Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah tuberkulosis (TB) paru sampai saat ini menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan patut menjadi sorotan utama di Indonesia karena Indonesia
merupakan Negara yang menyumbang kasus TB paru paling besar di dunia setelah
India dan Cina.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
Kasus TB telah menginfeksi 95% penduduk negara - negara berkembang. Pada tahun
2006 terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB dunia dan terjadi kira-kira 1,7 juta
kematian karena TB pada tahun 2006. Kematian wanita akibat TB lebih banyak
daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada Negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries).
Menyingkapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (global emergency).
Di Indonesia sendiri pada tahun 1995 dilaporkan ada sebanyak 460.190 orang
penderita TB. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995
diketahui bahwa TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan usia, dan
merupakan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Di Palu,
angka penemuan penderita baru (Case Detection Rate) pada Tahun 2008 adalah sebanyak
24,6% sedang perkiraan suspek TB Paru sebanyak 1.361 dan yang positif TB Paru sebanyak
159. Pada Tahun 2007 perkiraan suspek TB Paru sebanyak 2.659 dan yang positif TB Paru
sebanyak 223 orang dengan Cure Rate (angka kesembuhan) sebanyak 203 orang atau 91%
sudah di atas target nasional (85%). Sedang angka konversi pada Tahun 2008 sebesar 93,1%
di atas target nasional (>80 %). Pada tahun 2010 di wilayah Puskesmas Singgani terdapat
sebanyak 23 kasus BTA Positif, BTA negatif 289 kasus sedangkan pada tahun 2011 terjadi
2

trend peningkatan sebanyak 28 kasus BTA Positif, BTA negatif 386 kasus. WHO
memperkirakan setiap tahun di Negara kita terjadi 450.000 kasus baru TB dengan kematian
karena penyakit tersebut sekitar 175.000 orang.
Pada awal tahun 1995, untuk menanggulangi masalah TB, Indonesia
menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang
direkomendasikan oleh WHO. Tujuan jangka pendek yang diharapkan dari
penerapan strategi DOTS tersebut adalah tercapainya angka kesembuhan minimal
85% untuk semua penderita baru basil tahan asam (BTA) positif yang ditemukan dan
juga dapat tercapai cakupan penemuan penderita secara bertahap, sehingga pada
tahun 2005 diperoleh cakupan sebesar 70% dari semua penderita baru BTA positif
yang diperkirakan ada. Tujuan jangka panjang yang diharapkan dari penerapan
strategi ini adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit
TB dengan cara memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TB ini tidak lagi
menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Program penanggulangan TB dengan strategi DOTS yang telah dilaksanakan
di Indonesia masih belum mampu menurunkan prevalensi TB di Indonesia. Case
detection rate (CDR) baru mencapai 52% padahal target nasional adalah 70%.
Peningkatan penderita TB paru di Indonesia juga dikarenakan nilai konversi yang
masih belum dapat mencapai target yaitu 80%.
Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti tertarik untuk mencoba mencari data
peningkatan nilai konversi dengan melihat faktor yang berhubungan dengan
keberhasilan konversi. Faktor tersebut adalah karakteristik penderita yaitu usia dan
jenis kelamin penderita.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian
adalah sebagai berikut:
1.2.1 “Bagaimanakah gambaran karakteristik (usia dan jenis kelamin) dari penderita
TB di Puskesmas Singgani tahun 2012?”
1.2.2 “Bagaimanakah gambaran distribusi frekuensi kasus TB paru yang konversi
dari penderita TB di Puskesmas Singgani tahun 2012?”
3

1.2.3 “Apakah ada hubungan antara karakteristik penderita TB paru BTA (+)
dengan keberhasilan konversi BTA penderita di Puskesmas Singgani tahun
2012?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan karakteristik penderita TB paru BTA (+) dengan
keberhasilan konversi BTA penderita di Puskesmas Singgani Tahun 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui gambaran karakteristik (usia dan jenis kelamin) dari
penderita tuberkulosis di Puskesmas Singgani tahun 2012.
1.3.2.2 Mengetahui gambaran distribusi frekuensi kasus TB paru yang
konversi dari penderita tuberkulosis di Puskesmas Singgani tahun
2012.
1.3.2.3 Mengetahui hubungan antara karakteristik penderita TB paru BTA (+)
dengan keberhasilan konversi BTA penderita di Puskesmas Singgani
tahun 2012.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat bagi Puskesmas
Memberikan masukan yang berupa evidence base bagi pihak
Puskesmas Singgani, dengan adanya informasi mengenai karakteristik
penderita TB secara umum dan karakteristik penderita TB yang mengalami
konversi secara khusus, dalam upaya perbaikan program penanggulangan
penyakit tuberkulosis paru di puskesmas yang bersangkutan.

1.4.2 Manfaat bagi Kepentingan Akademis


Menambah referensi kepustakaan yang ada sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai masukan bagi penelitian lain dalam melakukan
penelitian yang lebih lanjut.
1.4.3 Manfaat bagi Peneliti
4

Memberikan keterampilan bagi peneliti dalam melakukan penelitian


secara baik dan benar, serta menambah wawasan keilmuan penelitian tentang
pokok bahasan yang diteliti yaitu mengenai TB paru.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian TB Paru


TB adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium
tuberculosis). Kuman tersebut ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret
1882. Kuman TB sebagian besar menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh yang lainnya. TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus.

