Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN SEJARAH

MAKALAH
PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS KONSTRUKTIVISME

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan,M.A.

Oleh

RIYAN ILHAM YUSTIKA RELIGIAN


NIM: 1706450

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2017

1
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah


Belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang meliputi, bentuk perubahan prilaku, pengetahuan
pemahaman, keterampilan dan kemampuan. (Trianto, 2009, hlm. 9). Menurut Dageng
1997, (dalam Riyanto, 2009, hlm 5-6) mengemukakan bahwa ‘ belajar merupakan
pengaitan pengetahuan baru pada struktur kognitif yang sudah dimiliki si pelajar’.
Berdasarkan pandangan tersebut, bahwa belajar merupakan suatu proses yang
menghasilkan pengetahuan, sehingga pengetahuan yang dihasilkan akan membawa
perubahan meliputi, perubahan tingkah laku, keterampilan dan perubahan dalam
bertindak didalam kehidupan dengan lingkungannya.
Belajar dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak dipisahkan, terikat, dan
keduanya bersama-sama untuk menghasilkan ilmu dan pengetahuan. Pada prosesnya
pembelajaran dilaksanakan dalam konteks pendidikan dan non pendidikan. Dalam
konteks pendidikan pembelajaran dilaksanakan disekolah maupun Universitas,
sedangkan pada pembelajaran non pendidikan dilaksanakan diluar sekolah. Meskipun
pembelajaran dilaksanakan dalam kedua konteks tersebut, namun memiliki tujuan yang
sama yaitu, memperoleh ilmu dan pengetahuan. Pembelajaran dalam konstek pendidikan,
dilakukan oleh seorang guru yang memiliki keahlian dalam bidang pendidikan terhadap
peserta didik untuk mencapai tujuan kurikulum. Pembelajaran diterjemahkan dari kata
instruction. Gagne (dalam Sanjaya, 2005, hlm.78) menyatkan bahwa, “instruction is a set
of event that effect learners in such a way that learning is facilitated”. Berdasarkan
kutipan di atas, dalam pembelajaran guru harus memfasilitasi siswa agar dapat belajar,
dengan kata lain pembelajaran berarti suatu proses mengelola lingkungan untuk belajar
siswa. Komalasari (2011, hlm. 5) mengungkapkan, bahwa pembelajaran dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses memberikan pengetahuan kepada kepada
peserta didik yang direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis untuk
mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Dalam proses pembelajaran sejarah, masih banyak guru menggunakan
pembelajaran konvensional, sehingga pelajaran sejarah terkesan membosankan, sehingga
perlu adanya perubahan pembelajaran yang dilakukakan oleh guru sejarah dalam upaya
mendorong siswa berkeinginan belajar sejarah. Karena pelajaran sejarah sangat penting

2
untuk dipelajari setiap siswa dalam kehidupan bernegara, seperti yang dikemukakan
oleh: Hasan (2012, hlm. 34) bahwa:
“pendidikan sejarah merupakan media pendidikan yang paling ampuh untuk
memperkenalkan kepada peserta didik tentang bangsanya di masa lampau.
Melalui pelajaran sejarah peserta didik dapat melakukan kajian mengenai, apa
dan bila, mengapa, bagaimana, serta akibat apa yang timbul dari jawaban
masyarakat bangsa di masa lampau tersebut terhadap tantangan yang mereka
hadapi serta dampaknya bagi kehidupan pada masa sesudah peristiwa itu dan
masa kini”.
Trianto (2009, hlm. 10) menyebutkan “salah satu perubahan paradigma
pembelajaran adalah mengubah pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran yang
berpusat pada guru (teacher centered) beralih menjadi berpusat pada murid (student
centered), yang semula didominasi ekspositori, berganti ke partisipatori, serta
pendekatan yang semula bersifat tekstual berubah menjadi konstektual”. Berdasarkan
pandangan tersebut, proses pembelajaran yang berpusat pada guru dalam pelajaran
sejarah akan membatasi ide, gagasan dan cara pandang siswa terhadap materi sejarah.
Melalui pendekatan pembelajaran berbasis konstruktivisme dalam pelajaran sejarah
menjadi salah satu cara dalam merangsang potensi dari dalam diri siswa, sehingga
melibatkan siswa belajar aktif.
Poedjiadi (2005, hlm. 70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari
pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan
yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan
itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”. Menurut Werrington (dalam
Suherman, 2003, hlm. 75), menyatakan bahwa dalam kelas konstruktivis seorang guru
tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun
mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri
dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba
untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru
mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar
menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme
dalam pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif
membangun pengetahuannya, yang dilandasi kemampuan kognitif yang dimilikinya.
Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran, sehingga tercapainya
pengalaman siswa.

