksi alamiah


2. Konsep perpindahan kalor konveksi paksa
3. Jenis-jenis APK
4. Fouling factor
5. LMTD dan metode NTU-efektivitas

1
BAB II

JAWABAN PERTANYAAN

A. PEMICU III : KONVEKSI ALAMIAH

Tugas 1
1. Dapatkah anda menjelaskan, proses konveksi seperti apakah yang terjadi sebagai akibat
adanya pemanasan global?
Seperti kita ketahui, pemanasan global adalah peristiwa peningkatan suhu rata-rata
bumi akibat efek rumah kaca. Gas-gas rumah kaca menyebabkan panas matahari terperangkap
dan tidak bisa dipantulkan kembali ke atmosfer sehingga otomatis suhu bumi menjadi lebih
panas. Sedangkan proses konveksi sendiri terjadi saat udara mengalir dari daerah yang
bersuhu tinggi ke daerah yang bersuhu lebih rendah. Selama proses konveksi, udara yang
panas akan bergerak ke atas akibat pemanasan udara oleh matahari yang mengakibatkan udara
memuai sehingga udara menjadi lebih ringan dan bergerak ke atas, sedangkan udara yang
dingin akan bergerak ke bawah karena menyusut.
Nah, kalau temperatur meningkat akibat pemanasan global, maka tentu laju proses
konveksi semakin meningkat pula yang dapat berimbas pada perubahan dan ketidakstabilan
cuaca dan iklim.

2. Bagaimana anda menghubungkan proses konveksi yang terjadi di atmosfer saat ini
dengan tingginya curah hujan di Indonesia?
Pemanasan global di belahan bumi utara mengakibatkan es di kutub utara mencair
sehingga tinggi dan volume air laut meningkat, sehingga air laut yang menguap akibat proses
konveksi di lautan meningkat pula jumlahnya. Makin banyak uap, makin banyak awan
terbentuk → makin banyak hujan. Belum lagi ada perbedaan suhu antara belahan bumi utara
dan selatan, angin/udara bergerak dari tempat yang bersuhu tinggi ke suhu rendah. Angin
pasat → bergerak dari belahan bumi utara ke selatan melewati samudera luas, jadi membawa
banyak uap air, Indonesia ada di tengah di khatulistiwa. Belum lagi Indonesia sendiri memang
negara kepulauan yang dikelilingi lautan. Itulah mengapa curah hujan di Indonesia tinggi.

3. Apa yang anda ketahui tentang perpindahan kalor konveksi? Batasan apa yang harus
dipenuhi agar suatu proses perpindahan kalor bisa dikatakan terjadi secara konveksi
alami?
Perpindahan kalor konveksi terjadi akibat adanya perbedaan suhu, dimana kalor
berpindah dari tempat yang bersuhu lebih tinggi ke tempat yang bersuhu lebih rendah.
Perpindahan kalor secara konveksi dan konduksi sama-sama membutuhkan medium, tetapi
dalam konveksi, aliran kalor juga melibatkan pergerakan fluida.
Konveksi dapat terjadi secara alamiah maupun paksa. Suatu konveksi dikatakan
terjadi secara alami apabila aliran kalor terjadi akibat adanya sebab alami, bukan akibat
adanya gaya paksa dari luar. Contoh dari sebab alami ini adalah buoyancy force atau gaya
apung, yang timbul akibat adanya perbedaan densitas pada fluida setelah menerima kalor.

Jadi, batasan agar proses perpindahan kalor dikatakan konveksi alami, antara lain :

Fluida berubah densitasnya karena proses pemanasan atau pendinginan.

2
Apabila fluida di dekat permukaan padat berkurang kerapatannya akibat proses
pemanasan maka fluida di daerah tersebut akan naik karena mempunyai gaya apung
(bouyancy force) sehingga menghasilkan suatu sirkulasi.
Fluida mengalami suatu gaya dari luar yaitu gaya gravitasi.
Sedangkan batasan yang membedakan konveksi alami dan konveksi paksa adalah :
Nilai koefisien konveksi alami (h) biasanya sangat kecil karena dipengaruhi
kecepatan fluida sebagai medium perpindahan panas yang umumnya sangat
kecil.
Pada kondisi yang sama. Jumlah kalor yang dipindahkan konveksi alami lebih
sedikit dibandingkan konveksi paksa.

4. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang buoyancy force dan body force? Bagaimana
kedua gaya tersebut dapat mempengaruhi pergerakan fluida pada perpindahan kalor
konveksi alami?
Gerakan fluida dalam konveksi bebas, baik fluida itu gas maupun zat cair, terjadi
karena gaya apung (bouyancy force) yang dialaminya. Gaya apung (bouyancy force) dari
suatu fluida ialah gaya angkat yang dialami suatu fluida apabila densitas fluida di dekat
permukaan perpindahan kalor berkurang sebagai akibat proses pemanasan. Gaya apung itu
tidak akan terjadi jika fluida tidak mengalami sesuatu gaya dari luar seperti gaya gravitasi atau
gaya sentrifugal pada mesin rotasi, yang mengakibatkan arus konveksi. Jadi, jika densitas
fluida di dekat permukaan dinding berkurang, maka fluida akan bergerak ke atas membawa
kalor, dan digantikan dengan fluida di atasnya yang densitasnya lebih besar. Densitas fluida
ini juga akan berkurang akibat pemanasan, kemudian bergerak ke atas membawa kalor. Dan
fluida berikutnya yang densitasnya lebih besar bergerak ke permukaan dinding, begitu
seterusnya. Gaya apung yang menyebabkan arus konveksi-bebas disebut gaya badan (body
force).

5. Jelaskan tentang Analisis Lapisan Batas! Bagaimana analisis tersebut dapat membantu
penyelesaian permasalahan perpindahan kalor konveksi?
Konsep lapisan batas pertama kali dikemukakan oleh Ludwig Prandtl, seorang ahli
aerodinamika Jerman. Analisis gerak aliran fluida umumnya dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu daerah di mana pengaruh gaya gesekan besar dan daerah tanpa pengaruh gesekan. Pada
aliran fluida bergesekan, pengaruh gesekan akan menimbulkan lapisan batas. Lapisan batas
adalah daerah yang melingkupi permukaan aliran, di mana tepat di bawah lapisan batas
terdapat hambatan akibat pengaruh gesekan atau viskositas fluida dan tepat di atas lapisan
batas aliran fluida adalah tanpa hambatan. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari konsep
lapisan batas untuk menganalisis pengaruh hambatan fluida.

Gambar 1. Lapisan Batas Termal pada Plat Isotermal


(Sumber : Incropera & De Witt, 2007)

3
Lapisan Batas Laminar pada Plat Rata

Gambar 2. Lapisan Batas Laminar pada Plat Rata


(Sumber : Holman, 1988)

Dalam menganalisis lapisan batas laminar pada plat rata seperti pada gambar di
atas, didapatkan persamaan momentum fluida secara lengkap sebagai berikut :

(1-1)

Dari persamaan tersebut terlihat bahwa dalam menganalisis suatu aliran, terdapat
pengaruh gaya gesek dan gaya tekan yang ditunjukan pada dua suku di dalam ruas kiri
persamaan di atas. Dalam persamaan tersebut ditunjukan pengaruh kecepatan di dalam
lapisan batas dan kecepatan di luar lapisan batas . Dengan memasukkan kondisi
batas, didapatkan hubungan di antara kedua kecepatan tersebut.