2.2 Karakteristik Agen Penyebab TB Paru


Penyakit TB paru disebabkan oleh sejenis bakteri berbetuk batang (basil) yang
dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis. Bakteri yang berbentuk batang
ini mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis,
lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak, tunggal, berpasangan atau
berkelompok, tidak berspora, tidak mempunyai selubung tetapi mempunyai lapisan
luar yang tebal yang terdiri dari lipid terutama asam mikolat.
Bakteri TB ini membutuhkan kondisi yang sesuai untuk tumbuh. Suhu
optimal bagi kuman tersebut adaah 370C, pH optimum yang dibutuhkan adalah 6,4-
7,0. Bakteri tersebut tidak tahan terhadap sinar ultraviolet sehingga dapat mati jika
terkena matahari langsung.
Mycobacterium tuberculosis memiliki pertumbuhan yang lambat, dan karena
bakteri ini memiliki masa reproduksi yang panjang (kira-kira 24 jam), biakannya
berproses sangat lambat yang sering mengakibatkan kegagalan diagnosis atau
kesalahan diagnosis. Bakteri Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dan
memiliki sifat yang tahan terhadap asam pada proses pewarnaan sehingga biasa
disebut dengan BTA. Mycobacterium tuberculosis disebut juga basil dari Koch.
Bakteri ini amat penting karena menyebabkan penyakit TB.
6

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis

2.3 Patogenesis TB Paru


Penyakit TB ditularkan melalui udara. Pada waktu batuk atau bersin dari
penderita dengan BTA positif (penderita yang dalam dahaknya mengandung bakteri
TB) mengeluarkan bakteri - bakteri tersebut ke udara sekitarnya dalam bentuk
“droplet” (percikan dahak). Droplet yang mengandung bakteri TB tersebut dapat
bertahan di udara selama beberapa jam dan dapat menginfeksi orang lain jika droplet
tersebut terhisap ke dalam saluran pernafasan orang tersebut. Penularan bakteri TB
tidak hanya terjadi ketika penderitanya batuk saja. Basil ini juga dapat keluar jika
penderita TB tersebut bernyanyi atau bersiul. Daya penularan dari seseorang
penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari paru penderita.
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak dari seorang penderita, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita
tersebut dianggap tidak menular.
Droplet yang terhisap sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan
menetap disana. Pada seseorang yang baru pertama kali terpapar oleh bakteri
tersebut, maka akan terjadi infeksi primer di paru-parunya. Infeksi dimulai saat
bakteri TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa bakteri
tersebut ke kelenjar limfe sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai “komplek
primer”. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer
adalah 4-6 minggu.
7

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya bakteri yang


masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan bakteri TB
sehingga penderita tidak merasakan adanya gejala atau keluhan sama sekali. Artinya,
yang bersangkutan sama sekali tidak tahu dan tidak merasakan bahwa tubuhnya
pernah kemasukan basil TB dan kemudian menyembuh. Sebagian basil tetap ada di
dalam paru walaupun kelainan di paru itu telah menyembuh tetapi hanya dalam
keadaan tidak aktif sebagian bakteri “persister” atau “dormant” (tidur). Daya tahan
tubuh (imunitas seluler) kadang tidak mampu menghentikan perkembangan bakteri.
Dalam beberapa bulan orang yang terinfeksi tersebut akan menderita penyakit TB,
dan disebut sebagai penderita TB. Masa inkubasi dari penyakit ini, yaitu waktu yang
dibutuhkan dari infeksi sampai menjadi sakit, biasanya paling lama sekitar 6 bulan.
TB pasca primer (Post Primary Tuberculose) biasanya terjadi setelah beberapa
bulan atau tahun sesudah infeksi primer. TB pasca primer terjadi pada orang yang
daya tahannya menurun, misalnya akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk.
Ciri khas dari TB pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya
kavitas atau efusi pleura. Ciri lainnya dapat berupa infeksi pada laring dan telinga
tengah, infeksi pada kelenjar getah bening di leher, infeksi saluran pencernaan dan
lubang dubur, dan infeksi saluran kemah dan sendi.

Gambar 2. Patogenesis TBC


2.4 Reaksi Tubuh Terhadap TB
8

Infeksi dengan bakteri TB, mula-mula akan menyebabkan terkumpulnya


leukosit pada tempat infeksi. Fase leukosit tidak berlangsung lama dan sel-sel ini
kemudian diganti oleh sel-sel mononukleus yang besar. Sel-sel ini kebanyakan
berasal dari jaringan, yaitu histiosit dan makrofag. Pada paru-paru sel-sel alveolus
dapat terlepas dari dinding alveolus dan menjadi makrofag yang sanggup
memfagositosis. Makrofag ini sanggup memfagositosis leukosit yang musnah, dan
bakteri TB. Zat lipid bakteri TB yang musnah ini menyebabkan protoplasma
makrofag-makrofag menjadi jernih, hingga menyerupai sel epitel dan dinamai sel
epitelioid. Kelompok sel epitelioid ini akan membentuk tonjolan kecil, sebesar
kepala jarum, yaitu disebut tuberkel. Beberapa sel epitelioid dapat bersatu dan
membentuk sel datia jenis Langhans, yaitu sel datia yang inti-intinya berderet-deret
melingkar. Bakteri - bakteri TB dapat ditemukan dalam sel datia ini, dan di tengah
tuberkel sering terjadi nekrosis perkijuan. Tuberkel ini biasanya dikelilingi limfosit.
Maka suatu tuberkel terdiri atas pusat nekrotik, dikelilingi sel epitelioid yang sering
mengandung sel datia dan lapisan luar dibentuk oleh limfosit. Daerah nekrosis dapat
meluas dan dapat disertai pencairan hingga terjadi suatu rongga, yaitu kaverne.
Kaverne ini dapat sebesar duku atau lebih. Jika daya tahan penderita meningkat,
maka tuberkel, daerah perkijuan maupun kaverne dapat dilingkari jaringan ikat,
hingga daerah radang yang aktif kemudian dapat terbendung. Jaringan yang mengiju
kemudian dapat diendapi kapur dan penderita menjadi sembuh.

2.5 Gejala Penyakit TB


Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah :
2.5.1 Demam
Biasanya subfebril (panas tidak tinggi) menyerupai demam influenza
dan banyak keluar keringat pada waktu malam, namun terkadang panas badan
dapat mencapai 40 - 410C. Serangan demam hilang timbul sehingga penderita
9

merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi
penyakit TB.
2.5.2 Batuk/Batuk darah
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan
untuk membuang produk-produk radang keluar. Batuk dapat saja baru timbul
setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula, karena terlibatnya bronkus
pada tiap penyakit tidak sama. Keadaan yang lebih lanjut adalah berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah
pada TB terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus.
2.5.3 Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
2.5.4 Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.
2.5.5 Malaise
Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa : anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit kepala, nyeri otot,
dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur.