3
Belajar sejarah berarti peserta didik mampu berpikir kritis dan mampu mengkaji
setiap perubahan di lingkungannya, serta memiliki kesadaran akan perubahan dan nilai-
nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah. Pembelajaran sejarah yang baik
adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan kemampuan siswa melakukan
konstruksi kondisi masa sekarang dengan mengkaitkan atau melihat masa masa lalu yang
menjadi materi pembelajaran sejarah. Dalam proses pembelajaran sejarah berbasis
konstruktivisme, siswa akan terlatih dalam mencari sumber materi yang akan mendorong
siswa terhadap suatu pemahaman sejarah, sehingga materi yang terkandung didalam
pelajaran sejarah dapat pedoman didalam kehidupannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah untuk makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaruh konstruktivisme terhadap pembelajaran?
2. Bagaimana pembelajaran sejarah berbasis konstruktivisme?
3. Bagaimana model pembelajaran bebasis konstruktivisme dalam kurikulum?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah di atas maka disusunlah tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan Pengaruh konstruktivisme terhadap pembelajaran.
2. Menjelaskan pembelajaran sejarah berbasis konstruktivisme.
3. Menjelaskan model pembelajaran bebasis konstruktivisme dalam kurikulum.

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengaruh Konstruktivisme terhadap pembelajaran


Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai
mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan
dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan
pada pendidik yang mengajar. Suparno, (1997, hlm. 65-66) mengemukakan fungsi
mediator dan fasilitator t dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain:
a. Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut
bertanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi
jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.
b. Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan
yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari,
membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang
berpikir peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman
yang mendukung belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati
peserta didik dan bukannya sebaliknya. Pendidik perlu menyediakan pengalaman
konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang
bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman
seperti ini akan menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu
jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan
peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan
dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan
peserta didik.
Dalam sistem konstruktivisme, pendidik dituntut penguasaan bahan yang luas
dan mendalam. Pendidik perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai
pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam
akan memungkinkan seorang pendidik menerima pandangan dan gagasan peserta
didik yang berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan
peserta didik itu benar atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang pendidik
mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai kepada suatu pemecahan
5
persoalan dan tidak terpaku kepada satu model.Kecuali menguasai bahan, pendidik
sangat perlu mengerti konteks dari bahan itu, sehingga sangat penting untuk seorang
pendidik, misalnya dosen pendidikan Pancasila, kecuali mengerti tentang isinya juga
tahu bagaimana isi itu dalam perkembangan ilmu pengetahuan berperan. Pendidik
juga perlu mengerti bagaimana pendidikan Pancasila itu berpengaruh terhadap
teknologi dan masyarakat. Tugas pendidik adalah membantu agar peserta didik lebih
dapat mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret, maka
strategi mengajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Bagi
kaum konstruktivis, tidak ada suatu strategi mengajar satu-satunya dan dapat
digunakan di manapun dalam situasi apapun. Strategi yang disusun, selalu hanya
menjadi tawaran dan saran, tetapi bukan suatu menu yang sudah jadi. Setiap pendidik
yang baik akan mengembangkan caranya sendiri. Mengajar adalah suatu seni yang
menuntut bukan hanya penguasaan teknik, tetapi juga intuis
2. Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme
A. Pengertian Pembelajaran Konstruktivisme
Sadulloh (2017, hlm. 178) bahwa, aliran konstruktivisme memandang belajar
difokuskan dalam proses pembelajaran. Pada proses pembelajaran dikelas, menekankan
siswa membentuk pengetahuan sendiri melalui interaksi dengan siswa lainnya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Karli (2003, hlm. 2) yang menyatakan konstruktivisme adalah
salah satu pandangan tentang proses pembelajaran, serta dalam proses belajar (perolehan
pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Artinya bahwa pengetahuan
hanya dapat diatasi melalui melalui pengalaman dari hasil interkasi dengan
lingkungannya. Paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang
sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Matthews dalam
Suparno (1997) membagi konstruktivisme dalam dua bagian, yaitu konstruktivisme
psikologis dan konstruktivisme sosiologis. Konstruktivisme psikologis bertolak dari
perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan
konstruktivisme sosiologis lebih bertolak dari pandangan bahwa masyarakat yang
membangun pengetahuan. Konstruktivisme psikologis berkembang dalam dua arah, yang
lebih personal, individual, dan subyektif seperti Piaget. Sedangkan konstruktivisme
secara sosial seperti Vygotsky (socio culturalism). Piaget menekankan aktivitas
individual dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan
pentingnya masyarakat (lingkungan secara kultural).

