Anda di halaman 1dari 32

METODOLOGI PENELITIAN

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING TIPE


JIGSAW TERHADAP MOTIVASI DAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH
PROPOSAL PENELITIAN (PENELITIAN KUASI EKSPERIMEN KELAS XI SMA
NEGERI KABUPATEN MAJALENGKA)

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan,M.A.

Oleh

RIYAN ILHAM YUSTIKA RELIGIAN


NIM: 1706450

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha memberikan pengetahuan yang dilakukan


oleh seorang pendidik serta, memiliki keahlian dibidangnya yang diberikan
kepada peserta didik dengan tujuan membentuk manusia menjadi manusia,
artinya manusia yang memiliki prilaku baik, budi pekerti, ilmu pengetahuan,
keterampilan, serta manusia yang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan dalam arti luas merupakan usaha untuk meningkatkan kesejahtraan
hidup manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan secara luas juga
di kemukakan dalam GBHN Tahun 1973 bahwa, “pendidikan pada hakikatnya
merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah,
dan berlangsung seumur hidup”.
Belajar adalah sebuah proses perubahan dalam kepribadian manusia,
sehingga perubahan tersebut membentuk peningkatan kualitas dan kuantitas
tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan,
pemahaman, ketrampilan, daya pikir, dan kemampuan-kemampuan yang lain.
Gagne (1977), mendefinisikan belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia seperti, sikap, minat,
serta nilai dalam perubahan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis
performance (kinerja). Belajar dan pembelajaran adalah satu kesatuan yang
tidak dapat di pisahkan, karena pembelajaran adalah suatu proses pelaksanaan
belajar yang dilakukan oleh pendidik (guru) kepada peserta didik. Menurut
Komalasari (2011, hlm. 5) mengungkapkan, bahwa pembelajaran dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses memberikan pengetahuan
kepada kepada peserta didik yang direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi
secara sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisien. Dalam proses pembelajaran, setiap guru harus memiliki keahlian
dalam memilih model pembelajaran yang akan diterapkan didalam kelas.
Pemilihan model yang tepat dalam memberikan pelajaran berdampak pada
tujuan pembelajaran termasuk tujuan pada setiap materi yang akan diberikan
pada siswa. Menurut Joyce (dalam Abidin 2014, hlm. 117-118), bahwa model
pembelajaran ialah ‘a patters or plan, which can be used to shaped a
curriculum of course to select intrucional materials, and to guide a to shaped
a teacher’s actions’. Hal ini diperjelas dalam karakteristik model yang harus
ada sebagai unsur pada setiap model mengajar yaitu, orientation to the model,
the model of teaching, application, intructional and nurturant effect.
Pembelajaran sejarah hendaknya diperbaiki agar tercapai pembelajaran yang
menarik, hal tersebut tentunya akan meningkatkan aktivitas belajar siswa
Berdasarkan padangan diatas, bahwa model pembelajaran merupakan
wadah bagi pendekatan, metode, dan teknik yang harus dikuasai oleh guru
dalam melaksanakan pembelajaran yang berlangsung. Dalam kurikulum 2013,
proses pembelajaran menggunakan dua model pembelajaran yaitu,
pembelajaran langsung (direct teaching) dan model pembelajaran tidak
langsung. Proses pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang
menggunakan pengetahuan melalui interaksi langsung dengan sumber belajar
yang menghasilkan pengetahuan dan keterampilan yang disebut dengan
dampak pembelajaran (intruksional effect), sedangkan pembelajaran tidak
langsung adalah pembelajaran melalui keteladanan, ekosistem pendidikan, dan
proses pembelajaran pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan memiliki
dampak pengiring (nunturant effect) terhadap pembentukan sikap dan prilaku
peserta didik, serta suatu proses membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik tanpa arahan dari guru. Dalam hal ini, guru berperan sebagai
fasilitator dan membantu siswa menjelajahi ide-ide baru tentang hidupnya,
tugas sekolahnya dan kehidupan dengan teman-temannya.
Menurut Sardiman (2004, hlm, 165), guru yang kompeten adalah guru
yang mampu mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di sini
memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu
menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup
pelajaran, menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan
sebagainya, juga bagaimana guru menerapkan strategi, teori belajar dan
pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. Pendapat
serupa dikemukakan oleh Colin Marsh (1996, hlm. 10) yang menyatakan
bahwa guru harus memiliki kompetensi mengajar, memotivasi peserta didik,
membuat model instruksional, mengelola kelas, berkomunikasi, merencanakan
pembelajaran, dan mengevaluasi. Yulia (2016) berpendapat bahwa dalam
kegiatan belajar motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak
didalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan
membentuk arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai.
Dalam kegiatan belajar motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang
tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan
aktivitas belajar.
Berdasarkan pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam belajar
yang efektif guru harus memberikan motivasi dalam meningkatkan
kemampuan kognitif sesuai dengan tujuan belajar. Salah satu bentuk motivasi
untuk meningkatkan kemampuan kognitif pada belajar seorang guru adalah
menggunakan model pembelajaran yang dapat menggugah diri siswa dalam
belajar. Salah satunya menggunakan model pembelajaran kooperatif
(Cooperative Learning). Model pembelajaran kooperatif berlandasan pada
teori pembelajaran konstruktivisme. Model pembelajaran berbasis
konstruktivisme merupakan teori belajar (Constructivist Theories of Learning)
dalam bidang pendidikan yang menitik beratkan bahwa, dalam proses belajar,
siswa harus menemukan sendiri dan mendapatkan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama, serta merubah apabila
aturan-aturan itu tidak sesuai lagi (Trianto, 2009, hlm. 28).
Model pembelajaran koomperatif merupakan kegiatan belajar saling
bertukar pikiran dan saling membantu dengan membentuk kelompok kecil
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Slavin (2008, hlm. 103)
mengungkapkan, bahwa pembelajaran koomperatif membentuk siswa dalam
berinteraksi secara aktif dan positif pada kelompok dalam berbagi ide sesuai
falsafah konstruktivisme. Selanjutnya, Hasan (2012, hlm. 99) mengemukakan,
bahwa cooperative learning adalah pembentukan kelompok kecil dalam
proses belajar dengan tujuan, dari setiap anggota dengan kemampuan yang
berbeda dapat berbagi pengetahuan untuk memaksimalkan pembelajaran
dalam kelompoknya. Berdasarkan pernyataan tersebut Pradanasari (2016)
memaparkan dalam jurnalnya bahwa pembelajaran Cooverative Learning
adalah suatu kelompok pembelajaran dimana siswa belajar secara
berkelompok, siswa bisa saling tukar menukar gagasan saat berdiskusi untuk
mencapai tujuan atau keberhasilan kelompoknya yang sudah disampaikan oleh
guru. Model Cooperative Learning mendorong peningkatan kemampuan siswa
dalam memecahkan berbagai masalah yang ditemui selama pembelajaran,
karena siswa dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam menemukan dan
merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi pelajaran yang
dihadapi (Andriliani, Maskun, dan Basri (2015).
Salah satu Tipe Model Cooperative Learning yaitu Tipe Jigsaw, Model
Cooperative Learning, tipe Jigsaw merupakan pembelajaran yang membentuk
suatu kelompok tim ahli yang diharapkan mampu merangsang kemampuan
berpikir kritis karena Jigsaw ini merupakan pembelajaran yang memicu siswa
untuk berperan aktif dalam pembelajaran kelompok (Andriliani, Maskun, dan
Basri (2015). Dalam pembelajaran sejarah yang dikenal siswa sebagai mata
pelajaran yang membosankan, sehingga dalam hal ini, peranan guru sejarah
bukan hanya menguasai konten dalam sejarah akan tetapi, peranan guru harus
menciptakan pembelajaran aktif dan menyenangkan didalam kelas.
Pembelajaran sejarah harus bisa membentuk ide dan gagasan siswa dalam
konten sejarah, karena sejarah bukan ilmu pasti, sehingga pandangan-
pandangan tentang sejarah akan berbeda. Pradanasari (2016) memaparkan
bahwa pembelajaran sejarah melalui penerapan model Cooperative Learning
tipe Jigsaw melibatkan siswa untuk aktif dalam memahami materi yang
dipelajari ketika berdiskusi. Guru sebagai fasilitator membimbing siswa untuk
menemukan masalah. Model ini melibatkan siswa lebih berperan aktif,
kerjasama kelompok, meningkatkan pemahaman dan memberikan siswa untuk
saling berbagi dan bertukar pendapat dengan teman-temannya sehingga dapat
membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi siswa dalam pembelajaran
sejarah dan dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
Hasan (2012, hlm. 34). Mengatakan, bahwa:
Pendidikan sejarah harus mampu mengembangkan potensi peserta didik
untuk mengenal nilai-nilai bangsa yang terus bertahan, berubah, dan
menjadi milik bangsa masa kini. Oleh karena itu melalui pendidikan
sejarah peserta didik belajar mengenal bangsanya dan dirinya. Prinsip
bahwa apa yang dipelajari peserta didik dari mata pelajaran sejarah sangat
penting. Prinsip ini akan memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk belajar dari peristiwa sejarah dan dapat menggunakan yang
dipelajari dari peristiwa sejarah dalam kehidupan sekarang.

Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa model pembelajaran


mempengaruhi pada hasil belajar. Salah satu usaha guru dalam memperoleh
hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah dengan memberikan motivasi.
belajar sehingga dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa dalam
pembelajaran sejarah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatip tipe
jigsaw.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik untuk
mengkaji model pembelajar sejarah dalam meningkatkan kognitif siswa.
Penulis akhirnya melakukan sebuah penelitian yang diberi judul”
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE
LEARNING TIPE JIGSAW TERHADAP MOTIVASI DAN
KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN
SEJARAH KELAS XI IPS DI SMA NEGERI KABUPATEN
MAJALENGKA”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, penulis merumuskan masalah
penelitian yang dijabarkan pada beberapa pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana penerapan model pembelajaran cooperative learning tipe
jigsaw dalam pembelajaran sejarah?
2. Bagaimana pengaruh model pembelajaran cooperative learning tipe jigsaw
dalam proses pembelajaran sejarah dikelas?
3. Bagaimana Motivasi dan Kemampuan kognitif dan siswa setelah
menggunakan model pembelajaran cooperative learning tipe jigsaw dalam
pembelajaran sejarah?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu aktifitas yang diarahkan untuk mencapai
sasaran yang diharapkan. Berikut adalah yang ingin dicapai dalam penelitian
ini:
1. Tujuan umum
Secara umum penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui
Pengaruh Model Pemebelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw
Terhadap Motivasi dan Kemampuan Kognitif Siswa Dalam pembelajaran
Sejarah Kelas XI di SMA Kabupaten Majalengka.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini untuk mengetahui secara objektif tentang:
a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran
cooperative learning tipe jigsaw dalam pembelajaran sejarah di SMA
XI Kabupaten Majalengka.
b. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh model pembelajaran
cooperative learning tipe jigsaw dalam proses pembelajaran sejarah
dikelas.
c. Untuk mengetahui bagaimana motivasi dan kemampuan kognitif siswa
setelah menggunakan model pembelajaran cooperative learning tipe
jigsaw dalam pembelajaran sejarah.
D. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian sering di identifikasi dengan tujuan penelitian, oleh
sebab itu perlu dijelaskan manfaat penelitian dari penulisan ini adalah:
1. Manfaat Akademis
a. Untuk menambah pengetahuan bagi pembaca tentang model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap motivasi dan peningkatan
kognitif dan siswa dalam pembelajaran sejarah.
b. Sebagai bahan perbandingan untuk memberikan informasi bagi peneliti
lain yang ingin mengadakan penelitian yang relevan dikemudian hari.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru dan sekolah, penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi dan
mengukur sejauh mana kesiapan guru sejarah dalam memilih dan
menerapkan model-model pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi guru untuk
menciptakan pembelajaran dikelas secara aktif dan memberikan
tanggung jawab pada siswa untuk menggali dan mencari pengetahuan,
sehingga ide dan pandangan siswa tersampaikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Model Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian model pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah suatu solusi terhadap masalah,
dengan mengadakan kesempatan berinteraksi secara kooperatif, tanpa melihat
siswa dari latar belakang etnik yang berbeda, sehingga dapat meningkatkan
hubungan antar kelompok. (Slavin, 2008, hlm. 103). Sejalan dengan pandangan
salvin, Riyanto (2010, hlm. 267) menyatakan pemebelajaran kooperatif adalah
model pembelajaran dibentuk berdasarkan kecakapan akademik (academic skill),
sehingga membentuk keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal
skill. Selanjutnya, Hasan (2012, hlm. 99) mengemukakan, bahwa cooperative
learning adalah pembentukan kelompok kecil dalam proses belajar dengan tujuan,
dari setiap anggota dengan kemampuan yang berbeda dapat berbagi pengetahuan
untuk memaksimalkan pembelajaran dalam kelompoknya. Model pembelajaran
kooperatif berlandasan pada filosofis konstruktivisme, yaitu dalam proses
pembelajaran siswa tidak tergantung kepada guru, akan tetapi, pembelajaran yang
menekankan kepada setiap diri siswa, artinya siswa mencari dan membangun
sendiri pengetahuan lewat keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar.
(Trianto, 2009, hlm. 55-56) Selanjutnya, Suprijono (2009, hlm. 54) menyebutkan
bahwa “Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua
jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau
diarahkan oleh guru”.), sedangkan yang dimaksud kerja kelompok adalah bentuk
pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-
kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam
orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen, (Rusman, 2010, hlm.
202).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk interaksi dalam
pembelajaran yang menuntut adanya kerjasama antar siswa dalam kegiatan proses
belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran.
b. Unsur dan prinsip model pemebelajaran kooperatif.
Unsur-unsur penting dalam model pembelajaran kooperatif dikemukakan oleh
Johnson( dalam Trianto, 2009, hlm. 60-61) bahwa:
1. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. Dalam
pembelajaran kooperatif, terjalin kerja sama antar siswa dan setiap anggota
siswa memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelompoknya, karena
keberhasilan kelompok adalah keberhasilan semua anggota kelompok
dalam mencapai satu tujuan belajar bersama.
2. Interaksi antara siswa saling meningkat. Dalam hal ini, interaksi menjadi