2.6 Diagnosa Penyakit TB Paru


Untuk mengetahui adanya TB dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
2.6.1 Pemeriksaan Fisik
10

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin


ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan
fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian
juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan
pada pemeriksaan fisik, karena hantaran getaran/ suara yang lebih dari 4 cm
ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Tempat
kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak)
paru. Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Sering terbentuk efusi pleura bila TB
mengenai pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan.
Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang
lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
2.6.2 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan dahak secara “mikroskopis langsung” (tanpa melalui
kultur) merupakan komponen kunci dalam program penanggulangan TB
nasional dalam menegakkan diagnosis penyakit TB. Memang, diagnosis pasti
TB yaitu dengan pemeriksaan kultur atau biakan dari dahak. Namun,
pemeriksaan kultur memerlukan waktu yang lebih lama (paling cepat sekitar 6
minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen dahak mikroskopis langsung
nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang dilakukan dengan menggunakan
pewarnaan Ziehl Neelsen ini merupakan pemeriksaan yang efisien, mudah,
dan murah, dimana hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakannya.
Hasil pemeriksaannya sangat spesifik dan cukup sensitif. Pemeriksaan
dilakukan dengan memeriksa 3 spesimen dahak pasien yang kental dan
berwarna kuning kehijau-hijauan (mukopurulent) dan jumlahnya 3 - 5 ml.
Ketiga spesimen dahak tersebut sebaiknya sudah dapat dikumpulkan dalam
11

dua hari kunjungan berurutan. Dahak yang dikumpulkan adalah dahak


sewaktu, pagi, sewaktu (SPS), yaitu pada saat pertama kali kunjungan pasien
di pelayanan kesehatan (S); keesokan paginya, segera setelah pasien bangun
(P); dan setelah pasien menyerahkan spesimen kedua (P) ke unit pelayanan
kesehatan maka pasien akan diberi pot dahak untuk mengumpulkan dahaknya
yang ketiga (S). Dengan demikian 2 hari berturutan akan terkumpul sediaan
dahak dilakukan dengan menggunakan skala IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
b. Ditemukan 1 - 9 BTA dalam 100 lapang pandang ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
c. Ditemukan 10 - 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+)
d. Ditemukan 1 - 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ atau (2+)
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ atau (3+)
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
bakteri yang dikeluarkan oleh penderita. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Penderita tersebut
dianggap tidak menular jika hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
bakteri).
Menurut American Thoracic Society, diagnosis pasti dari TB paru
adalah dengan menemukan Mycobacterium tuberculosis dalam biakan sputum
atau jaringan paru. Pada kenyataannya lebih dari separuh penderita yang
diobati karena TB paru aktif tidak pernah dibuktikan secara bakteriologik.
Pemeriksaan langsung sputum penderita tidak selalu menemukan bakteri TB,
disebabkan karena beberapa hal seperti :
a. Proses penyakit melibatkan bronkus, terutama pada fase awal penyakit
b. Jumlah bakteri yang sangat sedikit dalam sputum akibat cara pengambilan
bahan yang kurang baik
c. Cara pemeriksaan bahan yang kurang adekuat
12

d. Pengaruh obat-obat anti tuberkulosis


2.6.3 Radiologi
Pemeriksaan melalui foto rontgen dapat dilakukan jika pada
pemeriksaan mikroskopis biasa hanya ada 1 spesimen yang positif dimana 2
spesimen lainnya diketahui negatif. Fokus primer dan pembesaran kelenjar
hilus dapat terlihat melalui foto rontgen ini, tetapi gambaran lengkap komplek
primer jarang ditemukan. Masih ada kemungkinan seseorang menderita TB
milier walaupun hasil pemeriksaan rontgen paru memperlihatkan gambaran
normal. Pada TB paru post primer, pemeriksaan radiologis memberikan
informasi yang lebih pasti daripada pemeriksaan klinis saja. Hal ini
merupakan salah satu cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa TB paru
post primer. Hasil pemeriksaan radiologis (rontgen) pada anak-anak sulit
ditafsirkan, terutama jika pengambilan foto dilakukan pada saat menangis.
2.6.4 Tes Tuberkulin
Pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan tes
tuberkulin yaitu dengan mengukur luas indurasi pada kulit dalam menentukan
ada tidaknya infeksi TB. Tes tuberkulin terutama digunakan dalam rangka
penegakkan diagnosis pada anak-anak. Tes tuberkulin pada saat ini tidak
mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB pada orang dewasa. Suatu
uji tuberkulin yang positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan
pernah terpapar dengan Mycobacterium tuberculosis. Dilain pihak, hasil tes
tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita TB, misalnya
pada orang yang terinfeksi HIV, malnutrisi berat, dan menderita TB milier,
karena daya tahan tubuh sangat menurun.

2.7 Klasifikasi Penderita TB Paru


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan suatu definisi
kasus yang meliputi empat hal, yaitu :
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru
13

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau


BTA negatif
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
5. Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat
diperlukan untuk menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment)
sehingga mencegah timbulnya resistensi
6. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan
pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost-effective)
7. Mengurangi efek samping
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1. TB paru. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. TB ekstra paru. TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
paru :
1. TB paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
b. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB
c. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan bakteri TB positif
d. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non obat anti tuberkulosis (OAT)
2. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB patu BTA positif. Kiteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
14

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif


b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit2 :
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas, dan atau keadaan
umum pasien buruk
b. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
1. TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal
2. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB saluran cerna, TB
saluran kemih dan alat kelamin

2.8 Pengobatan TB
2.8.1 Tujuan pengobatan TB paru
Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk :
1. Menyembuhkan penderita
2. Mencegah kematian
3. Mencegah kekambuhan
4. Memutuskan rantai penularan
5. Mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap OAT
2.8.2 Strategi DOTS
Ada lima komponen DOTS, yaitu :
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan
dana
2. Diagnosis TB yang diawali dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
15