(2-1)

Dari persamaan tersebut didapatkan hubungan antara ketebalan lapisan batas dengan suatu
posisi secara horizontal dari profil kecepatan yang ingin ditinjau.

(3-1)

Lapisan Batas Termal


Lapisan batas termal merupakan daerah di mana terdapat gradien suhu dalam
aliran. Dalam menganalisis sistem ini kita akan menggunakan persamaan konduksi dan
konveksi seperti yang telah dipelajari sebelumnya.

(4-1)

Dalam mempelajari teori perpindahan kalor konveksi terdapat sebuah bilangan tak
berdimensi yang dapat membantu menyelesaikan berbagai permasalahan perpindahan
kalor secara konveksi yang disebut dengan angka Nusselt.

(5-1)

Pada kondisi sistem di mana terdapat suatu plat yang sedang dialiri fluida
dipanaskan pada suhu tertentu, maka perpindahan kalornya dapat dianalisis menggunakan
angka Nusselt sebagai berikut.

4
(6-1)

Dimana menunjukan posisi di mana proses pemanasan dimulai. Persamaan di atas


berlaku jika . Jika , maka rumus di atas menjadi

(7-1)

Dengan mensubstitusikan kedua persamaan di atas, akan didapatkan nilai koefisien


perpindahan kalor pada posisi tertentu, . Setelah itu dapat dihitung nilai koefisien
perpindahan kalor disepanjang sistem atau plat dengan hubungan :

(8-1)

Analisis di atas didasarkan pada sifat yang dievaluasi dari suhu film, yaitu suhu rata-rata
antara dinding dan aliran bebas.

(9-1)

Pada kasus fluks kalor tetap, angka Nusselt adalah sebagai berikut.

(10-1)

Di mana beda suhu rata-rata adalah

(11-1)

Persamaan angka Nusselt tersebut berlaku untuk . Jika , maka


rumus di atas menjadi

(12-1)

Dengan sifat-sifat fluida dihitung dari suhu film.

Lapisan Batas Turbulen


Serupa dengan analisis lapisan laminer, dalam lapisan turbulen didapatkan angka
Nusselt sebagai berikut.

(13-1)

Pada sistem fluks kalor tetap didapatkan.

(14-1)

Di mana besarnya angka Nusselt hanya berbeda 4 persen dari rumus sebelumnya.

5
Tebal Lapisan Batas Turbulen
Pada saat aliran sudah sepenuhnya berkembang (sepenuhnya turbulen) adalah
sebagai berikut.

(15-1)

Sedangkan untuk lapisan batas yang mengikuti pola laminer sampai Re = 5 x 10 5 dan
menjadi turbulen setelahnya, maka

(16-1)

Kedua persamaan diatas berlaku untuk daerah .

Penyelesaian permasalahan perpindahan kalor konveksi dapat diselesaikan dengan


pendekatan lapisan batas. Hal ini dikarenakan dengan mengetahui lapisan batas, kita dapat
menentukan tebal dari lapisan batas pada area tertentu. Selain itu dengan mengetahui
lapisan batas, kita dapat menentukan kondisi yang diinginkan. Hal ini dikarenakan pada
permasalahan perpindahan kalor konveksi secara umum, biasanya sistem yang diinginkan
adalah turbulen, sebab aliran turbulen dapat mempermudah proses transfer panas.

Tugas 2

1. Bilangan tak berdimensi apa saja yang terlibat di dalam hubungan empiris pada
perpindahan kalor konveksi?

Bilangan Reynold (Re)


Bilangan Reynold digunakan untuk menentukan jenis aliran fluida dalam pipa atau tabung
tergolong laminer (Re < 2000), transisi (2000 < Re < 4000) atau turbulen (Re > 4000).
Bilangan Reynold dapat dinyatakan dalam bentuk :
u x u D u x Gd
Re (17-1)
v
dengan u = kecepatan aliran bebas, x = jarak dari tepi depan, v = µ/ρ = viskositas kinematik,
D = diameter pipa, dan G = kecepatan massa fluida.

Bilangan Nusselt (Nux)


Bilangan Nusselt menyatakan nilai perbandingan nilai perbandingan kalor konveksi dengan
konduksi dan digunakan untuk menentukan koefisien perpindahan kalor konveksi alami (hx).
Bilangan Nusselt dapat dinyatakan dalam bentuk :
hx L
Nu x (18-1)
k

di mana : hx = koefisien perpindahan kalor konveksi, k = konduktivitas termal, dan L =


dimensi karakteristik yang berbeda-beda, misalnya pada
 Plat : L = L = panjang plat
 Silinder : L = Do = diameter luar silinder
 Bola : L = Ro = jari-jari luar bola
 Balok : L = L’; dengan 1/L’ = (1/Lv) + (1/Lh)

6
Bilangan Prandtl (Pr)
Bilangan Prandtl merupakan parameter yang menghubungkan ketebalan relatif antara lapisan
batas hidrodinamik dan lapisan batas termal serta penghubung antara medan kecepatan dengan
medan suhu. Bilangan Prandtl didefinisikan sebagai perbandingan antara difusivitas
momentum dengan difusivitas termal yang dapat dinyatakan dalam bentuk :
v / cp
Pr (19-1)
k / cp k
di mana : v = viskositas kinematik / difusivitas momentum fluida, α = difusivitas termal, cp =
kapasitas kalor jenis zat fluida, μ = viskositas fluida dan k = konduktivitas termal.

Bilangan Grashof (G r)
Bilangan Grashof adalah perbandingan antara gaya apung dengan gaya viskos dalam sistem
perpindahan kalor konveksi bebas. Bilangan Grashof digunakan untuk menghubungkan data
konveksi alami. Bilangan Grashof dapat dinyatakan dalam bentuk :
g ( T) 2 3
L g (Tw T ) x 3
Gr 2
(20-1)
v2
di mana : g = percepatan gravitasi, = koefisien muai termal, ΔT = beda temperatur, ρ =
densitas fluida, μ = viskositas fluida, L = x = panjang signifikan, dan v = viskositas kinematik.

Bilangan Graetz (Gz)


Bilangan Graetz digunakan pada perhitungan konveksi gabungan (konveksi bebas dan
konveksi paksa) pada tabung horizontal. Bilangan Graetz dapat dinyatakan dalam bentuk :
D D
Gz Re Pr Re Pr (21-1)
L 4 x
di mana : D = diameter tabung, L = panjang tabung dan x = koordinat rektangular.

Bilangan Rayleigh (Ra)


Bilangan Rayleigh digunakan untuk menentukan transisi laminer ke turbulen dari suatu aliran
lapisan batas konveksi alami. Sebagai contoh, ketika Ra > 109, aliran lapisan batas konveksi
alami vertikal pada suatu plat rata menjadi turbulen. Bilangan Graetz merupakan perkalian
antara bilangan Grashof dan bilangan Prandtl, atau dapat dinyatakan dalam bentuk :
Ra = Gr . Pr = (22-1)
di mana : g = percepatan gravitasi, β = koefisien muai termal, v = viskositas kinematik, =
difusivitas termal, dan L = dimensi karakteristik.

