Anda di halaman 1dari 93

1.

PEMBELAJARAN MENURUT
KONSTRUKTIVISME
http://sainsmatika.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-menurut-
konstruktivisme.html
PEMBAHASAN
A. Konstruktivisme
Konsrutivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti
paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen
dkk, 2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi
kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru
yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003).
Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan
untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.
Sedangkan menurut Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa
konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan
melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru.
Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah: “constructivism may be considered
an epistemology ( a philosophical framework or theory of learning ) which argues humans
construct meaning from current knowledge structures” artinya, konstruktivisme dapat dipandang
sebagai suatu epistimologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia dalam
membangun makna dari struktur pengetahuan terkini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran,
konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran,
perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan
pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang
kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan
keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin.1997). Misalnya, ketika siswa diminta
untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata
bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu.
Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasilitator
yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
(Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana
guru mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas.
Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa.
Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk
menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76). Oleh karena itu, guru harus
menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara
aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan,
membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya
(Setyosari, 1997: 53). Berdasarkan konstruktivisme, akibatnya orientasi pembelajaran bergeser
dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered
instruction).

B. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam proses belajar
mengajar adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid
sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah.

4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.

5. Struktur pembelajaran seputar konsep diutamakan pada pentingnya sebuah pertanyaan.

6. Mencari dan menilai pendapat siswa.

7. Menyesuaikan bahan pengajaran untuk menanggapi anggapan siswa.


Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan
didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar
yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide
dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar.

C. Implikasi Konstruktivisme pada Pembelajaran


Terdapat beberapa implikasi penting konstruktivisme terhadap pembelajaran. Implikasi-
implikasi yang dimaksud adalah:
1. Pembelajaran tidak dapat dipandang sebagai suatu transmisi pengetahuan. Penyajian
pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan. Dalam kelas konstruktivis,
pembelajaran diarahkan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa mengkonstruksi
pengetahuan dan memperluas pengetahuan mereka. Inisiatif dan keterlibatan aktif siswa dalam
pembelajaran merupakan hal yang utama.
2. Perhatian tidak diarahkan hanya pada hasil belajar, tetapi juga dipusatkan pada proses berpikir
atau proses mental siswa. Disamping kebenaran jawaban siswa, guru juga perlu memperhatikan
proses yang digunakan siswa hingga memperoleh jawaban tersebut.
3. Perlu adanya scaffolding (dukungan atau bantuan) pada siswa yang mengalami kesulitan dalam
mengkonstruksi pengetahuan atau dalam pemecahan masalah. Bantuan ini selain akan
memotivasi siswa dalam belajar dan meningkatkan kemandirian siswa, juga akan
mengembangkan ZPD (Zon Perkembangan Prokimal) siswa.
4. Perlu disadari akan pentingnya konteks sosial dalam pembelajaran. Pembelajaran seharusnya
melibatkan negosiasi sosial dan mediasi (Doolittle & Camp.1999). Pedagogis lebih ditekankan
pada diskusi, kolaborasi, negosiasi dan makna bersama (Ernest.1991).
5. Perlu diciptakan situasi pembelajaran yang merangsang keingintahuan siswa, sekaligus
merangsang siswa untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide mereka.
6. Jika siswa harus mengaplikasikan pemahaman mereka saat ini dalam situasi baru ke bentuk
pengetahuan baru, guru harus sungguh-sungguh melibatkan siswa dalam pembelajaran
(Rakes.,et.al,1999).

D. Ciri-Ciri Pembelajaran Menurut Konstruktivisme


Adapun ciri – ciri pembelajaran menurut konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran berpusat pada siswa.
2. Fokus kepada pembelajaran bukan pengajaran.
3. Guru sebagai fasilitator (Paul Suparno:1997).
4. Bahan pengajaran dirancang sedemikian rupa sehingga memberi peluang kepada murid
membina pengetahuan baru.
5. Menyokong pembelajaran secara koperatif, yaitu suatu kumpulan strategi mengajar yang
digunakan siswa untuk membantu satu dengan yang lain dalam mempelajari sesuatu.
6. Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan sesama murid & guru.
7. Pendidik memahami karakteristik mental para siswa untuk mengenal penalaran yang
dikembangkan untuk mendukung proses pembelajaran.
8. Menggalakkan dan menerima daya usaha para siswa dalam mengembangkan pengetahuannya.
9. Menggalakkan ide yang dikemukakan oleh siswa dan menggunakannya sebagai panduan
merancang pengajaran.

E. Peranan Peserta Didik dan Pendidik dalam Pembelajaran menurut Konstruktivisme


No. Peranan Peserta Didik Peranan Pendidik
1. Berinisiatif mengemukakan Mengutamakan peran siswa dalam
masalah dan pokok pikiran, berinisiatif sendiri dan keterlibatan
kemudian menganalisis dan aktif dalam kegiatan belajar.
menjawabannya sendiri.
2. Bertanggung jawab sendiri Memusatkan perhatian kepada
terhadap kegiatan belajarnya atau proses berpikir atau proses mental
penyelesaian suatu masalah. siswa, bukan kepada kebenaran
jawaban siswa saja.
3. Secara aktif bersama dengan Guru perlu fleksibel dalam
teman sekelasnya mendiskusikan merespons jawaban atau pemikiran
penyelesaian masalah atau pokok siswa. Menghargai pemikiran siswa
pikiran yang mereka munculkan, dan meghindari perkataan “Ini
dan apabila dirasa perlu dapat satu-satunya jawaban benar”
menanyakannya kepada guru.
4. Atas inisiatif sendiri dan mandiri Guru perlu menyediakan
berupaya memperoleh pengalaman belajar dengan
pemahaman yang mendalam mengkaitkan pengetahuan yang
(deep understanding) terhadap telah dimiliki siswa sehingga
suatu topik masalah belajar. belajar sebagai proses konstruksi
pengetahuan dapat terwujud.
5. Secara aktif mengajukan dan Memaklumi akan adanya
menggunakan berbagai hipotesis perbedaan individual, termasuk
(kemungkinan jawaban) dalam dalam hal perkembangan kognitif
memecahkan suatu masalah. siswa.
6. Secara aktif mengajukan Guru perlu menyampaikan tujuan
berbagai data atau informasi pembelajaran dan apa yang akan
pendukung dalam penyelesaian dipelajari di awal kegiatan belajar.
suatu masalah atau pokok pikiran Hal ini akan mempengaruhi
yang dimunculkan sendiri atau keaktifan siswa, karena ia tahu apa
yang telah dimunculkan oleh yang akan di pelajari dan untuk apa
teman sekelas. ia terlibat dalam pembelajaran.
7. Secara kreatif dan imajinatif Guru perlu banyak berinteraksi
mengaitkan antara gagasan yang dengan siswa untuk dapat
telah dimiliki dengan informasi mengetahui apa yang telah mereka
baru yang diterima. ketahui dan apa yang mereka
pikirkan.

F. Keunggulan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran


Keunggulan:
1. Berpikir
Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berpikir menyelesaikan masalah,
mengemukakan dan membuat kesimpulan dengan bahasa sendiri.
2. Paham
Oleh karena murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan
lebih paham dan mampu mengaplikasikannya.
3. Ingat
Oleh karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan mengingat lebih lama
mengenai semua konsep.
4. Yakin
Melalui pendekatan ini murid membina sendiri pemahaman mereka dengan strategi belajar
sendiri. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah
dalam situasi baru.
5. Interaktif dan Senang
Lebih banyak berinteraksi dan saling bertukar gagasan dengan teman dan guru dalam proses
pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan baru. Oleh karena mereka paham, ingat, yakin,
dan berinteraksi dengan sehat, maka timbul rasa senang belajar untuk memperoleh pengetahuan
baru.

Kelemahan:

1. Pemahaman para siswa terhadap materi cenderung kurang merata.


2. Memerlukan persiapan yang lebih matang dari pendidik dan peserta didik agar
pembelajaran berjalan dengan lancar.
3. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa
tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga
menyebabkan miskonsepsi.
4. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini
pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang
berbeda-beda.
5. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana
prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
G. Kendala dalam Penerapan Pembelajaran menurut Konstruktivisme
Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar.
Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut
konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah terbiasa mengajar dengan
menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak
mudah.
2) Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis
konstruktivisme. Guru konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan
pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai.
3) Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran
akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru khawatir target pencapaian kurikulum (TPK)
tidak tercapai.
4) Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal yang terpenting dari suatu
pembelajaran adalah proses belajarnya bukan hasil akhirnya.
5) Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan mata pelajaran yang
diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa merupakan yang cukup serius.
6) Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika ada transfer pengetahuan
dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan
pengkonstruksi informasi” merupakan kendala itu sendiri.
7) Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah.
Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, ank dilarang membantah pendapat orang
tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau
penjelasan guru. Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan
gurunya.
PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD DENGAN
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
https://rachmee.wordpress.com/2008/04/23/pembelajaran-
matematika-sd-dengan-pendekatan-konstruktivisme/
A. Latar Belakang
Guru merupakan faktor penting dalam pendidikan formal, karena harus memiliki perilaku dan kemampuan
untuk mengembangkan siswanya secara optimal. Guru juga dituntut menyajikan pembelajaran yang bukan semata-
mata mentransfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap, tetapi juga memiliki kemampuan meningkatkan
kemandirian siswa. Oleh karena itu guru harus dapat menciptakan kondisi proses pembelajaran yang memberikan
kepada siswa untuk berpikir, berpendapat dan berkreativitas sesuai dengan perkembangan yang dimiliki.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting. Untuk mewujudkan proses pembelajaran
matematika yang lebih bermakna dengan hasil prestasi siswa yang tinggi, guru harus kreatif dan inovatif dalam
mengembangkan strategi pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk memberikan
pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru,
lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Pengalaman belajar yang
dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada siswa.
Akan tetapi pada tataran praktek di sekolah, pendidikan matematika di Indonesia pada umumnya masih
berada pada pendidikan matematika konvensional yang banyak ditandai proses yang strukturalistik dan mekanistik.
Guru cenderung menggunakan strategi pembelajaran tradisional yang dikenal dalam beberapa istilah seperti direct
instruction, teacher centered, expository teaching, deductive teaching maupun whole class instruction. Pada
pembelajaran dengan startegi pembelajaran tersebut sebagian guru mendominasi proses pembelajaran sedangkan
adar keaktifan siswa umumnya rendah. Siswa hanya menggunakan kemampuan berpikir tingkat rendah dengan
menghafal rumus-rumus tanpa memahami makna dan manfaat dari apa yang dipelajari dan tidak memberi
kemungkinan bagi para siswa untuk berpikir dan berpartisipasi secara penuh.
Seiring berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), diharapkan guru dapat meningkatkan
prestasi siswa khususnya pada mata pelajaran matematika dengan berkreasi dan berinovasi menggunakan berbagai
macam strategi pembelajaran yang berkembang saat ini, yaitu strategi pembelajaran yang berdasar pada teori belajar
kontruktivisme, menurut teori ini tiap individu pada dasarnya sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri.
Partisipasi aktif siswa sangat berpengaruh pada proses perkembangan berpikir, emosi, dan sosial.
Keterlibatan siswa dalam belajar, membuat anak secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan mengambil
keputusan diharapkan dapat mencapai tujuan jangka panjang pembelajaran matematika yaitu “meningkatkan
kemampuan siswa agar mampu mengembangkan diri dan mampu memecahkan masalah yang muncul dalam
kehidupan nyata”.
B. Konsep Belajar Konstruktivisme
Teori konstrukivisme merupakan teori belajar yang termasuk ke dalam teori belajar kognitif. Teori
konstruktivisme mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh J. Piaget pada akhir abad ke-
20. Menurut teori ini pada dasarnya tiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” orang lain, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan akan tersusun atau terbangun di dalam pikiran siswa
sendiri ketika ia berupaya mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada
dalam pikirannya. Sebagaimana dikatakan Bodner : “….knowladge is constructed as the learner strives to erganize
his or her experience in terms of preexisting mental structure”. Dengan demikian pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru ke otak siswanya. Seorang siswa harus membangun sendiri
pengetahuan tersebut dalam otak masing-masing.Pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan
tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya akan diingat sementara.
Menurut J. Piaget proses mengkonstruksi pengetahuan oleh tiap individu dapat terjadi karena tiap individu
memiliki struktur kognitif yang dinamakan skema. Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya anak senang
bermain dengan kelinci dan kucing yang sama-sama berwarna putih, karena anak tersebut sering bermain dengan
hewan peliharaannya tersebut ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kelinci berkaki dua sedangkan
kucing berkaki empat.
Berkat pengalaman anak pada ilustrasi di atas, maka dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang
binatang berkaki dua dan berkaki empat. Semakin dewasa anak, maaka semakin sempurna skema yang dimilikinya.
Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses
penyempurnaan skema, dan akomodasi adalah proses merubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skema baru.
Misalnya pada suatu hari anak merasa sakit karena terpercik api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk skema
tentang api, bahwa api harus dihindari. Dengan demikian ketika melihat api,secara reflek ia akan menghindar.
Semakin dewasa, pengalaman tentang api semakin bertambah. Ketika ia melihat ibunya memasak menggunakan api
atau melihat ayahnya menyalakan rokok dengan api, maka skema awal tentang api yang telah terbentuk
disempurnakan, bahwa api bukan harus dihindari tapi dimanfaatkan.
Pandangan J. Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan terbentuk dalam struktur kognitif individu,
sangat berpengaruh terhadap paradigma proses pendidikan di sekolah, yaitu berkembangan metode pembelajaran
yang tidak menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Secara rinci implikasi dari teori belajar
konstruktivisme dalam pendidikan anak yang dikutip oleh Hamzah dari Poedjiadi (2006) adalah sebagai berikut :
1. tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang
memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi
2. kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali
dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari–hari dan
3. peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru
hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk
terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik

C. Hakikat pembelajaran Matematika Menurut Pendekatan Konstruktivisme


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar kontruktivisme, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. artinya bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Pengertian pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan yang mengajak siswa untuk berpikir dan
mengkonstruksi dalam memecahkan suatu permasalahan secara bersama-sama sehingga didapatkan suatu
penyelesaian yang akurat.
Tiga penekanan dalam teori belajar dengan pendekatan konstruktivisme sebagai berikut: peran aktif siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna, pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam
mengkonstruksian pengetahuan tersebut dan mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Dari prinsip utama dalam pembelajaran dengan metode pendekatan belajar kontruktivisme adalah
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa dan fungsi kognitif
bersifat adatif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses
belajar matematika dengan pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Seseorang akan lebih muda mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah
diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar
yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika itu sendiri.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam metode pendekatan belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996:3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dalam pembelajaran
matematika, yaitu (1) siswa mengkontruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka
miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai dan, (4) siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Untuk meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar matematika dengan menggunakan metode
pendekatan konstruktivisme adalah: (1)memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4)
memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada metode
pendekatan konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman
mereka. bukan kepatuhan siswa dalam merefleksikan atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
D. Karakteristik Anak usia SD
Pembelajaran Matematika di SD akan berhasil dengan baik apabila guru memahami perkembangan
intelektual anak usia SD. Usia anak SD berkisar antara 7 tahun sampai dengan 12 tahun. Menurut J. Piaget
perkembangan anak usia SD tersebut termasuk dalam katagori operasional konkrit. Pada usia operasional
konkrit ciri-cirinya sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan tertentu yang logis, hal tersebut dapat diterapkan
dalam memecahkan persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi.
Anak operasional konkrit sangat membutuhkan benda-benda konkrit untuk menolong
pengembangan intelektualnya. Anak SD sudah mampu memahami tertang penggabungan (penambahan atau
pengurangan), mampu mengurutkan, misalnya mengurutkan dari yang kecil sampai yang besar, yang pendek
sampai yang panjang, Anak SD juga sudah mampu menggolongkan atau mengklasifikasikan berdasarkan bentuk
luarnya saja, misalkan menggolongkan berdasarkan warna, bentuk persegi atau bulat, dan sebagainya. Pada akhir
operasional konkret mereka dapat memahami tentang pembagian, mampu menganalisis dan melakukan sintesis
sederhana.

E. Implikasi Teor Belajar Konsruktivisme Terhadap Pembelajaran


Matematika SD
Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses membantu manusia dalam mengembangkan dirinya sehingga
mampu menghadapi segala perubahan dan permasalan dengan sikap terbuka dan kreatif tanpa kehilangan identitas
dirinya.
Seperti yang tercantum dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Oleh karena itu setiap bagian dari proses belajar
mengajar yang dirancang dan diselenggarakan harus mempunyai sumbangan nyata untuk mencapai tujuan tadi.
Sejalan dengan pikiran di atas, maka guru matematika hendaknya menguasai materi, pendekatan dan
metode pembelajaran matematika yang sesuai. Sehingga tugas guru matematika tidak hanya sekedar diperolehnya
berbagai pengetahuan dan keterampilan matematika oleh siswa akan tetapi juga mendorong berkembangnya
pemahaman dan penghayatan terhadap prinsip, nilai dan proses matematika, dan menumbuhka daya nalar, berpikir
logis, sistematik, kritis, terbuka dan rasa ingin tahu siswa.
Pembelajaran matematika di SD mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mewujudkan
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pengajaran matematika adalah untuk: (1) menumbuhkan dan
mengembangkan keterampilan berhitung menggunakan bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari, (2)
menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika, (3) mengembangkan
pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di SLTP, (4) membentuk sikap logis, kritis, cermat,
kreatif, dan disiplin (depdikbud, 1994). Dengan demikian tujuan pendidikan matematika tersebut tidak hanya
dimaksudkan agar siswa terampil melakukan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, tetapi
juga mengusahakan agar siswa mampu menggunakan keterampilan tersebut untuk menyelesaikan masalah (problem
solving).
Menurut Jackson (1999) sebagaimana dikutip Hamzah mengatakan bahwa matematika adalah penting
bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, matematika dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Matematika
diajarkan disekolah dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka panjang (long term functional needs) bagi siswa dan
masyarakat.
Menurut Cockcroft (1982) sebagaimana dikutip Fajar, pengajaran matematika harus melibatkan aktivitas-
aktivitas:
1. Eksposisi atau pemaparan guru (exposition)
2. Diskusi di antara siswa sendiri ataupun antara siswa dengan guru (discussion)
3. Kerja Praktek (practical work)
4. Pemantapan dan latihan penerjaan soal (consolidation)
5. Pemecahan masalah (problem solving)
6. Penyelidikan (investigation)
Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah, disatu sisi
merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kecerdasan peserta didik. Namun, di sisi lain terdapat pakar yang
menilai bahwa pembelajaran matematika disekolah hanyalah merupakan kebutuhan yang bersifat pelengkap dari apa
yang telah dikembangkan oleh para ilmuan dalam matematika. Sehingga orientasi pengajaran matematika cenderung
sangat prosedural, secara gamblang seorang guru menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika)
mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus matematika itu sendiri.
Sejalan dengan munculnya teori belajar konstruktivisme, dirasakan dapat memperbaiki kondisi tersebut,
yaitu mengubah pendekatan yang sederhana dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi
guru maupun para siswa. Proses pembelajaran matematika yang harus dikembangkan guru dalam kurikulum
pendidikan saat ini lebih menekankan pada upaya mengembangkan potensi dan kreativitas siswa secara optimal.
Sebagaimana yang dirumuskan oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) pada tahun 2000, bahwa
siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman
dan pengetahuan yang dimilikinya.
Fajar Shadiq, seorang widyaiswara PPPPTK Matematika merinci implikasi konstruktivisme pada
pembelajaran matematika di SD, yaitu sebagai berikut:
a. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang bagus pada siswanya. Setiap
siswa SD harus mengkonstruksi pengetahuan matematika dalam benaknya masing-masing berdasar
pengetahuan matematika dalam benaknya. Karena itu, hanya dengan usaha keras siswa sendirilah siswa benar-
benar memahami matematika. Setiap guru matematika SD tentunya sudah mengalami bahwa meskipun suatu
materi telah dibahas dengan sejelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswanya yang belum atau tidak
mengerti materi yang diajarkan. Hal ini telah menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi
kepada siswanya dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali.
b. Tugas setiap guru adalah memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan matematika dibangun atau
dikonstruksi oleh siswa sendiri dan bukan ditanamkan oleh guru. Siswa harus dapat secara aktif mengasimilasi
dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya. Karena itu, pembelajaran matematika
akan menjadi menjadi lebih efektif bila guru membantu siswa menemukan dan memecahkan masalah dengan
menerapkan pembelajaran bermakna.
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk
mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan yang dibuat para siswa untuk mendukung model-
model itu. Karena itu guru harus mau bertanya dan mengamati pekerjaan siswanya. Setiap kesalahan siswa
harus menjadi umpan balik dalam proses penyempurnaan rancangan proses pembelajaran berikutnya.
d. Pada konstruktivisme, siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri untuk masing-masing konsep
matematika sehingga peran guru dalam mengajar bukan “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis
untuk memindahkan pengetahuan matematika pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu
perkembangan siswa membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
Berkaitan dengan upaya mengembangkan potensi dan kreativitas siswa secara optimal pada pembelajaran
matematika, maka pendekatan seperti Matematika Realistik (Realistik Mathematics Education), Pembelajaran
Berbasis Masalah (Problem Based Learning), Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) dan Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching & Learning) merupakan pendekatan-pendekatan yang sangat dianjurkan untuk
digunakan selama proses pembelajaran matematika di kelas-kelas di Indonesia.
Peran guru yang semula mendominasi kelas kini harus lebih banyak memberikan kesempatan pada siswa
untuk mengambil peran lebih aktif. Proses pembelajaran pun dilaksanakan dalam suasana yang menyenangkan.
Proses pembelajaran yang menyenangkan ini menyebabkan proses pembelajaran lebih efektif. Potensis siswa
dimungkinkan tumbuh dan berkembang dengan baik, apabila pihak sekolah khususnya guru turut menunjang dan
memfasilitasi mereka atau dengan kata lain guru melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar.
Keterlibatan siswa hanya bisa dimungkinkan jika siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat
dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sebelumnya siswa diharuskan tunduk dan patuh pada
peraturan dan prosedur yang kaku yang justru membatasi keterampilan berpikir kreatif. Dalam belajar siswa banyak
diminta menghafal daripada mengeksplorasi, bertanya atau bereksperimen.