3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan


langsung oleh pengawas menelan obat (PMO)
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program TB
2.8.3 Cara Kerja dan Dosis Obat
Tipe jenis OAT bekerja pada kelompok bakteri yang berbeda :
1. Isoniazid atau yang lebih dikenal dengan INH, bekerja bakterisidal, dapat
membunuh 90% dari seluruh populasi bakteri dalam beberapa hari
pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap bakteri dalam
keadaan metabolik aktif, yaitu bakteri yang sementara berkembang. Dosis
yang dianjurkan yaitu untuk pengobatan harian digunakan dosis 5 mg/ kg
BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan
dosis 10 mg/ kg BB.
2. Rimfapisin bekerja sebagai bakterisidal, dapat membunuh bakteri –
bakteri semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Dosis yang dianjurkan yaitu untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
digunakan dosis yang sama yaitu 10 mg/ kgBB.
3. Pirazinamid bekerja sebagai bakterisidal, dapat membunuh bakteri -
bakteri yang berada dalam suatu lingkungan asam di dalam sel - sel. Dosis
yang dianjurkan yaitu untuk pengobatan harian digunakan dosis 25 mg/ kg
BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan
dosis 35 mg/ kg BB.
4. Streptomisin bekerja sebagai bakterisidal. Dosis yang dianjurkan yaitu
untuk pengobatan harian digunakan dosis 15 mg/ kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama yaitu
15 mg/ kg BB.
16

5. Ethambutol bekerja sebagai bakeriostatik. Dosis yang dianjurkan yaitu


untuk pengobatan harian digunakan dosis 15 mg/ kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/ kg BB.
2.8.4 Prinsip Pengobatan TB
Pengobatan TB harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis obat, tidak boleh menggunakan obat tunggal. Dosis obatnya
harus diberikan dalam jumlah yang cukup, dan pengobatannya harus
diberikan dalam waktu yang cukup lama (6-8 bulan) supaya semua kuman
(termasuk bakteri persister) dapat dibunuh. Bakteri - bakteri TB dapat
berkembang menjadi bakteri kebal obat atau persister apabila panduan obat
yang digunakan tidak cukup (tidak lengkap jenisnya atau tidak cukup
dosisnya), atau pengobatan TB tidak dilaksanakan dengan benar.
2.8.5 Tahap-tahap Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB terdiri dari :
2.8.5.1 Tahap intensif
Tahap intensif, biasanya terdiri dari 4 jenis obat untuk pengobatan
penderita baru. Kuman TB dibunuh dengan cepat. Dalam waktu kira-
kira 2 minggu penderita menular menjadi tidak menular. Gejala-
gejala penyakitnya cepat membaik. Sebagian besar penderita TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam waktu 2 bulan. Pada
penderita BTA negatif dan ekstra paru dimana hanya mengandung
sedikit bakteri, sangat jarang kemungkinan berkembang bakteri -
bakteri persisten. Dengan jenis obat yang lebih sedikit (3 jenis obat)
ternyata sudah efektif mencapai tujuan pengobatan.
2.8.5.2 Tahap lanjutan
Tahap ini memerlukan jenis obat lebih sedikit tapi waktu
pengobatannya lebih lama. Ini bertujuan untuk membunuh bakteri -
bakteri yang masih tersisa (bakteri persister), sehingga dengan
demikian dapat dicegah kemungkinan terjadinya kambuh setelah
17

pengobatan selesai. Idealnya, tahap lanjutan yang menggunakan


rimfapisin harus dengan pengawasan secara langsung (DOTS). Bila
hal ini tidak memungkinkan maka pengawasan langsung dapat
dilakukan setiap 1 - 2 minggu. Kemungkinan terjadinya resistensi
obat pada tahap lanjutan sudah jauh lebih berkurang karena jumlah
bakterinya tinggal sedikit.

2.9 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB


2.9.1 Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pegobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap
Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan karena tidak
spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan
spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif. Bila salah satu
spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif.
2.9.2 Hasil Pengobatan
a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir
pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.
b. Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
c. Meninggal
18

Pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.


d. Pindah
Pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
e. Default (Putus berobat)
Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2.10 Evaluasi program


2.10.1 Angka penjaringan suspek
Jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk
pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun.
2.10.2 Proporsi pasien TB BTA (+) diantara suspek
Persentase pasien BTA (+) yang ditemukan diantara seluruh suspek
yang diperiksa dahaknya.
2.10.3 Proporsi pasien TB paru BTA (+) diantara semua pasien TB paru
tercatat
Persentase pasien TB paru BTA (+) diantara semua pasien TB paru
tercatat.
2.10.4 Angka konversi (conversion rate)
Persentase pasien TB paru BTA (+) yang mengalami konversi
menjadi BTA (-) setelah menjalani masa pengobatan intensif.

2.10.5 Angka kesembuhan (cure rate)


Angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA (+) yang
sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA (+)
tercatat.
19

2.10.6 Kesalahan laboratorium


Kesalahan yang tidak dapat diterima adalah sebagai berikut :
a. Setiap kesalahan besar negatif palsu (KBNP)
b. Setiap kesalahan besar positif palsu (KBPP)
c. >3 kesalahan kecil negatif palsu
2.10.7 Angka notifikasi kasus (case notification rate = CNR)
Angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan
tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu.
2.10.8 Angka penemuan kasus (case detection rate = CDR)
Persentase jumlah pasien baru BTA (+) yang ditemukan dibanding
jumlah pasien baru BTA (+) yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.

2.11 Konversi
Perubahan penderita BTA (+) menjadi BTA (-) disebut sebagai konversi.
Konversi terjadi setelah penderita BTA (+) menyelesaikan pengobatan pada tahap
intensif, yaitu 2 bulan untuk pengobatan kategori 1, dan 3 bulan untuk pengobatan
kategori 2. Tahap intensif adalah tahap awal dari pengobatan TB paru yang
merupakan tahap yang penting untuk mencegah penularan. Jika penderita pada
akhir tahap intensif telah mengalami konversi, maka ia tidak mampu lagi untuk
menularkan penyakitnya ke orang lain.