tahap awal dalam melaksanakan pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai
suatu keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran kooperatif dibutuhkan
kerja sama dari setiap anggota siswa, sehingga dalam diri setiap siswa
saling melengkapi dan menutupi kelebihan dan kekurangan anggota.
Keberhasilan kelompok dalam memecahkan permasalahan dibutuhkan
peranan semua anggota dalam berbagi serta tukar menukar ide dan gagasan
mengenai masalah yang sedang dipelajari.
3. Tanggung jawab individu. Setiap anggota kelompok memiliki tanggung
jawab sendiri untuk menguasai dan memberikan kontribusi terhadap bagian
materi yang sedang dipelajari demi keberhasilan kelompoknya.
4. Keterampilan interpesonal dan kelompok kecil. Dalam belajar kooperatif,
selain dituntun bahan mempelajari materi yang menjadi tugasnya, seorang
siswa dituntut untuk belajar dalam menyampaikan ide dengan anggota
kelompok yang membutuhkan keterampilan khusus.
5. Proses kelompok. Pembelajaran kooperatif tidak akan berlangsung, apabila
tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi, karena kelompok
merancangan dan mendiskusikan dalam mencapai tujuan, serta membuat
hubungan kerja sama.
Sejalan dengan pandangan johnson, Riyanto (2010, hlm. 266)
mengemukakan lima unsur pembelajaran kooperatif yaitu,
1. Positive independence, artinya adanya saling ketergantungan positif
yaitu, setiap anggota kelompok menyadari pentingnya suatu kerjasama
dalam mencapai tujuan.
2. Face to face information, artinya setiap anggota berinteraksi untuk
membahas materi yang menjadi masalh untuk diselesaikan.
3. Individual accountability, artinya setiap anggota kelompok harus
berkontribusi terhadap kelompok untuk mencapai keberhasilan
kelompok.
4. Use of collaboratife/social skill, artinya harus menggunakan
keterampilam bekerja sama dan bersosialisasi.
5. Group processing, artinya setiap anggota kelompok harus bekerja sama
secara efektif.
Berdasarkan pandangan diatas, bahwa unsur pembelajaran kooperatif
yaitu,
1. Memebentuk rasa silih asih, silih asah dan silih asuh dalam
pembelajaran, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
2. Bertanggung jawab terhadap tugas individu.
3. Berinteraksi dengan sesama teman.
4. Terjalin komunikasi sesama anggota kelompok.
5. Evaluasi proses belajar kelompok.
c. Tujuan pembelajaran kooperatif
Belajar kooperatif menekankan pada keberhasilan kelompok dalam mencapai
tujuan berdasarkan penguasaan materi dari semua anggota kelompok (Slavin,
1955). Sejalan dengan pendapat Salvin, Johnson, 1994 (dalam Trianto 2009,
hlm. 57) mengemukakan, bahwa tujuan pembelajaran kooperatif mencakup
tiga jenis, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan
pengembangan keterampilan sosial. Selanjutnya, Riyanto (2010, hlm. 267)
mengemukakan tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
1. Individual: Keberhasailan keberhasilan seseorang ditentukan oleh diri
sendiri tidak dipengaruhi orang lain.
2. Kompetetif: Keberhasilan seseorang dicapai karena kegagalan orang lain
(ada ketergatungan negaif).
3. Kooperatif: Keberhasilan seseorang, karena keberhasilan orang lain, karena
seseorang tidak akan mencapai keberhasilannya dengan sendirian, serta
manusia hidup saling membutuhkan manusia lain.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
tujuan pembelajaran kooperatif adalah kerjasama yang dilakukan oleh beberapa
orang dalam suatu kelompok untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik.
2. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
a. Pengertian Tipe Jigsaw
Model pemebelajaran kooperatif tipe Jigsaw dikembangkan oleh Elliot
Aronson di Universitas Texes. Jigsaw adalah sebuah kata dalam bahasa inggris
yang artinya gergaji ukir, ada juga yang menyebutnya dengan istilah Puzzel,
yaitu sebuah teka teki menyusun potongan gambar. Model pembelajaran tipe
Jigsaw dalam prakteknya seperti sebuah gergaji (zigzag), yaitu sebuah kegiatan
belajar siswa dengan cara bekerja sama dengan dengan siswa lain untuk
mencapai tujuan belajar bersama. (Rusman, 2010, hlm. 217). Dalam
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, guru memperhatikan skemata atau latar
belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini
agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu siswa bekerja dengan
sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak
kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi, (Lie, 2010, hlm. 69). Selanjtunya, Arends (1997)
mengungkapkan bahwa, pembelajaran kooperatif teknik Jigsaw adalah suatu
teknik pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu
kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan
mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya.
Hal sejalan dikemukakan oleh ( Rusman, 2010, hlm. 2018) bahwa model
pembelajaran jigsaw, “siswa memiliki banyak kesempatan untuk
mengemukanakan pendapat, dan mengolah imformasi yang didapat
meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Anggota kelompok bertanggung
jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang
dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya”.
Andriliani, Maskun, dan Basri (2015) berpendapat bahwa tipe Jigsaw
merupakan pembelajaran yang membentuk suatu kelompok tim ahli yang
diharapkan mampu merangsang kemampuan berpikir kritis, sebab tipe jigsaw
merupakan pembelajaran yang memicu siswa untuk berperan aktif dalam
pembelajaran kelompok. Hal sependapat dikemukakan oleh Kristiana (2014)
bahwa, jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif yang di dalamnya
siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang dengan
memperhatikan keheterogenan, bekerja sama positif dan setiap anggota
bertanggung jawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi yang
diberikan, dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang
lain. Dengan demikian, tipe jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran
yang fleksibel. Pembelajaran tipe jigsaw di desain untuk meningkatkan rasa