F. Cara Mengajarkan Matematika Dengan Menggunakan Pendekatan


Konstruktivisme
Pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme meliputi empat kegiatan, antara lain (1) berkaiatan
dengan prior knowledge siswa artinya guru dapat melihat kemampuan siswa dalam belajar matematika, (2)
mengandung kegiatan pengalaman nyata (experiences) artinya belajar dengan pendekatan konstruktivisme dapat
diambil dari pengalaman atau dalam kehidupan sehari-hari, (3) terjadi interaksi sosial (social interaction)
maksudnya pembelajaran matematika dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan (4) terbentuknya kepekaan
terhadap lingkungan (sense making) maksudnya pembelajaran dapat membentuk sifat saling kerja sama.
Proses pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme sebagai berikut: (1) siapkan benda–benda nyata
untuk digunakan oleh para siswa, (2) pilihlah pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, (3)
perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik serta beri kebebasan anak untuk menolak saran guru, (4) tekankan
penciptaan pertanyaan dan masalah serta pemecahannya, (5) anjurkan siswa untuk saling berinteraksi, (6) hindarilah
istilah teknis dan tekankan berpikir, (7)dianjurkan mereka berpikir dengan cara sendiri, dan (8) perkenalkan kembali
materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun lamanya. Dari proses pembelajaran matematika dengan
pendekatan konstruktivisme dapat memberikan suatu solusi dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh
siswa (Dahar,1989:160).
Beberapa uraian di atas dapat memberi pandangan kepada guru agar dalam menerapkan prinsip belajar
konstruktivisme, benar–benar harus memperhatikan kondisi lingkungan bagi anak. Disamping itu, pengertian
tentang kesiapan anak untuk belajar, juga tidak boleh diabaikan. Dengan kata lain, bahwa faktor lingkungan sebagai
suatu sarana interaksi bagi anak, bukanlah satu–satunya yang perlu mendapat perhatian yang sungguh–sungguh bagi
guru.
Secara umum, Pembelajaran matematika dengan metode pendekatan konstruktivisme meliputi empat tahap
: (1) tahap persepsi (mengungkap konsepsi awal dan membangkitkan motivasi belajar siswa), siswa didorong agar
mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan
pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai sehari – hari oleh siswa dan mengaitkannya dengan
konsep yang akan dibahas. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengilustrasikan
pemahamannya tentang konsep tersebut, (2) tahap eksplorasi siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian dan menginterprestasikan data dalam suatu kegiatan
yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan pada tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang
fenomena dalam lingkungannya, (3) tahap diskusi dan penjelasan konsep siswa memikirkan penjelasan dan solusi
yang didasarkan pada hasil observasi siswa, di tambah dengan penguatan guru. Selanjutnya, siswa membangun
pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari, dan (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep guru
berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman
konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun melalui pemunculan masalah–masalah yang berkaitan dengan isu–isu
dalam lingkungan siswa tersebut. (Horsley, 1990:59).
Hal-hal yang harus dilakukan oleh guru agar dapat mengajarkan matematika dengan menggunakan
pendekatan konstruktivisme adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah
matematika dengan caranya sendiri dengan kemampuan yang dimiliki dalam pikirannya, artinya siswa diberi
kesempatan melakukan refleksi, interpretasi, berbahasa matematik, dan mencari strateginya yang sesuai (berfikir
alternatif). Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitasnya melakukan refleksi, interprestasi, dan internalisasi,
rekonstruksi ini dimungkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok
kecil maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi.
Suatu pendekatan atau metode dalam pembelajaran tidak akan pernah lepas dari keuntungan dan kelemahan,
begitu pula dengan pendekatan konstruktivisme. Keuntungan pembelajaran matematika dengan pendekatan
konstruktivisme adalah :
a. siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri sehingga siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya
b. menciptakan suasana belajar yang menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan sehingga siswa tidak
cepat bosan untuk belajar matematika, siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap siswa ada nilai
atas usahanya
c. memupuk kerja sama dalam kelompok dan melatih siswa untuk terbiasa berpikir serta mengemukakan
pendapat.
Sedangkan kelemahan pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivime adalah :
a. siswa sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan
jawabannya sendiri
b. membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah pemikirannya
c. siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum menemukan jawaban.
Kelemahan suatu metode/pendekatan dalam pembelajaran tentu bukan suatu masalah yang besar bagi
seorang guru yang profesional. Karena guru yang profesional tentu akan dapat mengeluarkan krativitasnya dalam
rangka mengatasi kekurangan yang ada.

G. Contoh-contoh Pembelajaran Matematika SD Dengan Pendekatan


Konstruktivisme.
Perhatikan dialog antara guru dan siswa dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Fitz Simons (1992) :
Guru : berapa 10 pangkat 3?
Siswa : 1000
Guru : dan 10 pangkat 2?
Siswa : 100
Guru : jadi 10 pangkat 1 menjadi berapa?
Siswa : 10
Siswa : berapa 10 pangkat 0? (siswa bertanya kepada guru )
Guru : mari kita cari berapa 10 pangkat 0?
kamu tahu bahwa pangkat 10 menurun satu persatu. Apa yang terjadi jika 10
pangkat 0?
Siswa : satu
Guru : berapa 10 pangkat -1?
Siswa : 0,1 atau 1/10

Dari dialog guru dan siswa tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme guru mengajak siswa untuk mengemukakan pendapat, mencari solusi atau jawaban atas pertanyaan
yang diajukan oleh guru sehingga siswa diharapkan dapat mengaplikasikan pemahaman dan mengkonstruksi sendiri
tentang konsep bilangan pangkat n yaitu 10 pangkat 3 atau 103 = 1000 dimana nilai n = 3.Jadi 10n = …
Berikut adalah sebuah contoh lain yang masih berhubungan dengan perpangkatan yang disajikan dalam
bentuk ilustrasi/cerita:

(Seekor kakek bakteri sedang bercerita kepada cucu bakteri)


“cucuku sayang, dulu sekali pada waktu kakek datang ke sini, kakek masih sendirian tanpa teman ataupun sahabat”
“kapan itu, kek?”
“delapan jam yang lalu, cucuku”
“wah..sudah lama sekali ya, kek?”
“iya memang waktu begitu cepat berlalu, kakek lanjutkan ya ceritanya, kakek waktu pertama ke sini memang masih
sendirian. Tapi, karena sudah kodrat alami kita untuk dapat membelah diri menjadi dua tiap 1 jam, akhirnya setelah
1 jam kakek di sini, kakek langsung membelah diri. Nah, inilah keturunan kakek yang pertama sekaligus teman
pertama bagi kakek. Satu jam berikutnya masing-masing dari kami membelah diri lagi menjadi dua, begitu
seterusnya sampai saat ini.”
“hmm..kakek kan sudah delapan jam ada di sini, jadi keturunan kakek ada berapa ya?”
“waduh ada berapa ya, kakek tidak pernah menghitungnya. Kalau begitu mari kita hitung sama-sama. Supaya lebih
mudah kita coba buat tabel ya”.
Jam ke- Jumlah keturunan kakek
0 1
1 2
2 4
3 8
4 16
5 32
6 64
7 128
8 256

“Nah, cu, engkau bisa lihat sendiri, ternyata jumlah keturunan kakek sampai saat ini ada 256. Sekarang kakek ingin
bertanya padamu, 3 jam lagi berapakah jumlah kita?” (Sang cucu menggaruk-garuk kepalanya)

Dari cerita di atas, guru bisa meminta siswa untuk membantu cucu bakteri mencari jawaban atas pertanyaan
kakeknya. Selain itu guru dapat mengarahkan siswa untuk menemukan konsep perpangkatan dengan bilangan pokok
2.
Contoh lain yang dapat dikembangkan oleh guru kepada siswanya adalah cara menentukan rata-rata hitung
dalam proses pembagian. Perhatikan langkah-langkah pembelajarannya :
a. siapkan beberapa menara blok yang tingginya berbeda–beda sebagai benda kongkrit bagi anak, misalnya :

1 2 3 4 5
b. minta anak untuk memotong beberapa menara blok yang lebih tinggi sesuai dengan keinginannya.
c. Tempelkan potongan menara blok yang tertinggi kepada menara yang terpendek, selanjutnya potong sebagian
menara blok yang lebih tinggi dan letakkan atau tempelkan pada menara blok yang kurang tinggi. Lakukan hal
ini seterusnya hingga semua menara blok adalah sama tingginya. Tinggi menara blok tersebut yang sudah rata
disebut rata–rata tinggi. Hasilnya seperti berikut :
1 2 3 4 5
d. Ulangi kegiatan diatas , dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu setiap menara blok dipotong atau dipisahkan
secara vertikal. Hal ini dilakukan secara berturut–turut. Selanjutnya, susun hasil potongan dengan cara
melintang (horizontal) yaitu melengketkan pada kertas atau buku matematika anak, sehingga hasilnya seperti
berikut :

1 2 3

4 5
Dengan menggunakan metode pendekatan kontruktivisme guru mengajak siswa untuk berpikir dan mencari
solusi bagaimana jika menara blok tersebut dibagi oleh lima orang siswa sama banyak? dari sini siswa diharapkan
dapat mengkonstruksi sendiri tentang konsep pembagian yaitu : 25 : 5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara
blok tersebut adalah 5.
Dengan pendekatan seperti di atas, pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya
melalui aktivitas yang dilakukannya. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar secara paksa, anak akan memahami
sendiri apa yang mereka lakukan dan pelajari melalui pengalamannya.
Contoh lain yang menggunakan pendekatan konstruktivisme, misalkan kita mewawancarai tokoh A.
Jumlah kemungkinan jawaban yang diberikan hanyalah dua yaitu benar atau salah. Artinya peluang mendapatkan
informasi benar adalah ½ dan peluang mendapatkan informasi yang salah adalah ½. Misalkan kita ajukan 10
pertanyaan, berapa peluang mendapatkan informasi yang benar dan salah?
Dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan pendapat tentang pertanyaan yang akan dibahas atau dijawab. Setelah siswa mendapatkan jawaban
yaitu peluang mendapatkan informasi yang benar adalah 5/10 atau ½ artinya ada peluang 5 jawaban yang diajukan
tokoh A adalah benar dan 5 jawaban yang lain adalah salah.Setelah itu siswa dan guru mengaplikasikan pemahaman
konseptualnya dengan menentukan rumus yang tepat untuk persoalan tersebut yaitu : dalam teori peluang
(probabilitas) adalah jumlah peluang yang tersedia dibagi jumlah yang diperebutkan peluang secara matematisnya
adalah :
P=x/n
Dimana P = nilai peluang, x = jumlah peluang yang tersedia dan n = jumlah yang memperebutkan peluang.
2. Pembelajaran berbasis eksplorasi fenomena realistic
https://derafitria.wordpress.com/2012/09/29/pendekatan-pengajaran-berpusat-pada-siswa-dan-
konstruktivis/
Pendekatan Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Konstruktivis

Pandangan pembelajaran konstruktivis mengajarkan bahwa pembelajaran di kelas harus berpusat


pada siswa bukan pada guru. Siswa harus berperan aktif dan harus menemukan dan mengubah
informasi yang rumit dan menjadikannya milik sendiri.

Pendekatan pembelajaran konstruktivis bersumber pada teori-teori sebelumnya karya Vygotsky


dan Piaget. Pendekatan inipun menekankan pada pengajaran atas-bawah (top-down) bukannya
bawah atas (down-up) artinya siswa mulai diberi persoalan yang rumit untuk diselesaikan yang
kemudian harus dikembangkan dan ditemukan kemampuan dasar yang diperlukan dengan
bantuan guru. Pembelajaran kerjasama sangat berperan pentting dalam pendekatan konstruktivis,
bahwa disinyalir siswa siswa akan lebihmudah menemukan dan memahami konsep yang sulit
kalau mereka dapat membicarakan satu sama lain tentang masalah. Komponen lain yang penting
dalam pendekatan konstruktivis modern adalah pembelajaran penemuan dimana siswa didorong
untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri sendiri.

Dalam pembelajaran konstruktivis siswa diharapkan untuk menjadi pelajar mandiri artinya
mengetahui tentang strategi pembelajaran efektif dan tahu kapan menggunakannya. Perhimpunan
psikologi Amerika mengemukakan bahwa terdapat 14 prinsip-prinsip psikologi yang berpusat
pada pelajar untuk faktor kognisi dan metakognisi yang secara garis besar menggambarkan
bahwa pelajar aktif mencari pengetahuan dengan menafsirkan kembali informasi dan
pengalaman bagi diri sendiri, termotivasi oleh diri sendiri melalui pencarian pengetahuan,
bekerja sama dengan yang lain untuk membentuk makna dan sadar akan strategi pembelajaran
sendiri dan mampu menerapkannya pada persoalan atau lingkungan yang baru.

Saat ini telah banyak bermunculan metode-metode konstruktivis dalam bidang isi diantaranya :

1. Pengajaran timbale balik dalam membaca


2. Mempertanyakan penulis
3. Model prosese penulisan
4. Pendekatan konstruktivis pada pengajaran matematika di sekolah dasar
5. Pendekatan konstruktivis dalam ilmu pengetahuan alam

Pembelajaran kerjasama yang digunakan dalam pengajaran dapat berupa kelompok-kelompok


diskusi kecil dengan kemampuan campuran yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Oleh
karena itu berkembanglah berbagai metode pembelajaran kerjasama, diantaranya :

1. Divisi pencapaian-Tim siswa (STAD)


2. Bacaan dan karangan terpadu kerjasama (CIRC)
3. Jigsaw
4. Pembelajaran bersama
5. Penelitian kelompok
6. Pembahasan kerjasama
Kemampuan penyelesaian soal dan berfikir pun dianjurkan yang dapat didefinisikan sebagai
penetapan pengetahuan dan kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan dengan
lima langkah strategi yang disebut IDEAL (identifikasi, definisikan, eksplorasi, antisipasi dan
lihat). Sedangkan strategi untuk menyelesaikan soal kreatif diantaranya :

1. Inkubasi
2. Penangguhan penilaian
3. Iklim yang tepat
4. Analisis
5. Soal yang mengikat
6. Umpan balik

Pendekatan Matematika Realistik


https://krizi.wordpress.com/2011/09/12/pendekatan-matematika-realistik/

1. Pengertian Matematika Realistik


Matematika Realistik adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan
realitas pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan
sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika
formal.Pembelajaran Matematika Realistik di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik
RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep
matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan
mengaplikasikan konsep- konsep matematika untuk memecahkan masalah dalam bidang lain.
Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung
berorientasi kepada memberi informasi memakai matematika yang siap pakai untuk
memecahkan masalah-masalah.
Langkah awal seorang guru sebelum mengajar adalah menetapkan tujuan yang ingin dicapai
dalam proses pembelajaran. Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai itu harus dipilih
pendekatan yang tepat sehingga diperoleh hasil yang optimal, berhasil guna dan tepat guna.
Pendekatan pembelajaran matematika adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan
pembelajaran matematika agar konsep yang disajikan dapat dipahami oleh siswa.
Seorang guru dapat memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk membelajarkan
siswanya. Hal ini tergantung pada kemampuan guru dan siswa serta materi yang akan diajarkan.
Demikian pula dengan pendekatan-pendekatan matematika lainnya yang dipakai oleh para guru
dalam meningkatkan pemahaman dan prestasi belajar dalam pembelajaran matematika. Masing –
masing pendekatan mempunyai kekhasan dan karakteristrik tersendiri.
Salah satu pendekatan pembelajaran matematika adalah pendekatan matematika realistik.
Pendekatan matematika realistik diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di Nederlands.
Sampai sekarang pendekatan ini telah mengalami perkembangan di seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Menurut hasil penelitian siswa di dalam pendekatan RME mempunyai skor yang lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
tradisional dalam hal keterampilan berhitung lebih khusus lagi dalam aplikasi ( MKPBM, 2001 :
125 }.
Dalam praktek pembelajaran matematika di kelas, matematika realistik sangat memperhatikan
aspek – aspek informal kemudian mencari jembatan untuk mengantar pemahaman siswa kepada
matemaÿÿka formal. Menurut Treffers dan Goffree ( MKPBM, 270ÿÿ19ÿÿPe) dalam proses
permatematikaanÿÿibedakan 2 komponen proses matematisasi yaitu horizontal mathemazation
dan vertikal mathemazation. Berdasarkan teori itu, mula – mula seseorang dapat
mengidentifikasi bagian dari matematisasi yang bertujuan untuk mentransfer suatu masalah ke
dalam masalah yang dinyatakan secara matematika.
Menurut Freudenthal ( MKPBM , 2001 : 126) pendidikan matematika harus mengarahkan siswa
untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat
diangkat dari berbagai situasi ( konteks ) yang dirasakan bermakna sebagai sumber belajar.
Konsep matematika yang muncul dari proses matematisasi, yaitu penyelesaian yang berkaitan
dengan konteks (Conteks-Link Sosution) siswa secara perlahan mengembangkan alat dan
pemahaman matematika ketingkat yang lebih formal. Cara – cara penyelesaian yang muncul dari
aktivitas matematika, siswa dapat terdorong untuk terjadi berinteraksi dengan siswa lainnya di
kelas sehingga mengarah pada level berpikir matematika yang lebih tinggi.

Menurut Kolb ( Tarmudi, 2001 : 1 ) belajar sebaiknya ditempuh sebagai proses bukan sebagai
hasil. Karenanya proses matematisasi menjadi sangat penting dalam kerangka pembelajaran
dengan pendekatan realistik. Pada pendekatan realistik proses belajar merupakan kegiatan yang
penting dalam pembelajaran matematika. Proses pembelajaran matematika akan melekat dan
bermakna bagi siswa apabila proses yang terjadi selama pembelajaran siswa mengkonstruk ide-
ide yang dimilikinya dalam matematika.