2.12 Multidrug Resisten TB (MDRTB)


Resistensi obat ganda pada penderita TB adalah suatu kondisi penderita TB
yang memperlihatkan tanda kekebalan (resistensi) pada obat TB seperti isoniazid
dan rifampisin.
MDR di Indonesia menurut data dari RS Persahabatan dai tahun 1994 –
1997 menunjukkan bahwa masalah MDR pada tahapan resistensi tingkat pertama
mengalami peningkatan secara proporsional sebesar 50%, sedangkan tahap
resistensi tingkat kedua mengalami peningkatan sebesar 100%. Data lain yang
didapat dari Departemen Mikrobiologi FK UI tahun 2003 menunjukkan bahwa
20

MDRTB di Indonesia mengalami peningkatan dari thun 2002 – 2003, yaitu dari 0%
pada tahun 2000 menjadi 5,7% pada tahun 2003.

2.13 Faktor – faktor yang mempengaruhi konversi


2.13.1 Karakteristik penderita
2.13.1.1 Usia penderita
TB banyak menyerang penduduk usia muda dan dewasa. Di
Eropa dan Amerika insidens tertinggi TB paru juga mengenai usia
dewasa muda. Berdasarkan penelitian Senewe, hampir 75% kasus
TB paru di Indonesia menyerang usia produktif atau kelompok usia
kerja, yaitu kelompok usia 15 – 44 tahun. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Reviono di Jawa Tengah, bahwa
kasus TB banyak menyerang kelompok usia 25 – 44 tahun sebesar
6.299 (43,82%) kemudian diikuti oleh kelompok usia 15 – 24 tahun
sebesar 2.850 (19,83%) kasus yang merupakan kelompok usia
produktif. Penelitian yang dilakukan oleh Herryanto juga
menunjukkan hasil yang sama bahwa sebagian besar kasus TB
menyerang kelompok usia produkif yaitu sebanyak 58,3% jika
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.
Jika ditinjau dari keberhasilan konversi, usia berhubungan
dengan konversi. Berdasarkan penelitian Pudjirahaju, penderita TB
yang berusia 15 – 24 tahun lebih banyak yang mengalami konversi
(78%) daripada yang tidak konversi. Penelitian Ihwan, kejadian
konversi lebih banyak pada usia produktif (73%) daripada usia yang
tidak produktif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Supriyatnataris, bahwa penderita TB paru yang berusia
produktif lebih banyak yang mengalami konversi (88%) daripada
penderita dengan usia tidak produktif.
2.13.1.2 Jenis kelamin penderita
21

Kejadian TB paru pada pria cederung tinggi pada semua usia,


sedangkan kejadian TB pada wanita sering terjadi sesudah bersalin
dan cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Pada
wanita, prevalensi secara menyeluruh lebih rendah daripada pria.
Menurut penelitian dari Sanova, penderita TB paru di kota Bogor
tahun 2002, sebagian besar diderita oleh golongan penduduk
dengan jenis kelamin laki – laki (58,6%). Penelitian yang
dilakukan oleh Reviono, juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu
kasus TB lebih banyak menyerang laki – laki daripada wanita.
Jika ditinjau dari keberhasilan konversi, ternyata antara laki-laki
maupun perempua memiliki peluang yang hampir sama besar untuk
mengalami konversi. Hal ini ditunjukkan dari penelitian yang
dilakukan oleh Ihwan, bahwa dari seluruh penderita yang konversi,
laki – laki yang konversi 51% dan perempuan 49%.

2.14 Kerangka Teori


Untuk lebih jelas dan mudah dipahami, tinjauan pustaka pada Bab II
disederhanakan kedalam bentuk bagan atau kerangka sebagai acuan dalam
penyusunan selanjutnya, yang disebut dengan kerangka teori sebagai berikut.

MDR
PMO
Tidak teratur
Gagal

Penderita TB
Putus berobat
22

Keteraturan berobat KONVERSI

Karakteristik penderita
- Usia
- Jenis kelamin

2.15 Kerangka Konsep

Karakteristik penderita
1. Usia Konversi BTA (+)
2. Jenis kelamin menjadi BTA (-)

2.16 Hipotesis
2.16.1 Ada hubungan antara usia dengan keberhasilan konversi BTA dari
penderita tuberkulosis di Puskesmas Singgani Tahun 2012.
2.16.2 Ada hubungan antara jenis kelamin dengan keberhasilan konversi BTA
dari penderita tuberkulosis di Puskesmas Singgani Tahun 2012.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik penderita
TB paru BTA (+) dengan keberhasilan konversi BTA penderita di Puskesmas
23

Singgani tahun 2012. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan


menggunakan rancangan penelitian epidemiologi deskriptif, yaitu dengan
menggunakan studi cross sectional.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Singgani pada bulan April 2013.

3.3 Subjek Penelitian


Populasi studi dari penelitian ini adalah seluruh penderita BTA (+) yang
berobat di puskesmas Singgani tahun 2012 yaitu 103 orang. Sample studi dari
penelitian ini adalah seluruh populasi.
Kriteria Inklusi
Semua penderita BTA (+) yang memeriksakan dahaknya pada akhir tahap
intensif dan memiliki catatan rekam medik yang di dalamnya mencakup variabel
penelitian, yaitu :
1. Usia
2. Jenis kelamin

Kriteria Eklusi
Semua penderita yang tidak didiagnosis tuberkulosis paru, penderita dengan
kategori pasien anak, serta penderita yang didiagnosis tuberkulosis paru tetapi tidak
memiliki catatan rekam medik yang di dalamnya mencakup variabel penelitian yang
tertera di kriteria inklusi.
3.4 Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah sampling jenuh yaitu seluruh
populasi dijadikan sampel penelitian.

3.5 Sumber dan Jenis Data


Jenis data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang diperoleh dari data
bulanan kejadian TB paru di Puskesmas Singgani.

3.6 Variabel
24

3.6.1 Variabel Independen : usia dan jenis kelamin


3.6.2 Variabel Dependen : konversi

3.7 Definisi Operasional


Variabel – variabel penelitian yang telah dijabarkan dalam bentuk bagan pada
kerangka konsep diatas, akan dibuat definisi operasionalnya satu persatu seperti
dibawah ini.

