Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS BUKU REVOLUSI SOSIAL DI BEREBES

ABSTRAK
Riyan Ilham Yustika Religian
1706450
(Universitas Siliwangi)
riyanilham75@gmail.com

Artikel ini berisi tentang analisis buku karya Dr. Aman, M. Pd. Yang berjudul Revolusi sosial
di Brebes. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pendekatan dan
metodologi sejarah yang digunakan oleh Aman dalam penelitiannya tersebut. Hal tersebut
dilakukan karena karya dari Aman ini merupakan sebuah penelitian sejarah yang
komprehensif dan holistik Mengenai Revolusi Sosial diBrebes pada bulan Oktober sampai
dengan bulan November 1945. Pengkaji menemukan penulisan sejarah yang digunakan
dalam buku yang berjudul Revolusi Sosial diBrebes karya dari Aman selaras dengan gaya
penulisan mazhab Annales School yaitu pendekatan metodologi struktural. Metode sejarah
yang digunakan Aman dalam mengkaji sejarah yakni dengan bantuan ilmu-ilmu sosial. Fokus
kajian yang digunakan adalah dengan melihat masyarakat kecil dan aktor sejarah yang
berperan secara struktur. Dalam mengkaji Revolusi sosial di Brebes Aman mendekati teori
gerakan sosial yang dicetuskan oleh Erik J. Hobsbawm tentang Bandit Sosial. Dalam hal ini,
bandit sosial dikenal dengan sebuatan Lenggaong. Teori bandit sosial dideskripsiakan sebuah
counter elite yang bergerak dibawah tanah dan merupakan ancaman bagi penguasa. Pada level
gerakan sosial tindakan bandit dianggap sah karena tindakan yang dilakukan oleh masyarakat,
namun tidak nurut penguasa. Dengan demikian, status bandit sosial dalam masyarakat adalah
pahlawan, sedangkan dimata penguasa dianggap pembangkang. Dalam menguraikan
pertentang dalam struktur masyarakat Brebes, deskripsi Aman erat kaitannya dengan analisis
teori konflik. Teori konflik secara sederhana adalah perubahan dalam struktur masyarakat
berdasarkan benturan kepentingan. Teori konflik menilai kelompok sosial dalam struktur
dibangun dan dikendalikan dengan cara-cara manipulatif oleh kelompok dominan. Dalam
melepaskan diri dari dominasi tersebut, maka cara yang dilakukan harus diluar pola
konsensus, serta konforantatif dari kelompok subordinat terhadap kelas dominan.
Kata kunci: Revolusi Sosial, Brebes, Metodologi Struktural.

A. Pendahuluan
Revolusi Nasional Indonesia dimulai setelah penyerahan Jepang ke sekutu
pada tanggal 17 Agustus 1945 yang ditandai dengan dibacakannya teks
Proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta (Batavia). Peristiwa pada
bulan Oktober 1945 setelah Jepang menyerah kepada sekutu menjadi pergolakan
disetiap daerah di Indonesia meluas. Ketika daerah-daerah menjadi wadah
"revolusi sosial" dan mulai menyingkirkan para penindas yang terjadi dimasa lalu
termasuk pangreh praja yang di anggap sebagai bentukan para koloni. Sasaran
warga terhadap pabrik gula yang dibuat pemerintahan kolonial menjadi alasan atas
penindasan dan kesengsaran masyarakat (Knight, 2017). Proklamasi yang tersebar
di seluruh nusantara dan masyarakat benar-benar mengerti arti kemerdekaan,

1
sehingga berita menyebar dengan cepat ke semua orang. Berita itu benar-benar
mimpi semua orang ingin memiliki kebebasan. Masyarakat Indonesia sadar
sepenuhnya bahwa setiap bangsa harus mandiri dan merdeka. Menurut aggapan
rakyat, proklamasi kemerdekaan 1945 berarti musnahnya unsur-unsur kolonial.
Revolusi di Brebes dimaknai sebagai suatu upaya perubahan untuk mengubah
struktur masyarakat kolonial-feodal menuju suatu tatanan masyarakat yang
demokratis dan berkeadilan. Aksi protes sosial terhadap tanam paksa dan beban
wajib kerja (corvee) sebagai bentuk resistensi, rakyat Brebes yang ditandai dengan
penyerangan-penyerangan terhadap pabrik gula (Aman, 2015, hlm. 63).
Wade (2016) memaparkan bahwa revolusi terjadi karena adanya rampasan
politik (kudeta) yang direncanakan oleh tokoh politik yang melibatkan banyak
masa, sehingga revolusi tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan
ekonomi. Pada bulan oktober 1945, masyarakat di daerah Karesidenan
Pekalongan dikejutkan oleh pergerakan rakyat yang mengadakan gerakan
pemberhentian pejabat pemerintah setempat secara pakasa. Gerakan ini terkenal
dengan “Aksi Pendaulatan”. Yang menjadi sasaran aksi ini terutama para lurah,
camat, wedana,bupati, atau para pejabat pemerintah lainnya. Secara beramai-
ramai pendukung aksi ini datang ketempat korban untuk menangkap dan
mengadilinya. Hasil setoran padi paksa di jaman Jepang, yang pada waktu itu
menumpuk di Kumiai dan penggilingan-penggilingan padi beserta bahan-bahan
tekstil, merupakan perangsang bagi rakyat yang sudah lama menderita kelaparan
dan hanya dapat memakai pakaian karung goni untuk melakukan balas dendam
terhadap pejabat setempat. Setelah segala kesalahan dituduhkan, si korban
dinyatakan diberhentikan dari jabatannya dan penggantinya segera ditunjuk. Bagi
yang bernasib sial, bukan jabatannya yang dicopot, tetapi nyawanya ikut dicopot
pula. Aksi ini dilancarkan dan dibarengi keributan dan keonaran. Sesungguhnya
keributan semacam ini melanda hampir di seluruh daerah di Karesidenan
Pekalongan. (Aman, 2015, hlm. 5-23).
Perubahan sosial disambut baik selama itu akan menguntungkan kekuatan
negara. Perubahan direkayasa secara politis, dipaksakan dari atas, atau digigit
sejak awal dan digagalkan. Perubahan politik utama dalam konstitusi negara dan
institusi-institusinya tidak mempertimbangkan perubahan persyaratan perubahan

