Tata Cara Melakukan Sujud Sahwi
Tata Cara Melakukan Sujud Sahwi
TATA – CARA
SUJUD SAHWI
Judul Asli:
RISALAH FIE SUJUD AS-SAHWI
Penulis:
SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-‘UTSAIMIN
Penerbit:
DAR AL-WATHAN LIN-NASYR
RIYADH
E-mail : pop@dar-alwatan.com
Website : www.dar-alwatan.com
Cetakan:
Tahun 1423 H.
Edisi Indonesia:
TATA – CARA
SUJUD SAHWI
Penerjemah:
Mutsanna Abdul Qohhar
DAFTAR ISI
**************
بسم ال الرحنم الرحيم
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang)
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam karena
beliau telah menyampaikan (risalah Islam) dengan sejelas-jelasnya. Demikian
pula, shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan kepada keluarga, para
shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan benar sampai hari
pembalasan (kiamat).
Amma Ba’du:
Sesungguhnya (sekarang ini) banyak sekali di antara manusia yang tidak
paham tentang hukum-hukum sujud sahwi dalam shalat.
Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan sujud shawi di tempat yang
seharusnya ia wajib mengerjakannya.
Di antara mereka ada yang mengerjakan sujud sahwi, tetapi tidak pada
tempatnya.
Di antara mereka ada yang mengerjakan sujud sahwi sebelum salam,
padahal tempatnya setelah salam.
Dan di antara mereka ada pula yang mengerjakan sujud sahwi sesudah
salam, padahal tempatnya sebelum salam.
Oleh karena itu, mengetahui hukum-hukum sujud sahwi ini sangat urgen
sekali, apalagi bagi kalangan para imam shalat yang mereka akan diteladani oleh
manusia dan manusia juga akan bertaklid kepadanya dalam mengerjakan syariat-
syariat shalat yang dengannya mereka akan mengimami kaum muslimin. Karena
sebab inilah sehingga saya sangat tertarik untuk mehaturkan kepada saudara-
saudaraku (sesama muslim) beberapa hukum tentang permasalahan ini (sujud
sahwi), dengan tujuan hanya semata-mata karena mengharap kepada Allah ta’ala
semoga ia bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Maka saya katakan
dengan mengharap pertolongan Allah ta’ala dan petunjuk-Nya, semoga (apa yang
akan saya katakan ini) benar:
Sujud sahwi adalah suatu ungkapan dari dua sujud yang dikerjakan oleh
seorang mushaly (orang yang shalat), fungsinya untuk menambal celah-celah yang
masih belum sempurna dalam shalatnya disebabkan karena kelupaan.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang harus mengerjakan sujud
sahwi ada tiga macam: penambahan , pengurangan dan ragu-ragu.
1. PENAMBAHAN.
Apabila seorang mushaly secara sengaja menambah shalatnya, baik
menambah berdiri, duduk, rukuk atau sujud, maka shalatnya batal (tidak shah).
Jika dia melakukannya karena lupa dan dia tidak ingat bahwa dia telah menambah
shalatnya hingga selesai shalat, maka dia tidak terkena beban apa pun kecuali
hanya mengerjakan sujud sahwi dan shalatnya tetap shah. Tetapi jika dia telah
mengingatnya kembali pada saat dia masih mengerjakan shalatnya, maka dia
wajib kembali kepada posisi yang benar, lalu mengerjakan sujud sahwi, dan
shalatnya tetap shah.
Contoh kasusnya adalah: misalnya seseorang telah mengerjakan shalat
dzuhur 5 (lima) rekaat, tetapi dia baru mengingatnya kembali setelah dalam posisi
tasyahud (akhir), maka dia harus menyempurnakan tasyahudnya (terlebih dahulu),
lalu salam, kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi.
Jika dia baru mengingatnya kembali setelah salam, maka dia harus segera
mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia telah mengingatnya
kembali pada saat dia masih mengerjakan rekaat yang ke lima, maka dia harus
segera duduk pada saat itu juga, lalu bertasyahud dan salam, kemudian sujud
sahwi dan salam lagi.
Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ( 1 ):
1
. H.R. Mutafaqun ‘Alaih. Bukhary meriwayatkannya dalam (kitab) as-shalat, bab: maa ja’a fie
al-qiblah, (404) yang redaksionalnya sangat pendek, dan pada hadits, (401) redaksionalnya
sangat panjang, dalam (kitab) as-Sahwi, (1227) dan juga dalam pembahasan-pembahasan
ُ أُبزيييأد بفي ال ن: فأبقييأل لأُه،ًصنلىَّ الظظيهأر أخيسسا
ُ:صيلأبة؟ِ فأيأقيياًأل ب
أ-صنلىَّ ال ُأعلأييه أو أسلنأم أنن النب ن
أ-ب
ُ فأييثأيأن بريجلأيييبه:َ أوبف برأوايأةة.ي بأييعأدأماً أسلنأم
فأسأجأد أسيجأدتَأي ي ب،ًت أخيسا
صلأيي أ س أ ُ أ:))أوأماً أذاأك؟ِ(( قأاًلُيوا
وايستْأييقبأل الي ب يقبيلأةأ فأسأجأد أسيجأدتَأي ي ب
(َ )رواه المجاًعة.ي ُثن أسلنأم أ أ أ
“Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam pernah shalat dhuhur 5
(lima) rekaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah shalatnya
sengaja ditambah? Beliau menjawab: “Memangnya apa yang terjadi?”
Kemudian mereka (para shahabat) menjawab: “Anda telah mengerjakan shalat
(dhuhur) lima rekaat.” Maka beliau langsung sujud dua kali dan selanjudnya
salam.
Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka beliau langsung melipat kedua
kakinya dan menghadap kiblat, kemudian sujud dua kali dan salam.” (H.R al-
Jama’ah)2.
2. PENGURANGAN
(Pengurangan dalam mengerjakan shalat ada beberapa macam, di antaranya
adalah sebagai berikut):
a. Kekurangan rukun-rukun dalam shalat.
Apabila seorang mushally kurang (tidak mengerjakan) salah satu rukun
shalat, jika yang kurang tadi adalah takbiratul ikhram, maka tidak ada shalat
baginya, baik apakah dia meninggalkannya karena sengaja maupun kelupaan,
sebab shalatnya belum dianggap di mulai.
Jika yang kurang tadi bukan takbiratul ikhram, bila dia sengaja
meninggalkannya, maka shalatnya batal
Tetapi jika dia meninggalkannya karena lupa, bila dia telah sampai pada
rekaat kedua, maka dia harus membiarkan rukun shalat yang tertinggal tadi dan
mengerjakan rekaat berikutnya sebagaimana posisinya. Tetapi jika dia belum
sampai pada rekaat kedua, maka dia wajib mengulangi kembali rukun shalat yang
(714) dan (715), dalam: as-sahwi, (1226) dan dalam pembahsan-pembahasan lainnya.
Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam; al-masajid, bab: as-sahwu fie ash-Shalat,
(97) dan (573).
tertinggal tadi, kemudian menyempurnakannya dan rukun-rukun setelahnya.
Dalam kedua kondisi ini, maka dia wajib mengerjakan sujud sahwi setelah salam.
Contoh kasusnya adalah: misalnya seseorang kelupaan tidak
mengerjakan sujud kedua pada rekaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya
kembali pada saat dia sedang duduk di antara dua sujud pada rekaat kedua, maka
dia harus membiarkan rekaat pertama yang telah dikerjakannya tadi lalu
mengerjakan rekaat kedua sebagaimana posisinya. Sedangkan rekaat yang telah
dia kerjakannya tadi, telah dianggap sebagai rekaat pertama dan dia tinggal
menyempurnakan shalatnya, lalu salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Kasus lainnya, misalnya seseorang kelupaan tidak mengerjakan sujud
kedua dan duduk sebelum sujud pada rekaat pertama, kemudian dia baru
mengingatnya kembali setelah berdiri dari rukuk (i’tidal) pada rekaat kedua, maka
dia harus kembali duduk dan sujud, kemudian baru menyempurnakan shalatnya
dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
5
. H.R. Bukhary: al-Adzan bab: man lam yaro at-Tasyahud wajiban …(829), dalam: as-Sahwi,
(1223, 1225) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim
meriwayatkannya dalam: al-Masajid, bab: as-Sahwu fie ash-Shalah, (85) dan (570).
3. RAGU – RAGU
Asy-Syak adalah merasa ragu-ragu antara dua perkara, mana di antara
keduanya yang benar.