tanggung jawab siswa terhadap pembelajaran sendiri dan pembelajaran orang
lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga
harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada anggota
kelompok yang lain. Dengan demikian, siswa saling tergantung satu dengan
yang lainnya dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari
materi yang ditugaskan (Rumoroy, Saneba, Kapile, 2014).
Dijelaskan dalam tesis Budi Setyanto (2009) bahwa pendekatan jigsaw
dikembangkan untuk memberikan satu cara untuk membuat kelas sebagai suatu
komunitas belajar yang saling menghargai terhadap kemampuan masing-masing
siswa. model Jigsaw dapat dilakukan dengan cara siswa dalam satu kelas
dibagi menjadi kelompok dalam memperoleh tugas yang berbeda, kemudian
berkumpul membentuk kelompok ahli untuk mediskusikan tugasnya. Masing-
masing siswa dari kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan
kepada anggota kelompoknya secara bergantian dan berbagi informasi. Guru
hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan atau membimbing siswa selama
proses pembelajaran berlangsung Proses pengamatan yang dilakukan oleh guru
sejarah terhadap proses pembelajaran sejarah model Jigsaw diorganisasi oleh
guru ke dalam otak peserta didik. Kemudian pengolahan itu melahirkan
persepsi. Persepsi guru sejarah mengenai pembelajaran sejarah model Jigsaw,
ditentukan oleh sejauh mana guru sejarah dapat mendeteksi, mentransmisi serta
19 mengolah informasi dari proses itu. Data yang diolah bersumber dari realitas
pembelajaran sejarah, sebagai dasar bagi guru sejarah untuk mempersepsi
pembelajaran sejarah model Jigsaw itu. Guru berperan sebagai fasilitator
belajar bagi siswa-siswanya, memberikan informasi yang cukup untuk
merangsang pemikiran siswa. Siswa didorong untuk bertanya, mengemukakan
pendapat, mengemukakan ide, dan berargumentasi tentang ide dan pendapatnya.
Siswa belajar dengan mempelajari konsep-konsep, melakukan percobaan-
percobaan, sehingga belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara
terus menerus, belajar tidak hanya seperangkat ketrampilan-ketrampilan yang
dimiliki.
Tipe Jigsaw merupakan tipe yang menarik untuk digunakan jika materi
yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian kelompok dan
didalam kelompok tersebut terdapat kelompok ahli, materi yang disampaikan
merupakan topik yang berbeda disetiap kelompoknya. Tipe ini bertujuan untuk
mengefektifkan kerja kelompok, siswa mampu bertukar pikiran dengan teman
sekolompoknya, selain itu siswa mempunyai rasa tanggungjawab sehingga
pembelajaran dibangun dengan basis kelompok kecil dengan prinsip saling asah,
asih dan asuh antar teman dikelompok masing-masing (Mulyadi SK, 2011,hlm.
130) dalam (Pradanasari , 2016).
Tipe Jigsaw adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif dimana
pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama
dalam memaksimalkan kondisi belajar untukmencapai tujuan pembelajaran dan
mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal,baik pengalaman individu
maupun pengalaman kelompok ( Ibrahim, 2000, hlm. 10). Model pembelajaran
dengan melalui pendekatan Jigsaw merupakan suatu pendekatan pembelajaran
yang menggabungkan berbagai potensi yang dimiliki siswa untuk
membangkitkan keinginan belajar yang kuat untuk menemukan konsep secara
sistematis dengan melibatkan berbagai potensi berupa peningkatan motivasi
belajar, percepatan belajar melalui perencanaan matang dengan
melibatkanpartisipasi semua siswa untuk menemukan inspirasi secara alami
dalam kegiatan belajarnya.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah salah satu tipe
pembelajaran kooperatif dimana pembelajaran melalui penggunaan kelompok
kecil. Siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk
mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman belajar yang
maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok
(Andriliani, Maskun, dan Basri (2015)
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw (model tim ahli)
menurut Aronson dkk. (dalam Komalasari, 2011, hlm. 65-66) adalah sebagai
berikut:
1. Siswa dikelompokkan kedalam 4-5 anggota tim.
2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda.
3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan.
4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/subbab
yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk
mendiskusikan subbab mereka.
5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli, tiap anggota kembali ke
kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang
subbab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan
dengan sungguh-sungguh.
6. Tiap kelompok ahli mempresentasikan hasil diskusi.
7. Guru memberi evaluasi.
8. Penutup.
Sejalan dengan konsep tersebut, Lie (2010: 69) langkah-langkah pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw sebagai berikut:
1. Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat
bagian.
2. Sebelum bahan diberikan, pengajar memberikan pengenalan mengenai
topik yang akan dibahas dalam pelajaran untuk hari itu. Pengajar bisa
menulis topik di papan tulis dan menanyakan apa yang siswa ketahui
mengenai topik tersebut.
3. Siswa dibagi dalam kelompok berempat
4. Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama, sedangkan
siswa yang kedua menerima bagian yang kedua. Demikian seterusnya.
5. Kemudian siswa disuruh membaca/mengerjakan bagian mereka masing-
masing.
6. Setelah selesai, siswa saling berbagi mengenai bagian yang dibaca/
dikerjakan masing-masing. Dalam kegiatan ini, siswa bisa saling
melangkapi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya.
7. Khusus untuk kegiatan membaca, kemudian pengajar membagikan
bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-masing siswa. Siswa
membaca bagian tersebut.
8. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan
pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan
seluruh kelas.