2
sosial. Perubahan adalah pretensi berani dalam membangaun tatanan kehidupan
yang lebih baik sebagai kemajuan sosial. Kekuatan perubahan sosial yang belum
direalisasi dalam keberadaan negara perwujudan alasan universal negara kerajaan
sebagai kemajuan sosial (menjalani formasi, pembentukan kembali, dan trans-
formasi) terus mempengaruhi pasang surutnya arus politik. Ketidak sepahaman
kemajuan sosial dan cita-cita politik hegemonik penguasa berturut-turut adalah
inti kontradiksi. Namun, kemajuan sosial yang nyata telah ditunda. Hal ini,
membuat rakyat goyang dan gelisah, namun tidak membawa negara tersebut ke
mana-mana dan tidak lebih jauh lagi. Inti paradoks umur panjang kenegaraan dan
kelangsungan hidup kemerdekaan terletak pada cita-cita kemajuan sosial yang
belum terealisasi sebagai bagian dari identitas Negara (Zeyege, 2017).
Menurut Silva (2016) revolusi disebabkan oleh faktor sosial, ekonomi dan
politik, namun seringkali di anggap sebagai radikalisasi politik. Keterlibatan
pekerja sosial dalam proses revolusioner dan keterkaitannya dengan agen politik,
serta aktor sosial lainnya yang memungkinkan dapat dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai mobilisasi kolektif dan partisipasi politik. Di sisi lain, partisipasi
mereka dipertimbangkan oleh gerakan sosial sebagai keterlibatan yang harus
dipertanggung jawabkan dengan pihak berwenang dan membantu menangani
masalah-masalah organisasi dan birokrasi. Aman (2015, hlm.62) menjelaskan,
bahwa kesengsaraan kehidupan sosial-ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat
pedesaan diwilayah Brebes pada masa kolonial dan kekerasan ekonomi pada masa
Jepang mengakibatkan terjadinya Revolusi di Brebes. Autumn (2016)
memaparkan dalam Jurnal yang berjudul “Economic Mobility in a Colonial and
Postcolonial Economy: Indonesia” bahwa orang Eropa terpinggirkan setelah
kemerdekaan, meskipun orang-orang Eropa hanya terdiri dari 0,2 persen dari
jumlah penduduk selama periode kolonial akhir, mereka mendapat keuntungan
istimewa dalam bidang pendapatan, pendidikan, dan pekerjaan. Memang, Polak
dan Maddison menunjukkan bahwa pendapatan per kapita orang Eropa sekitar
tujuh puluh kali lebih tinggi dari pada orang Indonesia, sehingga mengakibatkan
kemiskinan dan kesengsaraan.
Savelyev (2016) dalam jurnal yang berjudul “The Social Revolutiom of
Masses in Ukraine (Nation Shall Not Live By Bread Alone)” mengungkapkan

3
bahwa sebuah revolusi baru menyebar dimulai dari bawah, sehingga para politisi
dapat memanfaatkan keadaan politik dan ekonomi dalam melibatkan masa untuk
mencapai tujuannya. Revolusioner dimulai dari tekanan masyarakat yang terus-
menerus meningkat terhadap pemilik dan pihak baru yang dipaksa untuk
mempercepat tingkat kesejahtraan masyarakat. Dari pernyataan tersebut, sejalan
dengan revolusi yang terjadi di Brebes. Revolusi sosial Brebes menunjukan
bersatunya unsur kiri dan kaum agama selama bulan pertama awal revolusi. Hal
ini menunjukan bahwa penderitaan yang rakyat rasakan selama penjajahan
sanggup menyatukan semua golongan (Aman, 2015, hlm. 4). Sun (2014)
berpendapat revolusi adalah tentang mengusir Manchuria. Namun, masyarakat
yang memiliki tingkat kecerdasan rendah tidak memungkinkan melakukan
pergerakan, sehingga masyarakat hanya menjadi pendorong revolusi. Hal ini
menunjukan bahwa dalam sebuah revolusi, pergerakan masyarakat dilakukan oleh
sekelompok orang yang memahami politik.
Dalam resolusi dua kemungkinan terjadi karena pemberontakan
spontan yang diatur dan siapa aktor utama dalam melakukan pergerakan
masyarakat. Kebijakan konvensional yang dilakukan pemerintah menyebabkan
pergerakan masa menuntut perubahan dengan cara menggulingkan presiden yang
memungkinkan adanya peranan dari oposisi partai. Faktor ekonomi yang
menyebabkan terjadinya ketegangan karena ketidak puasan masyarakat kepada
pemerintahan (Malamud, 2015). Revolusi akan mengubah bagaimana manusia
hidup dalam kemerdekaan sehingga bisa bekerja dan berpikir dalam melakukan
perubahan kearah yang lebih baik (Walker, 2016).

B. Metodologi
Penulisan sejarah di Indonesia dengan menggunakan pendekatan pada
interdisipliner atau multidisipliner, khususnya teori sosial, di pelopori oleh Prof.
Dr. Sartono Kartodirdjo yang berhasil menuliskan sejarah dari sudut pandang
sosial. Alian, (2012) mengungungkapkan Konsep yang digunakan oleh Prof.
sartono Katodirjo adalah penggabungan antara penelitian sejarah dengan konsep
sosiologi dan antropologi. Misalnya terlihat pada, kelompok sosial, struktur sosial,
stratifikasi sosial, mesianisme, nativisme, dan kebudayaan. Mulyana (2009, hlm.

4
125) memaparkan, bahwa pendekatan dalam tulisan Sartono adalah pendekatan
yang dilakukan oleh aliran “Analles School”. Salah satu karya sejarah lain yang
menggunakan pendekatan multidimensional dan metode interdisipliner adalah
buku yang ditulis oleh Dr. Aman yang berjudul “Revolusi Sosial di Brebes”
dengan menggunkan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi
dan ilmu politik.
Kategori historiografi pada buku yang di tulis oleh Aman termasuk kategori
penulisan sejarah Akademik. Mulyana (2009, hlm. 81) memaparkan penulisan
sejarah yang bersifat akademik cenderung bersifat struktural dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial, sehingga penulisan
sejarah tidak hanya sebatas menceritakan kejadian semata yang bersifat naratif.
Gaya penulisan sejarah yang diguanakan oleh Aman selaras dengan gaya
historiografi mazhab Annales School. Penulisan pada aliran annales menekankan
penulisan dengan struktur dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial,
antropologi dan politik. Mazhab ini dikembangkan lewat jurnal Annales d’histoire
economique etsociate di Prancis. Jurnal tersebut dikembangkan oleh March Bloch
dan Bloch. Sesuai namanya mazhab ini menggunakan metodologi sejarah dengan
ilmu sosial, missalnya Bloch melakukan penulisan sejarah dengan pendekatan
ekonomi. Sementara Brudel mengembangkan penulisan sejarah dengan berbagai
aspek ilmu sosial, politik, dan budaya. Secara umum mazhab ini, dalam
menuliskan sejarah tidak hanya berisikan orang besar, namun masyarakat kecil
secara struktur.
Penulisan sejarah yang di gunakan oleh Aman dalam buku “Revolusi Sosial di
Brebes” menggunakan metodologis strukturalisme. Sejarah dengan pendekatan
struktural dipercaya mampu mengungkapkan konteks situasional, dimana pristiwa
itu terjadi. Konteks struktural meliputi imprastruktur ekologis, ekonomis, sosial,
politik dan kultural (Kuntowijoyo, 1993, hlm. 116). Aman melakukan pendekatan
struktural untuk memahami bagaimana pola masyarakat terbentuk. Kemudian,
mengkaji hubungan antar komponen masyarakat dalam menjalankan fungsinya.
Pola masyarakat dalam karya Aman, berlatar belakang kondisi sosial, ekonomi,
dan politik. Dalam bukunya, Aman menuliskan strartifikasi sosial masyarakat
masa kolonial yang terdiri dari tiga komponen, yaitu pemerintah kolonial berada