2. Bagaimana mekanisme dan hubungan empiris untuk perpindahan kalor konveksi alami
pada plat dan silinder vertikal serta pada plat dan silinder horizontal?

Koefisien perpindahan kalor konveksi bebas rata-rata untuk berbagai situasi dapat
dinyatakan dalam bentuk :

Nu f C (Grf Pr f ) m
(23-1)
Dimana subskrip f menunjukkan bahwa sifat-sifat untuk gugus tak berdimensi dievaluasi pada
suhu film

7
T Tw
Tf
2
Produk perkalian antara angka Grashof dan Prandtl disebut angka Rayleigh :
(24-1)

Kekurangan dari penggunaan persamaan empiris dalam penyelesaian permasalahan konveksi


adalah dimensi karakteristik yang digunakan dalam angka Nusselt dan angka Grashof
bergantung pada geometri benda padat, dengan nilai-nilai konstanta C dan m tertentu.

A. Konveksi Bebas Plat Datar Vertikal


Bilangan nusselt untuk kasus plat datar vertikal diberikan pada rumus berikut :

(25-1)

Persamaan (25-1) menunjukan perubahan koefisien perpindahan kalor lokal sepanjang plat
vertikal. Koefisien perpindahan kalor rata-rata didapatkan dengan melakukan integrasi :

(26-1)

Untuk perubahan menurut persamaan (25-1) didapatkan koefisien rata-rata adalah

(27-1)

Untuk kasus aliran turbulen dimana bilangan nusseltnya adalah

28-1)

Rumus-rumus yang lebih rumit diberikan oleh Churchill dan Chu dan berlaku untuk rentang
angka Rayleigh (Ra = Gr Pr) yang lebih luas.

untuk RaL < 109 (29-1)

untuk 10-1 < RaL < 1012 (30-1)

Gambar 3. Lapisan Batas pada Plat Datar Vertikal


(Sumber : Holman, 1988)

8
B. Konveksi Bebas Silinder Vertikal
Permukaan Isotermal
Untuk permukaan vertikal, angka Nusselt dan angka Grashof dibentuk dengan
L, yaitu tinggi permukaan, sebagai dimensi karakteristik. Jika tebal lapisan-batas tidak
besar dibandingkan dengan diameter silinder (D), perpindahan kalor dapat dihitung
dengan rumus seperti untuk plat vertikal, dengan syarat :

(31-1)

Untuk silinder vertikal yang tidak memenuhi syarat, Bilangan Nusselt-nya


dapat diketahui dari rumus empiris umum dengan menggunakan nilai konstanta C dan
m yang diberikan pada rentang kondisi tertentu.

Fluks Kalor Tetap


Dalam kasus permukaan dengan fluks kalor tetap, laju perpindahan kalor
dapat dengan mudah diketahui dengan rumus tetapi untuk temperatur
permukaan tidak. Pada kenyataannya meningkat dengan ketinggian disepanjang
plat. Ternyata hubungan angka Nusselt untuk permukaan dengan temperatur konstan
dan fluks panas konstan hampir identik. Karena itu, relasi untuk plat isotermal dapat
juga digunakan untuk plat yang dikenai fluks panas seragam. Dengan menjadikan
temperatur pada titik tengah ( sebagai dalam evaluasi temperatur film, angka
Rayleigh, dan angka Nusselt. Diketahui sehingga angka Nusselt untuk
kasus ini dapat diekspresikan sebagai :

(32-1)

di mana adalah fluks kalor seragam.

C. Konveksi Bebas Silinder Horizontal


Pada silinder horizontal, persamaan Nusselt yang lebih spesifik dapat digunakan.

untuk 10-5<GrPr< 1012 (33-1)

Persamaan yang lebih sederhana, tetapi berlaku hanya pada aliran laminar dari 10-6 < GrdPr <
109 :

(34-1)

Persamaan perpindahan kalor dari silinder horizontal ke logam cair :


(35-1)

D. Konveksi bebas dari Plat Horizontal


Permukaan Isotermal
Dimensi karakteristik yang digunakan dalam persamaan ini ialah panjang sisi
bagi bujur-sangkar, rata-rata kedua dimensi untuk siku-empat, dan 0,9d untuk piring
bundar. Kesesuaian dapat dicapai jika dimensi karakteristik :
9
(36-1)

di mana A adalah luas, dan P merupakan perimeter basah (wetter perimeter)


permukaan itu. Dimensi karakteristik ini juga berlaku untuk bidang berbentuk tak
simetri.

Fluks Kalor Tetap


Untuk fluks kalor tetap pada plat horizontal, dapat digunakan persamaan jika
muka yang dipanaskan menghadap ke atas
untuk GrL Pr < 2 × 108 (37-1)

untuk 2 × 108< GrL Pr < 1011 (38-1)

Sedangkan untuk muka yang menghadap kebawah, digunakan


untuk 106< GrL Pr < 1011 (39-1)

Dalam persamaan di atas semua sifat, kecuali β, dievaluasi pada suhu Te yang
didefinisikan dengan
(40-1)

Dan Tw adalah suhu dinding rata-rata yang, seperti terdahulu, dihubungkan dengan
fluks kalor oleh

(41-1)

Angka Nusselt, seperti dahulu, dibentuk oleh

(42-1)

3. Bagaimana pula mekanisme dan hubungan empiris untuk sistem benda dengan bentuk
tak teratur, bola, permukaan yang miring, dan dalam ruang tertutup?

A. Benda Bentuk Tak Teratur


Tidak ada persamaan umum yang berlaku untuk benda padat yang bentuknya
tak teratur. Namun, dapat digunakan

(43-1)

Dengan C = 0,775 dan m = 0,208 untuk silinder vertikal yang tingginya sama dengan
diameternya. Angka Nusselt dan angka Grashof dievaluasi dengan menggunakan
diameter sebagai panjang karakteristik. Jika panjang karakteristik dinyatakan sebagai
jarak tempuh partikel fluida di dalam lapisan batas maka digunakan nilai C = 0,52 dan
m = ¼ untuk daerah laminer.

B. Konveksi pada Bola


Yuge menyarankan rumus empiris untuk perpindahan kalor konveksi bebas
dari bola ke udara sebagai berikut :
10
untuk 1< (44-1)

Persamaan diatas dapat diubah dengan memasukkan angka Prandtl, sehingga


didapatkan

(45-1)

Sifat-sifat dievaluasi pada suhu film dan dapat berlaku untuk perhitungan konveksi
bebas pada gas.
Untuk rentang angka rayleigh yang lebih tinggi, hasil eksperimen dari Amato dan Tien
menyarankan korelasi berikut ini :

(46-1)

Untuk rentang

C. Konveksi pada Permukaan Miring


Orientasi kemiringan plat apakah permukaannya menghadap atas atau ke
bawah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bilangan nusselt . Untuk
membuat perbedaan ini Fuji dan Imura memberikan tanda sudut θ sebagai berikut :
a. Sudut θ adalah negatif jika permukaan panas menghadap keatas.
b. Sudut θ adalah positif jika permukaan panas menghadap kebawah.
Menurut Fuji dan Imura, untuk plat miring dengan permukaan panas menghadap
5 11
kebawah pada jangkauan +θ < 88°C ; 10 < < 10 bentuk korelasinya adalah

1/4
Nu = 0.56 ( ) (47-1)

Untuk plat dengan kemiringan kecil (88°< θ <90°) dan permukaan panas menghadap
kebawah dengan rentang maka persamaannya :