c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw


Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar menggunakan model
pembelajaran koopertif tipe Jigsaw memiliki kelebihan dan kekurangan,
menurut Abidin (2014, hlm. 257-258) mengugkapkan, bahwa kelebihan dan
kekurangan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yaitu:
Kelebihannya sebagai berikut:
1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan berlatih
komunikasi.
2. Adanya interaksi sosial yang baik dalam kelompok.
3. Membuat siswa lebih aktif.
4. Dengan adanya penghargaan yang diberikan kepada kelompok
mencapai prestasi yang baik.
Kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yaitu:

1. Diperlukan kesadaran siswa untuk memaksimalkan kinerjanya.


2. Memerlukan waktu yang cukup lama dan persiapan yang matang
dalam pembuatan bahan ajar.
3. Membutuhkan biaya yang cukup besar.
Berdasakan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi kelebihan dari pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yaitu:
1. siswa dapat bekerjasama dengan teman kelompoknya.
2. setiap siswa bertanggung jawab terhadap tugas diberikan,
3. siswa dapat menguasa materi lebih dari satu,
4. siswa lebih aktif dan antusias dalam mengembangkan kemampuan
berbicara terhadap anggota kelompoknya.
Sedangkan kelemahannya dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif
tipe Jiigsaw yaitu:
1. membutuhkan waktu yang cukup lama.
2. memerlukan rencana yang matang dan kemampuan yang lebih dari guru
untuk mempersiapkan pembelajarannya.
3. Kemampuan Kognitif.
Hergenhahn dan Olson (2008, hlm. 284-285) mengemukakakan, bahwa
belajar adalah fenomena kognitif, yang berarati bahwa proses belajar terjadi
reorganisasi dalam perceptual fieldnya, sehingga setelah proses belajar terjadi,
seseorang dapat memiliki cara pandang baru terhadap suatu masalah. Sejalan
dengan pendapat tersebut Nana (2014) memaparkan bahwa strategi kognitif yaitu
cara belajar dan berfikir seseorang dalam mencari arti seluas-luasnya termasuk
dalam memecahkan masalah. Dengan demikian, Pada saat berfikir manusia pada
hakekatnya sedang belajar menggunakan kemampuan berpikirnya secara
intelektual, sehingga pada saat berpikir terlintas beberapa alternatif solusi dan
mempertimbangkan solusi yang dianggap tepat dalam menyelesaikan masalah.
Dengan hal tersebut, dalam belajar manusia akan memilih solusi yang dianggap
paling tepat. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kemampuan kognitif ditimbulkan dari keterampilan berpikir dalam memecahkan
suatu masalah. (Jhonson, 2002) berpendapat bahwa keterampilan berfikir
merupakan suatu representasi dari proses kognitif tertentu yang dipecahkan
kedalam langkah-langkah spesifik, dan digunakan untuk mendukung proses
berpikir. Dengan demikian, kerangka berpikir digunakan sebagai petunjuk berpikir
bagi siswa, ketika mempelajari sesuatu keterampilan berpikir.
Konsep kognitif dalam pendidikan merupakan satu ranah dalam
taksonomi pendidikan. Menurut para psikologi kognitif otak menjadi tempat
mengandung sebuah pikiran yang memungkinkan proses-proses mental untuk
mengingat, mengambil keputusan, merencanakan, menentukan tujuan, dan kreatif.
Sedangkan secara umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari
tahapan pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan
(aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation) (Dahri,
2015). Menurut Andriliani, Maskun, dan Basri (2015) yang dikutip dari Jihad dan
Haris (2013, 26) mengemukakan bahwa kognitif adalah ranah yang mencakup
kegiatan mental (otak). Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir,
termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi,
menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Hal serupa
dikemukakan oleh Atena, Imron dan Ekawandari (2015) bahwa Ranah kognitif
merupakan ranah yang lebih banyak melibatkan kegiatan mental yang terdiri dari
enam jenjang berfikir mulai dari tingkat yang rendah sampai tingkat yang tinggi.
Dari Keenam jenjang dalam ranah kognitif yaitu, Pengetahuan/ingatan (C1),
Pengetahuan (C2), Penerapan, Analisis (C4), Sintesis (C5) dan, Evaluasi. Ranah
kognitif bertujuan untuk melatih kemampuan intelektual, sehingga kemampuan
kognitif mampu menguji dalam menggali sebuah gagasan, pemecahan masalah dan
mengatasi masalah. Ide-ide dalam memecahkan masalah dapat terwujud, apabila
cara berpikir dikendalaikan oleh kesadaran yang terarah dan terencana dan
mengikuti alur logis sesuai fakta yang diketahui Nana (2014).
Hasan (2012) mengungkapkan bahwa “Pengetahuan adalah sesuatu
yang penting untuk dipelajari dan dimiliki melalui kemampuan kognitif mengingat
tetapi pengetahuan harus dijadikan bahan untuk mengembangkan kemampuan
kognitif diatas mengingat dan memahami (aplikasi, analiisis, evaluasi, kreatif)”.
Rendahnya kemampuan kognitif siswa dalam pembelajaran sejarah dipengaruhi
oleh pemilihan strategi pembelajaran yang kurang tepat dan faktor intern berupa
karakteristik siswa dalam memperoleh informasi (Suliani, 2014). Selanjutnya,
Hasan berpendapat bahwa:
Kemampuan kognitif baru terjadi apabila mendapatkan dorongan dan
landasan dari kemauan menerima, merespon, dan menilai dari
kemampuan afektif dan sebaliknya sebuah nilai menjadi miliki
seseorang dan berkembang menjadi bagian dari cara berpikir,
bertindak, dan bersikap berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan
evaluasi dari kemampuan kognitif. Kemampuan psikomotorik
memerlukan pengetahuan, kemampuan kognitif, kemampuan afektif
untuk dikembangkan menjadi suatu kemampuan psikomotorik pada
tingkat mahir dan originalitas.