5
dilapisan atas, kaum elit termasuk priayi berada dilapisan tengah dan rakyat jelata
merupakan kelas paling bawah. Hubungan antar komponen dengan konsep
struktur sebagai hubungan Patronase. Konsep ini diartikan sebagai hubungan
antara pilihan yang tidak setara antar pemimpin (patron) dan pengikut (klien),
serta setiap pengikut mempunyai daya tawar. Klien menawarkan kepatuhan dan
penghormatan kepada parton, dilain sisi patron menawarkan kebaikan dan
perlindungan kepada kliennya (Burke, 2001, hlm. 106).
Dalam menguraikan pertentang dalam struktur masyarakat Brebes itu,
deskripsi Aman erat kaitannya dengan analisis teori konflik. Teori konflik
secara sederhana adalah perubahan dalam struktur masyarakat berdasarkan
benturan kepentingan. Teori konflik menilai kelompok sosial dalam struktur
dibangun dan dikendalikan dengan cara-cara manipulatif oleh kelompok
dominan. Dalam melepaskan diri dari dominasi tersebut, maka cara yang
dilakukan harus diluar pola konsensus, serta konforantatif dari
kelompok subordinat terhadap kelas dominan (Saefudin, 2005, hlm. 76). Dalam
teori revolusi, Karl Marx mengatakan perkembangan masyarakat pada kekuatan
produksi material, masyarakat berada dalam pertentangan dengan keberadaan
hubungan produksi ditempat mereka bekerja. Bentuk kekuatan produksi berubah
menjadi penindasan. Konflik antara kekuatan produksi baru dengan kekuatan
produksi lama menjadi suatu gerakan revolusi (Sabrini, 2005). Marx
mengasumsikan bahwa kapitalisme mengarah kepada kesejarahtraan dan
penderitaan. Kesejahtraan dalam kelas borjuois semakin kecil, sedangkan
penderitaan dalam kelas buruh semakin besar. Ketidakadilan kelas sosial yang
terjadi membuat kaum prolarit bersatu dan sadar akan adanya kelas pemisah
sehingga mengarah kepada revolusi yang dinmai revolusi sosial (Sabrini, 2005,
hlm. 168).
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme
struktural dan akibat berbagai kritik.Seperti disampaikan di awal, bahwa untuk
dapat memahami teori konflik kelas Ralf Dahrendorf, hanya akan dapat dipahami
apabila kita sudah membaca teori konflik kelas Karl Marx . karl Marx lahir di
Kota Trier tahun 1818 yaitu sebuah kita di perbatasan Jerman Barat, ayahnya
seorang notaris yang berhaluann Protestan. Sejak kecil Marx tidak tertarik

6
terhadap masalah agama. Tanpa sepengetahuan ayahnya pergi ke Berlin dan
beremu dengan Hegel yang kemudiana sangat mempengaruhi pikiran-pikirannya,
sehingga ia menganggap bahwa “rasionalisme dan kebebasan merupakan nilai
tertinggi” dalam hidupnya (Wirawan, 2012, hlm. 8). Menurut teori ini, masyarakat
terdiri atas individu yang masing-masing memiliki berbagai
kebutuhan keinginan yang tidak terbatas. Namun kemampuan individu untuk
mendapatkan kebutuhan berbeda-beda, perbedaan kemauan inilah yang
melahirkan konflik (Martono, 2014, hlm. 35). Menurut Max Weber konflik adalah
mempunyai posisi sentral dalam menganalisis kehidupan masyarakat. Baginya,
konflik merupakan unsur dasar kehidupan manusia. Pertentangan tidak dapat
dilenyapkan dari kehidupan budaya manusia. Dia juga menyatakan bahwa
masalah kehidupan modern dapat dirujuk ke sumber materialnya yang riil
(misalnya, struktur kapitalisme). Karena itu penyelesaiannya hanya dapat
ditemukan dengan menjungkirbalikkan struktur kapitalis itu melalui tindakan
kolektif sejumlah besara orang (Ritzer, 2014, hlm. 29). Orang memang dapat
mengubah sarananya, objeknya, arah dasar ataupun pendukungnya, akan tetapi
orang tidak dapat membuang konflik itu sendiri (dalam Wirawan, 2012, hlm. 66-
70). Terdapat beberapa asumsi yang mendasari teori Marx ini adalah: a. Manusia
tidak memiliki kodrat yang persis dan tetap; b. Tindakan, sikap dan
kepercayaannya individu tergantung pada hubungan sosialnya, dan hubungan
sosialnya tergantung pada situasi kelasnya dan struktur ekonomis masyarakatnya;
c. Manusia tidak mempunyai kodrat, lepas dari apa yang diberikan oleh posisi
sosialnya; d. Dalam suatu sistem pasti ada benihbenih konflik kepentingan; e.
Konflik adalah fakta sosial; f. Koflik merupakan suatu gejala yang ada dalam
setiap sistem sosial; g. Konflik sangat mungkin terjadi terhadap distrbusi sumber
daya yang terbatas; h. Konflik merupakan suatu sumber terjadinya perubahan pada
sistem sosial
Teori konflik menekankan adanya pada tiga isu sentral yang dijelaskan oleh
Marx yaitu; 1) teori perjuangan kelas, 2) teori meterialisme dialiektika/historis,
dan 3) teori nilai lebih. Pertama, teori perjuangan kelas; berangkat dari konsep
revolusi, revolusi merupakan yang harus terjadi akibat dari kondisi masyarakat itu
sendiri, emansipasi manusia hanya dapat dicapai dengan perjuangan kelas yaitu