2. Ciri – ciri Pendekatan Matematika Realistik


Menurut Gravemeijer (Tarmudi, 2003 : 1 ) pada pembelajaran realistik terdapat 5 prinsip utama
atau ciri – cirri kegiatan matematika realistik yaitu
– didominasi oleh masalah – masalah dalam konteks, maksudnya adalah untuk melayani 2 hal
yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika ;
– perhatian diberikan kepada pengembangan model-model, situasi, skema dan simbol – simbol ;
– sumbangan dari siswa, dimana siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan
produktif, artinya siswa memproduksi sendiri dan mengkonstruksi sendiri ( yang mungkin
berupa algoritma dan aturan ), sehingga dapat membimbing siswa dari level matematika informal
menuju matematika formal ;
– interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika ;
– membuat jalinan antar topik atau antar pokok bahasan.
3. Pembelajaran Matematika Realistik
Pemikiran yang Melandasi Pembelajaran Matematika Realistik dalam pengembangan
matematika realistik di dasarkan pada pandangan Freudental terhadap matematika realistik.
Freudental ( Armanto : 2002 ) berpandangan sebagai berikut :
a. matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi siswa.
b. matematika harus dipandang sebagai aktivitas manusia.
Pertama, untuk memulai dari fenomena atau kejadian yang riil bagi siswa menurut freudental
didactical phenomology pada saat belajar siswa memulai dari masalah yang bersifat kontekstual
yang pada akhirnya dapat digunakan untuk memecahkan konsep matematika. Kedua, dengan
menggunakan prinsip guided reinvention melalui progressive mathematization, siswa digiring
secara didaktik dan efisien dari suatu level berpikir kelevel berikutnya melalui matematisasi.
Kedua prinsip ini dan prinsip self developed models ( Gravemeijer, 1998 ) dioperasionalisasikan
ke dalam lima karakteristik dasar dari realistik Mathematics Education.
Menurut De Lange ( Suharta : 2002 ) bahwa proses pengembangan konsep PMR dan berbagai
gagasan matematika bermula dari dunia nyata dan pada akhirnya perlu direflesikan hasil – hasil
yang diperoleh dalam matematika tersebut direfleksikan ke dalam bentuk alam yang nyata.
Artinya apa yang dilakukan dalam proses matematika adalah menerapkan sesuatu dari bentuk
dunia nyata dibawa kedalam model matematika.
Sejalan dengan itu menurut Soejadi ( Suharta : 2002 ) Realistic Matematic’s Education ( RME )
memiliki filsafat dasar yaitu bahwa “ Matematika adalah aktivitas manusia, “ dan tidak lagi
dipandang “ Siap Pakai “ Filsafat ini mengakibatkan perubahan yang amat mendasar tentang
proses pembelajaran metematika tidak lagi hanya pemberian informasi dalam pembelajaran
matematika. Tetapi harus mengubah menjadi aktivitas manusia untuk memperoleh pengetahuan
matematika. Menurut Soedjadi ( Armanto 2002 ) RME memiliki prinsip :
1) Reinvention dan progressive matemetization
2) Ditactical phenomenologi
3) Self – developed model
Implementasi pendidkan matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasi
pembelajaran matematika realistik sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indonesia.
Pengimplementasian pembelajaran matematika realistik di kelas harus didukung oleh sebuah
perangkat yang dalam hal ini adalah buku pelajaran yang sesuai dengan kondisi bangsa
Indonesia. Menurut Suharta ( Armanto : 2002 ) bahwa Implementasi PMR di kelas meliputi tiga
fase yaitu : Fase Pengenalan, Fase Eksplorasi, dan Fase Meringkas.
Pada fase pengenalan, peneliti memperkenalkan masalah – masalah realistik dalam pembelajaran
matematika kepada seluruh siswa serta membantu siswa memberi pemahaman masalah. Pada
fase ini meninjau ulang semua konsep – konsep yang berlaku sebelumnya dan mengaitkan
masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya yang terjadi dalam kehiduoan
sehari – hari.
Pada Fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara Individual, berpasangan atau dalam
kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi
masalah, berbagai pengalaman atau ide, mendiskusikan pola yang dibentuk saat itu, serta
berupaya membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan strategi-strategi pemecahan masalah
yang mungkin dilakukan berdasarkan pada pengetahuan informal atau formal yang dimiliki
siswa. Disini guru berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan
mengelilingi siswa, melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa dan memberi motivasi
kepada siswa untuk giat belajar. Dalam hal ini peran guru adalah memberikan bantuan
seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Bagi siswa yang berkemampuan tinggi
dapat diberikan pekerjaan yang lebih menantang yang berkaitan dengan masalah.
Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan
kemajuan dalam pemecahan masalah. Sebelumya mendiskusikan pemecahan – pemecahan
dengan berbagai strategi yang mereka lakukan. Dalam hal ini guru membantu siswa
meningkatkan kinerja matematika secara lebih efisien dan efektif. Peranan siswa dalam fase ini
sangant penting seperti : mengajukan dugaan, mengajukan pertanyaan kepada yang lain,
bernegosasi, memberi alternatif-alternatif pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki
strategi dari dugaan mereka, dan membuat keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa
diharapkan menemukan konsep-konsep awal / utama atau pengetahuan matematika formal sesuai
dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang
memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika
formal.
Menurut Armanto ( Soeharta, 2005 ) “dalam pembelajaran matematika realistik harus
diperhatikan keseimbangan antara ( 1 ) tujuan, ( 2 ) kegiatan atau pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan tersebut, ( 3 ) pengetahuan, yaitu bahan pelajaran matematika realistik yang
diperoleh dan digunakan dalam proses belajar, dan ( 4 ) penilaian atau evaluasi hasil belajar
matematika realistik yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah dicapai “.

Salah satu unsur pokok dalam pengajaran matematika realistik adalah matematika itu sendiri.
Guru matematika realistik harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara
umum yang bersifat nyata. Matematika adalah pengetahuan mengenai kuantitatif dan ruang,
salah satu cabang dari sekian banyak cabang ilmu, yang sistematis, teratur dan eksak.
Matematika adalah angka – angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari kehidupan
manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan-
kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem
numerik. Matematika membahas fakta-fakta dan hubungan – hubungannya serta membahas
ruang dan bentuk.
Agar pembelajaran matematika bermakna bagi siswa maka pembelajaran seyogianya dimulai
dengan masalah – masalah yang realistik. Kemudian siswa diberi kesempatan menyelesaikan
masalah itu dengan caranya sendiri dengan skema yang dimiliki dalam pikirannya. Artinya siswa
diberi kesempatan melakukan refleksi, interprestasi dan mencari strategi yang sesuai. Keaktifan
siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan
matematisasi baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi dan tidak serta
merta telah melakukan aktivitas konstruksi. Rekontruksi terjadi bila siswa dalam aktivitasnya
melakukan refleksi, interprestasi dan internalisasi. Rekontruksi itu di mungkinkan terjadi dengan
problem yang lebih besar melalui diskusi baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau
berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Guru membimbing mereka untuk menarik kesimpulan
bagi diri masing-masing. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi. Mula –
mula matematisasi berlangsung secara horizontal dan melalui bimbingan guru siswa melakukan
matematisasi vertikal
Penerapan realistik secara tepat guna di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan
ketersediaan materi kurikulum berbasis pembelajaran matematika realistik. Untuk itu diperlukan
materi kurikulum dengan konteks yang mudah dipahami siswa. Berkaitan dengan pengembangan
materi kurikulum pembelajaran matematika realistik beberapa hal berikut perlu mendapat
perhatian: ( 1 ) konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa, ( 2 ) bahasa yang digunakan
harus jelas, dan ( 3 ) gambar harus mendukung konsep.
Menurut Treeffers dan Gofree ( Sabandar Jozua : 2001 , 2 ) konteks memainkan peran utama
dalam semua aspek pendidikan baik dalam pembentukan konsep, pembentukan model dan dalam
mempraktekkan keterampilan – keterampilan dalam memecahkan berbagai masalah. Artinya
konteks sangat berpengaruh bagi proses pembelajaran dan bagi pengembangan materi. Selain itu
konteks membentuk backbone dari kurikulum. Artinya berbagai soal konteks harus disiapkan
sejak awal dalam kurikulum dan dalam mengawali suatu pembelajaran.

Kemampuan siswa bervariasi, sehingga guru tidak harus berasumsi bahwa teks yang digunakan
dalam suatu penyajian soal konstekstual telah cukup untuk dimengerti siswa. Siswa mungkin
lebih memahami ilustrasi yang dilisankan, dari pada memahami soal yang tertulis. Apalagi
dengan menggunakan kalimat – kalimat yang panjang.
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen ( Sabandar Jozua : 2001, 2 ) ada beberapa fungsi konteks
antara lain ::
a. konteks membantu agar soal dapat dipecahkan. Dengan memulai dari situasi – situasi yang
dapat dibayangkan secara mudah, maka murid dengan cukup mudah menangkap maksud dari
permasalahan yang dihadapi.
b. konteks menunjang terbentuknya ruang gerak dan trasparansi dari permasalahan. Artinya
permasalahan yang mempunyai konteks akan memberi peluang yang lebih luas bagi siswa untuk
mendemonstrasikan kemampuan mereka.
c. konteks dapat melahirkan strategi – strategi artinya aspek yang sangat penting dari konteks
dalam mengawali pembelajaran maupun untuk asesmen ( misalkan konteks tersebut dipilih
secara baik dan juga benar untuk fungsi – fungsi lainnya ) yang dapat melahirkan strategi

Menurut Putman ( 1987 : 11 ) tujuan pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar.
Salah satu aspek penting dalam pencapaian transfer belajar matematika itu agar siswa menguasai
konsep -konsep matematika dan keterampilan PMR sehingga dapat diaplikasikan dalam
pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas, tidaklah mengherankan
jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar PMR dari peserta didik masih perlu
dikemas dengan lebih menarik. Menurut Soejadi ( 1992 : 11 ) kelemahan bermatematika siswa
dijenjang SD yang sering diungkapkan oleh beberapa pihak antara lain :
a) siswa tidak dapat dengan cepat mengerjakan perkalian dan pembagian;
b) siswa dalam mengerjakan pecahan selalu mengalami kesulitan ;
c) siswa sulit memahami geograpi ;
d) siswa sulit dalam menyelesaikan soal cerita .
Kelemahan – kelemahan matematika di SD akan berpengaruh terhadap penguasaan materi ajar di
SLTP dan juga di SMU. Selanjutnya penguasaan matematika itu akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan kemampuan melakukan analisis. Apabila kelemahan – kelemahan itu tidak diatasi
sejak dini, maka akan berpengaruh pada penguasaan materi pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi
Dalam hal pertama, pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada siswa untuk mengalami sendiri proses penemuan matematika. Prinsif ini dapat
memberikan inspirasi dengan menerapkan prosedur pemecahan masalah dimana melalui
matematisasi siswa kesempatan untuk melakukan proses penemuan kembali konsep – konsep
matematika yang telah dipelajarinya. Hal ini dapat dicapai apabila pengajaran matematika
realistik yang dilakukan menggunakan sistuasi yang kondusif berupa fenomena yang
mengandung konsep matematika realistik bagi siswa.
Kedua, pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan
aspek aplikasi dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Dalam hal
ini siswa menggunakan pengetahuan matematika informal yang mereka miliki untuk
memecahkan masalah realistik yang mereka hadapi. Strategi – strategi informal yang
dikemukakan siswa akan berpariasi dan strategi – strategi informal yang diberikan oleh guru
tidak sama dengan yang dikemukan siswa, berarti ada peningkatan pengetahuan bagi siswa.
Seorang guru matematika harus mampu mengakomodasi strategi-strategi informal yang
dikemukakan oleh siswa dan dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika
formal.
Ketiga, pemecaham masalah matematika realistik harus dijembatani melalui pengembangan
model – model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau
dari pengetahuan matematika informal ke bentuk pengetahuan matermatika formal. Artinya
model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan masalah yang mampu menciptakan
kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan guru.
Pengalamam proses siklus dari pengembangan dan penelitian secara sadar kemudian
dilaporkannya secara jelas. Pengalaman ini kemudian dapat di trasfer kepada orang lain menjadi
seperti pengalaman sendiri. Dalam proses pengembangan bahan ajar dengan pendekatan realistik
disampaikan dengan dua kerangka yaitu percobaan berpikir dan pengalaman implementasi di
kelas ( Tarmudi, 2003 : 5 ).
Dengan menggunakan dua karakteristik inilah proses pembelajaran senantiasa mengalami
perbaikan dan penyesuaian. Peristiwa siklus antara percobaan berpikir berupa hasil pemikiran
guru dalam mempersiapkan pembelajaran di kelas dan pengalaman inplementasi di kelas yang
berupa praktek pembelajaran di kelas dilukiskan oleh Gravemeijer ( 1994 ) sebagai berikut

Thought Instructional Thought Instructional


Experiment Experiment Experiment Experiment
Siklus 1 Siklus 2

Gambar 2.1
Kekuatan dan kelemahan matematika realistik.
Menurut (Treffers, 1991; Van Den Heuvel -Panhuizen. 1998). Ada 5 karakteristik pendekatan
matematika realistik, yaitu:
1. Konteks dunia nyata
Pembelajaran diawali dengan masalah yang kontekstual sehingga memungkinkan siswa
menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
2. Menggunakan model-model (matematisasi)
Siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah, yaitu dengan melihat situasi yang
dekat dengan dunia nyata siswa.
3. Menggunakan produksi dan kontruksi
Siswa diberi kebebasan untuk membuat strategi informal dalam menyelesikan masalah, sehingga
hal tersebut menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut, yaitu
mengkontruksi pengetahuan formal.
4. Interaktif
Hubungan guru dengan siswa merupakan hal yang mendasar dalam penerapan pendekatan
matematika relistik, bentuk interaksi yang berupa tanya jawab, penjelasan, setuju tidak setuju,
refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dan bentu-bentuk informal.
5. Keterkaitan
Dalam matematika realistik, pembelajaran yang dikaitkan dengan bidang yang lain akan
berpengaruh terhadap pemecahan masalah.

Penanaman Karakter Berbasis Proses Pembelajaran Matematika.

https://www.tipsbelajarmatematika.com/2016/11/penanaman-karakter-berbasis-proses.html

Penanaman Karakter Berbasis Proses Pembelajaran Matematika. Seperti yang telah


dipaparkan sebelumnya, pembelajaran matematika bertujuan untuk membentuk kecerdasan
matematis dan disposisi matematis. Disposisi matematis memiliki makna dan tujuan yang
sama dengan tujuan pendidikan karakter yang akan mengantar peserta didik menjadi
manusia yang selain cerdas juga memiliki karakter layaknya matematisi yang ideal. Dengan
demikian, selain manfaat tidak langsung ketika siswa belajar materi matematika, diperlukan
suatu pembelajaran yang secara sengaja memasukkan pembelajaran nilai-nilai karakter
tersebut ke dalam perencanaan pembelajaran sehingga tujuan untuk membentuk karakter
siswa melalui pembelajaran matematika dapat dicapai. Pembelajaran semacam ini dinamakan
pembelajarann by design (Soedjadi, 2000).

Karakter siswa dapat dikembangkan melalui implementasi berbagai model pembelajaran yaitu
guru secara sengaja memilih berbagai model pembelajaran yang diyakini cocok untuk karakter
yang ingin dikembangkan. Berbagai model pembelajaran matematika dapat memfasilitasi
peserta didik untuk mengembangkan karakter diantaranya adalah: Model Pemecahan Masalah,
Model Kooperatif, dan Model Pembelajaran Kontekstual dan Model-model yang menggunakan
Pendekatan Matematika Realistik.

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN YANG


MEMBUAT SISWA AKTIF
https://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=742:zanwirfeb201
7&catid=41:top-headlines&Itemid=158

Beberapa strategi pembelajaran yang dapat menciptakan budaya dan iklim sekolah dapat
dikemukakan antara lain (1) pembelajaran berbasis masalah, (2) pembelajaran inquiry, (3)
pembelajaran berbasis proyek/tugas, (4) pembelajaran kooperatif, (5) pembelajaran partisipatory,
dan (6) pembelajaran scaffolding.

1. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah

Untuk dapat menerapkan strategi pembelajaran berbasis masalah, maka seorang guru
sebaiknya menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks pembelajaran. Melalui dunia
nyata yang terjadi di sekitar mereka, maka siswa dapat belajar mengembangkan cara
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta memperoleh pengetahuan dan
konsep esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran bermakna hanya dimungkinkan terjadi
bila siswa dapat mengerahkan proses berpikir tingkat tinggi, seperti pada level analisis,
sintesis, dan evaluasi. Karena itu, guna merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi dari
siswa, mereka perlu diorientasikan pada situasi/dunia nyata dengan segala problemanya.
Para siswa akan tertantang bagaimana belajar, dengan menggunakan fenomena di dunia
nyata sekitarnya.

Pembelajaran berbasis masalah dapat ditempuh melalui lima tahap sebagai berikut.
Tahap 1: orientasi siswa kepada masalah.

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan logistik yang dibutuhkan, serta


memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.

Tahap 2: mengorganisasi siswa untuk belajar.

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang


berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap 3: membimbing penyelidikan individual dan kelompok.

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dan melaksana-
kan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.

Tahap 4: mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan, video, dan model, serta membantu mereka mambagi tugas dengan
temannya.

Tahap 5: menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-
proses yang mereka gunakan.

2. Strategi Pembelajaran Inquiri

Pembelajaran inquiry mendorong siswa untuk mengalami, melakukan percobaan, dan


menemukan sendiri prinsip-prinsip dan konsep yang diajarkan. Strategi pembelajaran
inquiry & discovery memiliki beberapa keuntungan, seperti dapat membangkitkan
curiosity, minat, dan motivasi siswa untuk terus belajar sampai dapat menemukan jawaban.
Di samping itu, melalui penerapan strategi inquiry & discovery, siswa juga dapat belajar
memecahkan masalah secara mandiri dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis se-
bab mereka harus menganalisis dan mengutak-atik data dan informasi.
Secara operasional, pembelajaran inquiry & discovery dapat ditempuh melalui tahapan
berikut:

Sajikan situasi teka-teki (puzzling situation) yang sesuai dengan tahapan


perkembangan siswa. Jelaskan prosedur inkuiri dan sajikan masalah.

Minta siswa mengumpulkan informasi melalui observasi atau berdasar peng-


alaman masing-masing.

Minta siswa menganalisis dan menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, gambar,
bagan, tabel, atau karya lain.

Minta siswa mengkomunikasikan dan menyajikan hasil karyanya, misalnya dalam


bentuk penyajian di kelas, menempelkan di majalah dinding, menulis di koran,
dsb.

Dalam penyajian di kelas, bangkitkan tanggapan dan penjelasan siswa lain. Minta
tanggapan balik (counter-suggestions) dan selidiki tanggapan siswa. Hadapkan
mereka dengan demonstrasi-demonstrasi tambahan untuk mengeksplorasi lebih
jauh fenomena.

Ciptakan lingkungan yang dapat menerima jawaban salah tapi masuk akal. Selalu
minta siswa memberi alasan atas jawaban-jawaban mereka. Sajikan tugas-tugas
yang berkaitan kemudian cermati dan beri balikan atas pemikiran yang
diajukan siswa.

3. Strategi Pembelajaran Berbasis Proyek/Tugas

Pembelajaran berbasis proyek/tugas (project-based/task learning) ditandai dengan


pengelolaan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa melakukan penyelidikan
terhadap masalah otentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan
melaksanakan tugas bermakna lainnya. Dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa
diberikan tugas atau proyek yang kompleks, cukup sulit, lengkap, tetapi realistik dan
kemudian diberikan bantuan secukupnya agar mereka dapat menyelesaikan tugas. Di sam-
ping itu, penerapan strategi pembelajaran berbasis proyek/tugas ini mendorong tumbuhnya
kompetensi pengiring (nurturant) seperti kreativitas, kemandirian, tanggung jawab, keper-
cayaan diri, dan berpikir kritis dan analitis.

Implementasi pembelajaran berbasis proyek/tugas didasarkan kepada empat prinsip berikut


ini.

Membuat tugas bermakna, jelas, dan menantang

Guna mempertahankan tingkat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, maka


tugas yang diberikan kepada siswa harus cukup bermakna dan memiliki tujuan
yang jelas. Siswa perlu mengetahui dengan tepat apa yang mereka harus
kerjakan, mengapa mereka mengerjakan pekerjaan itu, dan apa yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Menganekaragamkan tugas-tugas

Pilihan tugas yang beraneka ragam dapat menambah daya tarik tugas pekerjaan kelas
dan pekerjaan rumah. Jika tugas belajar yang diberikan cukup bervariasi, siswa
dapat lebih termotivasi dan lebih terlibat aktif dalam mengerjakannya. Pilihan
mengenai tugas belajar tidak terbatas dan tidak ada alasan bagi guru untuk
membuat jenis tugas yang sama dari hari ke hari.

Menaruh perhatian pada tingkat kesulitan

Menetapkan tingkat kesulitan yang cocok atas tugas-tugas yang diberikan kepada
siswa merupakan satu bahan baku penting untuk menjamin keterlibatan
berkelanjutan yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas-tugas tersebut. Jika
siswa diharapkan untuk bekerja secara mandiri, tugas yang diberikan harus
memiliki tingkat kesulitan yang menjamin kemungkinan berhasil tinggi. Siswa
tidak akan tertantang ketika tugas-tugas yang diberikan terlalu mudah. Tugas
yang baik perlu memiliki tingkat kesulitan cukup sehingga kebanyakan siswa
memandangnya sebagai sesuatu yang menantang, namun cukup mudah
sehingga kebanyakan siswa akan menemukan pemecahannya dan mengerjakan
tugas tersebut atas jerih payah sendiri.
Memonitor kemajuan siswa

Salah satu tugas penting guru adalah memonitor tugas-tugas pekerjaan kelas dan
pekerjaan rumah. Monitoring tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah
siswa memahami tugas mereka melalui pemeriksaan pekerjaan siswa dan pe-
ngembalian tugas dengan umpan balik? Guru harus selalu menyediakan waktu
5 atau 10 menit untuk berkeliling di antara siswa yang bekerja untuk
memastikan apakah mereka memahami dan mengerjakan dengan benar tugas
yang diberikan. Apabila siswa bekerja berkelompok, maka guru hendaknya
berada dalam kelompok tersebut secara bergantian dan berkeliling di antara sis-
wa yang bekerja secara mandiri. Selanjutnya, guru perlu menyiapkan waktu
untuk mengoreksi pekerjaan yang dihasilkan siswa dan mengembalikan kepada
mereka dengan umpan balik, termasuk memberi reinforcement dalam bentuk
reward bagi hasil karya yang baik dan catatan-catatan penyempurnaan bagi
karya yang belum optimal.

4. Strategi Pembelajaran Kooperatif

Dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling
membantu belajar satu sama lain. Strategi pembelajaran ini, memungkinkan
pengembangan sejumlah kompetensi nurturant pada diri siswa, seperti:

Mengembangkan keterampilan komunikasi, kerja sama, kepekaan sosial,


tanggung jawab, tenggang rasa, dan penyesuaian sosial.

Membangun persahabatan, rasa saling percaya, kebiasaan bekerja sama, dan sikap
prososial.

Memperluas perspektif wawasan, keyakinan terhadap gagasan sendiri, rasa harga


diri, dan penerimaan diri.

Memungkinkan sharing pengalaman dan saling membantu dalam memecahkan


masalah pembelajaran.

Mengoptimalkan penggunaan sumber belajar dan pencapaian hasil belajar.