Variabel Definisi Cara Alat Hasil Ukur Skala


Ukur Ukur
Konversi Perubahan status Data Check - Gagal (BTA (+) Nominal
penderita TB paru Bulanan List tetap (+) di akhir
dari BTA (+) menjadi tahap intensif)
- Berhasil (BTA
BTA (-) setelah
(+) menjadi BTA
menjalani pengobatan
(-) di akhir tahap
intensif, 2 bulan untuk
intensif)
pengobatan kategori
1, dan 3 bulan untuk
pengobatan kategori 2
Usia Rentang waktu antara Data Check - Produktif (15– Ordinal
tanggal lahir penderita Bulanan List 44 tahun)
- Tidak produktif
TB paru dengan tahun
(< 15 dan > 44
penelitian dilakukan
tahun)
(2012)
Jenis Pembagian manusia Data Check - Laki – laki Nominal
- Perempuan
Kelamin berdasarkan cirri – Bulanan List
cirri anatominya
menjadi laki – laki
dan perempuan

3.8 Instrumen Penelitian


25

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan data


penelitian, instrumen dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa :
1. Data bulanan kejadian TB paru di Puskesmas Singgani tahun 2012.

3.9 Protokol Penelitian

Pra – Penelitian

Penelitian

Pengolahan Data

Laporan

1. Pra – Penelitian
Mengajukan surat ijin permohonan penelitian kepada kepala Puskesmas
Singgani agar diperkenankan untuk mengambil data dari data bulanan pasien TB
tahun 2012.
2. Saat Penelitian
Bekerjasama dengan pengelola program TB untuk melihat dan mencatat
jumlah pasien TB beserta nomor rekam medis. Kemudian melakukan
pengambilan data dan mencatat semua populasi yang memenuhi kriteria
penelitian.
3. Pengolahan data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan sistem
komputerisasi software Statistical Programe for Social Science (SPSS) for
Windows versi 17.0. SPSS merupakan paket program statistik yang berguna
untuk mengolah dan menganalisis data penelitian. Agar analisis menghasilkan
informasi yang benar, ada empat tahapan dalam mengolah data, yaitu:
a. Editing
26

Pada tahap ini dilakukan pengecekan data yang diambil dari rekam medik,
apakah telah lengkap dan sesuai dengan variabel yang akan diteliti.
b. Coding
Kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk bilangan /
angka. Kegunaan coding adalah mempermudah pada saat analisis data dan
juga pada saat entry data.
c. Processing
Yaitu memindahkan isi data atau memproses isi data dengan memasukkan
data kedalam computer dengan menggunakan program statistik komputer.
d. Cleaning
Pada tahap ini dilakukan pengecekan kembali data yang sudah di entry
apakah ada kesalahan atau tidak.
4. Laporan

3.10 Analisis Data


Data yang telah diolah, kemudian dianalisis. Analisis yang dilakukan adalah
analisis univariat dan bivariat.
 Analisis Univariat
Pada analisis univariat, setiap variabel yang digunakan pada penelitian ini,
akan dicari proporsi masing – masing, sehingga bisa digunakan untuk melihat
distribusi frekuensi variabel independen dan dependen.
Hasil dari analisis univariat ini akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik,
untuk memudahkan dalam mengintepretasikannya. Angka yang disajikan dalam
tabel dan grafik adalah dalam bentuk jumlah dan persen (%).
 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan variabel independen
dengan dependen. Hipotesis penelitian akan diuji dengan Analisis Tabulasi Silang
(Cross Tabulations Analysis) dengan menggunakan statistik chi square (χ2).
27

BAB IV
HASIL

d.1 Gambaran Umum Puskesmas Singgani


Puskesmas Singgani berada di wilayah kecamatan Palu Timur yang memiliki
luas wilayah 104,02 km2 dan secara administratif pemerintahan terdiri atas 5
kelurahan, 30 RW serta 94 RT.
d.1.1 Visi
Terwujudnya pelayanan kesehatan dasar yang cepat dan optimal di
Puskesmas Singgani Tahun 2015
d.1.2 Misi
o Memotivasi kinerja tenaga kesehatan yang ada.
o Meningkatkan kualitas tenaga kesehatan yang ada
28

o Menerapkan sikap dan perilaku yang baik dalam memberikan


pelayanan.
o Mengupayakan kesejahteraan tenaga kesehatan.

d.1.3 Motto
Kunjungan dan kesembuhan anda adalah harapan dan kebanggaan kami

d.2 Analisis Univariat


Tabel 1. Karakteristik penderita BTA (+) berdasarkan usia di Puskesmas
Singgani Tahun 2012

Usia Jumlah Persentase


Produktif 72 69,9
Non produktif 31 30,1

Total 103 100

Berdasarkan usia, diketahui bahwa penderita BTA (+) yang berusia


produktif lebih banyak daripada yang berusia non produktif.

Tabel 2. Karakteristik penderita BTA (+) berdasarkan jenis kelamin di


Puskesmas Singgani Tahun 2012

Jenis Kelamin Jumlah Persentase


Laki – laki 56 54,4
Perempuan 47 45,6

Total 103 100


Berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa penderita BTA (+) yang
berjenis kelamin laki – laki lebih banyak daripada yang berjenis kelamin
perempuan.
29

Tabel 3. Karakteristik penderita BTA (+) berdasarkan angka konversi di


Puskesmas Singgani Tahun 2012

Jenis Kelamin Jumlah Persentase


Tidak konversi 62 60,2
Konversi 41 39,8

Total 103 100

Berdasarkan tabel 3, dari 103 responden yang diambil sebagai


sampel, diketahui bahwa penderita BTA (+) yang mengalami konversi lebih
sedikit daripada yang tidak konversi.

d.3 Analisis Bivariat


Hubungan antara variabel dependen dan independen merupakan hasil dari
penelitian bivariat yang memberikan gambaran ada atau tidaknya hubungan
antara variabel dependen dengan variabel independen. Ada atau tidaknya
hubungan tersebut dapat dilihat dari nilai p, dengan nilai α (0,05).