7
kelas buruh terhadap kelas majikan. Kedua, teori materialisme dialektika; yang
menentukan struktur masyarakat dan perkembangan dalam sejarah adalah kelas-
kelas sosial, bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan sosial,
melainkan sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran manusia,
dan ketiga, teori nilai dan nilai lebih; artinya buruh mendapat upah yang senilai
dengan apa kebutuhan buruh untuk memulihkan kembali tenaganya dan
kebutuhan keluarga. Dengan demikian, metode dialektika Marx, dipengaruhi oleh
dialektika Hegel sebelumnya. Memfokuskan perhatian pada bagaimana suatu
pengaturan sosial yang ada, atau tesis, menghasilkan berlawanan sosial, atau
antitesis, dan bagaimana bentuk sosial secara kualitatif berbeda, atau sintesis,
muncul dari perjuangan yang dihasilkan. Dan Karl Marx, mengembangkan
analisis politis dan ekonomi berdasarkan asumsi bahwa konflik adalah bagian
yang takterelakan dalam sebuah masyarakat. Semua sejarah atau peristiwa
digerakkan dan diarahkan oleh konflik antara kelas-kelas properti dan
ketidakpunyaan alat-alat produksi (Scott, 2012, hlm. 129).
Pendukung teori konflik yang lain adalah dari Weber yang mengistilahkan
konflik sebagai suatu sistem “otoritas” atau sistem “kekuasaan”. Kekuasaan
cenderung menaruh kepercayaan pada kekuatan, sedangkan otoritas adalah
kekuasaan yang dilegitimasikan. Kedua ini harus diintegrasikan antara
kekuaasaan dan otoritas untuk menemukan kebutuhan semua sistem. Tindakan
manusia itu di dorong oleh kepentingan-kepentingan, bukan saja kepentingan
materiil seperti yang dikatakan oleh Marx, melainkan juga oleh
kepentingankepentingan ideal. Karena itu antara konflik dan integrasi akan terjadi
dalam masyarakat. Pandangan ini diperkuat juga oleh G. Simmel (dalam
Wirawan, 2012, hlm. 81) bahwa dalam kehidupan sosial, individu tidak hanya
mau melibatkan diri dalam konflik, tetapi bersemangat untuk konflik.
Dalam mengkaji Revolusi sosial di Brebes Aman mendekati teori gerakan
sosial yang dicetuskan oleh Erik J. Hobsbawm tentang Bandit Sosial. Dalam hal
ini, bandit sosial dikenal dengan sebuatan Lenggaong. Teori bandit sosial
dideskripsiakan sebuah counter elite yang bergerak dibawah tanah dan merupakan
ancaman bagi penguasa. Pada level gerakan sosial tindakan bandit dianggap sah
tindakan oleh masyarakat, namun tidak enurut penguasa. Dengan demikian, status

8
bandit sosial dalam masyarakat adalah pahlawan, sedangkan dimata penguasa
dianggap pembangkang (Mulyana, 2009, hlm. 134).

C. TEMUAN DAN PEMBAHASAN


1. Identitas Buku
Judul Buku : Revolusi Sosial di Brebes
Penulis : Dr. Aman, M.Pd.
Penerbit : Ombak
Tahun Terbit : 2015
Tebal : 84 halaman.

2. Biografi Penulis
Dr. Aman, M. Pd., lahir di Brebes, tanggal 15 oktober 1974. Menempuh
jenjang pendidikan sarjana pada program studi pendidikan sejarah FIS
Universitas Negeri Yogyakarta dan lulus pada tahun 1999. Kemudian
menempuh program Magister pada program studi pendidikan sejarah PPs
Universitas Negeri Jakarta dan lulus tahun 2002. Selanjutnya menempuh
program Doktoral pada program studi penelitian dan evaluasi pendidikan
konsentrasi metodologi evaluasi di Universitas Negeri Yogyakarta dan lulus
pada tahun 2010. Pengalaman mengajar menjadi guru di SMA Negeri 1 Salem
Brebes pada tahun 2002-2004, selanjutnya menjadi dosen tidak tetap pada
Fakultas Tarbiyah IAIIG Cilacap pada tahun 2002-2005 dan menjadi dosen tetap
pada jurusan Pendidikan Sejarah FIS Universitas Yogyakarta pada tahun 2003-
sekarang. Selain itu, menjadi dosen pada jurusan luar biasa pada Fakultas
Saintek UIN Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2007-2009.
Karya-karya penelitian yang dihasilkan seperti, artikel yang berjudul
“Kendala-Kendala Reformasi Pengajaran Sejarah” dalam jurnal Socia tahun
2005, “Diseputar Pengajaran Sejarah” dalam juranal Istoria tahun 2006,
“Tumbuhnya Nation State: Sebuah Kajian Awal” dalam jurnal Istoria tahun
2006, “Kendala-Kendala Pembelajaran IPS Materi Sejarah” dalam Jurnal
Informasi 2010, serta buku referensi: Brebes Bergerak Revolusi dalam Revolusi
(2009), Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah (Ombak, 2010), Reformulasi

9
Pembelajaran Sejarah (2011), dan Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan 1945-
1998 (Aman, 2015). Aktif juga dalam berbagai kegiatan profesi seperti menjadi
pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Yogyakarta dan ASPENSI.

3. Deskripsi Umum Buku “Revolusi Sosial di Brebes”


Pergolakan sosial di Brebes memiliki makna penting sebagai peristiwa
lokal revolusi Indonesia, karena merupakan sebuah revolusi sosial yang
memiliki ciri-ciri khusus sesuai dengan derajat dan lokalitas karakteristik
masyarakat Brebes. Revolusi sosial dimaknai sebagai salah satu upaya
perubahan dalam menguah struktur masyarakat kolonial-feodal menuju suatu
tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Revolusi sosial berebes
terjadi pada bulan Oktober sampe dengan bulan Desember 1945. Terjadinya
Revolusi sosial Brebes disebabkan oleh kemerosotan kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat pedesaan pada masa kolonial, yang ditandai dengan kemalaratan
akibat kekerasan ekonomi pada masa kependudukan Jepang, sehingga
menimbulkan luapan amarah pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Lenggaong dan ulama memiliki peran terhadap terjadinya revolusi sosial
di Brebes. Lenggaoang secara sosial memiliki posisi terhormat ditengah
masyarakat Brebes, karena memiliki ilmu kenuragan. Selain Lenggaong, ulama
pun memiliki peranan yang sangat penting ditengah masyarakat Brebes. Selain
memiliki ilmu agama, dan moralitas tinggi yang ditunjukan ulama, sehingga
ulama memiliki posisi terhormat ditengah masyarakat. Rasa hormat yang
ditunjukan masyarakat kepada Ulama dan Lenggoang berawal dari rasa
kekecewan masyarakat terhadap pangreh praja yang dianggap rakyat sebagai
antek-antek kolonial. Para pangreh praja pribumi yang berfungsi sebagai
pegawai dalam mengawasi tanam paksa yang dilakukan pemerintah kolonial.
Dalam fungsinya pemerintah kolonial memberikan kenaikan pangkat, gaji dan
persenan bagi pangreh praja dalam tigal hal, yakni kemahiran dalam mengelola
administrasi, mengawasi kriminalitas, dan menggugat pajak. Dengan demikian
para pangreh praja berlomba-lomba memeras rakyat dan bertindak diluar batas
terhadap rakyat, sehingga masyarakat tidak lagi menganggap pangreh praja
sebagai pelindung rakyat. Pada akhirnya masyarakat lebih dekat dan menghargai