Secara operasional, pembelajaran kooperatif dapat diterapkan melalui metode Student
Teams Achievement Divisions (STAD) dan metode Investigasi Kelompok (Group
Investigation)

Pelaksanaan metode STAD ditempuh dengan beberapa tahapan sebagai berikut:

Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing terdiri atas 4 atau 5


anggota.

Setiap tim memiliki anggota heterogen (jenis kelamin, ras, etnik, kemampuan
belajar).

Tiap anggota menggunakan lembar kerja akademik.

Tiap anggota saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab
atau diskusi.

Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu dilakukan evaluasi
oleh guru untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan yang telah
dipelajari.

Setiap siswa dan setiap tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar.
Siswa atau tim yang meraih prestasi tertinggi atau mencapai standar tertentu
diberi penghargaan.

Metode Invistigasi Kelompok dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:

Seleksi topik, para siswa memilih berbagai sub-topik dalam satu wilayah masalah
umum terkait dengan tujuan pembelajaran.

Organisasi, para siswa dibagi ke dalam kelompok yang berorientasi pada tugas
dan beranggotakan 2 - 6 orang dengan komposisi heterogen.

Merencanakan kegiatan kerjasama, siswa bersama guru merencanakan berbagai


prosedur belajar khusus, tugas, dan tujuan umum yang sesuai dengan sub-topik yang
telah dipilih.
Tahap implementasi. Siswa melaksanakan rencana yang telah disusun. Dorong
siswa menggunakan berbagai sumber, baik di dalam maupun di luar sekolah.

Analisis dan sintesis, siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi


yang diperoleh dan membuat ringkasan untuk disajikan di depan kelas.

Penyajian hasil akhir, setiap kelompok menyajikan hasil investigasi kelompoknya


di depan kelas.

Evaluasi, guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap


kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat
mencakup siswa secara individu atau secara berkelompok, atau keduanya.

5. Strategi Pembelajaran Partisipatori

Pembelajaran partisipatori menekankan pelibatan siswa untuk berpartisipasi dan ikut


menentukan berbagai aktivitas pembelajaran. Setiap siswa adalah subjek yang
kepentingannya perlu diperhatikan dan diakomodasi dalam proses pembelajaran. Pelibatan
siswa dalam perencanaan dan penentuan berbagai pilihan tindakan pembelajaran dapat
meningkatkan motivasi dan komitmen siswa untuk menekuni setiap tugas pembelajaran.
Disamping itu, strategi ini dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya jiwa demokratis
serta kemampuan mengemukakan dan menerima pendapat di kalangan siswa.

Pelaksanaan pembelajaran partisipatori dapat ditempuh melalui strategi sebagai berikut:

Libatkan siswa dalam membuat perencanaan dan pilihan tindakan yang diperlukan
dalam proses pembelajaran. Misalnya, dalam memutuskan mengenai strategi umum
yang perlu ditempuh, sumber pembelajaran, cara-cara menyelesaikan tugas, bentuk
dan tugas kelompok, dsb.

Gunakan berbagai teknik, seperti brainstorming, meta-plan, diskusi kelompok


fokus untuk mendorong semua siswa mengemukakan gagasan masing-masing.

Evaluasi setiap alternatif berdasarkan kelayakan (kemampuan, sumberdaya,


waktu, fasilitas), kemudian sepakati pilihan yang dapat diterima semua pihak.
Dimungkinkan setiap individu atau kelompok memilih caranya masing-masing
untuk mencapai tujuan sepanjang berkontribusi pada pencapaian tujuan
pembelajaran.

Dorong siswa melaksanakan alternatif tindakan secara konsisten, namun tetap


memberi peluang dilakukannya refleksi, revisi, dan perubahan rencana
tindakan.

6. Strategi Pembelajaran Scaffolding

Pembelajaran scaffolding merupakan praktik assisted learning, yakni teknik pemberian


dukungan belajar yang pada tahap awal diberikan secara lebih terstruktur, kemudian secara
berjenjang sebagai peranan guru dalam mendukung perkembangan siswa dan menyediakan
struktur dukungan untuk mencapai tahap atau level berikutnya. Ketika pengetahuan dan
kompetensi belajar siswa meningkat, guru secara berangsur-angsur mengurangi pemberian
dukungan. Sesungguhnya, strategi pembelajaran scaffolding mendorong siswa menjadi
pelajar yang mandiri dan mengatur diri sendiri (self-regulating). Jika siswa belum mampu
mencapai kemandirian, guru kembali ke sistem dukungan untuk membantu siswa
memperoleh kemajuan sampai mereka mampu mencapai kemandirian.

Beberapa keuntungan pembelajaran Scaffolding adalah:

Memotivasi dan mangaitkan minat siswa dengan tugas belajar.

Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai
oleh anak.

Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan.

Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar
atau yang diharapkan.

Mengurangi frustasi dan resiko.

Memberi model dan mendefenisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas


yang akan dilakukan.
Teknik pembelajaran scaffolding dapat dilakukan dengan format: (1) pemberian model
perilaku yang diharapkan, (2) pemberian penjelasan, (3) mengundang siswa berpartisipasi,
(4) menjelaskan dan mengklarifikasi pemahaman siswa, dan (5) mengundang siswa untuk
mengemukakan pendapat.

Secara operasional, strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan


berikut.

Asesmen kemampuan dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukan


Zone of Proximal Development (ZPD).

Jabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga


dapat membantu siswa melihat zona yang akan di-scaffold.

Sajikan tugas belajar secara berjenjang sesuatu taraf perkembangan siswa. Ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringatan,
dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan, dan
pemberian contoh (modeling).

Dorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.

Berikan dukungan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata
(reminders), dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat memancing siswa
bergerak ke arah kemandirian belajar dan pengarahan diri.

Dalam mengimplementasikan strategi-strategi pembelajaran yang disarankan, guru harus


selalu mengingat bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya senantiasa diarahkan
untuk pencapaian dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak instruksional
bermuara pada kecerdasan intelektual (IQ), sedangkan dampak pengiring bermuara pada
kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Untuk keperluan itu, diharapkan
guru dapat memilih dan merancang serta mengembangkan media pembelajaran agar dapat
memudahkan pencapaian IQ, EQ, dan SQ tersebut.
3. Pembelajaran berbasis pengembangan model penyelasaian
masalah
http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2016/04/pembelajaran-pemecahan-masalah.html

2.1 Pengertian Problem Based Learning (PBL)

ProblemBased Learning (PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah


metode pengajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para
peserta didik belajar berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, dan memperoleh
pengetahuan (Duch, 1995). Finkle dan Torp (1995) menyatakan bahwa PBM merupakan
pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara simultan strategi
pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para
peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak terstruktur
dengan baik. Dua definisi di atas mengandung arti bahwa PBL atau PBM merupakan setiap
suasana pembelajaran yang diarahkan oleh suatu permasalahan sehari-hari.PBL adalah metode
belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru (Suradijono, 2004).

Berdasarkan pendapat pakar-pakar tersebut maka dapat disimpulkan bahwa PROBLEM


BASED LEARNING (PBL) merupakan metode pembelajaran yang mendorong siswa untuk
mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-
masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa
sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis
dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber
pembelajaran.

Sehingga dapat diartikan bahwa PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal
pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata lalu dari masalah ini siswa
dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah
mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk
pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan
poin utama dalam penerapanPBL.
Pembelajaran berbasis masalah(PBL) bermaksud untuk memberikan ruang gerak berpikir
yang bebas kepada siswa untuk mencari konsep dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan
materi yang disampaikan oleh guru. Karena pada dasarnya ilmu Matematika bertujuan agar
siswa memahami konsep-konsep Matematika dengan kehidupan sehari-hari. Memiliki
ketrampilan tentang alam sekitar untuk mengembangkan pengetahuan tentang proses alam
sekitar,mampu menerapkan berbagi konsep matematika untuk menjelaskan gejala alam dan
mampu menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah yang ditemukan pada
kehidupan sehari-hari.

Masalah adalah suatu situasi atau kondisi (dapat berupa issu/pertanyaan/soal) yang
disadari dan memerlukan suatu tindakan penyelesaian, serta tidak segera tersedia suatu cara
untuk mengatasi situasi itu. Pengertian tidak segera dalam hal ini adalah bahwa pada saat situasi
tersebut muncul, diperlukan suatu usaha untuk mendapatkan cara yang dapat digunakan
semestinya.

Bell (1981:310) memberikan defenisi masalah sebagai: situasi yang dapat digolongkan
sebagai masalah bagi seseorang adalah: bahwa keadaan ini disadari, ada kemauan dan merasa
perlu melakukan tindakan untuk mengatasinya dan melakukannya, serta tidak segera dapat
ditemukan cara mengatasi situasi tersebut.

Di dalam matematika, suatu pertanyaan atau soal akan merupakan suatu masalah apabila
tidak terdapat aturan/hukum tertentu yang segera dapat digunakan untuk menjawab atau
menyelesaikannya (Hudojo, 1988). Hal ini berarti bahwa suatu soal matematika akan menjadi
masalah apabila tidak segera ditemukan petunjuk pemecahan masalah berdasarkan data yang
terdapat dalam soal.

Sebuah pertanyaan yang merupakan masalah bagi seseorang apabila masalah tersebut
bersifat: 1. Relatif, tergantung situasi dan kondisi seseorang yang menghadapinya, 2. Tidak
dapat diselesaikan secara langsung dengan prosedur rutin tetapi masih memungkinkan orang
tersebut untuk menyelesaikannya melalui seleksi data informasi dan organisasi konsep yang
dimilikinya, 3. Dapat dimengerti, artinya suatu pertanyaan pada bidang tertentu akan merupakan
masalah hanya bagi mereka yang mempelajari atau berkecimpung pada bidang tersebut (Cahya,
2006: 201).
Pemecahan masalah adalah suatu proses yang mempunyai banyak langkah yang harus
ditempuh oleh seseorang dengan menggunakan pola berfikir, mengorganisasikan pembuktian
yang logik dalam mengatasi masalah.

Ciri-ciri utama Problem Based Learning adalah meliputi:

1. Pemberian pertanyaan atau masalah.

2. Siswa secara individual maupun kelompok dihadapkan pada masalah untukdicari


pemecahannya.

3. Masalah berhubungan dengan dunia siswa. Masalah yang diberikan kepada siswa hendaknya
berkaitan erat dengankehidupan siswa sehari-hari sehingga masalah tersebut tidak asing
bagisiswa, karena hal ini akan memotivasi siswa untuk mencoba mencaripemecahannya.

4. Memberikan siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkanpembelajarannya


sendiri.

5. Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran.

6. Menuntut siswa untuk menampilkan hasil dari setiap penyelesaian masalahyang ditemukan.

 Kelebihan Model Pembelajaran Problem Based Learning

Wee dan Kek dalam Amir (2010:32) mengemukakan beberapa keunggulanmodel pembelajaran
Problem Based Learning, sebagai berikut:

1. Punya keaslian seperti di dunia kerja.

2. Dibangun dengan memperhitungkan pengetahuan sebelumnya. Masalahyang dirancang, dapat


membangun kembali pemahaman pebelajar ataspengetahuan yang telah didapat sebelumnya.
Jadi, sementara pengetahuanpengetahuanbaru didapat, ia bisa melihat kaitannya dengan bahan
yangtelah ditemukan dan dipahaminya sebelumnya.
3. Membangun pemikiran yang metakognitif dan konstruktif. Metakognitifartinya mencoba
berefleksi seperti apa pemikiran kita atas satu hal. Pebelajar menjalankan proses Problem Based
Learning sembari mengujipemikirannya, mempertanyakannya, mengkritis gagasannya
sendiri,sekaligus mengeksplor hal yang baru.

4. Meningkatkan minat dan motivasi dalam pembelajaran. Dengan rancanganmasalah yang


menarik dan menantang, pebelajar akan tergugah untukbelajar. Bila relevansinya tinggi dengan
saat nanti praktik, biasanya pebelajar akan terangsang rasa ingin tahunya dan bertekad
untukmenyelesaikan masalahnya. Diharapkan, pebelajar yang tadinya tergolongpasif bisa tertarik
untuk aktif.

 Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based Learning

Disamping kelebihan, Problem Based Learning juga memilikikelemahan di antaranya:

1. Ketika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaanbahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akanmerasa enggan untuk mencoba.

2. Keberhasilan model pembelajaran ini membutuhkan cukup waktu untukpersiapan.

3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalahyang sedang


dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang merekaingin pelajari.

2.2 Langkah–langkah Dalam Proses Pembelajaran PBL

Tabel sintaks untuk Pembelajaran Berbasis Masalah

Tahap Kegiatan Tingkah Laku Guru


1 Mengorientasikan siswa Guru menginformasikan
kepada masalah tujuan-tujuan
pembelajaran,
mendeskripsikan
kebutuhan-kebutuhan
logistik penting,
memotivasi siswa agar
terlibat dalam kegiatan
pemecahan masalah yang
mereka pilih sendiri.
2 Mengorganisasikan Guru membantu siswa
siswa untuk belajar menentukan dan mengatur
tugas-tugas belajar yang
berhubungan dengan
masalah itu.
3 Membantu penyelidikan Guru mendorong siswa
mandiri maupun untuk mengumpulkan
kelompok informasi yang sesuai,
melaksanakan
eksperimen, mencari
penjelasan dan solusi.
4 Mengembangkan dan Guru membantu siswa
menyajikan hasil karya dalam merencanakan dan
serta memamerkannya menyiapkan hasil karya
yang sesuai seperti
laporan, rekaman video,
dan model serta
membantu mereka berbagi
karya mereka.
5 Menganalisis dan Guru membantu siswa
mengevaluasi proses untuk melakukan refleksi
pemecahan masalah atas penyelidikan mereka
dan proses-proses yang
mereka gunakan

Menurut Polya (Syaban:2009), ada empat langkah dalam menyelesaikanmasalah yaitu:


 Memahami Masalah
Pada kegiatan ini yang dilakukan adalah merumuskan: apa yang diketahui,apa yang ditanyakan,
apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yangharus dipenuhi, menyatakan kembali masalah
asli dalam bentuk yang lebihoperasional (dapat dipecahkan).
 Merencanakan pemecahannya
Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini adalah mencoba mencari ataumengingat masalah yang
pernah diselesaikan yang memiliki kemiripandengan sifat yang akan dipecahkan, mencari pola
atau aturan, menyusunprosedur penyelesaian.
 Melaksanakan rencana
Kegiatan pada langkah ini adalah menjalankan prosedur yang telah dibuatpada langkah
sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian
 Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian
Kegiatan pada langkah ini adalah menganalis dan mengevaluasi apakahprosedur yang diterapkan
dan hasil yang diperoleh benar, apakah adaprosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur
yang dibuat dapatdigunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah prosedur
dapatdibuat generalisasinya.

2.3 Implementasi Model Pembelajaran Problem Based Learning DalamPembelajaran


Matematika
Pelaksanaan model pembelajaran Problem Based Learning meliputikegiatan, yaitu:
Tahap – 1: Mengorientasi siswa pada masalah
Pada kegiatan ini guru memulai pelajaran dengan memberikan salampembuka,
mengingatkan siswa tentang materi pelajaran yang lalu, memotivasisiswa, menyampaikan tujuan
pembelajaran dan menjelaskan model pembelajaranyang akan dijalani. Pada kegiatan ini guru
mengajukan permasalahan yangberkaitan dengan kehidupan sehari–hari sesuai dengan materi
yang diajarkan misalkan materi tentang persamaan kuadrat, melalui pemberian Lembar Kegiatan
Siswa.Selain itu gurujuga meminta siswa untuk mempelajari masalah tersebut dan
menyelesaikannyasecara berkelompok.
Contoh permasalahan:
 Umur Nisa 4 tahun lebih tua dari Maulana. Jumlah kuadrat umur mereka adalah136.
a. Bagaimanakah bentuk persamaan yang terjadi?
b. Tentukanlah berapa umur mereka masing-masing!

Tahap -2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar


Dalam tahap ini, pertama guru meminta siswa untuk berkelompok sesuaidengan
kelompoknya masing-masing.Pembagian kelompok dapat dilakukanberdasarkan kesepakatan
bersama antar siswa dan guru.Membimbing siswa untukaktif dalam pembelajaran,
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungandengan masalah tersebut.

Tahap -3: Membantu siswa memecahkan masalah


Pada tahap ini, siswa melakukan penyelidikan/pemecahan masalah secarabebas dalam
kelompoknya. Guru bertugas mendorong siswa mengumpulkan datadan melaksanakan
eksperimen aktual hingga mereka benar-benar mengertidimensi situasi permasalahannya.
Tujuannya adalah agar siswa mampumengumpulkan informasi yang cukup yang diperlukan
untuk mengembangkandan menyusun ide-ide mereka sendiri.Untuk itu guru harus lebih banyak
tahutentang masalah yang diajukan agar mampu membimbing siswa dan memecahkanmasalah.
 Langkah -1: Memahami Masalah
Mengarahkan siswa mengamati soal dan mengerti apa yang diminta dalamsoal. Siswa
berdiskusi dengan pasangannya bagaimana cara menyelesaikanpermasalahan yaitu dengan cara:
 Menuliskan apa yang diketahui dalam soal.
 Menuliskan apa yang ditanya dalam soal.
Contoh:
 Diketahui: Umur Nisa 4 tahun lebih tua dari umur Maulana
 Jumlah kuadrat umur mereka = 136
 Ditanya:
a. Bentuk persamaan
b. Umur Nisa dan Maulana

 Langkah -2: Merencanakan penyelesaiannya


Strategi yang digunakan menggunakan kalimat terbuka
 Setiap kelompok mengilustrasikan masalah yang ada pada contoh tersebut.
 Siswa menentukan variabel yang dapat digunakan untuk menyelesaikanmasalah ke model
matematika.
 Kemudian membuat masalah ke dalam model matematika.
Misalkan:
umur Maulana = x dan umur Nisa = y
Sehingga model matematikanya y = 4 + x

 Langkah -3: melaksanakan masalah sesuai rencana


 Mengarahkan siswa dalam menetapkan konsep yang telah dipelajari untuk menyelesaikan masalah
berdasarkan model matematika.
 Melakukan penyelesaian masalah.
Misalnya:
Jumlah kuadrat = y2 + x2 = 136
(4 + x)2 + x² = 136
16 + 8x + x2 + x2 = 136
2x2 + 8x – 120 = 0
x2 + 4x – 60 = 0
Bentuk persamaan yang terjadi adalah x2 + 4x – 60 = 0
Untuk mengetahui umur Maulana dan Nisa, terlebih dahulu diselesaikanpersamaan x2 + 4x – 60
= 0, dengan cara memfaktorkan:
x2 + 4x – 60 = 0
(x – 6)(x + 10) = 0
x– 6 = 0 atau x + 10 = 0
x = 6 atau x = -10 (Tidak Memenuhi)
sehingga diperoleh umur :
Maulana = x = 6 tahun
Nisa = y = 4 + x
= 4 + 6 = 10 tahun

 Langkah -4: melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yangdikerjakan


Dengan melihat kembali dari langkah 1 sampai 3, maka pemecahan masalahdisimpulkan guru
apakah semua langkahnya sudah benar.
Memasukkan nilai x = 6 dan nilai y = 10 ke persamaan
y2 + x2 = 136
10² + 6² = 136
100 + 36 = 136
136 = 136 (benar)
Sehingga dapat disimpulkan semua langkah dan jawabannya sudah benar.

Tahap-4: Mengembangkan dan menyajikan hasil pemecahan masalah


Pada tahap ini guru memilih secara acak kelompok yang mendapat tugasuntuk
mempresentasikan hasil diskusinya, serta memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk
menanggapi dan membantu siswa mengalami kesulitan.Kegiatan ini berguna untuk mengetahui
hasil sementara pemahaman danpenyusunan siswa terhadap materi yang disajikan.

Tahap -5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah


Pada tahap ini guru membantu siswa menganalisis dan mengevaluasiproses pemecahan
masalah yang telah mereka kerjakan. Sementara itu siswamenyusun kembali hasil pemikiran dan
kegiatan yang dilampaui pada tahappenyelesaian masalah.