6
Berdasarkan pandangan tersebut, pendekatan konstruktivisme menghendakai
siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Peran guru, dalam
membantu proses ini dengan cara mengajar dengan membuat informasi lebih bermakna
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
sendiri ide-ide mereka. Guru dapat memberi siswa jembatan yang dapat membantu
siswa dalam mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan
agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut. Oleh karena itu agar pembelajaran
lebih bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupakan
solusi yang baik untuk dapat diterapkan.
B. Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme
Pada kurikulum berbasis kompetensi berlandasan pada filosofis
konstruktivisme. kompetensi dalam kurikulum meliputi: Pencarian informasi,
pemahaman informasi, penggunaan informasi dan pemanfaatan informasi. Hasan,
(2012, hlm. 42-44) mengemukakan, bahwa dalam kegiatan pencarian informasi
Guru mata pelajaran sejarah harus menempatkan dalam pencarian informasi, dengan
pemberian tugas, diharapkan siswa memiliki kemandirian dalam pencarian
informasi.Artinya proses pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan dengan
mencari informasi dari sumber seperti buku teks sampai kepada sumber sejarah yang
lebih asli dan autentik. Kegiatan pemahaman informasi, dalam hal ini pemahaman
informasi diarahkan kepada memahami data, fakta, istilah, difinisi, penafsiran,
makna, pelajaran sejarah, teori bahkan sampe dengan cerita sejarah. Arti pemahamn
yang dimaksud bukan hapalan melainkan siswa dituntut untuk memahami dari
pengetahuan yang diperoleh. Kegiatan penggunaan informasi, dalam hal ini, peserta
didik harus menggunakan kemampuan memahami belajar sejarah, seperti
kemampuan berfikir kritis, kausalita, nilai dan keterampilan yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dianggota masyarakat. Kegiatan pemanfaatan informasi,
dalam kegiatan ini adalah suatu kegiatan mengembangkatan jati diri siswa. Guru
dalam hal ini, memfasilitasi dalam membiming peserta didik melakukan
pemanfaatan informasi berdasarkan kreatifitas siswa.
Proses pembentukan pengetahuan secara konstruktivisme, baik yang bersifat
personal maupun sosiokultural, sama-sama menekankan pentingnya keaktifan siswa
dalam belajar. Konstruktivisme yang bersifat personal lebih menekankan keaktifan
individu, sedangkan konstruktivisme yang bersifat sosiokultural, menekankan
pentingnya lingkungan sosial-kultural. Suparno (1997, hlm. 47) menyatakan “bahwa
7
seseorang dilahirkan dalam suatu ingkungan sosial kultural di mana obyek dan
kejadian ditemukan dan diartikan secara khusus yang juga dikonstruksikan”. Melalui
interaksi dengan unsur-unsur yang mengelilinginya, maka individu akan belajar
untuk mengenal lingkungan sosialnya. Berdasarkan hal tersebut, dalam proses
pembelajaran sejarah di sekolah, kedua sifat tersebut saling melengkapi, sehingga
belajar sejarah memerlukan proses pembentukan individual yang aktif tapi juga
proses inkulturasi dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, Cobb dalam
Suparno (1997) menyarankan agar konstruktivisme personal dikombinasikan dengan
sosiokultural.
Dalam pengajaran sejarah, pendekatan konstruktivisme dapat dilakukan pada
semua topik dan pokok bahasan. ”Ketika guru menggunakan pendekatan ini,
mereka dapat membahas dan mengkaji topik yang dimunculkan oleh guru dan siswa
saat kegiatan berlangsung” (Supriatna, 2001, hlm. 27). Fungsi guru sejarah dalam
pendekatan konstruktivisme adalah sebagai fasilitator dengan memberikan peluang
kepada siswa untuk membangun pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya.
Kemudian guru dapat menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dan kondisi
siswa. Suatu hal yang sangat penting dalam pembelajaran konstruktivisme adalah
menghubungkan materi dengan kehidupan nyata siswa. Contoh, ketika pokok
bahasan proklamasi kemerdekaan Indonesia maka guru dapat menghubungkan
manfaat proklamasi yang dirasakan oleh orang-orang yang tinggal di lingkungan
siswa pada waktu itu, seperti bahasa, agama, kebebasan berbicara, dan kebudayaan.
Siswa dapat mencari dan menyelidiki informasi tentang itu. Selain itu guru dapat
membangkitkan semangat belajar dengan menghubungkan dengan semangat para
pahlawan kemerdekaan di daerah dalam memperjuangkan proklamasi. Seperti di
daerah Riau banyak pejuang proklamasi yang dapat dijadikan contoh seperti Arifin
Ahmad, Abdul Rauf, dan Umar Usman. Nama-nama tersebut telah di abadikan oleh
masyarakat Riau pada nama jalan, rumah sakit, lapangan sepak bola, dan gedung
pertemuan. Nama-nama tersebut juga dapat dijadikan nama-nama kelompok siswa di
kelas. Hal ini lebih memupuk kecintaan mereka kepada pahlawan yang pernah
dimiliki daerahnya pada masa lalu.
Supriatna (2001, hlm. 29-34) mengemukakan, dalam melaksanakan
pendekatan konstruktivisme guru sejarah hendaknya dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut :

8
Pertama, mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa dalam
mengembangkan materi pembelajaran. Kedua, menggunakan data mentah
dan sumber utama (primary resaurces), termasuk sumber-sumber pelaku
utama sejarah untuk dikembangkan dan didiskusikan bersama-sama dengan
siswa di kelas. Ketiga, memberikan tugas kepada siswa untuk
mengembangkan klasifikasi, analisis, melakukan prediksi terhadap peristiwa
sejarah, dan menciptakan konsep-konsep baru. Keempat, bersifat fleksibel
terhadap renponse dan interpretasi siswa dalam masalah-maslah sejarah,
bersedia mengubah strategi pembelajaran yang tergantung pada minat siswa,
serta mengubah isi pelajaran sesuai dengan situasi dan kondisi siswa. Kelima,
memfasilitasi siswa untuk memahami konsep sambil mengembangkannya
melalui dialog dengan siswa. Keenam, mengembangkan dialog antara guru
dan siswa dan antara siswa dengan rekanrekannya. Ketujuh, Menghindari
penggunaan alat tes untuk mengukur keberhasilan siswa. Kedelapan,
mendorong siswa untuk membuat analisis dan elaborasi terhadap masalah-
masalah kontroversial yang dihadapinya. Kesembilan, mengembangkan
aspek kontradiksi dan kontroversi untuk ditarik dalam KBM di kelas.
Kesepuluh, memberi peluang kepada siswa untuk berfikir mengenai masalah
yang dihadapi siswa. Kesebelas, memberi peluang kepada siswa untuk
membangun jaringan konsep serta membentuk metaphora.
Berdasarkan pandangan diatas, maka pembelajaran sejarah berbasis konstruktivisme
guru hanya sebagai fasilitator, dan menjembatani secara simbolik dalam membantu
siswa menemukan informasi yang bersifat pengetahuan sejarah, selebihnya siswa
sendiri yang mencari tentang pengetahuan sejarah, sehingga mencapai tujuan dari
belajar yang berlandasan dalam memenuhi kurikulum. Menurut (subakti, 2010)
Tujuan pembelajaran berbasis konstruktivis adalah membangun pemahaman.
Pemahaman memberi makna tentang apa yang dipelajari. Belajar menurut
pandangan konstruktivis tidak ditekankan untuk memperoleh pengetahuan yang
banyak tanpa pemahaman. Pembelajaran sejarah menurut pandangan konstruktivis
adalah membantu siswa untuk membangun konsep/prinsip sejarah dengan
kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi, sehingga konsep/prinsip tersebut
terbangun kembali, transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip
baru.
3. Model-model Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme
Ditjen Dikdasmen (dalam komalasari, 2011, hlm. 4), memaparkan bahwa
pembelajaran berlandasan konstruktivisme menepatkan siswa dalam konteks
pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari, dan sekaligus
memperhatikan fakor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Pendekatan
pemeblajaran berbasis konstruktivisme meliputi:
A. Belajar Berbasis Masalah (Problem-Based Learning).