10
peran ulama dan lenggaong sebagai pelindung. Revolusi sosial dan perubahan
pemerintah pada aksi gerakan sosial pasca proklamasi oleh masyarakat Brebes
berlangsung lunak dibanding dengan daerah tegal dan pemalang. Dalam gerakan
sosial masyarakat Brebes melakukan pembaharuan pemerintahan dengan
melengserkan secara paksa para pangreh praja yang sebelumnya dipekerjakan
oleh pemerintah kolonial dan ditunjuk dan digantikan dari para ulama dan
lenggaong.
Revolusi sosial Brebes bersamaan dengan revolusi sosial di tiga daerah,
atau lebih dikenal dengan Peristiwa Tiga Daerah, maka perlulah kiranya
dilberikan gambaran umum tentang peristiwa tiga daerah itu sendiri. Ketiga
daerah tersebut adalah Kabupaten Brebes, Tegal dan Pemalang yang semuanya
itu berada di wilayah Karesidenan Pekalongan. Pada bulan oktober 1945,
masyarakat di daerah Karesidenan Pekalongan dikejutkan oleh pergerakan rakyat
yang mengadakan gerakan pemberhentian pejabat pemerintah setempat secara
pakasa. Gerakan ini terkenal dengan “Aksi Pendaulatan”. Yang menjadi sasaran
aksi ini terutama para lurah, camat, wedana, bupati, atau para pejabat pemerintah
lainnya. Secara beramai-ramai pendukung aksi ini datang ketempat korban untuk
menangkap dan mengadilinya. Hasil setoran padi paksa di jaman Jepang, yang
pada waktu itu menumpuk di Kumiai dan penggilingan-penggilingan padi beserta
bahan-bahan tekstil, merupakan perangsang bagi rakyat yang sudah lama
menderita kelaparan dan hanya dapat memakai pakaian karung goni untuk
melakukan balas dendam terhadap pejabat setempat. Setelah segala kesalahan
dituduhkan, si korban dinyatakan diberhentikan dari jabatannya dan
penggantinya segera ditunjuk.
Dalam konteks sejarah revolusi Indonesia, kehadiran haluan kiri selama
berlangsungnya revolusi sosial di kabupaten Brebes, merupakan salah satu
kekuatan politik yang penting, walaupun pengaruhnya tidak dapat diukur secara
numeric. Tujuan pasti dari para pemimpinnya pada masa revolusi fisik, pada
pertamanya ialah untuk dapat memegang kekuasaan potik. Mereka menempatkan
hal itu sebagai prioritas pertama di atas seasgalanya termasuk juga pembagian
tanah. Munculnya Haluan Kiri dalam Revolusi Dalam konteks sejarah revolusi
Indonesia, kehadiran haluan kiri selama berlangsungnya revolusi sosial di

11
kabupaten Brebes, merupakan salah satu kekuatan politik yang penting,
walaupun pengaruhnya tidak dapat diukur secara numerik. Tujuan pasti dari para
pemimpinnya pada masa revolusi fisik, pada pertamanya ialah untuk dapat
memegang kekuasaan potik. Mereka menempatkan hal itu sebagai prioritas
pertama di atas seasgalanya termasuk juga pembagian tanah.
Pergerakan revolusi Sosial Brebes berlangsung lunak jika dibandingkan
dengan daerah tegal, dan pemalang. Tidak adanya seorang Camat, dan Bupati
yang terbunuh, namun gerakan sosial masyarakat Brebes melakukan
pembaharuan pemerintahan dengan melengserkan secara paksa para pangreh
praja yang sebelumnya dipekerjakan oleh pemerintah kolonial dan ditunjuk dan
digantikan dari para ulama dan lenggaong. (Aman, 2015, hlm. 81).
4. Sumber yang digunakan dalam buku Revolusi Sosial di Brebes
Metode penelitian yang digunakan dalam buku Revolusi sosial di Brebes
adalah metode historis. Metode ini digunakan karena buku ini merupakan kajian
sejarah yang data-datanya diperoleh dari pelaku sejarah serta jejak-jejak yang
ditinggalkan dari suatu peristiwa masa lampau. Menurut Gottschalk (1986, hlm.
32) metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan, kemudian menuliskannya berdasarkan fakta yang
diperoleh. Data-data yang berada di buku ini merupakan sumber sejarah, baik
yang berbentuk tulisan, benda, maupun lisan (folklore).
Sumber-sumber yang digunakan oleh Aman dalam bukunya
menggunakan pelaku sejarah sebagai sumber. Untuk menemukan sumber primer
pelaku atau saksi sejarah local, memerlukan waktu yang sangat panjang karena
memerlukan strategi historis untuk proses heuristik maupun reduksinya. Dalam
proses pengumpulan data diperlukan terciptanya suasana erat atau kekeluargaan
secara responden. Apabila suasananya sudah demikian, maka akan banyak
responden pelaku maupun saksi sejarah local yang bersedia memberikan data
tentang revolusi lokal. Di samping sumber-sumber secara lisan , dipergunakan
juga sumber visual berupa benda, yaitu peninggalan-peninggalan, baik yang
berupa bangunan tempat tinggal, foto-foto, maupun benda-benda lain yang ada
kaitannya dengan kehidupan mereka yang bernilai hsitoris. generasi ke generasi.

12
Folklore yang digunakan antara lain berupa mitos, pepatah, dan peribahasa.
(Aman, 2015).
5. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial yang Digunakan
Buku ini dalam kajiannya juga menggunakan bantuan pendekatan ilmu-
ilmu sosial dan humaniora, seperti ekonomi, antropologi, sosiologi, dan ilmu
politik. Hal ini dikarenakan buku ini mencoba untuk mengkaji Revolusi sosial
secara sinkronis. Aman menggunakan pendekatan ilmu antropologi untuk
mempertajam analisis yang menyangkut status sosial dan gaya hidup serta aspek-
aspek yang terkait dengan kedua unsur kultural tersebut. Selain itu, pendekatan
antropologis juga digunakan untuk meneliti latar belakang budaya yang
melahirkan suatu perilaku politik. Adapun ilmu sosiologi digunakan untuk
menjelaskan hubungan-hubungan sosial, hubungan antara status dan kekuasaan,
dan masalah otoritas. Sedangkan ilmu politik digunakan untuk menjelaskan
politik pemerintahan kolonial dan Jepang mengenai pendekatan terhadap
pangreh praja. Masalah kedudukan pangreh praja dijelaskan dalam konteks
sosial-politik. Dijelaskan bahwa:
“Para pangreh praja pribumi yang berfungsi sebagai pegawai dalam
mengawasi tanam paksa yang dilakukan pemerintah kolonial. Dalam fungsinya
pemerintah kolonial memberikan kenaikan pangkat, gaji dan persenan bagi
pangreh praja dalam tigal hal, yakni kemahiran dalam mengelola administrasi,
mengawasi kriminalitas, dan menggugat pajak. Dengan demikian para pangreh
praja berlomba-lomba memeras rakyat dan bertindak diluar batas terhadap
rakyat, sehingga masyarakat tidak lagi menganggap pangreh praja sebagai
pelindung rakyat. Pada akhirnya masyarakat lebih dekat dan menghargai peran
ulama dan lenggaong sebagai pelindung”. (hlm 46)”.
Sistem politik pemerintahan kolonial Belanda yang diterapkan terhadap
pangreh praja, semakin menyulut konflik dan memperlebar jurang pemisah atara
penguasa dan yang dikuasai, antara rakyat dengan pangreh praja, dalam
masyarakat Indonesia yang hierarkis dan otoriter. Umumnya, dalam setiap
masyarakat ada pranata-pranata tertentu untuk mengajukan rasa tidak puas
(Lukas, 1989, hlm. 22).
Teori sosial yang digunakan Aman dalam menjelaskan revolusi sosial di
Brebes adalah teori gerakan sosial yang dicetuskan oleh Erik J. Hobsbawm
tentang Bandit Sosial. Dalam hal ini, bandit sosial dikenal dengan sebuatan
Lenggaong. Teori bandit sosial dideskripsiakan sebuah counter elite yang