4. Motivasi Belajar

Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai
kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut
tetapi dapat diinteprestasi dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan,
atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. Hakikat motivasi
belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswi yang sedang
belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan
beberapa indikator (Uno, 2013, hlm. 23). Dalam (Depdikbud, 1996 :62) dijelaskan
bahwa motivasi adalah usaha guru untuk membangkitkan atau mendorong
kemauan anak untuk belajar. Menurut Mc.Donald dalam Sardiman (2011, hlm. 73)
mengemukakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang
yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan
terhadap adanya tujuan. Berdasarkan pendapat tersebut, Yulia (2016) mengutip
dari Winkel, berpendapat bahwa motivasi belajar merupakan keseluruhan daya
penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,
menjamin kelangsungan kegiatan belajar, dan memberikan arah pada kegiatan
belajar demi mencapai suatu tujuan belajar.
Resliawati dan Yanti (2016) berpendapat bahwa motivasi adalah
mengerakkan atau menggugah seseorang yang menimbulkan keinginan dan
kemauan untuk melakukan sesuatu, sehingga dapat memperoleh hasil atau
mencapai tujuan tertentu. Bagi seorang guru, tujuan motivasi adalah untuk
menggerakan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya
untuk meningkatkan prestasi belajar. Motivasi belajar dapat dibedakan atas dua,
yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi
yang timbul dari dalam diri individu tanpa ada paksaan dan dorongan dari orang
lain. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul dari luar dirinya,
baik karena ajakan maupun paksaan dari orang lain sehingga menyebabkan ia mau
melakukan sesuatu atau belajar (Rohani, 2004, hlm. 13). Motivasi pada dasarnya
dapat membantu dalam memahami dan menjelaskan perilaku individu, termasuk
perilaku individu yang sedang belajar. Menurut Uno (2007, hlm. 21) peran penting
dari motivasi dalam belajar yaitu: pertama, peran motivasi dalam menentukan
penguatan belajar. Dalam hal ini motivasi dapat berperan dalam penguatan belajar
apabila seseorang yang belajar dihadapkan dengan hal-hal yang pernah dilaluinya.
Kedua, peran motivasi dalam memperjelas tujuan belajar. Peran motivasi disini
erat kaitannya dengan kemaknaan belajar. Seseorang akan termotivasi jika yang
dipelajari itu sedikitnya sudah dapat diketahui atau dinikmati manfaatnya bagi
orang tersebut. Ketiga, motivasi menentukan ketekunan belajar. Seseorang yang
telah termotivasi untuk belajar, maka orang itu akan mempelajarinya dengan baik
dan tekun dengan harapan akan mendapatkan hasil yang baik. Jadi motivasi
belajar diartikan sebagai usaha yang disadari untuk merubah tingkah laku yang
baru dengan menimbulkan motif-motif dalam diri peserta didik yang dilakukan
dari hasil latihan atau hasil dari pengalaman.
Mulyasa (2003, hlm. 14) mengemukakan beberapa prinsip yang dapat
diterapkan untuk meningkatkan motivasi peserta didik, diantaranya:
1. Peserta didik akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajarainya menarik,
dan berguna bagi dirinya;
2. Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada
peserta didik sehingga mereka mengetahui tujuan belajar;
3. Peserta didik harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya;Pemberian pujian
dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga
diperlukan;Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu peserta didik;
4. Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual peserta didik, misalnya
perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subjek
tertentu;
5. Usahakan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dengan jalan
memperhatikan kondisi fisiknya, memberikan rasa aman, menunjukkan bahwa
guru memperhatikan mereka, serta mengarahkan pengalaman belajar kearah
keberhasilan sehingga mencapai prestasi.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Cikijing Kabupaten Majalengka . Penelitian ini dilaksanakan dengan
menyesuaikan jadwal mata pelajaran sejarah semester genap.
B. Metode penelitian
Metode penelitian adalah langkah atau prosedur yang dilakukan dalam
mengumpulkan data atau informasi empiris unutuk memecahkan
permasalahan dan menguji hipotesis penelitian (Sudjana, 2004, hlm. 28).
Creswell (2013, hlm, 23-24) mengemukakan, bahwa metode penelitian
merupakan komponen ketiga dalam kerangka kerja penelitian yang berkaitan
dengan pengempulan data , analisis dan interpretasi, sehingga dapat
mengaturnya secara sistematis. Sejalan Selanjutnya, Usman dan Akbar (2006,
hlm. 42) mengemukakan, bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara untuk
mengetahui, sesuatu dengan langkah-langkah sistematis.
Campbell dan Stanley (1963) merumuskan eksperimen kuasi (Quasi
experiment) sebagai eksperimen yang memberikan perlakuan (treatment)
terhadap kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan
perlakuan. Dalam metode kuasi eksperimen pemilihan sampel tidak dilakukan
secara acak dalam menentunkan perbandingan dan perubahan yang
disebabkan oleh perlakuan. Selanjutnya, tugas peneliti dalam menafsirkan
hasil kuasi eksperimen adalah memisahkan efek perlakuan dengan menguji
validitas. Tujuan kuasi eksperimen yaitu untuk mendeskripsikan penyebab
hipotesis mengenai sebab manipulasi dalam banyak detail strukural, frekuensi
kehadiran suatu grup dan pengukuran pretest, untuk dapat mengetahui apa
yang terjadi jika dilakukan atau tidak dilakukannya treatment (perlakuan).
Dalam quasi eksperimen, peneliti harus menyebutkan satu persatu alternative
dari penjelasan, memutuskan mana yang paling masuk akal, dan menggunakan
logika, desain, pengukuran untuk menilai operasi mana yang dapat digunakan
untuk menjelaskan efek dari observasi (Shadis, Cook, dan Campbell, 2002).
Sejalan dengan pernyataan diatas Gibbons & Joan. (1997) berpendapat
bahwa Quasi experimental design merupakan desain yang paling banyak
digunakan ketika melakukan penelitian dan tidak menggunakan pengambilan
kelompok secara acak. Selanjutnya dalam Jurnal yang ditulis oleh Setiawati
dan dara (2017) memaparkan bahwa eksperimen semu (quasi exsperiment),
yaitu penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah variabel dengan
memberikan suatu perlakuan atau pengkondisian terhadap sampel penelitian
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam
metode kuasi eksperimen terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol serta treatment (perlakuan) diberikan untuk
memberikan pengaruh dalam menyimpulkan hasil yang diperoleh.
C. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada kuasi eksperimen ini menggunakan
Noneequivalen Pretest-Posttest Countrol Group. Creswell (2013, hlm. 242)
mengungkapkan, bahwa Quasi Experimental Design type Noneequivalen
Pretest-Posttest Countrol Group, pada desain kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol tanpa prosedur penempatan acak. Dalam desain ini, baik
kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dibandingkan, kedua
kelompok diberi pretes dan postest, namun pada kelompok kontrol tidak diberi
perlakuan (treatment), hanya kelompok eksperimen yang diberi perlakuan
(treatment). Sejalan dengan pendapat Creswell, Campbell dan Stanley (1963)
berpendapat bahwa Nonequivalent group designs menerapkan pada perilaku
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diukur sebelum dan sesudah
perlakuan (X). Setiawati dan dara (2017) Nonequivalent control group design.
desain ini tidak dipilih secara randem.Desain hampir sama seperti pretest-
postest group design. Pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah
perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil pretest
yang baik bila nilai kelompok eksperimen tidak berbeda secara signifikan
Dalam disertasi karya Russell L. Long (2014), ia menggunakan metode
kuasi eksperimen dengan desain Pretest-Posttest Control Group Design
dengan mengambil sample atau subjek yang dipilih secara acak. Penelitian
kuasi eksperimen tersebut memungkinkan dilakukan dengan randomized
experimental, maka penulis berdasarkan contoh penelitian dalam disertasi
tersebut juga menggunakan desain Pretest-Posttest Control Group Design.
Kelompok Pretest Treatment Posttest
R Eksperimen O1 X O2
R Kontrol O3 O4