Ragu-ragu yang tidak perlu digubris dalam semua ibadah adalah dalam
tiga kondisi:
1. Apabila keragu-raguan itu hanya berupa angan-angan belaka yang tidak
nyata, seperti perasaan waswas.
2. Apabila seseorang sering sekali dihinggapi perasaan ragu-ragu, sehingga
setiap kali dia ingin melaksanakan suatu ibadah pasti akan merasa ragu-
ragu.
3. Apabila karagu-raguan itu muncul setelah melaksanakan suatu ibadah.
Maka dia tidak perlu repot-repot menggubris parasaan ragu-ragu tersebut
selama perkaranya belum jelas dan dia harus mengerjakan sesuai dengan
apa yang diyakininya.
Contoh kasusnya adalah: misalnya seseorang sudah mengerjakan shalat
dhuhur. Tetapi setelah selesai mengerjakan shalat dia merasa ragu-ragu, apakah
dia shalat tiga rekaat atau empat rekaat. Maka dia tidak perlu repot-repot
menggubris perasaan ragu-ragu ini kecuali bila dia telah merasa yakin bahwa dia
memang shalat tiga rekaat. Apabila demikian, maka dia harus menyempurnakan
shalatnya jika rentang waktu (dengan shalatnya tadi) masih berdekatan, lalu
salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia baru mengingatnya
kembali setelah terpaut waktu yang lama, maka dia harus mengulangi kembali
shalatnya.
Sedangkan merasa ragu-ragu selain dalam ketiga kondisi ini, maka ia perlu
dipertimbangkan (diperhatikan).
Ragu-ragu dalam shalat tidak akan terlepas dari dua kondisi di bawah ini:
1. Dia bisa menentukan salah satu yang lebih rajih (kuat/benar) di antara dua
perkara, maka dia harus mengerjakan apa yang menurutnya lebih rajih
tersebut, kemudian menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian
sujud sahwi dan salam lagi.
Contoh kasusnya adalah: misalnya seseorang sedang
mengerjakan shalat dhuhur, kemudian dia merasa ragu-ragu dalam salah
satu rekaat, apakah ia rekaat kedua atau ketiga, akan tetapi dia bisa
menentukan bahwa itu adalah rekaat ketiga, maka dia harus
menjadikannya rekaat ketiga dan setelah itu dia tinggal menambah satu
rekaat lagi dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang ditetapkan dalam shahahain
dan lain-lainnya, dari hadits Abdulllah bin Mas’ud –radhiallahu ‘anhu-
bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda:
6
. HR. bukhary dalam: ash-Shalah, bab: at-Tawajjuh Nahwu al-Qiblah, (401) dan Muslim dalam:
al-Masajid, bab: as-Sahwu fie ash-Shalah, (89) dan (572).
(7)
Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Abu Sa’id al-Khudry –radhillahu ‘anhu- bahwa Nabi shalallahu
‘alaihi wa salam pernah bersabda:
ك أح يُدُكم بفي بب ب
ك ص يلأتَه فأيلأيبم يأييدبر أك ييم أ
صينلىَّ ثألأثيسياً أيم أيربأيسعيياً؟ِ فأييليأطييأربح النش ي أ أ إأذا أش ي ن أ ي
7
. H.R. Muslim dalam: al-Masajid, bab: as-Sahwu fie ash-Shalah, (88) dan (571).
3. Dia merasa ragu-ragu, apakah dia telah mendapatkan rukuk bersama imam
sehingga dia dikategorikan telah mendapatkan satu rekaat atau imam
tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia menjumpainya, sehingga
dia dikategorikan tidak mendapatkan satu rekaat. Jika dia bisa menentukan
mana yang lebih rajih antara dua perkara tersebut, maka dia harus
mengerjakan sesuai dengan apa yang menurutnya lebih rajih tadi, lalu
menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam
lagi. Dan jika dia tidak meninggalkan salah satu dari hal-hal yang
diwajibkan dalam shalat, maka pada saat itu juga dia tidak perlu
mengerjakan sujud sahwi.
Tetapi jika dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajih antara
kedua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa
yang diyakinannya (yakni dia tidak mendapatkan rekaat tersebut), lalu dia
harus menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwi sebelum salam,
kemudian baru salam.