13
bergerak dibawah tanah dan merupakan ancaman bagi penguasa. Pada level
gerakan sosial tindakan bandit dianggap sah tindakan oleh masyarakat, namun
tidak enurut penguasa. Dengan demikian, status bandit sosial dalam masyarakat
adalah pahlawan, sedangkan dimata penguasa dianggap pembangkang (Mulyana,
2009, hlm. 134). Aman mendefinisikan bahwa bandit sosial itu adalah
Lenggaong, yang diartikam menjadi tangan kanan penguasa yang kritis terhadap
kesejahtraan sosial. Pergolakan sosial yang dilakukan masyarakat Brebes terjadi
spontan dalam tiga daerah tetangga yaitu, Pemalang dan Tegal. Suryo (1976,
hlm.73) Memaparkan bahwa pergolakan sosial bersifat spontan dan komplek.
Kelompok masa beramai-ramai dating keberbagai keluarahan untuk menangkap
lurah yang telah menjadi sasarannya, mereka diseret kepengadilan massa,
sementara itu, sejumlah gudang/lumbung padi dirampok dan sebagian dibakar.
Pada saat yang bersamaan masa bergerak masuk kekecamatan Adiwerna dan
Lebaksiku. Dari kedua Camat di tangkap dan diarak kebalai kecamatan untuk di
adili (Aman, 2015, hlm. 82-85).
Weber mengatakan bahwa masyarakat distratifikasi berdasarkan
ekonomi, status, dan kekuasaan (Ritzer, 2012, hlm. 217). Kekuasaan berada di
tangan orang-orang yang berada di puncak hierarki status dan mempunyai gaya
hidup yang berbeda dibanding orang-orang yang berada di bawah. Begitu pula
yang terjadi pada masyarakat Brebes yang ditulis oleh Aman , yakni pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, adanya pembagian kelas masyarakat tampak
sangat jelas, orang-orang Belanda menempati posisi paling tinggi dalam struktur
masyarakat. Kaum elit termasuk priyai berada pada lapisan tengah, sedangkan
rakyat jelata merupakan kelas paling bawah (Aman, 2015, hlm. 37). Priyai yang
menunjukan sosial-kultural, mengandung pengertian bahwa golongan itu perlu
diidentifikasi dengan lapisan atau kelas menengah dalam stratifikasi sosial
masyarakat tradisional dalam masyarakat kolonial. Meskipun lapisan menengah
itu masih dapat dipersempit yang terdiri dari, lapisan atas, menengah, dan bawah.
Pandangan dari persepektif sosial kultural, golongan ini adalah kaum elite dan
dengan berbagai cara berusaha membedakan diri dari masa atau kebanyakan
rakyat. Pangrejah praja merupakan elite birokrasi pribumi yang dibentuk Hindia
Belanda (Sutherland, 1983, hlm. 6).

14
Dalam bukunya, Aman menuliskan strartifikasi sosial masyarakat masa
kolonial yang terdiri dari tiga komponen, yaitu pemerintah kolonial berada
dilapisan atas, kaum elit termasuk priayi berada dilapisan tengah dan rakyat jelata
merupakan kelas paling bawah. Hubungan antar komponen dengan konsep
struktur sebagai hubungan Patronase. Konsep ini diartikan sebagai hubungan
antara pilihan yang tidak setara antar pemimpin (patron) dan pengikut (klien),
serta setiap pengikut mempunyai daya tawar. Klien menawarkan kepatuhan dan
penghormatan kepada parton, dilain sisi patron menawarkan kebaikan dan
perlindungan kepada kliennya (Burke, 2001, hlm. 106).
Berdasarkan pernyataan tersebut mengenai pribumi, disatu sisi kaum elit
(priayi) sebagai patron yang berfungsi dalam memimpin dan mengatur
masyarakat pribumi, sekaligus penghubung dengan pemerintah kolonial.
Menurut Sartono Katodirjo, golongan priayi sebagai kelompok sosial pada tahun
1900 adalah golongan elite, yaitu siapa saja yang berdiri diatas rakyat jelata
dalam mengatur masyarakat. Dijelaskan Aman (2015, hlm. 38). “Keadaan sosial-
ekonomi-politik, priyai lebih unggul dari sosial ekonomi rakyat kebanyakan juga
menunjang golongan priyai untuk membangun tempat tinggal yang lebih baik
dari golongan sosial lainnya”.
Katodirjo (1987, hlm. 27) menyatakan kepriyaian yang sudah melembaga
tetap dilestarikan dan diterapkan pada golongan priyai baru seperti, priyai doktor,
priyai guru, priyai kehewanan, dan sebagainya harus menyesuiakan diri dengan
priyai tradisional, yaitu priyai pangreh praja. Priyai pangreh praja lama beserta
segala adat istiadatnya. Dalam bukunya Aman (2015, hlm. 44), memaparkan
koprs priyai sebagai pangreh praja pribumi menjadi bagian dari administrasi
pemerintahan kolonial yang khusus mengurusi kepentingan penduduk pribumi.
Bupati menjadi pimpinan tertinggi pemeritahan pribumi. Sehubungan dengan hal
ini, Ongkham, (1985, hlm. 6) menyatakan pangreh praja juga menjalankan
lembaga-lembaga tradisional yang berlaku dalam system lama seperti upeti.
Dalam menjankan fungsinya pangreh praja sering kali bertindak diluar batas,
sehingga masyarakat menganggap pangreh praja hanya sebagai kekuasaan asing
(Kahin, 1995, hlm.11). Berdasarkan deskripsi yang di gunakan dalam mengkaji
pangreh praja sebagai kelas masyarakat tertinggi yang dipertahankan