Nu = 0,58 ( )1/5 (48-1)

Untuk plat miring dengan permukaan panas menghadap keatas dalam rentang
dan untuk sudut antara -15˚C dan -75˚C korelasinya
adalah

(49-1)

Di daerah turbulen, dengan fluidanya adalah udara didapatkan korelasi empiris sebagai
berikut :
untuk (50-1)

Dimana sama dengan yang digunakan pada plat vertikal. Jika menghadap kebawah,
diganti dengan .
Untuk silinder miring, perpindahan kalor laminar pada kondisi fluks tetap dihitung dengan
persamaan berikut :

(51-1)

Untuk

11
Gambar 4. Sistem Koordinat untuk Plat Miring
(Sumber : Holman, 1988)

D. Konveksi pada Ruang Tertutup


Jika terdapat fluida diantara dua plat vertikal yang terpisah dengan jarak
satu dengan lain. Jika fluida tersebut diberi beda suhu ∆Tw = T1-T2, maka terjadi
perpindahan panas. Menurut MacGregor angka Grashof dihitung sebagai :

(52-1)

Pada angka Grashof yang sangat rendah, terdapat sangat sedikit arus konveksi-bebas
dan perpindahan kalor berlangsung terutama melalui konduksi melintas lapisan
tersebut. Pada angka Grashof yang lebih tinggi, terdapat berbagai ragam aliran dan
perpindahan kalor pun meningkat dengan teratur, seperti dinyatakan melalui angka
Nusselt :

(53-1)

Perpindahan kalor ke berbagai zat cair pada kondisi fluks kalor tetap dapat dinyatakan
dengan :

(54-1)

di mana :

1 < Pr < 20000


10 < L/ < 40

(55-1)

di mana :

1 < Pr < 20
10 < L/ < 40
Untuk pemanasan atau pendinginan konveksi alamiah transien dalam ruang tertutup
berbentuk silinder vertikal atau horizontal dapat dihitung dengan :

(56-1)

untuk rentang 0,75 < L/d < 2,0.

12
4. Apa saja kekurangan dari penggunaan persamaan empiris dalam penyelesaian
permasalahan konveksi? Bagaimana antisipasi anda untuk mengatasinya?
Kelemahan dari metode pendekatan empiris adalah diperlukannya data-data
pendukung yang diperoleh dari suatu eksperimen untuk digunakan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang ada. Tanpa adanya data-data tersebut maka metode pendekatan ini
tak dapat digunakan. Selain itu penggunaan persamaan empiris dalam penyelesaian
permasalahan konveksi adalah dimensi karakteristik yang digunakan dalam angka Nusselt dan
angka Grashof bergantung pada geometri bendanya. Untuk plat vertikal hal itu ditentukan oleh
tinggi plat L, untuk silinder horizontal oleh diameter d, dan demikian seterusnya, sehingga
data eksperimen untuk soal-soal konveksi bebas terdapat dalam berbagai rujukan, dengan
beberapa hasil yang saling bertentangan.
Untuk mengantisipasinya digunakan persamaan , dengan nilai-nilai
konstanta C dan m tertentu untuk setiap kasus seperti pada Tabel 7-1 Buku Holman Edisi 10.

5. Berikan contoh sistem di mana terjadi perpindahan kalor secara konveksi bebas dan
paksa secara simultan!
Contoh sistem dari perpindahan kalor konveksi gabungan secara simultan adalah heat
exchanger. Sistem dari heat exchanger ini timbul karena adanya fluida yang dialirkan di atas
permukaan yang panas dengan kecepatan aliran paksa yang agak rendah. Bersamaan dengan
kecepatan aliran paksa, terdapat pula kecepatan konveksi yang timbul karena gaya apung yang
diakibatkan berkurangnya densitas fluida di sekitar permukaan yang panas.

Soal Perhitungan

1. Sebuah kolektor sinar matahari, berbentuk plat rata berukuran 1 m2, terletak miring
dengan sudut 20⁰ terhadap horizontal. Permukaan panas berada pada suhu 160⁰C dan
tekanan 0.1 atm. Sejajar di atas permukaan panas tersebut, dipasang jendela transparan
yang berfungsi melewatkan energi radiasi dari matahari. Jarak antara jendela
transparan dengan permukaan panas adalah 8 cm. Suhu jendela transparan
dipertahankan pada suhu 40 oC. Hitunglah perpindahan kalor konveksi alami yang
terjadi di antara permukaan panas dengan jendela transparan!

Jawab :

Diketahui:

A = 1m2

Gambar 5. Ilustrasi Kolektor Sinar Matahari


P = 0.1atm
dan Jendela Transparan
(Sumber : Personal Resource)

Asumsi: Fluida di antara plat adalah udara


Sifat udara dievaluasi pada suhu rata-rata antara kedua plat :

13
Dengan menginterpolasi Daftar A-6 halaman 591 buku Holman Ed.10, didapatkan :

Pr = 0.697

Menghitung Rayleigh Number

Menghitung konduktivitas termal efektif :

Menghitung laju perpindahan kalor

Nilai q diperoleh dari rumus :

2. Sebuah silinder vertikal dengan tinggi 1,8 m, diameter 7,5 cm, dan suhu 93˚C, berada
dalam lingkungan dengan suhu 30˚C. Hitunglah kalor yang dilepas melalui konveksi
alami dari silinder ini. Dapatkah silinder tersebut diperlakukan sebagai sebuah plat rata
vertikal? Berapakah diameter minimum yang harus dimiliki oleh silinder tersebut agar
dapat diasumsikan sebagai sebuah plat rata vertikal, bagaimanakah cara anda
menyelesaikan permasalahan diatas?

14
Jawab :

Nilai – nilai sifat dapat diperoleh dari tabel A-5 bagian apendiks buku Holman Ed.10, sebagai
berikut :

Dengan mengetahui nilai sifat-sifat tersebut nilai dapat ditentukan dengan rumus :

15
Dapatkah silinder vertikal diperlakukan sebagai plat vertikal?
Syarat sebuah silinder vertikal dapat dikatakan sebagai plat vertikal adalah :

Karena syarat tidak terpenuhi maka silinder vertikal ini tidak dapat diperlakukan sebagai plat
vertikal.
Berapakah diameter minimum yang dibutuhkan silinder vertikal agar dapat dianggap
sebagai plat vertikal ?
Memasukkan nilai Gr yang diperoleh ke dalam syarat :

Jadi diameter minimum yang dibutuhkan agar silinder vertikal dapat dianggap plat vertikal
adalah 15,20 cm.
Jika silinder tidak dapat dianalogikan dengan plat rata vertikal, bagaimanakah cara
anda menyelesaikan permasalahan di atas?
Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan pendekatan silinder vertikal dimana untuk rumus
bilangan Nu dikembangkan oleh Le Fevre dan Ede (1956), yaitu :

Sehingga,

Kemudian mencari nilai h dengan menggunakan persamaan :

Maka, kalor yang dilepaskan dari silinder vertikal :

16
B. PEMICU IV : KONVEKSI PAKSA

Tugas 1

1. Apa yang anda ketahui tentang alat penukar kalor dan bagaimana prinsip kerjanya?
Alat penukar kalor adalah sebuah alat yang digunakan untuk mentransfer panas dari
suatu fluida ke fluida lain yang berbeda suhunya. Adapun tujuan dari alat ini adalah untuk
memanaskan atau mendinginkan salah satu fluida dengan cara yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Prinsip perpindahan kalor yang digunakan adalah kalor berpindah dari suhu tinggi ke
suhu rendah. Komponen dasar dari alat penukar kalor dapat dilihat sebagai sebuah tabung
dengan suatu fluida mengalir melewatinya dan fluida lain mengalir di luarnya. Sebuah alat
penukar kalor sederhana melakukan tiga operasi perpindahan panas sebagai berikut :
Perpindahan panas konveksi dari fluida ke dinding dalam tabung
Perpindahan panas konduksi yang melewati dinding
Perpindahan panas konveksi dari dinding tabung luar dengan fluida luar

Perpindahan kalor secara radiasi pada alat penukar kalor hampir tidak ada. Hal ini dikarenakan
radiasi adalah perpindahan kalor tanpa adanya medium perantara.