2.4 Strategi Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika


Pemecahan masalah adalah petunjuk untuk melakukan suatu tindakan yang berfungsi
untuk membantu seseorang dalam menyelesaikan suatu permasalahan (Made Wena, 2011:60).
Berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah, Polya (dalam Sudarmin Usman, 2007:343)
mendefinisikan Pemecahan Masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan,
mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai.
Suatu strategi yang dijadikan dasar untuk proses pemecahan masalah tersebut adalah model
empat tahap yang di usulkan oleh George Polya. Secara operasional tahap-tahap pemecahan
masalah tersebut yaitu:
a. Memahami masalah
b. Membuat rencana penyelesaian
c. Melaksanakan rencana penyelesaian
d. Memeriksa kembali, mengecek hasilnya (Kremes dkk dalam Made Wena, 2011:60)
Menurut johnson dan Rising (dalam Sudarmin Usman, 2007:345 ) terdapat beberapa alasan
sehingga pemecahan masalah menjadi suatu kegiatan belajar yang paling signifikan dalam setiap
pembelajaran matematika. Pemecahan masalah adalah suatu proses untuk belajar suatu konsep
baru, pemecahan masalah adalah suatu cara yang paling tepat untuk memprakekkan keterampilan
komputasional, melaui pemecahan masalah belajar mentransfer konsep dan keterampilan yang
dimiliki kesituasi baru. Pemecahan masalah dapat meransang rasa keingintahuan intelektual, dan
melalui pemecahan masalah di peroleh pengetahuan baru.
Strategi pemecahan masalah dapat diterapkan manakala:
1. Guru mengharapkan agar siswa tidak hanya sekedar dapat mengingat materi pelajaran, tetapi
menguasai dan memahami secara penuh.
2. Guru bermaksud untuk mengembangkan keterampilan berfikir rasional siswa.
3. Guru menginginkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah serta membuat tantangan
intelektual siswa.
4. Guru ingin mendorong siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajarnya.
5. Guru ingin agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan kenyataan dalam
kehidupannya.
Kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam strategi pemecahan masalah:
1. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik.
2. Bahan yang dipilih adalah bahan yang familiar dengan siswa, sehingga siswa dapat mengikuti
dengan baik.
3. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak,
sehingga terasa bermanfaat.
4. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus
dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum,
5. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu
mempelajarinya.
Menurut Reys (dalam Nyimas Aisyah, dkk, 2007:11) disebutkan beberapa macam strategi
pemecahan masalah yaitu:
a. Beraksi (Act It Out)
Strategi ini menuntut untuk melihat apa yang ada dalam masalah dan membuat hubungan antar
komponen dalam masalah menjadi jelas melalui serangkaian saksi fisik atau manipulasi objek.
Penggunaan manipulasi objek agar hubungan antar komponen dalam permasalahan menjadi
jelas.
b. Membuat gambar atau diagram
Strategi ini digunakan untuk menyederhanakan masalah dan memperjelas hubungan yang ada.
Untuk membuat gambar atau diagram ini, tidak perlu membuatnya detail tetapi cukup yang
berhubungan dengan permasalahan yang ada.
c. Mencari pola
Pada prinsipnya, strategi mencari pola ini sudah dikenal sejak di Sekolah Dasar.Untuk
memudahkan memahami permasalahan, siswa sering kali diminta untuk membuat tabel dan
kemudian menggunakannya untuk menemukan pola yang relevan dengan permasalahan yang
ada.
d. Membuat table
Strategi ini membantu mempermudah siswa untuk melihat pola dan memperjelas informasi yang
hilang. Dengan kata lain strategi ini sangat membantu dalam mengklasifikasikan dan menyusun
informasi atau data dalam jumlah besar.
e. Menghitung semua kemungkinan secara sistematis
Strategi ini sering digunakan bersama-sama dengan strategi mencari pola dan membuat tabel,
karena kadang kala tidak mungkin untuk mengidentifikasi seluruh kemungkinan himpunan
penyelesaian.Dalam kondisi demikian, dapat menyederhakan dengan mengkategorikan semua
kemungkinan kedalam beberapa bagian.Namun, jika memungkinkan kadang-kadang perlu
mengecek atau menghitung semua kemungkinan jawaban.
f. Menebak dan menguji
Strategi menebak yang terdidik ini didasarkan pada aspek-aspek yang relevan dengan
permasalahan yang ada, ditambah pengetahuan dari pengalaman sebelumnya.Hasil tebakan tentu
saja harus diuji kebenaranya serta diikuti oleh sejumlah alasan yang logis.
g. Bekerja mundur
Strategi ini sangat cocok untuk menjawab permasalahan yang menyajikan kondisi atau hasil
akhir dan menayakan sesuatu yang terjadi sebelumnya.
h. Mengidentifikasi informasi yang didinginkan, diberikan, dan diperlukan.
Strategi ini membantu menyortir informasi dan memberi pengalaman dalam merumuskan
pengalaman. Dalam hal ini perlu menentukan permasalahan yang akan dijawab, menyortir
informasi-informasi penting untuk menjawabnya, dan memilih langkah-langkah penyelesaian
yang sesuai dengan soal.
i. Menggunakan kalimat terbuka
Strategi ini dapat melihat hubungan antara informasi yang diberikan dan yang dicari.Untuk
menyederhanakan permasalahan, dapat menggunkan variabel-veriabel sebagai pengganti kalimat
dalam soal.
j. Menyelesaikan masalah yang lebih sederhana atau serupa
Suatu masalah yang rumit dapat diselesaikan dengan cara menyelesaikan masalah yang serupa
tetapi lebih sederhana.
k. Mengubah pandangan
Strategi ini dapat digunakan setelah beberapa strategi lain telah dicoba tanpa ada hasilnya.
Jika diperhatikan secara seksama antara strategi satu dengan yang lainya adalah selalu
berkaitan dan berhubungan dalam menyelesaikan pemecahan masalah matematika.Bahkan dalam
satu soal pemecahan masalah matematika dapa menggunakan lebih dari satu strategi.Untuk
memilih strategi manakah yang paling tepat digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan,
diperlukan suatu keterampilan dan langkah-langkah secara rinci.

4. Pembelajaran berbasis proses penemuan kembali prinsip matematika secara terbimbing


https://windiwati.wordpress.com/pembelajaran-matematika-dengan-model-penemuan-
terbimbing/

Pembelajaran Matematika dengan Model Penemuan Terbimbing

Model penemuan merupakan model belajar yang dipopulerkan oleh Bruner. Model ini
menghendaki keterlibatan aktif siswa dalam memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip,
sedangkan guru mendorong siswa agar memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang
memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.

Menurut Karso dkk belajar penemuan bukan merupakan cara belajar baru. Cara ini sudah
digunakan puluhan abad yang lalu dan Socrates dianggap sebagai pemula dalam penggunaan
metode ini. Bruner mengatakan bahwa penemuan adalah suatu proses, suatu cara, atau
pendekatan pemecahan masalah, bukan hasil kerja.
Prawironegoro mendefinisikan metode penemuan sebagai prosedur pembelajaran yang
mempunyai tekanan siswa berlatih cakap mencapai tujuan dan siswa aktif mengadakan
percobaan atau penemuan sendiri sebelum membuat kesimpulan dari yang dipelajari. Dengan
demikian, materi yang akan dipelajari siswa tidak disajikan dalam bentuk final. Siswa harus
melakukan aktivitas mental yang mungkin melibatkan aktivitas fisik dalam upaya memperoleh
pemahaman pada materi tertentu. Selama proses penemuan, siswa memanipulasi, membuat
struktur, dan mentransfer informasi sehingga menemukan informasi baru yang berupa
konjekture, hipotesis, atau kebenaran matematika.

Hudojo berpendapat bahwa menemukan berarti menghasilkan sesuatu untuk pertama kali dengan
menggunakan imajinasi, pikiran, atau eksperimen. Penemuan dalam belajar matematika berarti
kegiatan menghasilkan suatu ide matematika, suatu aturan, atau suatu cara penyelesaian masalah
untuk pertama kali. Ide matematika yang pertama kali ditemukan siswa belum tentu ide yang
benar-benar baru, tetapi setidaknya baru bagi siswa. Ide yang ditemukan sendiri akan lebih
dipahami dan diingat oleh si penemu. Karena itu, penemuan digunakan sebagai salah satu
metode dalam belajar matematika. Lebih lanjut, Hudojo menyebut metode penemuan sebagai
suatu cara penyampaian topik matematika yang memungkinkan siswa menemukan sendiri pola-
pola atau struktur-struktur matematika melalui serentetan pengalaman-pengalaman belajar yang
lampau.

Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif
oleh manusia, sehingga belajar dengan penemuan akan memberikan hasil yang paling baik.
Lebih lanjut Bruner mengatakan bahwa belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar
penemuan. Berbeda dengan Bruner, Ausubel pendapat bahwa belajar bermakna tidak hanya
terjadi melalui penemuan. Belajar akan bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa
disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat mengaitkan
informasi baru dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel menambahkan bahwa metode
penemuan aplikasinya terbatas dan membuang-buang waktu, karena itu perlu ada penemuan
terbimbing.

Bell (1981:241) mengatakan bahwa belajar penemuan dapat terjadi di dalam situasi yang sangat
teratur, baik siswa maupun guru mengikuti langkah-langkah yang sistematis. Guru membimbing
dan mengarahkan siswa selangkah demi selangkah dengan mengikuti bentuk tanya jawab yang
telah diatur secara sistematis untuk membuat penemuan. Langkah-langkah kegiatan atau
petunjuk dapat dituangkan dalam lembar kerja yang dibuat guru. Selain itu, diperlukan pula
campur tangan guru untuk membangkitkan perhatian siswa pada tugas yang sedang dihadapi dan
mengurangi pemborosan waktu. Ruseffendi (1988:18) menekankan adanya bimbingan guru
dalam pembelajaran penemuan. Siswa-siswa bukanlah ilmuwan dan sesuatu yang dihadapi
benar-benar merupakan sesuatu yang baru bagi siswa, sehingga petunjuk ataupun instruksi guru
sangatlah diperlukan siswa.

Bell menyebut pembelajaran seperti di atas sebagai pembelajaran penemuan terbimbing yaitu
pembelajaran yang agak berpusat pada guru karena siswa tidak merumuskan sendiri
pertanyaannya. Guru menyiapkan lembar kerja yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan
dijawab siswa dan penentuan urutan pertanyaan benar-benar diperhatikan. Amien sependapat
dengan Bell bahwa dalam “guided discovery” guru memberikan bimbingan atau petunjuk yang
cukup luas kepada siswa selama kegiatan penemuan. Sebagian besar perencanaan dibuat guru,
siswa tidak merumuskan problem, petunjuk yang cukup luas tentang cara menyusun dan
mencatat penemuan diberikan guru.

Gagne dan Brown menyatakan bahwa penemuan terbimbing merupakan metode terbaik untuk
menghasilkan kaidah-kaidah tertentu dalam belajar. Walaupun Ausubel tidak sepenuhnya
mendukung metode penemuan terbimbing, tetapi ia sepakat bahwa penemuan cukup penting
untuk meningkatkan pembelajaran pada anak-anak kecil. Gagne dan Ausubel juga sepakat bahwa
metode ini lebih penting bagi anak-anak kecil daripada anak-anak yang lebih tua. Oleh karena
itu, pembelajaran penemuan terbimbing sesuai dan dapat dilakukan di sekolah.

Sehubungan dengan model penemuan terbimbing, Hudojo (1984:5) menegaskan bahwa siswa
memerlukan bimbingan setapak demi setapak untuk mengembangkan kemampuan memahami
pengetahuan baru. Bimbingan dapat dilakukan melalui instruksi lisan atau tulisan untuk
memperlancar belajar suatu konsep atau hubungan-hubungan matematika (Hudojo,1983:25).
Dengan demikian, pembelajaran penemuan terbimbing melibatkan aktivitas guru dan siswa
secara maksimal. Siswa aktif melakukan penemuan dan guru aktif memberi bimbingan secara
bertahap dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan siswa melakukan proses penemuan.
Hal ini ditegaskan Marks (1988:13) yang mengatakan bahwa pembelajaran penemuan mencakup
penciptaan suasana lingkungan atau cara yang memungkinkan siswa melakukan penyelidikan
dan menemukan sesuatu yang baru bagi mereka.

Dalam geometri, model penemuan terbimbing dapat digunakan dalam pembelajaran materi
Teorema Pythagoras (“kuadrat hipotenusa segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat sisi-
sisinya”). Seperti diketahui, dalam sejarah pengembangan matematika, Pythagoras menemukan
teori ini melalui beberapa kegiatan pengamatan dan pengukuran (Bell, 1981:244). Langkah-
langkah Pythagoras dalam menemukan teori ini dapat diadaptasi sesuai dengan perkembangan
siswa, sehingga dapat digunakan sebagai metode dalam pembelajaran di sekolah. Siswa diajak
melakukan serangkaian kegiatan sehingga ia merasa benar-benar sebagai penemu teori tersebut.

Aplikasi metode penemuan terbimbing di sekolah dapat dilihat pada pembelajaran “penemuan
jumlah ketiga sudut sebuah segitiga dengan cara menggunting ketiga daerah sudutnya dan
menyusunnya kembali” dan “pengertian diagonal dan penentuan banyak diagonal suatu poligon
dengan menggunakan papan berpaku dan karet gelang” (Marks, 1988: 15-122). Pada kedua
pembelajaran tersebut, siswa melakukan pengamatan, mengorganisasikan hasil pengamatan,
membuat dugaan, dan mengujinya. Dugaan atau hasil temuan siswa dapat berupa aturan-aturan,
pola-pola, hubungan-hubungan, atau cara menyelesaikan suatu hal dalam geometri. Jadi,
penerapan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran geometri di sekolah dasar tidak
mengharuskan siswa menemukan suatu konsep atau prinsip geometri yang standar (seperti yang
ditemukan oleh seorang ahli) tetapi kalau di sekolah menengah dituntut harus menemukan
konsepnya. Pada pembelajaran penemuan, siswa sebagai penemu sesuatu yang belum
diketahuinya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran


matematika, khususnya geometri, adalah suatu model pembelajaran yang menghendaki siswa
menemukan ide-ide dalam geometri — misalnya: aturan, pola, hubungan, atau cara
menyelesaikan suatu masalah– melalui keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran yang
didasarkan pada serentetan pengalaman-pengalaman belajar yang lampau. Yang dimaksud
keterlibatan secara aktif dapat berupa kegiatan mengadakan percobaan/penemuan sebelum
membuat kesimpulan, atau memanipulasi, membuat struktur, dan mentransfer informasi
sehingga menemukan informasi baru yang berupa kebenaran matematika. Selama proses
penemuan, siswa mendapat bimbingan guru baik berupa petunjuk secara lisan maupun petunjuk
tertulis yang dituangkan dalam bentuk lembar kerja siswa. Guru menciptakan lingkungan atau
cara yang memungkinkan siswa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu. Pemberian
bimbingan dimaksudkan untuk membangkitkan perhatian pada tugas yang sedang dihadapi,
mengurangi pemborosan waktu, dan menghindari kegagalan proses penemuan.

Langkah-langkah Pembelajaran Model Penemuan Terbimbing

Untuk menghindari kegagalan dan memaksimalkan kegiatan siswa dan guru dalam proses
penemuan, maka pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing harus direncanakan.
Pembuatan perencanaan harus memperhatikan: (a) pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa
dan mendukung proses penemuan; (b) pengetahuan tentang aktivitas yang mungkin dilakukan
siswa; (c) peran guru dalam kegiatan penemuan; (d) sumber atau sarana belajar yang diperlukan,
misalnya lembar kerja: dan (e) hasil akhir yang harus ditemukan siswa.

Suchman (Kartawisastra dkk, 1980:3) menyebutkan sembilan langkah “Guided Discovery


Lesson” (pembelajaran penemuan terbimbing). Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai
berikut.

a. Adanya masalah/problem yang akan dipecahkan yang dinyatakan dalam berbagai


“pernyataan” atau “pertanyaan”.

b. Jelas disebutkan tingkatan/kelas siswa yang akan mengikuti pembelajaran.

c. Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa ditulis dengan jelas.

d. Perlu disediakan alat/bahan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan
penemuan.

e. Diskusi pengarahan dilakukan dalam bentuk tanya jawab antara siswa dan guru sebelum
para siswa melakukan kegiatan penemuan.

f. Kegiatan pembelajaran penemuan dapat berupa penyelidikan/percobaan untuk menemukan


konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.

g. Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya “mental operation” siswa
yang diharapkan dalam kegiatan.
h. Pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pengembangan kegiatan penyelidikan siswa
perlu diberikan.

i. Catatan guru meliputi penjelasan tentang bagian-bagian yang sulit dari pelajaran dan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilannya, terutama bila kegiatan penyelidikan
mengalami kegagalan atau tidak berjalan seperti yang direncanakan.

Sedangkan Menurut Rachmadi (2004: 5-6) agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini
berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru matematika adalah
sebagai berikut :

1. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya,
perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang
ditempuh siswa tidak salah.

2. Dari data yang diberikan oleh guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir dan
menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang
diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang
hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan atau LKS.

3. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.

4. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat oleh siswa tersebut di atas diperiksa oleh
guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa sehingga akan
menuju arah yang hendak dicapai.

5. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut maka verbalisasi
konjektur sebaiknya diserahkan juga pada siswa untuk menyusunnya. Di samping itu perlu
diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.

6. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau
soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar atau tidak.

Keuntungan dan Kekurangan Model Penemuan Terbimbing

Pemilihan model penemuan terbimbing sebagai salah satu metode pembelajaran didasarkan pada
beberapa keuntungan yang dimilikinya. Hirdjan (dalam Paeru, 1987:36) mengemukakan
keuntungan metode penemuan adalah: “agar siswa kelak di kemudian hari tabah menghadapi
persoalan baru di dalam masyarakat dan mampu memecahkan atau menemukan sendiri
penyelesaiannya”. Biggs (dalam Orton, 1993:89 ) mengatakan bahwa metode penemuan
merupakan cara terbaik memberi kesenangan nyata anak kepada matematika. Metode ini satu-
satunya cara memberi kesempatan siswa untuk berpikir sendiri sehingga mereka menyadari
potensi dirinya.
Bruner (dalam Amin, 1987:133-134) sebagai pencetus metode penemuan mengemukakan
beberapa keuntungan pembelajaran dengan metode penemuan.

Keuntungan yang dimaksud dirinci seperti berikut ini.

1) Membantu siswa memahami konsep dasar dan ide-ide secara lebih baik.

2) Membantu dalam menggunakan daya ingat dan transfer pada situasi-situasi proses belajar
yang baru.

3) Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.

4) Proses belajar penemuan dibuat “open-ended” sehingga mendorong siswa berpikir inisiatif
dan merumuskan hipotesisnya sendiri.

5) Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik.

6) Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang.

Menurut Hudojo (1984:7), penerapan metode penemuan dalam pembelajaran mempunyai


beberapa keuntungan seperti dipaparkan berikut ini.

1) Siswa ikut berpartisipasi secara aktif di dalam kegiatan belajarnya sebab ia harus berpikir,
bukan sekedar mendengarkan informasi atau menelaah seonggok ilmu pengetahuan yang telah
siap.

2) Siswa benar-benar memahami suatu konsep atau rumus sebab mengalami sendiri proses
mendapatkan rumus itu.

3) Metode ini memungkinkan pengembangan sifat ilmiah dan menimbulkan semangat ingin
tahu para siswa.

4) Dengan metode penemuan terbimbing, guru tetap mempunyai kontak pribadi dengan
siswa.

5) Terbukti bahwa siswa yang memperoleh pengetahuan melalui metode penemuan lebih
mampu menstransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.

6) Metode ini membatasi guru untuk menambah materi baru bila siswa masih belum
memahami materi yang sedang dipelajari.

Prawironegoro (1980:5-6) menambahkan beberapa keuntungan pembelajaran dengan metode


penemuan seperti dirinci berikut ini.

1) Memberikan pandangan ilmu yang lebih luas kepada siswa untuk menuju keberhasilan.
2) Melatih siswa lebih banyak belajar sendiri, jadi siswa melibatkan akunya dan memotivasi
diri sendiri untuk belajar.

3) Mengembangkan kepribadian siswa menuju akhir kebenaran ilmu.

4) Memberi kesempatan siswa yang pandai untuk bekerja sendiri dan menyelesaikan
pelajarannya lebih dahulu.

Beberapa keuntungan yang dikemukakan di atas menjadi pertimbangan positif dalam memilih
metode penemuan sebagai salah satu model pembelajaran matematika. Agar pembelajaran
dengan metode penemuan dapat mencapai hasil maksimal, maka perlu diwaspadai beberapa
kekurangan atau kelemahannya. Salah satu kekurangan metode ini adalah siswa yang tidak dapat
menyelesaikan tugasnya akan frustasi (Prawironegoro, 1980:6).

Hudojo (1984:7) merinci kekurangan metode penemuan seperti berikut ini.

1) Memerlukan banyak waktu dan belum dapat dipastikan apakah siswa akan tetap
bersemangat menemukan.

2) Tidak semua guru mempunyai semangat dan kemampuan mengajar dengan metode ini,
terutama guru yang pekerjaannya “sarat muatan”.

3) Tidak setiap siswa dapat diharapkan menjadi seorang “penemu”. Bimbingan yang tidak
sesuai dengan kesiapan intelektual siswa akan merusak struktur kognitifnya.

4) Pembelajaran menggunakan kelas kecil karena perhatian guru terhadap masing-masing


siswa sangat diperlukan.

Marks (1988:19) menambahkan dua kekurangan penggunaan metode penemuan sebagai berikut.

1) Tidak semua materi matematika dapat dikuasai dengan metode penemuan. Jika mungkin,
tidak tersedia waktu yang cukup untuk menggunakan metode penemuan secara eksklusif.

2) Kegiatan yang bersifat fisik kadang-kadang dapat menutupi ide matematika yang hendak
disampaikan. Bimbingan dan pengarahan yang kurang memadai membuat siswa hanya bermain-
main.