FAIDAH:
Apabila seseorang merasa ragu-ragu dalam shalatnya, maka dia harus
mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya atau yang menurutnya lebih
rajih sebagaimana yang telah dijelaskan secara mendetail di atas. Namun bila
kemudian apa yang dikerjakannya itu ternyata sesuai dengan kenyataan, maka
menurut pendapat madzhab yang poppuler dia tidak perlu lagi manambah atau
mengurangi dalam shalatnya dan dia juga telah gugur kewajiban (tidak perlu lagi)
mengerjakan sujud sahwi karena faktor yang mengharuskan dia harus
mengerjakan sujud sahwi yaitu keragu-raguan sudah tidak ada lagi.
Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa dia belum gugur mengerjakan
sujud sahwi untuk membuat syetan marah, sebagaimana sabda Nabi shalallahu
‘alaihi wa salam:
َ ))أوإبأذا أس ي يأجأد.َ.َ. َ إل ي ي إن قي يياًل.َ.َ. (( فألأ أتيتْألبُف ي يوا أعلأيي ي يبه،))إبنيأيياً ُجعب ي يأل ايبلأمي يياًُم بليُي ي ييؤأتن بي يبه
((فأياًسُجُديوا
“Sesungguhnya dijadikan imam itu fungsinya untuk diikuti, maka
janganlah kalian menyelisihinya.” …sampai sabda beliau…”Dan bila dia sujud,
maka sujudlah.” (H.R. Mutafaqun ‘Alaih, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu) 9.
Jadi, makmum wajib mengikuti imam, baik apakah imam tersebut
mengerjakan sujud sahwinya itu sebelum maupun sesudah salam, kecuali bila dia
shalatnya masbuq yakni dia belum mengerjakan beberapa rukun shalat yang
8
. Dari hadits Abu Sa’id al-Khudry. Sudah ditakhrij di depan.
9
. H.R. Bukhary dalam: al-Jama’ah, bab: Innama ju’ila al-Imam liutammima bihi, (657), Muslim
dalam: ash-Shalah, bab: I’timamu al-Makmum bil-Imam, (412), ditambahkan dalam riwayat
Abu Dawud, dalam: ash-Shalah, bab: al-imam yushally min qu’udin, (604) : “Dan apabila dia
membaca, maka dengarkanlah dengan tenang.” An-Nasa’i dalam: al-Iftitah, (920), Ibnu majah,
(846) dan imam Ahmad, (2 / 420).
lainnya, maka dia tidak boleh mengikuti imam mengerjakan sujud sahwi karena
adanya udzur tersebut, sebab seseorang yang shalatnya masbuq tidak mungkin
akan salam bersama-sama dengan imamnya. Oleh karena itu, dia diharuskan
menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi terlebih dahulu, lalu salam,
kemudian baru mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi.
Contoh kasusnya adalah: misalnya seseorang ikut shalat bersama imam
pada rekaat terakhir, kemudian imam tersebut sujud sahwi setelah salam. Maka
bila imam tersebut telah salam, orang yang shalatnya masbuq itu harus bangkit
untuk menyempurnakan shalatnya dan dia tidak boleh ikut mengerjakan sujud
sahwi bersama imam. Tetapi bila dia sendiri telah menyempurnakan shalatnya dan
salam, maka setelah salam dia harus mengerjakan sujud sahwi.
Sedangkan apabila yang lupa itu hanya makmum saja sedangkan imamnya
tidak, bila dia belum kehilangan salah satu dari rukun-rukun shalat, maka dia tidak
wajib mengerjakan sujud sahwi, karena sujud sahwinya itu akan menyebabkan dia
menyelisihi dan tidak mengikuti imam. Sebab lain karena para shahabat
radhiallahu ‘anhu juga tidak mengerjakan tasyahud awal ketika Nabi shalallahu
‘alahi wa salam kelupaan tidak mengerjakannya. Mereka malah berdiri bersama
beliau dan tidak duduk untuk mengerjakan tasyahud awal sendiri-sendiri,
tujuannya adalah sebagai bukti perhatian mereka untuk selalu mengikuti dan tidak
menyelisihi beliau.
Tetapi jika dia belum mengerjakan salah satu dari rukun-rukun shalat,
kemudian dia dan imamnya juga kelupaan atau setelah menyempurnakannya dia
sendiri juga kelupaan, maka dia belum gugur untuk mengerjakan sujud sahwi.