Gambar 6. Ilustrasi Prinsip Alat Penukar Kalor Double Tube


(Sumber : Holman, 1988)

Penjelasan gambar di atas telah dipelajari sebelumnya pada bab konduksi, yaitu dalam
menentukan laju perpindahan kalor dan koefisien perpindahan kalor menyeluruh (U).
Berdasarkan pendekatan pada bab sebelumnya, didapatkan laju perpindahan kalornya adalah
sebagai berikut :

(1-2)

Sehingga untuk sebuah alat perpindahan kalor, jumlah kalor yang mengalir pada sistem
tersebut dapat dirumuskan :

(2-2)

di mana ΔT adalah perbedaan suhu menyeluruh dan A luas permukaan kontak, sehingga nilai
U nya adalah :

(3-2)

2. Dapatkan anda menjelaskan bagaimana alat ini diterapkan di industri? Industri mana
sajakah yang menggunakan APK ini dan bagaimana alat ini diterapkan dalam industri
tersebut?

17
Alat penukar kalor merupakan alat yang sangat vital dalam skala industri guna
menjaga suhu suatu sistem dalam suatu proses yang berlangsung. Penggunaan alat penukar
kalor ini hampir ditemui di seluruh industri, seperti otomotif, makanan, migas, dan pengolahan
limbah. Berikut ini adalah penjabaran penerapan APK dalam beberapa industri.
Industri otomotif
Salah satu penerapan APK dalam industri otomotif adalah dalam bentuk
radiator mobil. Di dalam radiator, larutan air dan etilena glikol atau yang dikenal
sebagai antibeku, memindahkan panas dari mesin mobil ke radiator dan kemudian dari
radiator ke udara mengalir melalui fluida tersebut. Proses ini membantu untuk
menjaga mesin mobil dari overheating.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Dalam sebuah siklus PLTU, aplikasi heat exchanger sangat diperlukan untuk
menjaga agar sebuah siklus pembangkit dapat terus beroperasi. Salah satu aplikasi
tersebut adalah pemakaian heat exchanger sebagai pemanas air pengisi boiler (boiler
feedwater heater). Pada umumnya pemanas air pengisi boiler ini menggunakan jenis
shell and tube heat exchanger, yang fluida kerjanya menggunakan uap yang
diekstraksi dari turbin untuk memanaskan air pengisi boiler (feedwater) sebelum
masuk ke boiler. Pada proses selanjutnya air tersebut diubah menjadi uap yang
kemudian digunakan sebagai tenaga penggerak turbin uap.
Industri Pengolahan Limbah
Dalam industri pengolahan limbah, alat penukar kalor dimanfaatkan untuk
proses pemanasan kotoran limbah. Hal ini berfungsi untuk menjaga limbah agar
mencapai pada suhu di mana dia stabil atau tidak reaktif sehingga tidak mencemari
lingkungan.

3. Bagaimana masalah dalam unit APK di atas dapat diatasi?


Masalah pembentukan korosi dan kerak dalam unit APK dapat diatasi dengan
beberapa langkah dibawah ini, di antaranya :
Membersihkan pipa-pipa sebelum melakukan start-up APK
Memasangkan penyaring (filter) pada fluida yang masuk APK
Mengatur aliran fluida karena aliran yang terlalu cepat dapat membantu proses
penimbunan kotoran dalam APK
Melakukan proteksi galvanik terhadapat unit APK

4. Apa yang anda ketahui mengenai fouling factor dan penurunan tekanan dalam alat
penukar kalor? Bagaimana keduanya dapat menurunkan kinerja dari APK?
Fouling atau pengotor merupakan pembentukan lapisan deposit pada permukaan dari
bahan atau senyawa pada proses perpindahan panas yang tidak diinginkan. Bahan atau
senyawa itu berupa kristal, sedimen, senyawa biologi, produk reaksi kimia, ataupun korosi.
Pembentukan lapisan deposit ini akan terus berkembang selama alat penukar kalor
dioperasikan. Penumpukan lapisan deposit pada permukaan alat penukar kalor menimbulkan
kenaikan pressure drop dan menurunkan efisiensi pertukaran panasnya. Untuk menghindari
penurunan performansi alat penukar kalor yang terus berlanjut, maka diperlukan suatu
informasi yang jelas tentang tingkat pengotoran untuk menentukan jadwal pembersihan.
Lapisan pengotor dapat berasal dari partikel-partikel atau senyawa lainnya yang
terbawa oleh aliran fluida. Pertumbuhan lapisan ini dapat didukung oleh permukaan deposit
yang terbentuk mempunyai sifat adhesif yang cukup kuat. Gradien temperatur yang cukup
besar antara aliran dengan permukaan dapat juga meningkatkan kecepatan pertumbuhan
deposit.
18
5. Selain kedua hal tersebut, faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja dari
sebuah alat penukar kalor?
Selain faktor pengotor dan penurunan tekanan, terdapat faktor lainnya yang
menyebabkan perubahan kinerja dari alat penukar kalor :
Penambahan sekat (baffle) pada APK cangkang dan buluh
Penambahan sekat bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pertukaran panas
dengan membuat aliran fluida menjadi turbulen dan menambah waktu tinggal dari
fluida tersebut. Namun demikian, pemasangan sekat akan memperbesar penurunan
tekanan operasi dan menambah beban kerja pompa, sehingga laju alir fluida yang
dipertukarkan panasnya harus diatur.
Laju alir fluida
Secara teoritis kenaikan kecepatan aliran dapat menaikkan efektivitas dari alat
penukar kalor. Namun demikian, hal ini membuat waktu kontak menjadi singkat.
Sehingga, efektivitas APK akan naik seiring dengan kenaikan kecepatan hingga suatu
harga tertentu dan kemudian akan turun.