15
pemerintahan kolonial dalam mempertahankan budaya dalam keberhasilan
cultuur stelsel ( Onghokham, 1985, hlm.6)
Aman menambahkan bahwa Para pangreh praja pribumi yang berfungsi
sebagai pegawai dalam mengawasi tanam paksa yang dilakukan pemerintah
kolonial. Dalam fungsinya pemerintah kolonial memberikan kenaikan pangkat,
gaji dan persenan bagi pangreh praja dalam tigal hal, yakni kemahiran dalam
mengelola administrasi, mengawasi kriminalitas, dan menggugat pajak. Dengan
demikian para pangreh praja berlomba-lomba memeras rakyat dan bertindak
diluar batas terhadap rakyat, sehingga masyarakat tidak lagi menganggap
pangreh praja sebagai pelindung rakyat. Pada akhirnya masyarakat lebih dekat
dan menghargai peran ulama dan lenggaong sebagai pelindung. (hlm 46). Sistem
politik pemerintahan kolonial Belanda yang diterapkan terhadap pangreh praja,
semakin menyulut konflik dan memperlebar jurang pemisah atara penguasa dan
yang dikuasai, antara rakyat dengan pangreh praja, dalam masyarakat Indonesia
yang hierarkis dan otoriter. Umumnya, dalam setiap masyarakat ada pranata-
pranata tertentu untuk mengajukan rasa tidak puas (Lukas, 1989, hlm. 22).
Dalam menguraikan pertentang dalam struktur masyarakat Brebes itu,
deskripsi Aman erat kaitannya dengan analisis teori konflik. Teori konflik secara
sederhana adalah perubahan dalam struktur masyarakat berdasarkan benturan
kepentingan. Teori konflik menilai kelompok sosial dalam struktur dibangun dan
dikendalikan dengan cara-cara manipulatif oleh kelompok dominan. Dalam
melepaskan diri dari dominasi tersebut, maka cara yang dilakukan harus diluar
pola konsensus, serta konforantatif dari kelompok subordinat terhadap kelas
dominan (Saefudin, 2005, hlm. 76).
Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan
kekerasan yang mengikat masyarakat, sedangkan teori konsensus harus menguji
nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Dahrendorf, masyarakat tidak akan ada
tanpa konsesus dan konflik. Dia asumsikan sebagai hipotesis kerja tentatif, untuk
diverifikasi, membantah, atau dimodifikasi dalam proses investigasi. Teori
konflik Dahrendorf ini merupakan sistem campuran memiliki beberapa sifat dari
kedua pendekatan alternatif. Titik awal Darendorf adalah bahwa fungsionalisme
struktural Marxisme dapat diterima dimasyarakat yang maju. Hanya saja dia

16
menyatakan bahwa, struktur fungsionalis realitas mengabaikan konflik sosial dan
bahwa Marx didefinisikan kelas terlalu sempit dan dalam konteks historis
spesifik. Selain itu, ia percaya bahwa secara tradisional, Marx mengabaikan
konsensus dan integrasi di struktur sosial modern (Tittenbrun. 2014).
Menurutnya sumber kesalahan yang lain berawal dari Manifesto Komunis yang
terkenal pada jamannya yang membelah masyarakat menjadi dua kubu yang
sangat bermusuhan, saling berhadapan yaitu borjuis dan proletariat. Pandangan
ini mengarahkan sebagai prediksi pembangunan masa depan bukan sebagai
pernyataan fakta tanpa komunis, padahal tidak setiap negara setuju dengan
keberadaan komunis.
Dahrendorf mengklaim bahwa kapitalisme telah mengalami perubahan
besar sejak awal Marx mengembangkan teori tentang konflik kelasnya. Sistem
baru kapitalisme, yang ia identifikasikan sebagai pos kapitalisme, ditandai
dengan struktur kelas yang beragam dan sistem. Dengan demikian, melibatkan
sistem yang jauh lebih kompleks dari sekedar berbicara ketimpangan atau
konflik. Dahrendorf menyatakan bahwa masyarakat pasca kapitalis yang telah
dilembagakan kelas konflik dalam bidang negara dan ekonomi. Misalnya, konflik
kelas telah terbiasa melalui serikat pekerja, perundingan bersama, sistem
pengadilan, dan debat legislatif. Akibatnya, perselisihan kelas khas Marx tidak
lagi relevan. Menurut Dahrendorf, gagasan Marx tentang kelas bisa diterima,
karena pada saat dominasi kapitaslisme pada perusahaan-perusahaan yang
dikelola pemilik dimana kepemilikan dan wewenang yang terpusat di tangan
yang sama. Di ekonomi kontemporer, bagaimanapun, bentuk yang paling
representatif organisasi bisnis adalah sebuah perusahaan saham gabungan dengan
pangsa tersebar kepemilikan. Dengan kondisi semacam ini akan terjadi dikotomi
antara kelas majikan dan buruh (Tittenbrun. 2014). Menganalisis konflik dari
teori Konflik Marx tidaklah cukup, karena struktur sosial sangat bersifat terbuka,
sehingga kalau membahas konflik hanya dilihat dari sosiologis struktural
mungkin hanya sebatas akal saja yang belum tentu berlaku untuk seluruh
masyarakat. Karena itulah dibutuhkan pemahaman secara komprehensif dari
sistem sosial (Agung, 2015).

17
Secara umum dapat disarikan perbedaan teori konflik Marx dengan Ralf
Dahrendorff sebagai berikut; Marx, membagi masyarakat dalam kelas borjuis dan
proletar. Bahwa satusatunya konflik adalah konflik kelas yang terjadi karena
adanya pertentangan antara kaum pemilik sarana produksi dengan kaum buruh.
Dahrendorf, masyarakat terdiri atas kaum pemilik modal, kaum eksklusif dan
tenaga kerja. Atau di dalam masyarakat adanya kelompok yang berkuasa atau
dominasi (domination) dan yang dikuasai (submission). Bagi Marx, lebih
menekankan pada body, empirik (kasat mata), sedangkan Dahrendorf,
menekankan pada mind, fenomenologi (realitas di balik menggejala). Bagi Marx,
satu-satunya untuk mencapai tujuan adalah revolusi, revolusi merupakan yang
harus terjadi akibat dari kondisi masyarakat itu sendiri, emansipasi manusia
hanya dapat dicapai dengan perjuangan kelas yaitu kelas buruh terhadap kelas
majikan dalam rangka melahirkan diktator proletariat. Tetapi Dahrendorf,
konflik yang masih bersifat laten akan dapat berubah menjadi manifes apabila
masing-masing dari mereka sadar akan kepentingannya, jadi konflik bisa diakhiri
dengan adanya konsensus. Menurut Dahrendorf, teori konflik Marx berorientasi
pada negara-negara Industri di Eropa akibat dari industrialisasi, yang belum tentu
berlaku di negara Dunia Ketiga (Asia- Afrika) dengan sistem sosial dan budaya
yang berbeda (Agung, 2015).