D. Populasi dan Sempel


1. Populasi
Musfiqon (2012, hlm. 89) mengemukakan, bahwa “Populasi adalah
totalitas objek penelitian yang mempunyai kesamaan sifat. Populasi
merupakan kelompok besar yang menjadi objek penelitian”, Selanjutnya,
Fraenkel (dalam Riyanto, 2014, hlm. 51) memaparkan, populasi adalah
suatu kelompok yang diteliti oleh peneliti, sehingga kelompok tersebut
menjadi objek dalam penelitian. Dalam penelitian ini, populasi yang
diguanakan adalah seluruh siswa IPS kelas XI SMA N I Cikijing yang
terdiri dari 4 kelas dan berjumlah 480 siswa,
2. Sempel adalah penarikan objek yang mencerminkan bagian populasi.
(Riyanto, 2014, hlm. 52). Selanjutnya, Arikunto, (2003, hlm. 120)
memaparkan, sampel adalah pemilihan sejumlah subjek penelitian sebagai
wakil dari populasi sehingga dihasilkan sampel yang mewakili populasi.
Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, siswa XI IPS
yang berjumlah 120 orang yang terdiri dari kelas XI IPS dan XI IPS 2
sebagai kelas eksperimen yang diberi perlakuan berupa Penerapan model
pembelajaran kooperatif, sedangkan kelas XI IPS 3 dan XI IPS 4 sebagai
kelompok kontrol tidak diberi perlakuan atau menggunakan model
konvesional.
E. Analisis Data
1. Uji Validitas
Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang
hendak diukur (Arikunto, 2008, hlm. 65). Oleh karena itu, menurut
Suherman (1990, hlm. 135) suatu alat evaluasi disebut valid jika dapat
mengevaluasi dengan tepat apa yang seharusnya dievaluasi. Secara umum
dapat dikatakan bahwa suatu alat untuk mengevaluasi karakteristik X valid
apabila yang dievaluasi itu karakteristik X pula. Alat evaluasi yang valid
untuk suatu tujuan tertentu belum tentu valid untuk tujuan yang lain.
Validitas butir soal dihitung menggunakan rumus koefisien korelasi
menggunakan angka kasar (raw score). Adapun rumusnya adalah sebagai
berikut:

Keterangan:

= Koefisien validitas
= Jumlah siswa

= Jumlah skor total ke i dikalikan skor setiap siswa

= Jumlah total skor soal ke-i

= Jumlah skor total siswa

= Jumlah total skor kuadrat ke-i

= Jumlah total skor kuadrat siswa

F. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran
data hasil pretest dan posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol yang
kemudian akan menjadi syarat pengujian memakai statistik parametrik pada
tahap selanjutnya.
Hipotesis yang digunakan :
H0: Data pretest / posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol (keduanya)
berasal dari populasi berdistribusi normal;
H1: Data pretest / posttest kelas eksperimen atau kelas kontrol (salah satu
atau keduanya) berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.
Kriteria pengujian:
 H0 diterima apabila nilai Sig.≥ 0,05
 H0 ditolak apabila nilai Sig. < 0,05
Apabila dari hasil pengujian diperoleh H0 diterima, maka dilanjutkan
dengan uji homogenitas.

G. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui sama (homogen) atau
tidaknya variansi populasi kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 :σ 2k = σ 2e (Variansinya homogen)
H1 :σ 2k ≠ σ 2e (Variansinya tidak homogen)
Dengan,
2
σk : variansi kelas kontrol
2
σe : variansi kelas eksperimen
Kriteria pengujian:
 H0 diterima apabila nilai Sig.≥ 0,05
 H0 ditolak apabila nilai Sig. < 0,05
H. Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara
bersama-sama (simultan) terhadap variabel terikat. Signifikan berarti
hubungan yang terjadi dapat berlaku untuk populasi. Penggunaan tingkat
signifikansinya beragam, tergantung keinginan peneliti, yaitu 0,01 (1%) ; 0,05
(5%) dan 0,10 (10%). Hasil uji F dilihat dalam tabel ANOVA dalam kolom
sig. Sebagai contoh, kita menggunakan taraf signifikansi 5% (0,05), jika nilai
probabilitas < 0,05, maka dapat dikatakan terdapat pengaruh yang signifikan
secara bersama-sama antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Namun,
jika nilai signifikansi > 0,05 maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan
secara bersama-sama antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Analisis
varians Uji F bisa dilakukan dengan software SPSS.
.Uji Hipotesis
Uji hipotesis ini bertujuan untuk membuktikan apakah hipotesis yang
ditetapkan diterima atau ditolak. Menentukan terdapat perbedaan terhadap
motivasi belajar antara kedua kelas subjek, untuk data berdistribusi normal dan
homogenitas maka dilakukan uji perbedaan dua rata-rata (Uji – t) dengan
menggunakan rumus Sudjana (2005, hlm. 241) sebagai berikut:

𝑥̅1 − 𝑥̅2

𝑠1 2 𝑛1 +
𝑠2 2 𝑛2
Keterangan (Sudjana, 2005:241):
t = T- tes x1 = Skor rata-rata kelas eksperimen
x2 = Skor rata-rata kelas kontrol
S12 = Varians kelas eksperimen
S22 = Varians kelas kontrol
n1 = Jumlah siswa kelas eksperimen
n2 = Jumlah siswa kelas kontrol
I. Pengumpulan Data dan Variable
1. Pengumpulan data Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes,
dokumentasi, dan wawancara.Tes yang digunakan merupakan tes pilihan
ganda yang terdiri dari dua puluh empat butir soal yang tersebar dalam
enam ranah kognitif yaitu pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan
(C3), analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6).
2. Variable-Variable
Pada penelitian ini variabel penelitian digunakan dari dua variabel, yakni
variabel bebas dan variabel terikat.Variabel bebas pada penelitian ini
adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, sedangkan variabel
terikatnya adalah hasil belajar kognitif.
Variabel bebas (independent variable), variabel kontrol, dan variabel
terikat (dependent variable). Variabel bebas (X1) dalam penelitian ini
adalah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sebagai variabel kontrol
(X2) adalah motivasi belajar, Sedang variabel terikat (Y): adalah
kemampuan kognitif
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2014). Desain Sistem Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum 2013.
Bandung: Refika Aditama.
Arikunto, S. (2003). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Colin, M. (1996). Handbook for Beggining Teacher. Longman: South Melbourne.
Creswell, J.W. (2015). Riset Pendidikan: Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi
Riset Kualitatif & Kuantitatif. (Edisi kelima). Terjemahan oleh Soetjipto, H.P.
dan Soetjipto S.M. dari Educational Research: Planning, Conducting, and
Evaluating Qualitative and Quantative. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, J.W. (2013). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. (Edisi ketiga). Terjemah Fawaid, A. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan, S.H. (2012). Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu Dalam Ide dan Pembelajaran.
Bandung: Rizqi Pres.
Hergenhahn, B.R. dan Olson, M.H. (2008). Theories of Learning. (Edisi ketujuh).
Terjemahan Triwibowo, B.S. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Komalasari, K. (2014). Pembelajaran Konstektual: Konsep dan Aplikasi. Bandung:
Refika Aditama.
Lie, A. (2010). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di
Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT Grasindo.
Musfiqon, H.M. (2012). Panduan Lengkap Metodologi Penelitian Pendidikan.
Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya.
Riyanto, Y. (2010). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group.
Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajawali Pers.
Sadirman, A.M. (2004). Interaksi dan Motivasi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Slavin, E.R. 2008. Cooperative Learning Teori Riset dan Praktek. Bandung: Nusa
Media.
Sudjana, N. (2004). Dasar-Dasar Proses Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensido
Offset.
Suprijono, A. (2009). Cooperative Learning : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Trianto. 2009. Mendesain Model-Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Usman, H. Dan Akbar, P.S. (2006). Metodologi Penelitian Sosisal. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Yulia, D. (2016). Pengaruh Penggunaan Media Interaktif dan Motivasi Terhadap
Hasil Belajar Sejarah Siswa SMA NEGERI I GUNUNG TALANG.
Historia Jurnal, 1 (2), pp. 1-9.
Wiyati, Y., Amsia, T. dan Syaiful, M. (2015). Pengaruh Model Inquiri Terhadap
Hasil Belajar Kognitif Sejarah Siswa. Jurnal Pendidikan dan Penelitian
Sejarah, 3 (5), pp. 1-12.
Yanti, F. Dan Restilawati. (2016). Penerapan Model Pembelajaran Probing
Prompting Mata Pelajaran Sejarah dalam Meningkatkan Motivasi Belajar
Siswa Kelas XI IPS di SMA Negerti 8 Batam Tahun Pelajaran 2015/2016.
Historia Jurnal Pendidikan Sejarah, 1 (2), pp. 112-124.
Sudjana. 2005. Metode statistika. Bandung: Tarsito.
Wulandini, E. Syaiful, dan Syah, I. (2016). Pengaruh Strategi Belajar PQ4R
Terhadap Hasil Belajar Kognitif Sejarah Siswa. Jurnal Pendidikan dan
Penelitian Sejarah, 3 (5), pp. 1-12.
Hasan, S. H. (2012). Pendidikan Sejarah Untuk Memperkuat Pendidikan Karakter.
Paramita Vol. 22, No. 1 1-130.
Atena, P., Imron, A., dan Ekwandari, Y.S. (2015). Pengaruh Model Contextual
Teaching and Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan
dan Penelitian Sejarah. 3 (3), pp. 1-12.
Kristiana, M. (2014). PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE JIGSAW PADA MATA PELAJARAN IPS UNTUK
PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS V
SDN DUKUH KUPANG V/534 SURABAYA. JPGSD.Volume 02 Nomor
02, pp. 1-15.
Campbell, D. T & Stanley, J.C. (1963). Experimental and Quasi Experimental
Design for Research. USA: Houghton Mifflin Company.
(Tersedia dalam https://www.sfu.ca/~palys/Campbell&Stanley-1959
Exptl&QuasiExptlDesignsForResearch.pdf diakses pada 15 Oktober 2017, 08:57).
Long, Russell L. (2014). A Quasi-Experimental Control Group Design Study to
Determinethe Effect of Integrating Character Education into A High School
Social StudiesCurriculum through Storytelling. (Disertation, Liberty
University, 2014).
Uno, Hamzah 2012. Teori motivasi dan pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksa.
B. Johnson, Elaine. (2007) Contexual Learning & Learning : menjadikan Kegiatan
Belajar-Mengajar Mengasikan dan Bermakna. Bandung: MLC
Rohani, Ahmad. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Puccio, G.J. dan Murdock, M.C. (2011) Creative Thinking: An Essential Life Skill.
Dalam Arthur L. Costa (ed). Develoving Mind A Resource Book For
Teaching Thinking. Alexanderia: ASCD.
Nana, R. (2014). Pengaruh model Pembelajaran dan Kemampuan Berpikir Sejarah
Siswa. 3 (1), pp. 34-44.

Mujmal, I. W. Lasmawan, M. Sutama.(2013). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif


Tipe Jigsaw Terhadap Motivasi dan Hasil Belajar IPS Kelas VII MTS
GERENENG KECAMATAN SAKRA TIMUR NTB TAHUN
PELAJARAN 2011/2012. e-Journal Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan Dasar.3, pp. 1-9.

Ariyanti, N.P., Lasmawan, I.W. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif


tipe Jigsaw Terhadap Kemampuan Beerpikir Kritis dan Prestasi Belajar
Siswa Dalam Pembelajaran IPS Pada Kelas IV Sd CIPTA DHARMA
DENPASAR. Dantes N. e-Journal Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan Dasar. 3 ,pp. 1-10.
Andriliani, S. Maskun, dan Basri M. (2015). Pengaruh Model Jigsaw Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMAN 1 Way Jepara. Jurnal Pendidikan
dan Penelitian Sejarah, 3 (4), pp. 1-12.
Yuliyanti, N. dan Maskun. (2014). Pengaruh Penerapan Strategi
Pengorganisasian Pembelajaran Model Elaborasi Terhadap Hasil Belajar
Kognitif Siswa. Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, 2 (4), pp. 1-12.
Gibbons, Barry & Herman, Joan. (1997). True and Quasi-Experimental Designs.
5(14).

Anda mungkin juga menyukai