9
Pembelajaran berbasis masalah yaitu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata, sebagai suatu keterampilan, pemecahan
masalah, serta untuk memeperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata
pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk memecahkan
masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi
pelajaran. Pernyataan ini mencakup pengumpulan informasi berkaitan dengan
pertanyaan mempersentasikan penemuannya pada siswa lain ( Komalasari, 2011,
hlm. 5)
B. Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah suatu solusi terhadap masalah,
dengan mengadakan kesempatan berinteraksi secara kooperatif, tanpa melihat
siswa dari latar belakang etnik yang berbeda, sehingga dapat meningkatkan
hubungan antar kelompok. (Slavin, 2008, hlm. 103). Sejalan dengan pandangan
salvin, Riyanto (2010, hlm. 267) menyatakan pemebelajaran kooperatif adalah
model pembelajaran dibentuk berdasarkan kecakapan akademik (academic skill),
sehingga membentuk keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal
skill. Selanjutnya, Hasan (2012, hlm. 99) mengemukakan, bahwa cooperative
learning adalah pembentukan kelompok kecil dalam proses belajar dengan
tujuan, dari setiap anggota dengan kemampuan yang berbeda dapat berbagi
pengetahuan untuk memaksimalkan pembelajaran dalam kelompoknya. Model
pembelajaran kooperatif berlandasan pada filosofis konstruktivisme, yaitu dalam
proses pembelajaran siswa tidak tergantung kepada guru, akan tetapi,
pembelajaran yang menekankan kepada setiap diri siswa, artinya siswa mencari
dan membangun sendiri pengetahuan lewat keterlibatan aktif dalam proses belajar
mengajar. (Trianto, 2009, hlm. 55-56) Selanjutnya, Suprijono (2009, hlm. 54)
menyebutkan bahwa “Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas
meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih
dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru”.), sedangkan yang dimaksud kerja
kelompok adalah bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja
sama dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri
dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat
heterogen, (Rusman, 2010, hlm. 202).
Unsur-unsur penting dalam model pembelajaran kooperatif
dikemukakan oleh Johnson( dalam Trianto, 2009, hlm. 60-61) bahwa:

10
1. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. Dalam pembelajaran
kooperatif, terjalin kerja sama antar siswa dan setiap anggota siswa memiliki
rasa tanggung jawab terhadap kelompoknya, karena keberhasilan kelompok
adalah keberhasilan semua anggota kelompok dalam mencapai satu tujuan
belajar bersama.
2. Interaksi antara siswa saling meningkat. Dalam hal ini, interaksi menjadi tahap
awal dalam melaksanakan pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai suatu
keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran kooperatif dibutuhkan kerja sama
dari setiap anggota siswa, sehingga dalam diri setiap siswa saling melengkapi
dan menutupi kelebihan dan kekurangan anggota. Keberhasilan kelompok
dalam memecahkan permasalahan dibutuhkan peranan semua anggota dalam
berbagi serta tukar menukar ide dan gagasan mengenai masalah yang sedang
dipelajari.
3. Tanggung jawab individu. Setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab
sendiri untuk menguasai dan memberikan kontribusi terhadap bagian materi
yang sedang dipelajari demi keberhasilan kelompoknya.
4. Keterampilan interpesonal dan kelompok kecil. Dalam belajar kooperatif,
selain dituntun bahan mempelajari materi yang menjadi tugasnya, seorang
siswa dituntut untuk belajar dalam menyampaikan ide dengan anggota
kelompok yang membutuhkan keterampilan khusus.
5. Proses kelompok. Pembelajaran kooperatif tidak akan berlangsung, apabila
tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi, karena kelompok
merancangan dan mendiskusikan dalam mencapai tujuan, serta membuat
hubungan kerja sama.
Belajar kooperatif menekankan pada keberhasilan kelompok dalam
mencapai tujuan berdasarkan penguasaan materi dari semua anggota kelompok
(Slavin, 1955). Sejalan dengan pendapat Salvin, Johnson, 1994 (dalam Trianto
2009, hlm. 57) mengemukakan, bahwa tujuan pembelajaran kooperatif
mencakup tiga jenis, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap
keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Selanjutnya, Riyanto
(2010, hlm. 267) mengemukakan tujuan pembelajaran kooperatif sebagai
berikut:
1. Individual: Keberhasailan keberhasilan seseorang ditentukan oleh diri
sendiri tidak dipengaruhi orang lain.
11
2. Kompetetif: Keberhasilan seseorang dicapai karena kegagalan orang lain
(ada ketergatungan negaif).
3. Kooperatif: Keberhasilan seseorang, karena keberhasilan orang lain, karena
seseorang tidak akan mencapai keberhasilannya dengan sendirian, serta
manusia hidup saling membutuhkan manusia lain.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
tujuan pembelajaran kooperatif adalah kerjasama yang dilakukan oleh
beberapa orang dalam suatu kelompok untuk memperoleh hasil belajar yang
lebih baik.
C. Belajar Berbasis Inquiri
Inkuiri yang dalam bahasa Inggris inquiry, berarti pertanyaan, atau
pemeriksaan, penyelidikan (Gulo, 2004, hlm. 84). Beberapa pendapat tentang
model pembelajaran inkuiri, antara lain menurut Widja (1989, hlm. 48) model
pembelajaran inkuiri adalah suatu Model yang menekankan pengalaman-
pengalaman belajar yang mendorong siswa dapat menemukan konsep-konsep dan
prinsip. Selanjutnya, Sumantri (1999, hlm. 164) menyatakan bahwa model
pembelajaran inkuiri adalah cara penyajian pelajaran yang memberi kesempatan
kepada siswa untuk menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru.
Model pembelajaran inkuiri adalah porses belajar yang memberi kesempatan
pada siswa untuk menguji dan menafsirkan problem secara sistematika yang
memberikan konklusi berdasarkan pembuktian (Nasution, 1992, hlm. 128). Lebih
lanjut dikatakan Model pembelajaran inkuiri adalah suatu proses untuk
memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan atau
eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap
pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir
kritis dan logis.
Model atau pendekatan pembelajaran inkuiri merupakan salah satu bentuk
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered approach).
Ciri utama yang dimiliki oleh pendekatan inkuiri yaitu menekankan kepada
aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan (menempatkan
siswa sebagai subjek belajar), seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan
untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan
sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief) serta
mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis atau
12
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental
(Sanjaya, 2009, hlm. 196-197).
Dalam modul pelatihan Kurikulum 2013, pembeajaran inkuiri
dikelompokkan dalam model pembelajaran. Pengertian Model pembelajaran
Inkuiri diartikan sebagai proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian
dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuaan bukanlah
sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan
sendiri. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak
terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah, diharapkan peserta didik
berkembang secara utuh baik intelektual, mental, emosi, maupun pribadinya.
Oleh karena itu dalam proses perencanaan pembelajaran, guru bukanlah
mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat menemukan sendiri materi
yang harus dipahaminya. Pembelajaran adalah proses memfasilitasi kegiatan
penemuan (inquiry) agar peserta didik memperoleh pengetahuan dan
keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah
fakta).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Model pembelajaran
inkuiri adalah suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis,
analitis, sehingga dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya
diri.