Tabel 4. Hubungan antara usia dengan konversi dari penderita BTA (+) di
Puskesmas Singgani Tahun 2012

Usia Konversi Tidak Konversi p


N % N %
Produktif 31 43,1 41 56,9 0,304
Non produktif 10 32,3 21 67,7

Hasil uji statistik dengan Fisher’s Exact Test, diperoleh p > 0,05,
sehingga Ho diterima, berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara usia
dengan konversi dari penderita BTA (+) di Puskesmas Singgani Tahun 2012.

Tabel 5. Hubungan antara jenis kelamin dengan konversi dari penderita BTA
(+) di Puskesmas Singgani Tahun 2012
30

Jenis Konversi Tidak Konversi p


N % N %
Kelamin
Laki - laki 20 35,7 36 64,3 0,469
Perempuan 21 44,7 26 55,3

Hasil uji statistik dengan Continuity Correction b, diperoleh p > 0,05,


sehingga Ho diterima, berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan konversi dari penderita BTA (+) di Puskesmas Singgani
Tahun 2012.

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Konversi TB Paru BTA (+)


Menjadi BTA (-)

Perubahan penderita BTA (+) menjadi BTA (-) disebut sebagai konversi.
Konversi terjadi setelah penderita BTA (+) menyelesaikan pengobatan pada tahap
intensif, yaitu 2 bulan untuk pengobatan kategori 1, dan 3 bulan untuk pengobatan
kategori 2. Tahap intensif adalah tahap awal dari pengobatan TB paru yang
merupakan tahap yang penting untuk mencegah penularan. Jika penderita pada
akhir tahap intensif telah mengalami konversi, maka ia tidak mampu lagi untuk
menularkan penyakitnya ke orang lain.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi antara lain: usia
penderita, jenis kelamin penderita, tipe kasus penderita, status gizi penderita,
kategori rejimen obat yang diberikan, dan keberadaan pengawas minum obat
(PMO). Hubungan antara usia penderita dan jenis kelamin penderita dengan
konversi akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
31

Pada penelitian kali ini, penderita yang mengalami konversi lebih sedikit
jumlahnya dibanding dengan yang tidak konversi. Hal ini dapat disebabkan tipe
kasus penderita, di mana kasus baru cenderung lebih mudah konversi
dibandingkan kasus lainnya. Dari data sekunder yang diperoleh tidak
dicantumkan mengenai tipe kasus penderita (pasien).
Selain itu, penyebab lain adalah status gizi pasien, di mana pasien dengan
status gizi yang baik akan lebih mudah mengalami konversi. Dari data sekunder
pun tidak dicantumkan mengenai status gizi penderita (pasien).
Mengenai kategori pemberian rejimen obat yang diberikan, obat kategori I
cenderung mengalami keberhasilan konversi, sedang kategori II cenderung
mengalami kegagalan. Hal ini juga yang dapat menyebabkan mengapa pada
penelitian didapatkan penderita yang konversi lebih sedikit dibandingkan yang
tidak. Namun hal ini belum dapat dibuktikan dikarenakan dari data sekunder tidak
dicantumkan mengenai pemberian rejimen obat terhadap penderita (pasien).
Keberadaan pengawas minum obat (PMO) berpengaruh terhadap
keberhasilan konversi, di mana penderita yang didampingi oleh PMO cenderung
mengalami keberhasilan konversi dibandingkan yang tidak. Namun dikarenakan
tidak tercantumnya keberadaan PMO pada data sekunder yang kami peroleh,
maka hal ini belum dapat dibuktikan.

5.2 Hubungan antara Usia dengan Konversi

Berdasarkan uji statistik didapatkan p > 0,05 yang artinya gagal tolak Ho.
Jadi didapatkan tidak ada hubungan antara usia dengan konversi. Hasil yang sama
juga ditunjukkan dari hasil penelitian Ihwan pada tahun 2000 dan Pudjirahayu
pada tahun 2005 bahwa kejadian konversi tidak dipengaruhi usia. Penelitian
Supriyatnataris pada tahun 2002 tentang faktor resiko yang berhubungan dengan
kejadian konversi, juga menunjukkan hasil yang sama, bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara usia dengan keberhasilan konversi. Selain itu penelitian
32

Angga pada tahun 2008 juga menyebutkan hasil yang sama, bahwa usia tidak
berhubungan secara bermakna dengan konversi.

5.3 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Konversi

Berdasarkan uji statistik didapatkan p > 0,05 yang artinya gagal tolak Ho.
Jadi didapatkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan konversi. Hasil
yang sama juga ditunjukkan dari penelitian Ihwan pada tahun 2000 bahwa jenis
kelamin tidak berhubungan secara bermakna dengan keberhasilan konversi.
Penelitian dari Supriyatnataris pada tahun 2002 juga menunjukkan hasil yang
sama bahwa jenis kelamin tidak berhubungan bermakna dengan keberhasilan
konversi. Penelitian Pudjirahaju tahun 2005 juga menunjukkan bahwa jenis
kelamin tidak berhubungan dengan keberhasilan konversi.
33

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Responden terbanyak pada penelitian ini berusia 15 – 44 tahun (69,9%) dan
berjenis kelamin laki – laki (54,4%).
2. Penderita BTA (+) yang mengalami konversi (39,8%) lebih sedikit daripada yang
tidak konversi (60,2%).
3. Usia dan jenis kelamin penderita tidak berhubungan secara bermakna dengan
keberhasilan konversi.