Tugas 2

1. Apa yang dimaksud dengan analisis dinamika fluida? Bagaimanakah analisis ini
membantu dalam menyelesaikan permasalahan pada perpindahan kalor konveksi
paksa?
Perpindahan kalor konveksi paksa merupakan proses perpindahan panas konveksi
yang terjadi di mana pergerakan fluida diakibatkan oleh gaya luar. Konveksi paksa sering
diterapkan pada proses pemanasan atau pendinginan pada skala industri. Dalam meyelesaikan
permasalahan perpindahan kalor konveksi paksa kita memerlukan suatu analisis dinamika
fluida.
Analisis dinamika fluida merupakan suatu metode untuk mengidentifikasi suatu fluida
yang bersifat dinamis atau tidak tetap. Analisis ini dapat membantu dalam penyelesaian
perpindahan kalor secara konveksi paksa untuk mengidentifikasi jenis aliran fluidanya.
Misalnya untuk menganalisis apakah aliran fluida tersebut viscous atau inviscid maupun
membedakan aliran laminer atau turbulen. Dalam menyelesaikan analisis dinamika fluida
sifat-sifat yang perlu dianalisis adalah kerapatan, tekanan dan suhu.
Analisis dinamika fluida dapat membantu untuk memahami perpindahan kalor
konveksi dalam analisis lapisan batas. Besar laju perpindahan kalor dari permukaan yang
dipanaskan ke fluida atasnya dapat diketahui dengan menganalisis lapisan batas dan
menentukan pengaruh aliran tersebut terhadap gradien suhu dalam fluida. Setelah itu dapat
diketahui distribusi suhunya.

2. Bagaimana mekanisme dan hubungan empiris untuk perpindahan kalor konveksi paksa
pada aliran didalam pipa? Bagaimana pada aliran yang menyilang silinder dan bola?

Rumus-Rumus Empiris Aliran Dalam Pipa dan Tabung


Untuk aliran turbulen yang sudah berkembang penuh (fully developed turbulent
flow) dalam tabung licin, oleh Dittus dan Boelter disarankan persamaan berikut :
(4-2)

Untuk persamaan ini sifat-sifat ditentukan pada suhu fluida limbak, dan nilai eksponen n
adalah sebagai berikut :
19
Persamaan (4-2) juga berlaku untuk aliran turbulen yang tidak berkembang sepenuhnya di
dalam tabung licin, dengan fluida yang angka Prandtl-nya berkisar antara 0,6 sampai 100,
dan dengan beda-suhu moderat antara dinding dan fluida.
Jika terdapat beda suhu yang cukup besar di dalam aliran itu, maka ada
kemungkinan terjadi perbedaan sifat-sifat fluida pada dinding tabung dan aliran tengah.
Perbedaan sifat ini akan terlihat pada perubahan profil kecepatan. Penyimpangan profil
kecepatan aliran isotermal diakibatkan oleh kenaikan viskositas gas dengan kenaikan
suhu; sedang pada zat cair viskositas menurun dengan kenaikan suhu. Untuk
memperhitungkan variasi sifat-sifat, Sieder dan Tate menyarankan rumus berikut :
(5-2)

Semua sifat-sifat ditentukan pada suhu-ruah, kecuali w yang ditentukan pada


suhu dinding. Persamaan (4-2) dan (5-2) berlaku untuk aliran yang sudah sepenuhnya
turbulen, di dalam tabung. Pada bagian pintu-masuk, di mana aliran belum berkembang,
Nusselt menyarankan rumus berikut :
(6-2)

di mana L ialah panjang tabung, dan d diameternya. Sifat-sifat dalam Persamaan (6-2)
ditentukan pada suhu-borongan rata-rata. Persamaan-persamaan di atas memungkinkan
perhitungan yang sederhana, tetap tidak jarang kesalahannya sampai ± 25 persen.
Petukhov mengembangkan persamaan yang lebih teliti, namun lebih rumit, untuk
aliran yang sepenuhnya turbulen dalam tabung licin :

(7-2)

dimana n = 0.11 untuk Tw>Tb, n = 0.25 untuk Tw<Tb, dan n = 0 untuk fluks-kalor tetap dan
untuk gas. Semua sifat ditentukan pada Tf = (Tw + Tb)/2, kecuali untuk b dan w . Faktor
gesek (friction factor) untuk tabung licin, bisa didapatkan dari persamaan berikut :

Persamaan (7-2) berlaku untuk rentang :

Hausen menyajikan rumus empiris berikut untuk aliran laminar yang berkembang
penuh, dalam tabung, pada suhu tetap :

20
(8-2)

Koefisien perpindahan-kalor yang dihitung dan rumus ini merupakan nilai rata-rata untuk
seluruh panjang tabung. Perhatikan bahwa angka Nusselt mendekati nilai tetap 3,66
bilamana tabung cukup panjang.
Suatu rumus empiris yang agak sederhana, untuk perpindahan kalor aliran laminar
dalam tabung, diusulkan oleh Sieder dan Tate :

(9-2)

Dalam rumus ini koefisien perpindahan-kalor didasarkan atas rata-rata aritmetik beda-
suhu masukan dan keluaran, sedang semua sifat fluida ditentukan pada suhu fluida
borongan rata-rata, kecuali w yang ditentukan pada suhu dinding.
Persamaan (9-2) jelas tidak bisa digunakan untuk tabung yang sangat panjang,
karena hal ini akan menghasilkan nilai nol untuk koefisien perpindahan-kalor.
Perbandingan yang dibuat Knudsen dan Katz antara Persamaan (9-2) dan rumus-rumus
d
lain menunjukkan bahwa persamaan itu berlaku untuk : Re d Pr 10
L
Perkalian antara angka Reynolds dan angka Prandtl yang terdapat dalam koreksi untuk
aliran-laminar disebut angka Peclet (Pe) :

(10-2)

Korelasi empiris yang disajikan di atas, kecuali Persamaan (6-2), berlaku untuk
tabung licin. Korelasi untuk tabung-tabung kasar belum banyak terdapat, dan dalam hal itu
mungkin lebih tepat jika kita menggunakan analogi Reynolds antara gesekan fluida dan
perpindahan-kalor untuk menyelesaikan soal-soal demikian. Dengan angka Stanton :

(11-2)

Koefisien gesek (friction coefficient) didefinisikan oleh :


(12-2)

di mana um ialah kecepatan aliran rata-rata. Nilai koefisien gesek untuk berbagai kondisi
kekasaran-permukaan dapat dilihat dalam Gambar 6-4 Buku Holman Edisi 10.
Dalam Persamaan (11-2) angka Stanton didasarkan atas suhu-ruah, sedang angka Prandtl
dan faktor gesek didasarkan atas sifat-sifat yang ditentukan pada suhu-film.
Jika penampang saluran tempat fluida itu mengalir tidak berbentuk lingkaran, maka
disarankan agar korelasi perpindahan-kalor itu didasarkan atas diameter hidraulik DH,
yang didefinisikan oleh :
(13-2)

di mana A ialah luas penanpang aliran, dan P perimeter yang basah. Pengelompokan suku
ini dilakukan karena menghasilkan diameter fisis sebenarnya apabila diterapkan pada
penampang berbentuk lingkaran. Diameter hidraulik harus digunakan dalam menghitung

21
angka Nusselt dan angka Reynolds, dan dalam menentukan koefisien gesek yang akan
dipergunakan dalam analogi Reynolds.
Shah dan London telah menghimpun informasi tentang gesekan-fluida dan
perpindahan-kalor untuk aliran laminar yang berkembang penuh di dalam saluran dengan
berbagai bentuk penampang (dapat dilihat dalam Tabel 6-1 Buku Holman Ed.10).
Kays dan Sellars, Tribus, dan Klein sudah menghitung angka-angka Nusselt lokal
dan rata-rata untuk bagian pintu-masuk yang laminar pada tabung-tabung bundar untuk
kasus profil-kecepatan yang berkembang-penuh. Hasil analisis ini ditunjukkan pada
Gambar 6-5 Buku Holman Ed.10 dengan menggunakan inversi angka Graetz, di mana :
(14-2)

Efek pintu-masuk untuk aliran turbulen dalam tabung lebih rumit dari pada aliran laminar,
dan tidak dapat dinyatakan dengan fungsi sederhana dan angka Graetz. Kays sudah
menghitung pengaruh beberapa nilai angka Re dan Pr ordinat pada gambar itu ialah
perbandingan angka Nusselt lokal atau angka Nusselt pada jarak tertentu dari pintu-
masuk, atau, pada kondisi termal yang sudah berkembang penuh.