Dengan memperhatikan keuntungan metode penemuan yang lebih banyak daripada


kekurangannya, maka penggunaan metode penemuan terbimbing tetap dianggap sebagai cara
yang efektif dan efisien dalam pembelajaran matematika yang bertujuan untuk memecahkan
suatu masalah yang relevan dengan perkembangan kognitif anak. Apalagi pada kenyataannya
penggunaan metode ini hanya sulit pada permulaannya, tetapi selanjutnya dapat membantu siswa
belajar lebih cepat menemukan sendiri apa yang tidak diketahui (Hudojo, 1980:3).
M0del Pembelajaran Penemuan Terbimbing

http://ofiick.blogspot.com/2012/11/m0del-pembelajaran-penemuan-terbimbing.html

A. Pengertian Model Penemuan Terbimbing

Dalam buku “Konsep Strategi Pembelajaran” (karangan Dr. Nanang hanafiah,


M.M.Pd. dan Drs. Cucu Suhana, M.M.Pd. hal 77) Model pembelajaran penemuan terbimbing
(Discovery Learning) merupakan suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan peserta didik untuk mencari, meneliti dan menyelidiki secara
sistematis, kritis, dan logis sehingga mereka dapat menemukan ssendiri pengetahuan, sikap,
wawasan dan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan pada dirinya sendiri.
Menurut Sund dalam buku “Strategi Belajar mengajar” (karangan Dra. Roestiyah
N.K. hal 20) Model pembelajran penemuan terbimbing (Discovery learning) adalah proses
mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud
dengan proses mental antara lain ialah : mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-
golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebgainya.
Suatu konsep misalnya segitiga, persegi, persegi panjang, kubus, balok dan sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip antara lain ialah : air apabila dipanaskan akan
mendidih. Dalam teknik ini siswa dibiarkan untuk menemukan sendiri atau mengalami proses
mental itu sendiri, guru hanya sebagai fasilitator dan membimbing apabila diperlukan atau
apabila ada yang dipertanyakan.
Menurut Jerome Bruner (Cooney, Davis:1975,138), penemuan adalah suatu proses,
suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan
tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah
dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan
penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu
masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahannya
sendiri. Dalam kegiatan pembelajarannya siswa diarahkan untuk menemukan sesuatu,
merumuskan suatu hipotesa, atau menarik suatu kesimpulan sendiri. Kadang-kadang model
penemuan ini memerlukan waktu yang lebih lama pada kelas-kelas tertentu. Jelas bahwa model
penemuan ini kurang tepat untuk siswa sekolah dasar maupun lanjutan apabila tidak dengan
bimbingan guru, karena materi matematika yang ada dalam kurikulum tidak banyak yang dapat
dipelajari karena kekurangan waktu bahkan siswa cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan
dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri.
Dalam buku “Strategi pembelajaran Matematika Kontemporer” (yang disusun oleh
Drs. H. Erman suherman Ar, M.Pd. dkk. hal 212) Model pembelajaran penemuan terbimbing
(Discovery Learning) merupakan penemuan yang dilakukan oleh peserta didik itu sendiri sesuatu
hal yang baru padai dirinya sendiri walaupun sudah diketahui oleh orang banyak. Hal-hal yang
baru tersebut dapat berupa konsep, teorema, rumus, pola, aturan, dan sejenisnya, untuk dapat
menemukan mereka harus melakukan terkaan, terkaan, dugaan, coba-coba, dan usaha lainnya
dengan menggunakan pengetahuan siapnya melalui cara induksi, deduksi, observasi dan
ekstrapolasi.
Metode penemuan yang dipandu oleh guru ini pertama dikenalkan oleh Plato dalam
suatu dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metoda Socratic
(Cooney, Davis:1975, 136). Metode ini melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa dan guru
di mana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang diatur
oleh guru. Salah satu buku yang pertama menggunakan teknik penemuan terbimbing adalah
tentang aritmetika oleh Warren Colburn yang pelajaran pertamanya berjudul: Intellectual
Arithmetic upon the Inductive Method of Instruction, diterbitkan pada tahun 1821, yang isinya
menekankan penggunaan suatu urutan pertanyaan dalam mengembangkan konsep dan prinsip
matematika. Ini menirukan metode Socratic di mana Socrates dengan pertolongan pertanyaan
yang ia tanyakan dimungkinkan siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dialog di bawah ini menerangkan contoh strategi untuk membimbing siswa dalam
menyimpulkan bahwa a0= 1. Pertanyaan yang tepat dari seorang guru akan sangat membantu
siswa.
Contoh dialog antara guru dan siswa adalah sebagai berikut:
Guru : “Berapakah hasilnya apabila bilangan bukan nol dibagi dengan bilangan itu sendiri?”
Siswa : “Satu”
Guru : “Bagaimanakah hasilnya kalau am dibagi am , dengan a bukan 0?”
Siswa : “Satu”
Guru : “Jika kita gunakan sifat bilangan berpangkat untuk m
m
a
a
, apakah hasilnya?”
Siswa : “Akan didapat am-m = a0 “
Guru : “Bagus, sekarang apa yang dapat kita simpulkan untuk a0?”
Siswa : “a0 = 1.”
Interaksi dalam metode ini menekankan pada adanya interaksi dalam kegiatan belajar mengajar.
Interaksi tersebut dapat juga terjadi antara siswa dengan siswa (S – S), siswa dengan bahan ajar
(S –B), siswa dengan guru (S – G), siswa dengan bahan ajar dan siswa (S – B – S) dan siswa
dengan bahan ajar dan guru (S – B – G). Interaksi dapat pula dilakukan antara siswa baik dalam
kelompok-kelompok kecil maupun kelompok besar (kelas). Dalam melakukan aktivitas atau
penemuan dalam kelompok- kelompok kecil, siswa berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi
ini dapat berupa saling sharing atau siswa yang lemah bertanya dan dijelaskan oleh siswa yang
lebih pandai. Kondisi semacam ini selain akan berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap
materi matematika, juga akan dapat meningkatkan social skills siswa, sehingga interaksi
merupakan aspek penting dalam pembelajaran matematika. Menurut Burscheid dan Struve
(Voigt, 1996:23), belajar konsep-konsep teoritis di sekolah, tidak cukup hanya dengan
memfokuskan pada individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep, tetapi perlu adanya
social impuls di sekolah sehingga siswa dapat mengkonstruksikan konsep-konsep teoritis seperti
yang diinginkan. Interaksi dapat terjadi antar guru dengan siswa tertentu, dengan beberapa siswa,
atau serentak dengan semua siswa dalam kelas. Tujuannya untuk saling mempengaruhi berpikir
masing-masing, guru memancing berpikir siswa yaitu dengan pertanyaan-pertanyaan terfokus
sehingga dapat memungkinkan siswa untuk memahami dan mengkontruksikan konsep-konsep
tertentu, membangun aturan-aturan dan belajar menemukan sesuatu untuk memecahkan masalah.

Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu
secara induktif, deduktif atau keduanya.

1. Strategi Penemuan Induktif


Sebuah argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari
pernyataan/fakta yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari
argumentasi itu (Cooney dan Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif
tidak perlu mengikuti fakta yang Guru Bahan Ajar Siswa B Siswa A mendukungnya. Fakta
mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan dalil
untuk mendukung. Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan
prima dan masuk akal secara umum kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah
ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. Guru beresiko di dalam suatu argumentasi
induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai
oleh induksi harus berhati-hati karena hal seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan
atau mungkin terjadi. Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu
kesimpulan dari yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh
pokok.

Perhatikanlah strategi penemuan berikut ini :


Guru : sekarang kita akan “menguji” hubungan yang merupakan tantangan matematika.
Untuk memulai, mari kita mengikuti pernyataan berikut.
4 x 5 = ………. 6 x 7 = ……..
5 x 6 =……….. 5 x 4 =………
6 x 7 = ………. 3 x 8 = ………
8 x 3 = ………. 6 x 5 = ………
Perhatkanlah hasil yang kalian peroleh.?
Lala : “Bilangan-bilangan tersebut kurang dari 10.”
Guru : “Eee, bisa…”
Vivi : “Bilangan-bilangan tersebut termasuk bilangan genap dan bilangan ganjil.”
Guru : “Benar, ada yang lain.?”
Vivi : “Baik, hasil dari perkalian ini < 50.”
Guru : “Sangat bagus, bagaimana dengan yang lain.?”
Anis : “4 x 5 = 5 x 4 = 20
5 x 6 = 6 x 5 = 30
6 x 7 = 7 x 6 = 42
8 x 3 = 3 x 8 = 24”
Guru : “Sangat bagus,yang lain bagaimana.?”
Aldi : “Adanya sifat Komutatif.”
Guru : “Bisa, dari contoh ini Sari menemukan apa.?”
Sari : “Hasil dari perkalian ini paling sedikit 20.”
Guru : “Bagaiman dengan Dian?”
Dian : “30 termasuk dari hasil perkalian tersebut.”
Guru : “Bagaimana denagam Vian.?”
Vian :”Hasil terbesar dai perkalian ini adalah 42, yaitu pada perkalian 6 x 7 = 7 x 6 = 42
Guru : ”Bagaimana dengan Dude?”
Dude : “Hasil dari perkalian ini apabila dijumlahkan = 116.”
Guru : “Kalau Ita.?”
Dude : “Semua hasil dari perklian tersebut, bukan termasuk bilangan prima.”
Guru : “Bener tidak tu?”
Ida : “Kurang tahu”
Lala ; “ tidak tahu pak…”
Vivi : “Mungkin “
Anis : “ Salah “
Aldi : “ Salah Banget “
Guru : “Kok jawaban kalian bervariasi banget sih…?, Memangnya
kalian belum tahu apa itu bilangan prima…..?”
Ida dan kawan-kawan : “sudah lupa pak….”
Guru : “Bilangan prima itu adalah bilangan yang habis dibagi oleh bilangan itu sendiri dan
angka 1, kecuali angka 1.”
Anis dan kawan-kawan : “Ooooowwww…”
Guru : “Kalian sudah biasa menyimpulkan…??”
Anak-anak : “Sudah Pak….”
Ini statemen yang sangat terkenal yang disebut dugaan Goldbach. Tidak ada seorangpun yang
telah menemukan, meskipun matematikawan tidak mampu membuktikan itu. Untuk alasan ini
kita cenderung percaya bahwa statemen ini benar.

2. Strategi Penemuan Deduktif


Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan
diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam
matematika bersifat konsisten. Berarti dengan strategi penemuan deduktif , kepada siswa
dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan pengetahuan
matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu urutan
pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi
tujuan dari pembelajaran. Sebagai contoh dialog berikut sedang memecahkan masalah sistem
persamaan kuadrat dengan penemuan deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk
memandu siswa ke arah penarikan kesimpulan tertentu:
Guru : “Dengan aturan Cramer untuk memecahkan sistem persamaan ini :
x2 – 2x + 1 = 0
Apa yang kamu peroleh Agus ?”
Agus : “Akar-akarnya real atau nyata”
Guru : “Benar, dari mana kamu tahu.?”
Agus : “Cuman nebak aja pak..”
Guru : “Jawabanmu memang benar, v, kamu tidak tahu caranya…,
Dapatkah yang lain memberitahuku caranya?”
Budi : “Saya pak.”
Guru : “kamu pakai cara apa.?”
Budi : “Pemfaktoran..”
Guru : “Nah , ne yang benar,,, yang lain bagaimana.?
Sudah ketemu belum hasilnya…? (semua siswa terdiam)
Coba kamu Dita…?”
Dita : “Belum bisa pak...”
Guru : “Yang lain bagaimna.?, Tuti sudah..?”
Tuti : ”Belum juga pak, masih bingung.”
Guru : ”kalau kamu Andi, bagaimana..?”
Andi : “Bingung juga pak.”
Guru : “yang lain juga masih bingung ne…?”
Andi, Dita, Tuti dll : “Ya pak………”
Guru : “Semuanya perhatikan ke depan, bapak akan membahasnya
x2 – 2x + 1 = 0
(x – 1) V (x – 1) = 0
x1 = 1 V x2 = 1
jadi x1 dan x2 nya adalah 1.
Ada yang bisa menyimpulkan..?”
Agus : “saya pak”
Guru : “Apa kesimpulanmu….??”
Agus : “Kedua akarnya kembar dan nyata.”
Guru : “Nah, ne baru bener…”

Dari contoh-contoh dialog tersebut di atas metode ini tepat digunakan apabila : (Martinis
Yamin, 2004: 78) :
a. Siswa telah mengenal atau mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan pokok bahasan
yang akan diajarkan.
b. Yang akan diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan dan
pengambilan keputusan.
c. Guru mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan, terampil mengulang
pertanyaan dan sabar.
d. Waktu yang tersedia cukup panjang.

Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Namun


demikian, pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui
peristiwa nyata atau intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang
teramati, membuat daftar, sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang
diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif
dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika.
Dengan penjelasan di atas metode penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian
dikembangkan dalam suatu model pembelajaran yang sering disebut model pembelajaran dengan
penemuan terbimbing. Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu
atau kelompok.
Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran
matematika sesuai dengan karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika
diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum
berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing
tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Dengan model penemuan
terbimbing ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik
kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru
sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan ketrampilan
yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru.
Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar
karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan
belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir
kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Pemecahan
masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara
individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah
dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika,
karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan
menyelesaikan masalah.

B. Fungsi dari Model Pembelajaran penemuan Terbimbing (Disco-very Learning)


Adapun fungsi dari model pembelajaran penemuan terbimbing (Discovery Learning),
yaitu sebagai berikut :
1. Membangun komitmen (commitmen bulding) di kallangan peserta didik untuk belajar, yang
diwujudkan dengan keterlibatan, kesungguhan, dan loyalitas terhadap mencari dan menemukan
sesuatu dalam proses pembelajaran.
2. Membangun sikap aktif, kreatif, dan inovatif dalam proses pembelajaran dalam rangka mencapai
tujuan pengajaran.
3. Membangun sikap percaya diri (self confidence) dan terbuka (openness) terhadap hasil temuanya.

C Langkah–langkah dalam Model Penemuan Terbimbing


Agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, ada
beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut.
a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan
data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan
yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
b. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis
data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan oleh siswa
saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju,
melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
c. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diatas diperiksa oleh
guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan
menuju arah yang hendak dicapai.
e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi
konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunya. Di samping itu perlu
diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
f. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan
atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.

D. Kelunggulan dan Kelemahan Model Penemuan Terbimbing


Tentunya setiap Model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekuranan, begitu
pula dengan pembelajaran penemuan terbimbing, Adapun kelebihan dari model penemuan
terbimbing adalah sebagai berikut

1. Keunggulan Model Penemuan Terbimbing


a. Membantu peserta didik untuk mengembangkan, kesiapan, serta pengasaan keterampilan dalam
proses kognitif:
b. Peserta didik memperolah pengetahuan secara individual sehingga dapat dimengerti dan
mengndap dan sulit dihilangkan dalam benaknya.
c. Dapat membangkitkan motivasi dan gairah belajar peserta ddik untuk belajar lebih giat lagi.
d. Memberikan peluang untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemmpuan, bakat dan minat
masing-masing peserta didik.
e. Memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses menemukan sendiri
karena pembelajaran berpusat pada peserta didik dengan keterlibatan guru yang sangat terbatas.

2. Kelemahan Model Penemuan Terbimbing


a. siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental, siswa harus berani dan berkeinginan yang
kuat untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
b. Keadan kelas yang gemuk jumlah siswanya menyebabkan model ini akan sulit mencapai hasil
yang maksimal.
c. guru dan siswa yang sudah sangat terbiasa dengan PBM gaya lama maka model ini akan
mengecewakan.

MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY (PENEMUAN)


http://riensuciati99.blogspot.com/2013/04/model-pembelajaran-discovery-penemuan.html

A. Pengertian Model Pembelajaran Penemuan


Penemuan adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund ”discovery adalah proses
mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip”. Proses mental
tersebut ialah mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001:20).
Sedangkan menurut Jerome Bruner ”penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara
dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu”. Dengan
demikian di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk
menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang
tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan (Markaban, 2006:9).
Model penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru membimbing
siswa dimana ia diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpikir sendiri,
menganalisis sendiri sehingga dapat ”menemukan” prinsip umum berdasarkan bahan atau data
yang telah disediakan guru (PPPG, 2004:4)
.
Model penemuan terbimbing atau terpimpin adalah model pembelajaran penemuan yang
dalam pelaksanaanya dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk-petunjuk guru. Petunjuk
diberikan pada umumnya berbentuk pertanyaan membimbing (Ali, 2004:87).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model penemuan terbimbing adalah
model pembelajaran yang dimana siswa berpikir sendiri sehingga dapat ”menemukan” prinsip
umum yang diinginkan dengan bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaan
yang mengarahkan.
ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk
menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3)
kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.
B. Tujuan Pembelajaran Discovery Learning
Bell (1978) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni
sebagai berikut:
a. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran.
Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi siswa dalam pembelajaran meningkat ketika
penemuan digunakan.
b. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkrit
maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang
diberikan
c. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya
jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.
d. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif,
saling membagi informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide orang lain.
e. Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep
dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.
f. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih
mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.

C. Macam-macam (discovery)
Model penemuan atau pengajaran penemuan dibagi 3 jenis :
1. Penemuan Murni
Pada pembelajaran dengan penemuan murni pembelajaran terpusat pada siswa dan tidak
terpusat pada guru. Siswalah yang menentukan tujuan dan pengalaman belajar yang diinginkan,
guru hanya memberi masalah dan situasi belajar kepada siswa. Siswa mengkaji fakta atau relasi
yang terdapat pada masalah itu dan menarik kesimpulan (generalisasi) dari apa yang siswa
temukan.
Kegiatan penemuan ini hampir tidak mendapatkan bimbingan guru. Penemuan murni
biasanya dilakukan pada kelas yang pandai.
2. Penemuan Terbimbing
Pada pengajaran dengan penemuan terbimbing guru mengarahkan tentang materi
pelajaran. Bentuk bimbingan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, arahan, pertanyaan atau
dialog, sehingga diharapkan siswa dapat menyimpulkan (menggeneralisasikan) sesuai dengan
rancangan guru.
Generalisasi atau kesimpulan yang harus ditemukan oleh siswa harus dirancang secara
jelas oleh guru. Pada pengajaran dengan metode penemuan, siswa harus benar-benar aktif belajar
menemukan sendiri bahan yang dipelajarinya.
3. Penemuan Laboratory
Penemuan laboratory adalah penemuan yang menggunakan objek langsung (media
konkrit) dengan cara mengkaji, menganalisis, dan menemukan secara induktif, merumuskan dan
membuat kesimpulan.
Penemuan laboratory dapat diberikan kepada siswa secara individual atau
kelompok.Penemuan laboratory dapat meningkatkan keinginan belajar siswa, karena belajar
melalui berbuat menyenangkan bagi siswa yang masih berada pada usia senang bermain.

D. Tahapan Pembelajaran Penemuan Terbimbing


Tahap-tahap penggunaan model belajar penemuan dalam pembelajaran menurut Amien
(1987) dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap pertama adalah diskusi. Pada tahap ini guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk
didiskusikan secara bersama-sama sebelum lembaran kerja siswa diberikan kepada siswa. Tahap
ini dimaksudkan untuk mengungkap konsep awal siswa tentang materi yang akan dipelajari.
b. Tahap kedua adalah proses. Pada tahap ini siswa mengadakan kegiatan laboratorium sesuai
dengan petunjuk yang terdapat dalam lembar kerja siswa guna membuktikan sekaligus
menemukan konsep yang sesuai dengan konsep yang benar.
c. Tahap ketiga merupakan tahap pemecahan masalah. Setelah mengadakan kegiatan laboratorium
siswa diminta untuk membandingkan hasil diskusi sebelum kegiatan laboratorium dengan hasil
setelah laboratorium sesuai dengan lembaran kerja siswa hingga menemukan konsep yang benar
tentang masalah yang ingin dipecahkan.