13
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi
manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka.
Pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran menekankan pada pengalaman
manusia. Menganggap suatu pengetahuan diperoleh dari hasil pengalaman dalam
mencari pengetahuannya.
Pembelajaran sejarah berbasis konstruktivisme adalah pembelajaran dalam
kompetensi kurikulum. Pada pembelajaran sejarah berbasis konstruktivisme guru sejarah
berfungsi sebagai fasilitator dalam memberikan peluang kepada siswa untuk membangun
pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Kemudian guru dapat
menghubungkan materi pelajaran sejarah dengan situasi dan kondisi siswa. Suatu hal
yang sangat penting dalam pembelajaran konstruktivisme adalah menghubungkan materi
dengan kehidupan nyata siswa, sehingga nilai-nilai dan sifat kepemimpinan dalam materi
pembelajaran sejarah masa lampau dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Model-model pembelajaran berbasis konstruktivisme telah berlandasan pada
kurikulum 2013. Model-model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran
sejarah meliputi, model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran kooperatif
dan model pembelajaran inquiri.
B. Saran
Pembelajaran merupakan salah satu usaha dalam mencapai tujuan belajar dalam
memperoleh pengetahuan. Pembelajaran sejarah berbasis konstruktivisme merupakan
suatu pembelajaran untuk mengembangkan potensi siswa dalam mencari informasi,
sehingga dapat memahami pengetahuan yang diperoleh. Dengan demikian, guru sejarah
menggunakan pembelajaran berbasis konstruktivisme dalam meningkatkan keterampilan
serta membuka potensi siswa.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, S.H. (2012). Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu Dalam Ide dan Pembelajaran.
Bandung: Rizqi Pres.
Komalasari, K. (2014). Pembelajaran Konstektual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika
Aditama.
Lie, A. (2010). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas. Jakarta: PT Grasindo.
Riyanto, Y. (2009). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajawali Pers.
Slavin, E.R. (2008). Cooperative Learning Teori Riset dan Praktek. Bandung: Nusa Media.
(1995). Cooperative Learning, Theory, Research, and Practice. Boston : Allyn
and Bacon.
Suprijono, A. (2009). Cooperative Learning : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Trianto. (2009). Mendesain Model-Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogjakarta: Kanisius
Sanjaya, W. (2005). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Edisi Pertama Cetakan Kedua, Kencana Prenada Group, Jakarta.
Suherman, E. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-
Universitas Pendidikan Indonesia.
Karli, H. (2003). Model-Model Pembelajaran. Bandung : Bina Media Informasi.
15
Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Supriatna, N. (2001). Pengajaran Sejarah Yang Konstruktivistik. Historia : Jurnal
Pendidikan.
Sumantri, M. dan Permana, J. . (1999). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Dikti.
Widja, I. G. (1989). Dasar-Dasar Pengembangan Strategi serta Model-Model Pengajaran
Sejarah. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti.
Gulo, W. (2004). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

16

Anda mungkin juga menyukai