Aliran Penampang Bola dan Miring


Koefisien perpindahan kalor rata-rata dalam aliran silang ditentukan melalui data
eksperimental dari Hilbert untuk gas dan dari Knudsendan Katz untuk zat cair dinyatakan
sebagai :

(15-2)

di mana konstanta C dan n sesuai dengan daftar pada Tabel 6-2 Buku Holman Ed.10.
Fand menunjukkan bahwa koefisien perpindahan kalor dari zat cair ke silinder dalam
aliran silang dapat diberikan dengan rumus yang lebih baik :

(16-2)

berlaku untuk

Untuk perpindahan kalor dari bola ke aliran fluida :

untuk 17< (17-2)

Achenbach mendapatkan persamaan yang berlaku untuk udara dengan Pr = 0,71 dan
rentang dan rentang angka reynolds yang lebih luas lagi :

untuk 100<Re< 3x (18-2)


untuk 3x < Re < 5x (19-2)

Dengan a = 5x ; b = 0,25x ; c = -3,1x


Untuk perpindahan kalor dari bola ke minyak dan air dengan rentang angka Reynolds
yang cukup luas, yaitu dari 1 sampai 200000 :

22
(20-2)

3. Jelaskan mekanisme dan hubungan empiris untuk perpindahan kalor pada aliran yang
menyilang rangkunan tabung dengan susunan tertentu? Bagaimana anda menjelaskan
bahwa ternyata susunan (layout) dari tabung mempengaruhi besarnya kalor yang
dipertukarkan?
Oleh karena kebanyakan susunan alat penukar panas menyangkut tabung yang
tersusun rangkap, maka masalah perpindahan panas dalam rangkunan tabung merupakan hal
yang penting.

Gambar 7. Rangkunan Tabung (a) Segaris (b) Selang-seling


(Sumber : Holman, 1988)

Menyilang akan menabrak permukaan pipa dengan jumlah yang berdeda. Hal ini akan
berpengaruh pada efisiensi pertukaran panas. Dalam efisiensi pertukaran panas kita harus
memperhitungkan beberapa faktor seperti luas permukaan yang ditabrak, pressure drop, dan
juga waktu tinggal fluida.
Hal ini sejalan dengan persamaan pressure drop yang dilihat dari susunan tabung
(21-2)

Dari persamaan ini dapat dilihat bahwa semakin banyak baris yang melintang maka
pressure drop akan semakin tinggi hal ini menyebabkan kecepatan aliran akan menurun dan
perpindahan kalor akan lambat.
Selanjutnya oleh Jacob, faktor friksi diberikan :
untuk baris selang-seling (22-2)

untuk baris segaris (23-2)


Dari persamaan yang dikembangkan ini dapat dilihat bahwa dalam aliran dengan
tabung selang-seling dan sejajar nilai faktor friksi untuk selang seling akan jauh lebih besar
dari pada aliran yang sejajar.
Dari semua persamaan di atas dapat disimpulkan bawa alat penukar panas dengan
tabung selang-seling akan menghasilkan pressure drop dan faktor friksi yang lebih tinggi.
Namun dengan menggunakan layout selang-seling maka cross section area pada alat penukar
panas akan lebih luas dan membuat perpindahan panas lebih tinggi (dengan mengabaikan
faktor negatif yang terjadi).

4. Jelaskan tentang metode NTU-Efektivitas serta keunggulannya! Kapan metode ini dapat
diaplikasikan?

23
Metode NTU-efektivitas merupakan suatu metode untuk menentukan efektivitas dari
suatu alat penukar kalor. Efektivitas penukar kalor (heat-exchanger effectiveness)
didefinisikan sebagai berikut :

(24-2)
Persamaan efektivitas untuk aliran sejajar dalam NTU-efektivitas adalah sebagai berikut :

(25-2)
Sedangkan persamaan efektivitas untuk aliran lawan arah adalah sebagai berikut :

(26-2)

di mana C = dinamakan laju kapasistas (capacity rate). Sedangkan pada persamaan di


atas, fluida panas dianggap sebagai fluida maksimum dan fluida dingin dianggap sebagai
fluida minimum. Suku merupakan jumlah satuan perpindahan (number of transfer
unit = NTU) karena memberi petunjuk tentang ukuran penukar kalor.
Metode NTU-efektivitas memiliki beberapa keuntungan untuk menganalisis soal-soal
di mana kita harus membandingkan berbagai jenis penukar kalor guna memilih jenis yang
terbaik untuk melaksanakan sesuatu tugas pemindahan kalor tertentu.
Metode NTU-efektivitas dapat diaplikasikan ketika kita harus menentukan suhu
masuk atau suhu keluar pada suatu sistem penukar kalor. Hal ini dikarenakan metode NTU-
efektivitas akan melakukan analisis berdasarkan atas efektivitas penukar kalor dalam
memindahkan sejumlah kalor tertentu. Apabila suhu masuk atau suhu keluar diketahui, maka
metode LMTD lebih cocok untuk digunakan karena lebih mudah untuk dihitung.

5. Bagaimana cara menentukan besarnya faktor pengotor (dirt factor) pada sebuah APK?
Lapisan deposit pada alat penukar kalor memberikan tahanan tambahan terhadap
aliran kalor. Pengaruh menyeluruh dari penjelasan di atas dapat dinyatakan sebagai faktor
pengotor, Rf. Faktor pengotoran harus didapatkan dari percobaan, yaitu dengan menentukan U
untuk kondisi bersih dan kondisi kotor pada alat penukar kalor tersebut. Faktor pengotoran,
oleh karena itu didefinisikan sebagai :
(27-2)

Nilai faktor pengotoran yang disarankan untuk berbagai fluida tertera dalam tabel berikut :

Tabel 1. Daftar Faktor Pengotor Normal


(Sumber : Holman, 1988)

24
Selain persamaan di atas, faktor pengotor dapat didefinisikan ke dalam suku fluks panas dan
gradien temperatur, Q/A dan ∆Tf sebagai berikut.