Oleh karena itu setelah dia menyempurnakan shalatnya, maka dia harus
mengerjakan sujud sahwi baik sebelum maupun sesudah salam, sebagaimana yang
telah dijelaskan secara mendetail di atas.
Contoh kasusnya adalah: misalanya seorang makmum kelupaan tidak
membaca do’a dalam rukuk: (Subhana rabbiyal-‘Adzim), tetapi dia tidak
kehilangan salah satu dari rukun-rukun shalat, maka dia tidak wajib mengerjakan
sujud sahwi. Sedangkan jika dia belum mengerjakan satu rekaat atau lebih, maka
dia harus menyempurnakannya dahulu, kemudian sebelum salam dia harus
mengerjakan sujud sahwi.
Contoh kasus lainnya: misalanya seorang makmum sedang mengerjakan
shalat dhuhur bersama imam. Ketika imam bangkit untuk mengerjakan rekaat
keempat, dia tetap duduk karena meyakini (mengira) bahwa itu adalah rekaat
terakhir. Jika dia tidak kehinggan salah satu dari rukun-rukun shalat, maka dia
tidak wajib mengerjakan sujud sahwi, tetapi jika dia kehilangan satu rekaat atau
lebih, maka dia harus menyempurnakan shalatnya dahulu, lalu salam, kemudian
baru mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi. Sebenarnya tujuan dia diharuskan
mengerjakan sujud sahwi ini karena dia telah menambah duduk (dalam shalat)
ketika imam telah berdiri untuk mengerjakan rekaat yang keempat.
*************
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa sujud sahwi
kadangkala dikerjakan sebelum maupun sudah salam.
Sujud sahwi sebelum salam, dikerjakan dalam dua tempat:
1. Apabila ada kekurangan dalam shalat, berdasarkan hadits Abdullah bin
Buhainah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam
pernah mengerjakan sujud sahwi sebelum salam ketika beliau tidak
mengerjakan tasyahud awal. Lafadz hadits ini telah disebutkan di depan.
2. Apabila seseorang ragu-ragu (dalam shalatnya) dan dia tidak bisa
menentukan mana yang lebih rajih di antara dua perkara tersebut,
berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudry radhiallahu ‘anhu tentang
seseorang yang merasa ragu-ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu
berapa rekaat dia telah shalat? Dua rekaat atau tiga rekaat? Kemudian Nabi
shalallahu ‘alaihi wa salam menginstrusikan kepadanya supaya dia sujud
dua kali sebelum salam (sujud sahwi). Dan lafadz hadits ini juga telah
disebutkan di depan.
Tetapi jika dia merasa ragu-ragu dalam dua tempat secara bersamaan,
yakni dia merasa bahwa tempat yang pertama sebelum salam sedangkan yang
kedua setelah salam, maka para ulama mengatakan: Dia harus lebih
mengutamakan sebelum salam, kemudian sebelum salam dia harus mengerjakan
sujud sahwi dahulu.
Contoh kasusnya adalah: misalanya seseorang sedang mengerjakan
shalat dhuhur, kemudian dia langsung berdiri untuk mengerjakan rekaat ketiga
padahal dia belum mengerjakan tasyahud awal, lalu ketika rekaat ketiga dia malah
duduk untuk mengerjakan tasyahud awal karena menyangka bahwa rekaat
tersebut adalah rekaat kedua. Tatapi kemudian dia ingat bahwa rekaat tersebut
sebenarnya adalah rekaat ketiga, maka dia harus berdiri dan mengerjakan satu
rekaat lagi, lalu mengerjakan sujud sahwi dan baru salam.
Karena orang ini tidak mengerjakan tasyahud awal, maka seharusnya dia
mengerjakan sujud sahwi sebelum salam. Tetapi disamping itu pula dia juga
menambah duduk pada rekaat ketiga, maka seharusnya dia juga mengerjakan
sujud sahwi setelah salam. Oleh karena itu (menurut para ulama) dia harus lebih
mengutamakan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.
Wallahu A’lam.
Risalah ini telah selesai ditulis dengan penanya seorang hamba yang fakir
yang selalu mengharap kepada Allah ta’ala ampunan dan rahmat-Nya,
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, pada tanggal 3 / 4 / 1400 H.
***************