6.2 Saran
1. Mengambil sampel sebesar mungkin agar hasil penelitian lebih akurat.
2. Mencoba menggunakan desain studi case control untuk lebih memperjelas
hubungan yang ada.
3. Meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mungkin berhubungan
dengan keberhasilan konversi, misalnya tipe kasus penderita, status gizi penderita,
34

kategori rejimen obat yang diberikan, dan keberadaan pengawas minum obat
(PMO).
35

LAMPIRAN

Hasil Uji Statistik dengan Program SPSS Untuk Analisis Univariat

usia produktif dan non produktif

Cumulati
Frequ Perc Valid ve
ency ent Percent Percent
V 15-44
72 69,9 69,9 69,9
a tahun
> 45
li 31 30,1 30,1 100,0
tahun
d
Total 100,
103 100,0
0

jenis kelamin responden

Cumulati
Frequ Perc Valid ve
ency ent Percent Percent
V laki 56 54,4 54,4 54,4
a perem
47 45,6 45,6 100,0
li puan
Total 100,
d 103 100,0
0

pemeriksaan setelah pengobatan fase intensif


36

Cumulati
Frequ Perc Valid ve
ency ent Percent Percent
V y
41 39,8 39,8 39,8
a a
t
li
i
d
d 62 60,2 60,2 100,0
a
k
T
o
100,
t 103 100,0
0
a
l

jenis kelamin responden usia produktif dan non produktif

60 80

50

60

40
Frequency

Frequency

30 40

Bar Chart
20

20

10

0 0
laki perempuan 15-44 tahun > 45 tahun

jenis kelamin responden usia produktif dan non produktif


37

pemeriksaan setelah pengobatan fase intensif

60
Frequency

40

20

0
ya tidak

pemeriksaan setelah pengobatan fase intensif


38

Hasil Uji Statistik dengan Program SPSS Untuk Analisis Bivariat

Crosstabs

usia produktif dan non produktif * pemeriksaan setelah pengobatan fase intensif
Crosstabulation

Count

pemeriksaan
setelah
pengobatan fase
intensif

ya tidak Total

usia produktif 15-44


31 41 72
dan non tahun
produktif
> 45
10 21 31
tahun

Total 41 62 103

Chi-Square Tests

Exact Exact
Asymp. Sig. Sig.
Sig. (2- (2- (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi- 1,05


1 ,304
Square 4(b)

Continuity
,652 1 ,419
Correction(a)

Likelihood Ratio 1,07


1 ,301
1
39

Fisher's Exact
,382 ,210
Test

Linear-by-Linear 1,04
1 ,307
Association 4

N of Valid Cases 103

a Computed only for a 2x2 table

b 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,34.

Crosstabs
jenis kelamin responden * pemeriksaan setelah pengobatan fase intensif Crosstabulation

Count

pemeriksaan
setelah
pengobatan fase
intensif

ya tidak Total

jenis laki 20 36 56
kelamin
responde perem
puan 21 26 47
n

Total 41 62 103

Chi-Square Tests
40

Exact Exact
Asymp. Sig. Sig.
Sig. (2- (2- (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi- ,
Square 857( 1 ,354
b)

Continuity
,524 1 ,469
Correction(a)

Likelihood Ratio ,857 1 ,355

Fisher's Exact
,421 ,234
Test

Linear-by-Linear
,849 1 ,357
Association

N of Valid Cases 103

a Computed only for a 2x2 table

b 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,71.

DAFTAR PUSTAKA
41

1. Amin, Z dan Bahar, A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. In: Sudoyo AW, editor.
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006. p. 988-1000.

2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta; 2007.

3. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta; 2006. p. 20-


32.

4. Depkes RI. Lembar Fakta Tuberkulosis. 2008 [cited 2010 Apr 1]. Available from:
http://www.tbcindonesia.or.id

5. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta; 2002. p. 1-53.

6. Global Report TB, WHO. Situasi Epidemiologi TB Indonesia. 2009 [cited 2010 Jul
6]. Available from: http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/situasi-epidemiologi-tb-
indonesia/article/182

7. Profil Dinas Kesehatan Kota Palu tahun 2008.available from :


www.depkes.go.id/downloads/profil/kota%20palu%202008.pdf

8. Badan POM RI.Kepatuhan pasien: faktor penting dalam keberhasilan Terapi. 2006.
[cited 2010 Apr 22]. Available from:
http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya /InfoPOM/0506. pdf

9. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka


Cipta; 2007.

10. Wartawarga. Teori Motivasi Maslow Dalam Mempengaruhi Perilaku Orang Lain di
Organisasi. 2009 [cited 2010 Apr 12].
Available from: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/teori-motivasi-maslow-
dalam-mempengaruhi-prilaku-orang-lain-di-organisasi/

11. Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;
2003

12. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka
Cipta. 2005.
42

13. Gimenes H. Turcatto, Zanetti M. Lúcia, Haas V. José. Factors related to patient
adherence to antidiabetic drug therapy. 2009;17(1). Available from:
http://www.scielo.br/scielo

14. Delamater Alan M. Improving Patient Adherence: American Diabetes Association:


Clinical Diabetes. 2006;24(2). Available from:
http://clinical.diabetesjournals.org/content/26/1/17.full.pdf+html

15. Karuniawati A, Risdiyani E, Nilawati S, Prawoto, Rosana Y, Alisyahbana B, et al.


Perbandingan Tan Thiam Hok, Ziehl Neelsen dan Fluokrom sebagai metode
pewarnaan basil tahan asam untuk pemeriksaan mikroskopik sputum. Makara
Kesehatan; 2005:9(1);29-33.

16. Jawetz, E. Mikrobiologi untuk profesi kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran; 2005.

17. Damjanov I. Buku Teks & Atlas Berwarna Histopatologi. Jakarta: Widya Medika;
2000. p. 136-37.

18. Hiswani. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat. Medan: FKMUSU; 2004.

19. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI; 2007. p. 613-37.

20. Depdiknas. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 2005.

21. Irianto, B. Faktor-faktor yang mempengaruhi keteraturan pengobatan dengan


pendekatan DOTS [PhD thesis]. Jakarta: FKMUI; 2001.

22. Taufan. Pengobatan Tuberkulosis Paru Masih Menjadi Masalah. 2008 [cited 2010
Mar 31]. Available from: http://www.gizi.net

23. Susanti,R. Hubungan Pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru
dengan keteraturan berobat diwilayah kerja puskesmas xx. Tasikmalaya. 2008.

24. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:


Sagung Seto; 2008. p. 112-26.

25. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2002. p.


79-136.

26. Sugiyono. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta; 2006. p.56-61.


43

27. Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta; 2006.

28. Riwidikdo, H. Statistik Kesehatan Belajar Mudah Teknik Analisis Data Dalam
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press; 2008. p. 151-61.

29. Hastono, S.P. Analisis Data Kesehatan. Depok: FKM UI; 2007. p. 53-60.

Anda mungkin juga menyukai