(28-2)

Soal Perhitungan

1. Hot water enters a counter flow heat exchanger at 99oC. It is used to heat a cool stream of
water from 4 to 32oC. The flow rate of the cool stream is 1.3 kg/s, and the flow rate of the
hot stream is 2.6 kg/s. The overall heat-transfer coefficient is 830 W/m2.oC. What is the area
of the heat exchanger? Calculate the effectiveness of the heat exchanger!
Diketahui :
Aliran lawan arah
= 99oC
= 4oC
= 32oC
= 1,3 kg/s
= 2,6 kg/s
= 830 W/m2.oC
= 4180 J/kg.oC
Ditanya :
A = ?
= ?
Asumsi :
 Jenis alat penukar kalor = pipa ganda
 = 4180 J/kg.oC (fluida panas dan dingin sama-sama air

Jawab :
 Mencari suhu keluar fluida panas
kalor lepas = kalor terima

 Suhu masuk dan keluar baik fluida dingin maupun panas telah diketahui, maka bisa dicari
∆Tm

25
 Mencari luas yang diperlukan alat penukar kalor

 Mencari nilai efektivitas


Nilai fluida dingin lebih kecil, brarti fluida minimumnya → fluida dingin. Sehingga :

2. 75,000lb/hr of ethylene glycol is heated from 100 to 200⁰F using steam at 250⁰F. Available
for the service is a 17¼ inch. ID 1-2 exchanger having 224 tubes ¾ inch. OD, 14 BWG,
16’0” long on 15/16 inch. Triangular pitch. Baffles are spaced 7 inch apart. What is dirt
factor?
Diketahui : m ethylene glycol = 75.000 lb/hr
T1 in = 1000F T1 out = 2000F
0
T2 in = 250 F T2 out = 2500F

Karakteristik APK :
Diameter dalam shell (ID) = 17,25 inch
Jarak antar baffles (b) = 7 inch
Diameter luar tube (OD) = 0.75 inch
Panjang tube (L) = 16 ft
Jenis tube = 14 BWG
Pitch tube (Pt)= 15/16 inch
Jumlah tube (Nt) = 224
Passes tube side (npass) = 2
Passes shell side = 1
Ditanya: Rf = ?
Asumsi :

Pada APK, steam (fluida panas) mengalir pada tube sedangkan etilen glikol (fluida
dingin) mengalir pada shell. Pemilihan fluida ini disebabkan karena uap yang
terkondensasi bersifat korosif sehingga perawatan APK akan lebih mudah jika uap
dialirkan di dalam tube.
Steam diasumsikan memiliki sifat-sifat termal yang sama dengan air untuk menentukan
nilai viskositas.
Tidak ada aliran kalor antara sistem dan lingkungan.
Kalor yang dilepas oleh steam hanya digunakan untuk berubah wujud menjadi cair dan
tidak digunakan untuk menurunkan suhunya.
Basis : 1 jam

Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghitung nilai Rf :


1. Menentukan besarnya Q dan massa steam yang masuk dengan menggunakan asas Black
(kalor yang dilepas = kalor yang diterima).
Data-data yang dibutuhkan untuk menghitung nilai Q :
 cetilen glikol = 0,63 Btu/lb.0F
26
 Lsteam = 900 Btu/lb.
Q = m.c. ∆T = (75.000 lb/hr)(0,63 Btu/lb. 0F)[(200-100)0F] = 4.725.000 Btu/hr
Qlepas (steam) = Qterima (etilen glikol)
ms . L + ms .c . ∆T = me .c . ∆T
ms . L + ms .c . (250 – 250)oF = me . c . ∆T
ms.L = me.c.∆T
ms. 900 Btu/lb = 4.725.000 Btu/hr
msteam = 5.250 lb/hr

2. Menghitung ∆Tlm dengan metode LMTD

3. Untuk shell (fluida panas)  steam

4. Untuk tube (fluida dingin)  etilen glikol


Tube pitch merupakan penjumlahan dari diameter tube dan jarak ruangan (C’). Jadi :

27
5. Mengitung Rf
hio.ho 1500 .250 ,607
Uclean = 214 ,7315 Btu/ft2.0F.hr
hio ho 1500 250 ,607
Menghitung Utotal
a” = 0,1963 ft2  didapat dari tabel 2 buku Kern
A = N.L.a” = 224. 16”.0,1963 ft2 = 703.54 ft2

Q 4725000Btu / hr
Udirt = 73,79Btu / hr. ft 2 .o F
A. Tl m 703,54 ft 2 .91,02o F
Uclean Udirt 214 ,7315 73,79
Rf = 0.0089 hr. ft 2 .o F / Btu
Uclean.Udirt 214 ,7315 x 73,79

Jadi, dirt factor = 0.0089 hr. ft 2 .o F / Btu

28
BAB III

KESIMPULAN

A. Konveksi Alamiah
Konveksi terjadi akibat adanya perbedaan suhu, membutuhkan medium dan melibatkan aliran fluida.
Perbedaan konveksi alami dan paksa adalah sebab terjadinya konveksi. Konveksi alami terjadi akibat
adanya sebab alami seperti gaya apung, sementara konveksi paksa terjadi akibat adanya gaya luar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konveksi alami adalah faktor bentuk, kecepatan fluida dan jenis
fluida.

Angka-angka tak berdimensi yang digunakan untuk perhitungan konveksi alami adalah bilangan
Reynold, Prandtl, Grashof, Graetz dan Nusselt.

Penyelesaian masalah konveksi sering menggunakan pendekatan persamaan empiris (hasil eksperimen)
karena kompleks. Penggunaan pendekatan persamaan empiris harus memperhatikan bentuk geometri
benda dan kondisi sistem.

B. Konveksi Paksa
Alat penukar kalor adalah alat yang difungsikan untuk melakukan perpindahan sejumlah kalor atau
panas dari suatu fluida ke fluida yang lainnya. Tujuan perpindahan panas ini di dalam proses produksi
adalah untuk memanaskan ataupun mendinginkan suatu fluida hingga mencapai temperatur tertentu
yang diinginkan ataupun juga bertujuan untuk mengubah keadaan (fase) fluida dari satu fase ke fase
yang lainnya.

Jenis-jenis alat penukar kalor antara lain double pipe heat exchanger, shell and tube heat exchanger,
compact heat exchanger dan lain-lain. Masing-masing jenis memiliki kompleksibilitas dan tujuan
penggunaan yang berbeda.

Parameter untuk mengukur kinerja alat penukar kalor antara lain faktor pengotor, LTMD, dan metode
NTU-efektifitas.

29
DAFTAR PUSTAKA

Anonym. (2014) Corrosion Behaviour of Heat Exchangers. [Online] Available at :


http://www.amag.at/fileadmin/AMAG/AMAG/Documents/Specifications/Clad_Brazing/Lot-EN-
Korrosion.pdf (Accessed 28 April 2014).
Cengel, A. Yunus. (2003). Heat Transfer 2th Edition. Singapore : McGraw-Hill Book Company.
Handoyo, E.A. (2000) Jurnal Teknik Mesin : Pengaruh Kecepatan Aliran Terhadap Efektivitas Shell-and-Tube
Heat Exchanger. [Online] Available at :
http://puslit.petra.ac.id/journals/mechanical/ (Accessed 28 April 2014).
Holman, J.P. (Terjemahan : Ir. E. Jasjfi, M.Sc). (1988). Perpindahan Kalor Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga.
Holman, J.P. (2010). Heat Transfer Tenth Edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.
Incropera, Frank P. et al. (2011). Fundamental of Heat and Mass Transfer Seventh Edition. USA : John Wiley
& Sons, Inc.
Kern, Donald Quentin. (2010). Process Heat Transfer. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.
Lytron. (2012) What is Heat Exchanger?. [Online] Available at :
http://www.lytron.com/Tools-and-Technical-Reference/Application-Notes/What-is-a-Heat-Exchanger
(Accessed 28 April 2014).

30

Anda mungkin juga menyukai