D. Strategi-strategi dalam Pembelajaran Penemuan


Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara
induktif, deduktif atau keduanya.
a. Strategi Induktif
Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian
generalisasi (kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya
merupakan jalan menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan
strategi induktif ini selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak.
Karenanya kesimpulan yang ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan
perkataan “barangkali” atau “mungkin”.
Sebuah argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari
pernyataan/fakta yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari
argumentasi itu (Cooney dan Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif
tidak perlu mengikuti fakta yang mendukungnya. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya,
tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan dalil untuk mendukung. Sebagai contoh,
fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum
kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak
membuktikan“. Guru beresiko di dalam suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu
sering terjadi. Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena
hal seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin terjadi. Sebuah
argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari yang diuji ke tidak
diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh pokok-pokok.
Perhatikanlah strategi penemuan berikut ini :
Guru : sekarang kita akan “menguji” hubungan yang merupakan tantangan matematika. Untuk
memulai, mari kita mengikuti pernyataan berikut.
20 = 17 + 3
22 = 19 + 3
24 = 17 + 7
26 = 13 + 13
28 = 17 + 11
Apakah kalian mencatat pola dari pernyataan tersebut?
Lala : “Bilangan di sisi kiri semua bilangan dua puluhan.”
Guru : “Baik. Bagaimana dengan pertambahan di sebelah kanan?”
Vivi : “Semuanya bilangan ganjil.”
Guru : “Benar, tapi dapatkah kalian menyatakan yang lain tentangnya, di samping fakta bahwa
itu bilangan ganjil?”
Vivi : “Baik. Bilangan itu prima.”
Guru : “Sangat bagus, dapatkah seseorang dari kalian meringkas pernyataan?”
Anis : “Beberapa bilangan dua puluhan merupakan pertambahan dari dua bilangan prima.”
Guru : “Apakah kalian berpikir ini akan berlaku untuk bilangan yang lain?”
Aldi : “Aku tidak yakin.”
Guru : “Mari kita coba untuk beberapa contoh, katakanlah 30 atau 10 atau 52.”
Sari : “Tiga puluh sama dengan 27 ditambah 3.”
Guru : “Apakah ini mengikuti pola yang sama Dian?”
Dian : “Tidak, 27 bukan bilangan prima.”
Sari : “Benar, aku lupa. 30 sama dengan 17 ditambah 13”
Guru : “Bagaimanakah dengan 10 dan 52?”
Vian : ”Sepuluh sama dengan 7 ditambah 3 dan 52 sama dengan 47 ditambah 5.”
Guru : ”Baik, setiap siswa ambil tiga contoh bilangan lain dan cobalah. (berhenti). Sudahkah
kalian menemukan dan dapatkah kalian mengungkapkannya?”
Dude : “Empat sama dengan 2 ditambah 2, tapi 2 bukan bilangan prima yang ganjil.”
Guru : “Bagaimana dengan 3 ditambah 1? Ini juga sama dengan 4.”
Dude : “Satu bukan bilangan prima.”
Guru : “O.K. Bagaimana dengan 6? Apakah ada yang sudah mencobanya?”
Ita : “Itu mudah, 3 ditambah 3”
Guru : “Apakah kalian sudah menyimpulkan mengenai bilangan genap dan bilangan prima
ganjil?”
Ida : “Baik, setiap bilangan genap yang lebih dari 4 adalah sama dengan pertambahan dua
bilangan prima ganjil.”
Guru : “Sangat bagus. Ini statemen yang sangat terkenal yang disebut dugaan Goldbach. Tidak
seorangpun yang telah menemukan, meskipun matematikawan tidak mampu membuktikan itu.
Untuk alasan ini kita cenderung percaya bahwa statemen ini benar.”
b. Strategi deduktif
Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian.
Karena matematika berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif
memegang peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang
bersifat umum yang sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk
menemukan konsep-konsep lain yang belum ia ketahui sebelumnya. Sebagai contoh, untuk
menentukan rumus luas lingkaran, siswa dapat diarahkan untuk membagi kertas berbentuk
lingkaran menjadi n buah sector yang sama besar, kemudian menyusunnya sedemikian rupa
sehingga berbentuk seperti persegi panjang dan rumus keliling lingkaran yang sudah diketahui
sebelumnya, siswa akan dapat menemukan bahwa luas lingkaran adalah .
Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan
diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam
matematika bersifat konsisten. Berarti dengan strategi penemuan deduktif , kepada siswa
dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan pengetahuan
matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu urutan
pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi
tujuan dari pembelajaran. Sebagai contoh dialog berikut sedang memecahkan masalah sistem
persamaan dengan menggunakan determinan koefisien dari dua garis yang sejajar dengan
penemuan deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke arah
penarikan kesimpulan tertentu.
Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Namun
demikian, pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui
peristiwa nyata atau intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang
teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang
diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif
dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika.
Dengan penjelasan di atas metode penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian
dikembangkan dalam suatu model pembelajaran yang sering disebut model pembelajaran dengan
penemuan terbimbing. Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu
atau kelompok. Model ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan
karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong
untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang
disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya
dan materi yang sedang dipelajari.
Dengan model penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa
bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error)
hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar
mempergunakan ide, konsep dan ketrampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan
pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran siswa
cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai
kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan
mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas
lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat
dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan
pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan
soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi,
eksperimen, dan menyelesaikan masalah.

E. Aplikasi Pembelajaran Discovery Learning di Kelas


a. Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model Discovery Learning
Seorang guru bidang studi, dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas
harus melakukan beberapa persiapan. Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner, yaitu:
a) Menentukan tujuan pembelajaran.
b) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya).
c) Memilih materi pelajaran.
d) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh
generalisasi).
e) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan
sebagainya untuk dipelajari siswa.
f) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkrit ke abstrak,
atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa (Suciati & Prasetya Irawan dalam
Budiningsih, 2005:50).

b. prosedur aplikasi discovery learning


Adapun menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas
tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum
adalah sebagai berikut:
a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan
kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan
untuk menyelidiki sendiri (Taba dalam Affan, 1990:198). Tahap ini Guru bertanya dengan
mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang
memuat permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi
interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi
internal yang mendorong eksplorasi.
b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis
(jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244).
c) Data collection (pengumpulan data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidak hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati
objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya (Djamarah,
2002:22).
d) Data processing (pengolahan data).
Menurut Syah (2004:244) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu
ditafsirkan. Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang
berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan
mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat
pembuktian secara logis.
e) Verification (pentahkikan/pembuktian).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori,
aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya
(Budiningsih, 2005:41).

f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)


Tahap generalitation/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang
dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama,
dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Atau tahap dimana berdasarkan hasil
verifikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu (Djamarah,
2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata prinsip-prinsip yang mendasari
generalisasi (Junimar Affan, 1990:198).

F. Langkah-langkah Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing


Menurut Markaban (2006:16) agar pelaksanaan model pembelajaran penemuan terbimbing ini
berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru matematika adalah
sebagai berikut :
a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya,
perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang
ditempuh siswa tidak salah.
b. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis
data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja.
Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju,
melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
c. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal
ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah
yang hendak dicapai.
e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi
konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunya. Disamping itu perlu
diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
f. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal
tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.

G. Peranan Guru dalam Pembelajaran Discovery Learning


Peran guru dalam penemuan terbimbing sering diungkapkan dalam Lembar Kerja Siswa
(LKS). LKS ini biasanya digunakan dalam memberikan bimbingan kepada siswa menemukan
konsep atau terutama prinsip (rumus, sifat) (PPPG, 2003:4).
Perlu diingat bahwa model ini memerlukan waktu yang relatif banyak dalam
pelaksanaannya, akan tetapi hasil belajar yang dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang
digunakan. Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama apabila siswa dilibatkan secara
langsung dalam proses pemahaman dan ’mengkonstuksi’ sendiri konsep atau pengetahuan
tersebut (PPPG, 2004:5).
Dalam melakukan aktivitas atau penemuan dalam kelompok- kelompok kecil, siswa
berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi ini dapat berupa saling sharing atau siswa yang
lemah bertanya dan dijelaskan oleh siswa yang lebih pandai. Kondisi semacam ini selain akan
berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap materi matematika, juga akan dapat meningkatkan
social skills siswa, sehingga interaksi merupakan aspek penting dalam pembelajaran matematika.
Menurut Burscheid dan Struve (Voigt ; 1996) belajar konsep-konsep teoritis di sekolah, tidak
cukup hanya dengan memfokuskan pada individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep,
tetapi perlu adanya social impuls di sekolah sehingga siswa dapat mengkonstruksikan konsep-
konsep teoritis seperti yang diinginkan. Interaksi dapat terjadi antar guru dengan siswa tertentu,
dengan beberapa siswa, atau serentak dengan semua siswa dalam kelas. Tujuannya untuk saling
mempengaruhi berpikir masing-masing, guru memancing berpikir siswa yaitu dengan
pertanyaan-pertanyaan terfokus sehingga dapat memungkinkan siswa untuk memahami dan
mengkontruksikan konsep-konsep tertentu, membangun aturan-aturan dan belajar menemukan
sesuatu untuk memecahkan masalah.
Pembelajaran dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui
keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Selain itu, dalam
pembelajaran penemuan siswa juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan
keterampilan-keterampilan berfikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi
informasi (Slavin, 1994).Namun dalam proses penemuan ini siswa mendapat bantuan atau
bimbingan dari guru agar mereka lebih terarah sehingga baik proses pelaksanaan pembelajaran
maupun tujuan yang dicapai terlaksana dengan baik. Bimbingan guru yang dimaksud adalah
memberikan bantuan agar siswa dapat memahami tujuan kegiatan yang dilakukan dan berupa
arahan tentang prosedur kerja yang perlu dilakukan dalam kegiatan pembelajaran (Ratumanan,
2002). Penemuan terbimbing yang dilakukan oleh siswa dapat mengarah pada terbentuknya
kemampuan untuk melakukan penemuan bebas di kemudian hari (Carin, 1993b).Kegiatan
pembelajaran penemuan terbimbing mempunyai persamaan dengan kegiatan pembelajaran yang
berorientasi pada keterampilan proses. Kegiatan pembelajaran penemuan terbimbing
menekankan pada pengalaman belajar secara langsung melalui kegiatan penyelidikan,
menemukan konsep dan kemudian menerapkan konsep yang telah diperoleh dalam kehidupan
sehari-hari, sedangkan kegiatan belajar yang berorientasi pada keterampilan proses menekankan
pada pengalaman belajar langsung, keterlibatan siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, dan
penerapan konsep dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian bahwa penemuan terbimbing
dengan keterampilan proses ada hubungan yang erat sebab kegiatan penyelidikan, menemukan
konsep harus melalui keterampilan proses. Hal ini didukung oleh Carin (1993b: 105), “Guided
discovery incorporates the best of what is known about science processes and product.”
Penemuan terbimbing mamadukan yang terbaik dari apa yang diketahui siswa tentang produk
dan proses sains.
Model pembelajaran discovery merupakan suatu metode pengajaran yang
menitikberatkan pada aktifitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan metode
ini, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk
menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya.
Model discovery (penemuan) yang mungkin dilaksanakan pada siswa SMP adalah metode
penemuan terbimbing. Hal ini dikarenakan siswa SMP masih memerlukan bantuan guru sebelum
menjadi penemu murni. Oleh sebab itu metode discovery (penemuan) yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah metode discovery (penemuan) terbimbing (guided discovery).

H. Kelebihan dan kekurangan Model Pembelajaran Penemuan


Memperhatikan Model Penemuan Terbimbing tersebut diatas dapat disampaikan kelebihan
dan kekurangan yang dimilikinya. Kelebihan dari Model Penemuan Terbimbing adalah sebagai
berikut (Marzano; 1992):
a. Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.
b. Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan).
c. Mendukung kemampuan problem solving siswa.
d. Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa
juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
e. Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama
membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya.
f. Siswa belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
g. Belajar menghargai diri sendiri.
h. Memotivasi diri dan lebih mudah untuk mentransfer.
i. Pengetahuan bertahan lama dan mudah diingat.
j. Hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil lainnya
k. Meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir bebas.
l. Melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah
tanpa pertolongan orang lain.

Sementara itu kekurangannya adalah sebagai berikut :


a. Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama.
b. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan, beberapa siswa
masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
c. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang
berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan Model Penemuan Terbimbing.
5. pembelajaran berbasis proses matematisasi secara progresif (informal-to-formal)

Penerapan Model Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia


http://dhonnypergerakan.blogspot.com/2011/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

BAB. II : Pembahasan
2.1 Defenisi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)

Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan pembelajaran


matematika yang memiliki 3 prinsip, yaitu:
a. Penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi progresif
b. Fenomena didaktik
c. Pengembangan model sendiri oleh siswa.

Ketiga prinsip tersebut kemudian dioperasionalkan ke dalam lima karakteristik, yaitu:


a. Menggunakan masalah real sebagai langkah awal
b. Menggunakan model matematika yang dikembangkan siswa
c. Mempertimbangkan kontribusi siswa
d. Mengoptimalkan interaksi siswa dengan temannya, siswa dengan guru dan sarana pendukung
lain
e. Mempertimbangkan keterkaitan antar materi pelajaran

2.2 Penerapan Model Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia.

Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah penerapan pembelajaran


dengan penggunaan prinsip dan karakteristik PMR dalam menyusun langkah-langkah
pembelajaran dengan setting kooperatif (model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan
para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama
lain dalam belajar) yang dimuat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang
bertujuan agar siswa mencapai kompetensi dasar yang telah di rencanakan.
Soedjadi (2003) menyatakan, guru hendaknya jangan punya anggapan bahwa siswa harus
selalu diberi tahu, tetapi harus mulai percaya bahwa siswa pun memiliki kemampuan-
kemampuan yang dapat muncul dari dirinya sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa guru perlu
memberi waktu “cukup” kepada siswa untuk mencoba berpikir sendiri, menemukan sendiri dan
berani mengungkapkan pendapat sendiri. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan
melalui definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep
tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna terjadi bila
siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka, tidak
hanya sekedar menghafal.

Maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu bentuk


kegiatan pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan siswa untuk membangun pengetahuan
matematikanya dengan caranya sendiri.

2.3 Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Secara umum prinsip pembelajaran matematika realistik, yaitu:


a. Prinsip Aktivitas
b. Prinsip Realitas
c. Prinsip Perjenjangan
d. Prinsip Jalinan
e. Prinsip Interaksi
f. Prinsip Bimbingan

Gravemeijer (1994:90-91), mengemukakan bahwa ada tiga prinsip kunci (utama) dalam PMR,
yaitu:
a. Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided
reinvention and progressive mathematizing). Prinsip ini menghendaki bahwa, dalam PMR
melalui penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran, dengan
bimbingan dan petunjuk guru yang diberikan secara terbatas, siswa diarahkan sedemikian rupa
sehingga, seakan-akan siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat
dan rumus-rumus matematika, sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus
matematika itu ditemukan.

b. Menentukan suatu materi. Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena didaktik, yang
menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu materi matematika untuk diajarkan dengan
pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu:
 Untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi materi itu yang harus diantisipasi dalam
pembelajaran
 Untuk dipertimbangkan pantas tidaknya materi itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu
proses matematisasi secara progresif.

c. Mengembangkan sendiri model-model (self developed models). Prinsip ini berfungsi sebagai
jembatan antara pengetahuan matematika informal dengan pengetahuan matematika formal.
Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk memecahkan masalah
yang ada
2.4 Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik

Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan PMR memiliki


beberapa ciri, yaitu:
1. Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga memecahkan masalah-
masalah dalam kehidupan sehari-hari (contextual problem) merupakan bagian yang esensial

2. Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics)

3. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika di bawah bimbingan


orang dewasa (guru)

4. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari semua
aktivitas di kelas

5. Aktivitas yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah kontekstual (looking for


problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing
a subject matter).

Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, menurut Freudenthal, PMR
memiliki lima karakteristik, yaitu:
a. Menggunakan masalah kontekstual (the use of context). Pembelajaran diawali dengan
menggunakan masalah kontekstual sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman
sebelumnya dan pengetahuan awal yang dimilikinya secara langsung, tidak dimulai dari sistem
formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai materi awal dalam pembelajaran harus sesuai
dengan realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami
atau mudah dibayangkan. Menurut Treffers dan Goffree, masalah kontekstual dalam PMR
memiliki empat fungsi, yaitu:
 Untuk membantu siswa dalam pembentukan konsep matematika
 Untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika
 Untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber dan domain aplikasi matematika
 Untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata
(realitas). Realitas yang dimaksud di sini sama dengan kontekstual

b. Menggunakan instrumen vertikal seperti model, skema, diagram dan simbol-simbol (use
models, bridging by vertical instrument). Istilah model berkaitan dengan situasi dan model
matematika yang dibangun sendiri oleh siswa (self developed models), yang merupakan jembatan
bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi
informal ke formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah
kontekstual yang merupakan keterkaitan antara model situasi dunia nyata yang relevan dengan
lingkungan siswa ke dalam model matematika. Sehingga dari proses matematisasi horizontal
dapat menuju ke matematisasi vertikal.

c. Menggunakan kontribusi siswa (student contribution). Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya


untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada
pengkontruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi
yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya
semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.

d. Proses pembelajaran yang interaktif (interactivity). Mengoptimalkan proses belajar mengajar


melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sarana dan prasarana
merupakan hal penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan,
pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk
pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang
ditemukan sendiri oleh siswa. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkomunikasikan ide-ide mereka melalui proses belajar yang interaktif.

e. Terkait dengan topik lainnya (intertwining). Berbagai struktur dan konsep dalam matematika
saling berkaitan, sehingga keterkaitan atau pengintegrasian antar topik atau materi pelajaran
perlu dieksplorasi untuk mendukung agar pembelajaran lebih bermakna. Oleh karena itu dalam
PMR pengintegrasian unit-unit pelajaran matematika merupakan hal yang esensial (penting).
Dengan pengintegrasian itu akan memudahkan siswa untuk memecahkan masalah. Di samping
itu dengan pengintegrasian dalam pembelajaran, waktu pembelajaran menjadi lebih efisien. Hal
ini dapat terlihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.

2.5 Langkah-Langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Fauzi (2002:) mengemukakan langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika


dengan pendekatan PMR, yaitu:
a. Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual
dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.

b. Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa
mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara
memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian
tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.

c. Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual


menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban
masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal.
Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.

d. Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu
dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah
secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam
kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.

e. Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik
kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika realistik juga
diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat diwujudkan dengan cara:
a. Mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar
b. Mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense peserta didik

Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat
menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya. Salah satu upaya
guru untuk merealisasikan pernyataan di atas adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran
yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik PMR.

2.6 Kelebihan dan Kesulitan Penerapan PMR

Sebagaimana setiap pendekatan, strategi maupun metode pembelajaran, di satu sisi


memiliki berbagai kelebihan, namun juga memiliki kesulitan. Demikian halnya dengan PMR,
diantaranya:

a. Kelebihan Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu:
 Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi
manusia.

 Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa
tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

 Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu
dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan
orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan
membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa
diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian
masalah tersebut.

 Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang
harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika
dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk
menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

b. Kesulitan dalam Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik

Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan PMR dapat muncul justru


menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:
 Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya
mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu
merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR.

 Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari
siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam
cara.
 Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

 Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan
kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

2.7 Pendekatan Matematika realistik

Menurut Suherman (2001:7), pendekatan (approach) pembelajaran matematika adalah cara


yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa
beradaptasi dengan siswa.

Salah satu pendekatan yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan
menerapkan matematika dalam pengalaman sehari-hari adalah pendekatan matematika realistik.
Pendekatan ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang menyatakan bahwa pembelajaran
matematika sebaiknya berangkat dari aktifitas manusia karena Mathematics is a human activity
(Suherman,2001:128).

Dalam pendekatan matematika realistik dikenal dua jenis matematisasi yang


diformulasikan oleh Treffers (dalam Zainurie, 2007:3) yaitu matematisasi horizontal dan
matematisasi vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan,
pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda dan pentransformasian masalah dalam
dunia real ke dalam masalah matematik. Matematika dalam tingkat ini disebut matematika
informal. Adapun contoh matematisasi vertikal adalah: representasi hubungan-hubungan dalam
rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda
dan penggeneralisaian.

Menurut Zulkardi (dalam Kania, 2006:19), pedekatan matematika realistik memiliki lima
karakteristik, yaitu:
a. The use of context (penggunaan konteks),
b. Theuse of models(penggunaan model),
c. The use of students own production and construction ( penggunaan kontribusi dari siswa
sendiri),
d. The interactive character of teaching process (interaktifitas dalam proses pengajaran, dan
e. The interviewments of various learning strands (terintegrasi dengan berbagai topik pengajaran
lainnya.
Kelima karakteristik pembelajaran menurut filosofi realistik inilah yang menjiwai setiap
aktivitas pembelajaran matematika. Meskipun kelima karakteristik tersebut menjadi acuan dalam
pengembangan pembelajaran matematika, namun dalam desain pembelajaran kadang-kadang
tidak semua prinsip itu dimunculkan.

2.8 Pemahaman Matematika Realistik

Pemahaman merupakan terjemahan dari comprehension. Purwadinata (dalam Emiliani,


2000:7) menyatakan bahwa paham artinya “mengerti benar”, sehingga pemahaman konsep
artinya mengerti benar tentang konsep.

Menurut Driver (dalam Suzana, 2003:22) pemahaman adalah kemampuan untuk


menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Dari pengertian ini ada tiga aspek pemahaman,
yaitu:
a. Kemampuan mengenal
b. Kemampuan menjelaskan
c. Kemampuan menginterpretasi atau menarik kesimpulan

Menurut Machener (dalam Sumarmo, 1987:24), untuk memahami suatu objek secara
mendalam, seseorang harus mengetahui:
a. Objek itu sendiri.
b. Relasinya dengan objek lain yang sejenis.
c. Relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis.
d. Relasi dual dengan objek lain yang sejenis.
e. Relasi dengan objek dalam teori lainnya.

Menurut Sumarmo (1987:24) ada 3 macam pemahaman, yaitu:


a. Pengubahan (translation),
b. Pemberian arti (interpretation),
c. Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation).

Pemahaman siswa terhadap konsep matematika menurut NCTM (dalam Munggaranti,


2007:25) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam :
a. Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan.
b. Membuat contoh dan non contoh penyangkal.
c. Mempresentasikan suatu konsep dengan model, diagram, dan simbol.
d. Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk yang lain.
e. Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep.
f. Mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat-syarat yang menentukan suatu
konsep.
g. Membandingkan dan membedakan konsep-konsep.