D. Kesimpulan
Penulisan yang dilakukan oleh Aman mengenai Revolusi Sosial di Brebes
menghasilkan karya sejarah yang komprehensif karena dalam penelitiannya telah
menggunakan metodologi penulisan sejarah analisis sehingga eksplanasinya
lebih jelas. Karena melalui metodologi sejarah analitis akan teridentifikasi faktor
kondisional dan kausal yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Brebes.
Untuk itu peneliti telah menggunakan berbagai sumber baik sumber-sumber
tertulis yang tergolong primer maupun sekunder. Selain itu dipergunakan pula
sumber visual berupa benda yaitu peninggalan-peninggalan baik yang berupa
bangunan tempat tinggal, foto-foto, maupun benda-benda lain yang ada
kaitannya dengan kehidupan masyarakat Brebes yang bernilai historis. Sumber
lainnya adalah folklore yaitu tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke

18
genrasi antara lain berupa mitos, pepatah dan peribahasa. Dan untuk melengkapi
data, dilakukan pula wawancara dengan pelaku dan saksi-saksi sejarah yang
mengalami peristiwa terjadinya revolusi sosial di Brebes.
Penulisan sejarah yang digunakan dalam buku yang berjudul Revolusi
Sosial di Brebes karya dari Aman selaras dengan gaya penulisan mazhab Annales
School yaitu pendekatan metodologi struktural. Metode sejarah yang digunakan
Aman dalam mengkaji sejarah yakni dengan bantuan ilmu-ilmu sosial. Fokus
kajian yang digunakan adalah dengan melihat masyarakat kecil dan aktor sejarah
yang berperan secara struktur. Dalam mengkaji Revolusi sosial di Brebes Aman
mendekati teori gerakan sosial yang dicetuskan oleh Erik J. Hobsbawm tentang
Bandit Sosial. Dalam hal ini, bandit sosial dikenal dengan sebuatan Lenggaong.
Teori bandit sosial dideskripsiakan sebuah counter elite yang bergerak dibawah
tanah dan merupakan ancaman bagi penguasa. Pada level gerakan sosial tindakan
bandit dianggap sah karena tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, namun
tidak nurut penguasa. Dengan demikian, status bandit sosial dalam masyarakat
adalah pahlawan, sedangkan dimata penguasa dianggap pembangkang. Dalam
menguraikan pertentang dalam struktur masyarakat Brebes, deskripsi Aman erat
kaitannya dengan analisis teori konflik. Teori konflik secara sederhana adalah
perubahan dalam struktur masyarakat berdasarkan benturan kepentingan. Teori
konflik menilai kelompok sosial dalam struktur dibangun dan dikendalikan
dengan cara-cara manipulatif oleh kelompok dominan. Dalam melepaskan diri
dari dominasi tersebut, maka cara yang dilakukan harus diluar pola konsensus,
serta konforantatif dari kelompok subordinat terhadap kelas dominan.

E. Daftar Pustaka
Agung, D. G. (2015). Pemahaman Awal Terhadap Anatomi Teori Sosial Dalam
Perspektif Struktural Fungsional dan Struktural Konflik. Jurnal Sejarah
dan Budaya. 9 (2), pp. 162-170.
Alian. (2012). Metodologi Sejarah dan Implementasi dalam Penelitian. Jurnal
Pendidikan dan Kajian Sejarah, 2 (2).
Aman. (2015). Revolusi Sosial di Brebes. Yogyakarta: Ombak.

19
Autumn. (2016). Economic Mobility in a Colonial and Postcolonial Economy:
Indonesia. Journal of Interdisciplinary History. 7 (2), pp. 171–
191.
Cribb, R.B. (1990). “Jakarta in the Revolution, 1945-1949” alih bahasa Pustaka
Utama Grafiti, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1945: pergulatan antara
otonomi dan hegemoni. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Gottschalk, L. (1986). Understanding Historiografi. Terjemahan Nugroho
Notosusanto, Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
Kahin, G. (1995). Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. Terjemahan
Pustaka Utama Grafiti. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Katodirjo. S. (1982). Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
. (2008). Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Knight, G. R. (2016). Death in Slawi: The “Sugar Factory Murders,” Ethnicity,
Conflicted Loyalties and the Context of Violence in the Early Revolution
in Indonesia. Research Institute for History. 41, ( 3), pp. 606-626.
Lukas. A.E. (1989). The Bambo Spear Piereces the Payung: The Revolution
Againts the Bureaucaucratic Elite in North Central Java in 1945,
Terjemahan Bahasa Pustaka Grafiti, Pristiwa Tiga Daerah: Revolusi
dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Malamud, A. (2016). Social Revolution or Political Takeover? The Argentine
Collapse of 2001 Reassessed. Latin American Perspectives. 42 (1), pp, 11-
26.
Martono, N. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mulyana. A. (2009). Historiografi di Indonesia: Dari Magis-Religius Hingga
Strukturis. Bandung: Refika Aditama.
Onghkham. (1985). Revolusi Indonesia: Mitos dan Realitas. Prisma, No. 8.
Jakarta: LP3SES.
Ritzer, G. 2014. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan: Triwibowo B.S. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.

20
Sabrini. (2005). Islam di Tepian Revolusi; Ideologi Pemikiran dan Gerakan.
Yogyakarta: Pilar Media.
Saefudin. H.A. (2005). Teori Konflik dan Perubahan Sosial: Sebuah Analisis
Kritis. Jurnal Mediator, 6 (1).
Savelyev, Y. (2016). The Social Revolution of Masses In Ukraine: Nation Shall
Not Live by Bread Alone. Journal of Europan Economy. 7 (2), pp. 241-
165.
Silva, P. G. ( 2016). Social workers in the Revolution: Social work’s political
agency and intervention in the Portuguese democratic transition (1974–
1976). International Social Work.17 (3), pp. 1-12.
Scott. J. 2012. Teori Sosial, Masalah-Masalah Pokok Dalam Sosiologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sun, J. (2014). Secret Societies and the 1911 Revolution. Journal of
Contemporary East Asia Studies. 3 (1), pp. 7-21
Suryo, D. (1978).. Pergolakan Daerah di Awal Revolusi: Kasus di Daerah
Pekalongan. Prisma No. 11. Jakarta: LP3ES.
Suthenland, H. (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: PT Sinar
Harapan.
Tittenbrun, J. 2014. Ralph Dahrendorf’s Conflict Theory of Social Differentiation
and Elite Theory . Innovative Issues and Approaches in Social Sciences,
Vol. 6, No. 3.
Wade, R. A. (2016). The Revolution at One Hundred: Issues and Trends in the
English Language Historiography of the Russian Revolution of 1917.
journal of modern russian history and historiography 9 (3), pp. 9-38.
Walker, S. J. (2015). Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live,
Work, and Think. International Journal of Advertising: The Review of
Marketing Communications. 33 (1).
Wirawan. I.B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta;
Prenadamedia Group.

21
Zegeye, A. (2017). Neither Reform nor Revolution: Social Change and Security
in Post-1991 Ethiopia. Journal of Developing Societies 33, (3), 278–290.

22

Anda mungkin juga menyukai