2.9 Pendidikan Matematika Realistik.

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan dari institude
Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University Belanda.
Nama institut diambil dari nama pendirinya yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905-1990),
seorang penulis, pendidik dan matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda. Sejak tahun
1971, Institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika
yang dikenal dengan R ME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan
pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika dan bagaimana
matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).
Pendidikan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang
berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus
dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain
bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali
(to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention)
ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan
persoalan “dunia riil” (Hadi, 2004).
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif
matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada
penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan
cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang
dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang
berkait dengan konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan
pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas
matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas sehingga mengarah pada
level berpikir matematik yang lebih tinggi. Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang
berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching
and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili
teori belajar secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan
khusus untuk matematika.

Paradigma baru dalam pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap
proses pembelajaran dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri
pengetahuan yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap
individu.
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek
berikut:
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan
pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran
secara bermakna.

b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam pelajaran tersebut.

c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terdapat


persoalan/ masalah yang diajukan.

d. Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap
jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban
temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan
melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan pada peserta didik sebagai
manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang.
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PROSES MATEMATISASI BERJENJANG
http://pmatandy.blogspot.com/2008/12/pembelajaran-matematika-melalui-proses.html

5. Integrasi dan interkoneksi antar konsep

Integrasi-Interkoneksi Amin Abdullah; Sebuah Gagasan Integrasi Islam


dan Sains
http://lughotudhod.blogspot.com/2013/11/integrasi-interkoneksi-amin-abdullah.html

A. Landasan Integrasi-Interkoneksi

Hal-hal yang melandasi integrasi-interkoneksi antar ilmu agama dan sains M.Amin Abdullah
adalah sebagai berikut:

1. Landasan Normatif-Teologis,

Landasan normatif-teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu cara


memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari Tuhan (Allah SWT)
sebagaimana terdapat di dalam wahyu yang diturunkan-Nya. Kebenaran normatif teologis
bersifat mutlak karena sumbernya berasal dari Tuhan (Allah SWT). Landasan ini akan
memperkokoh bangunan keilmuan ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan sosial-humaniora). 1[1]

Al-Qur’an tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama (islam) dan ilmu-ilmu umum
(sains-teknologi dan sosialhumaniora). Ilmu-ilmu agama (islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-
teknologi dan sosialhumaniora) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan Allah SWT
berfirman di dalam surat Al- Qashash ayat ke-77, yang artinya “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita tidak boleh memisahkan antara kepentingan
kehidupan akherat (ilmu-ilmu agama) dan kepentingan kehidupan di dunia (ilmu-ilmu umum).
Firman Allah dalam al-qur’an surat Al- Qashash ayat ke-77 di atas didukung oleh sabda
rasulullah SAW yang artinya “bekerjalah kamu untuk duniamu seolaholah kamu akan hidup
selamanya dan dan bekerjalah untuk akheratmu seolaholah kamu akan meninggal esok hari (HR
Ibnu Asakir)

Al-Qur’an selain berisi ayat-ayat tentang ilmu ilmu agama juga berisi ayat-ayat tentang
ilmu umum temasuk konsep-konsep dalam matematika, sebagai contoh Q.S. 35:1, 37:147,18:25,
29:14, dan lain lain. Al-qur’an juga memuat tentang metode pengembangan ilmu pengetahuan
termasuk ilmu matematika, sebagai contoh Q.S. 2:31 (definisi) dan Q.S. 6: 74-79 (riset).
Selanjutnya mengenai perintah untuk melakukan penelitian (suatu kegiatan yang penting di
dalam pengembangan sains), secara umum dapat dilihat antara lain dalam firman-Nya pada surat
Yunus, ayat ke-101 “Katakanlah Muhammad: lakukanlah nadzor (penelitian dengan
menggunakan metode ilmiah) mengenai apa-apa yang ada di langit dan bumi.

Perintah lebih khusus terdapat dalam surat al-Ghosiyah, ayat ke-17–20 yang artinya:
“Apakah mereka tidak memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan. Dan gunung, bagaimana ia ditancapkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”.
Ayat-ayat tersebut merupakan ayat-ayat metode ilmiah, yang memerintahkan kepada umat
manusia untuk selalu meneliti. Kegiatan penelitian yang mencakup pengamatan, pengukuran,
dan analisa data telah membawa perubahan besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi
termasuk ilmu matematika. “niscaya Allah akan meninggikan orangorang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu amalkan”. (Q.S. Al Mujadilah : 11)2[2]

2. Landasan Historis,

Perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan didominasi oleh ilmu-ilmu


agama. Ilmu-ilmu umum termasuk ilmu matematika kurang berkembang karena tekanan dari
ilmu-ilmu agama. Pada masa ini hubungan antara ilmu ilmu agama dan ilmu-ilmu umum tidak
harmonis.

Pada abad modern, tekanan dari ilmu-ilmu agama mulai berkurang bahkan hamper tidak
ada. Berkurangnya/hilangnya tekanan ilmu-ilmu agama, menyebabkan berkembangnya ilmu-
ilmu umum secara pesat. Tidak adanya sentuhan agama pada ilmu-ilmu umum, mengakibatkan
ilmu-ilmu umum berkembang dengan mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan.

Belajar dari perkembangan keilmuan di atas, pengembangan ilmu pengetahuan, baik


ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum termasuk ilmu matematika harus berjalan beriringan,
tidak boleh satu disiplin ilmu mendominasi disiplin ilmu yang lain. Dengan memadukan antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tujuan akhir dari ilmu pengetahuan yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan menjaga kelestarian alam dapat tercapai

3. Landasan Filosofis

Secara ontologis, obyek studi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum termasuk ilmu
matematika, memang dapat dibedakan. Ilmu-ilmu agama mempunyai obyek wahyu, sedangkan
ilmu-ilmu umum mempunyai obyek alam semesta beserta isinya. Tetapi kedua obyek tersebut
sama-sama berasal dari Tuhan (Allah SWT), sehingga pada hakekatnya antara ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum termasuk ilmu matematika, ada kaitan satu dengan yang lain.

Secara epistemologis, ilmu-ilmu agama (islam) dibangun dengan pendekatan normatif,


sedangkan ilmu-ilmu umum dibangun dengan pendekatan empiris. Tetapi, wahyu yang bersifat
benar mutlak itu sesuai dengan fakta empiris. Dengan demikian baik pendekatan normatif
maupun pendekatan empirik, kedua-duanya digunakan dalam membangun ilmu-ilmu agama
maupun ilmu-ilmu umum.3[3]

Secara aksiologis, ilmu-ilmu umum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup di


dunia, sedangkan ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan umat manusia di
dunia dan akhirat. Sehingga ilmu-ilmu umum termasuk ilmu matematika perlu diberi sentuhan
ilmu-ilmu agama sehingga tidak hanya kebahagiaan dunia yang diperoleh tetapi juga
kebahagiaan di akhirat.

4. Landasan kultural

Keberadaan kampus islam di Indonesia, dalam hal ini UIN, berbeda dengan kebudayaan
Arab tempat Islam diturunkan dan kebudayaan Barat tempat berkembangnya ilmu pengetahuan.
Proses pendidikan tidak boleh mengabaikan budaya lokal, baik dalam menerjemahkan Islam
maupun pengembangkan ilmu pengetahuan.

Jika UIN hanya mengembangkan tafsir nilai-nilai keislaman berdasarkan qur’an dan
Hadist (hadlarah al-Nash) dan ilmu pengetahuan (hadlarah al-’Ilm) maka UIN tidak
menghasilkan sarjana yang menghasilkan kontribusi nyata kepada masyarakat Indonesia.
Sehingga diperlukan mendialogkan kedua hadlarah di atas dengan hadlarah falsafah yang
konsen dengan aspek praktis kontekstual dalam kultur lokal masyarakat4[4]

5. Landasan Psikologis

Paradigma integrasi-interkoneksi yang ditawarkan UIN dimaksudkan untuk membaca


dan memahami kehidupan manusia yang kompleks secara padu dan holistik.Hal ini akan
terwujud dengan menyiapkan dan mencetak mahasiswa menjadi sosok pribadi muslim yang
utuh.

Potensi dari Allah aspek psikologis yang harus dicapai Hadlarah al-Nash hati Iman /
Aqidah yang kuat Hadlarah al-’Ilm akal Ilmu / wawasan yang luas, Hadlarah al-Falsafah Jasad /
badan Amal / kinerja yang produktif. Sosok mahasiswa yang diharapkan yaitu memiliki iman
dan aqidah yang kuat, tertanam menghunjam dalam hati yang kokoh. Memiliki ilmu
pengetahuan yang luas, tidak hanya keilmuan di bidangnya saja. Memiliki amal dan kenerja yang
produktif, memberi kemanfaatan kepada lingkungan masyarakatnya5[5]
Pertentangan ketiga ranah/domain tersebut dalam diri seseorang dapat menimbulkan
keterpecahan kepribadian (personality disorder / split personality) Terjadi konflik antara yang
diyakini dengan yang dipikirkan juga dengan yang dihadapi dalam realitas kehidupan “Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan”. (Ash-Shof : 2-3)

B. Pengertian Studi Islam Integrasi-Interkoneksi


Studi islam integrasi-interkoneksi adalah kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, baik objek
bahasan maupun orientasi metodologinya dan mengkaji salah satu bidang keilmuan dengan
memanfaatkan bidang keilmuan lainnya serta melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin
ilmu tersebut.6[6]

Jika di telusuri lebih jauh,gagasan tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu
umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi diri umat islam
terhadap proses modernisasi dunia yang tengah berlangsung dalam skala global. Islam dan
tantangan miodernitas merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaharuan pemikiran
islam yang di dengungkan oleh para mujaddid islam sepanjang sejarah.

Kekuatan tema ini terutama berkaitan erat dengan realitas kemunduran dan
keterbelakangan umat islam dalam berbagai aspek kehidupan vis a vis kemajuan dunia
barat.Salah satu fokus garapan para pembaharu dalam proses modernisasi islam adalah bidang
pendidikan. Bidang pendidikan ini di pandang sebagai sektor paling terbelakang yang
menghambat laju percepatan modernisasi di dunia islam,akibat pola pikir umat yang
terkondisikan oleh anggapan bahwa antara agama yang bersumber dari wahyu dan sains yang
bersumber dari hasil pikiran manusia merupakan dua entitas berbeda yang tidak berkaitan satu
sama lain.

Akibat pemahaman terbelah ini, karakter pendidikan islam yang semula tidak
memisahkan antara kebutuhan terhadap agama dengan ilmu, iman dengan amal, serta dunia
dengan akhirat lalu kemudian mengalami kemujudan yang berdampak pada penjajahan dunia
islam atas supremasi barat.

Horizon
Jaring Laba-Laba Keilmuan
Teoantroposentrik-Integralistik
dalam Universitas Islam Negeri7[7]

Sebagai contohnya,dalam konsep integrasi-interkoneksi yang di kembangkan oleh UIN,


secara detail di ungkap bahwa dalam kasus UIN yang nota-bene merupakan lembaga pendidikan
islam variabel multi-dimensi keilmuannya tidak hanya beurusan dengan realitas hidup dan
realitas manusia sebagaimana dalam ilmu-ilmu “umum”, namun juga menyangkut realitas teks
sebagaimana khas ilmu-ilmu agama atau lebih tepatnya “ilmu-ilmu keislaman”.

Dengan menimbang variabel-variabel ini, maka ideal integrasi-interkoneksi yang di gagas


oleh UIN mensyaratkan dialektika antara variabel-variabel tersebut dalam praksis integrasi-
interkoneksi. Brand yang diusung oleh UIN untuk menyebut dialektika ini adalah Hadarat al-
Nash, Hadarat al-‘ilm dan Hadarat al-falsafah. Hadarat al-Nash berarti kesediaan untuk
menimbang kandungan isi teks keagamaan sebagai wujud komitmen keagamaan/keislaman.
Hadarat al-‘ilm berarti kesediaan untuk profesional, objektif, inovatif dalam bidang keilmuan
yang di geluti; dan akhirnya Hadarat al-falsafah berarti kesediaan untuk mengkaitkan muatan
keilmuan dengan tanggung jawab moral etik dalam praksis kehidupan riil di tengah masyarakat.

Maka kesimpulannya adalah Hadarat al-Nash adalah jaminan identitas keislaman,


Hadarat al-‘ilm adalah jaminan profesionalitas-ilmiah, dan Hadarat al-falsafah adalah jaminan
bahwa muatan keilmuan yang di kembangkan bukan “menara gading”yang berhenti di “langit
akademik”, tetapi memberi kontribusi positif-emansipatif yang nyata dalam kehidupan
masyarakat.

C. Kenapa Studi Islam Di Integrasi-Interkoneksikan


Dalam diskursus ilmu pengetahuan modern, bidang-bidang terpisah secara tegas dan
jelas. Biologi, Fisika, Psikologi, Geografi dan lain sebagainya, merupakan contoh bidang-bidang
yang di maksud. Setiap bidang mewakili dimensi kehidupan tertentu dan para ilmuan dari
masing-masing bidang ‘hanya’ fokus pada bidang yang di gelutinya. Dengan kata lain, para
ilmuan ini mereduksi realitas hanya sebatas bidang yang menjadi lahannya. Hal ini sebenarnya
bukan permasalahan besar, karena kenyataannya realitas hidup memang multi-dimensi dan
multi-aspek. Kiranya mustahil bagi seseorang untuk mampu menguasai seluruh bidang keilmuan
tersebut secara sama mendalam.

Meskipun sebenarnya kenyataan spesialisasi dan reduksi ini dapat di katakan sifatnya
niscaya karna keterbatasan manusiawi, namun dampak negatif dari kenyataan ini ternyata tidak
terlalu menyenangkan. Dikotomi ilmu agama-ilmu umum, hegemoni bidang ilmu tertentu
terhadap bidang lainnya, superior-inferior feeling dari masing-masing bidang ilmu, hirarki ilmu
utama-ilmu komplementer, adalah akibat-akibat laten yang harus di tanggung dari kenyataan
spesialisasi di atas. Lebih jauh ternyata dampak ini kemudian merambah ke dunia sosial, dunia
pendidikan, dunia politik, dan lain lain, sehingga tidak jarang muncul konflik di ranah sosial
maupun politik akibat adanya ekslusifisme dari masing-masing bidang ilmu.

Pada akhirnya secara psikologis banyak orang yang mengalami kegelisahan luar biasa
karena antara dunia yang dia alami, yang multi-dimensi, dengan keilmuan yang dia hayati, yang
hanya satu dimensi dan yang satu-satunya dia pahami, ternyata tidak sejalan. Orang yang
menghayati ilmu fiqih saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan kenyataan sosial yang
berbeda dengan isi ilmunya.Orang yang menghayati ilmu ekonomi saja pasti gelisah karena
berhadapan dengan “logika zakat dan sedekah” ala fiqih. Orang yang menghayati ilmu geografi
saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan adanya ruang baru yang di sebut dengan “dunia
virtual” atau “dunia maya”.

Paradigma integrasi-interkoneksi hakekatnya ingin menunjukkan bahwa antara berbagai


bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang di bidik
oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja
dimensi dan fokus perhatian yang di lihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu,
rasa superior, ekslusifitas, pemilihan secara dikotomis merhadap bidang-bidang keilmuan yang
di maksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah-
akademis. Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan
komprehensif, bukannya pemahaman yang parsial dan reduktif. Maka dengan menimbang
asumsi ini seorang ilmuan perlu memilikivisi integrasi-interkoneksi.

D. Model Integrasi-Interkoneksi

Model-model integrasi-interkoneksi Amin Abdullah,8[8] yaitu:

1. Informatif , Suatu disiplin ilmu memberikan informasi kepada disiplin ilmu yang lain. Misalnya:
Ilmu Islam (Al-qur’an) memberikan informasi kepada ilmu saintek bahwa matahari
memancarkan cahaya sedangkan bulan memantulkan cahaya (Q.S. Yunus: 5)
2. Konfirmatif (klarifikatif), Suatu disiplin ilmu memberikan penegasan kepada disiplin ilmu lain.
Contoh: Informasi tentang tempat-tempat (manaazil) matahari dan bumi dalam Q.S. Yunus: 5,
dipertegas oleh ilmu saintek (orbit bulan mengelilingi matahari berbentuk elips).
3. Korektif , Suatu disiplin ilmu mengoreksi disiplin ilmu yang lain. Contoh: Teori Darwin yang
mengatakan bahwa manusia-kera-tupai mempunyai satu induk, dikoreksi oleh Al-qur’an.
Sedangkan alternatif model Integrasi-Interkoneksi,9[9]adalah berikut ini:
1. Paralelisasi: menyamakan konotasi dari ilmu-ilmu yang berbeda
2. Similarisasi: menyamakan teori-teori dari ilmu-ilmu
3. Komplementasi: Saling mengisi dan saling memperkuat
4. Komparasi: membandingkan konsep teori diantara ilmu-ilmu
5. Induktifikasi: mendukung teori ilmu dengan instrumen dari ilmu lain
6. Verifikasi: menunjang dengan penelitian ilmiah ilmu satu dengan ilmu yang lain.

Skema tiga lingkaran terkait ini merupakan proyek keilmuan yang didengungkan oleh visi
dan misi perubahan IAIN ke UIN. Perubahan IAIN menjadi universitas Islam merupakan
langkah positif dalam rangka pengembangan jangkauan wilayah studi keislaman. Hal ini berarti
jangkauan ilmu-ilmu Islam menjadi semakin luas. Skema di atas menunjukkan bahwa masing-
masing bangunan sektor keilmuan menyadari akan kekurangan-kekurangan yang melekat dalam
diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan
metode dan pendekatan yang digunakan oleh gugusan ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-
kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan
lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu
dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan sehingga yang terlihat
adalah mengedepankan kebersamaan dalam ilmu pengetahuan.10
Bangunan keilmuan yang selalu terkait selaras dan sejajar tersebut menjadi icon
percontohan aplikasi keilmuannya yakni di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat itu
dipimpin oleh tokoh pencetus ide interkonesi dan integrasi. Jika dibandingkan dengan bangunan
keilmuan yang berkembang di UIN Jakarta melalui figur sentral Harun Nasution, kajian Islam di
IAIN masih terbatas hanya pada pengajaran agama yang fiqh oriented. Disamping itu pengajaran
agama baik filsafat, tasawuf maupun sejarah terbatas pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu saja.
Pemahaman Islam yang demikian itu parsial dan hanya melihat Islam secara sempit saja. Oleh
karena itu ia mengusulkan untuk membuat suatu pedoman inti yang melihat Islam secara
komprehensif. Gagasan tersebut untuk pengenalan Islam secara komprehensif, dengan melihat
Islam dari berbagai aspeknya diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional untuk pengajaran
Islam. Pemikiran Harun saat itu dianggap tidak lazim dan pada awal mulanya menjadi
kontroversi. Bagi sebagian kalangan utamanya mereka yang terdidik dalam pola fikir tradisional,
pandangan-pandangan Harun Nasution dianggap tidak bersesuaian dengan pola pemikirn
tradisional dan ini terjadi karena dipengaruhi oleh konsep-konsep Barat.11[11]
Sebenarnya, ilmu merupakan media dalam kehidupan untuk membimbing manusia menuju
ke jalan tugas utamanya, oleh karena itu haruslah secara keseluruhan dipelajari dan diajarkan
dalam rangka menggapai kesuksesannya. Segala keilmuan menurut paradigma ini harus
terintegrasi dalam proses tugas kemanusiaan dalam hidup sebagai khalifah maupun sebagai
hamba Allah yang mencakup pengenalan area keilmuan, penekanan terhadap pemahaman
potensi-potensi manusia yang dimiliki dan aplikasi dinamisnya, konsentrasi dalam perencanaan
serta evaluasi hasil, adanya makna dalam aktivitasnya serta adanya pengaturan hubungan positif
dengan semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan pelaksaan tugas tersebut.12[12] Pada
akhirnya, paradigma interkonektif-integratif dalam idealitas dan realitasnya diharapkan mampu
membentuk pola pikir komunikatif-efektif yang dapat mencairkan pola pikir dikotomis dan
memberikan suasana yang penuh damai antar disiplin keilmuan

E. Sekilas M. Amin Abdullah


Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Lulus dari
SD Negeri Margomulyo pada tahun 1966, Amin Abdullah, kemudian melanjutkan studinya di
Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo (lulus pada tahun
1972), dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD)
(lulus pada tahun 1977).13[13] Selepas pendidikan di Gontor, Amin Abdullah melanjutkan
pendidikanya ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (lulus tahun 1982) dan kemudian, dengan beasiswa Departemen Agama dan
Pemerintah Republik Turki, dia bersekolah melanjutkan program doktor dalam bidang Filsafat
Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical
University (METU), Ankara, Turki (1985-1990) dan kemudian, pada tahun 1997-1998, dia
mengikuti Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada

Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif. Disertasinya yang berjudul The
Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye
Diyanet Vakfi, 1992).14[14] Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain Falsafah
Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas
Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat
Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), serta Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius
(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah
Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali,
1985), Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).

Selain publikasi, kompetensi akademik Amin Abdullah juga tampak dalam aktifitas
akademik yang dia ikuti, seperti Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan
dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992, tentang
“Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program Majelis
Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; “Islam and 21st
Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996; “Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st
Century”, Universitas Leiden, Juni 1998, ”Islam and Civil Society: Messages from Southeast
Asia“, Tokyo Jepang, 1999; “al-Ta’ri>h} al- Islami>y wa Azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia,
2000; “International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Seminar “New
Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in Islam”Kuala Lumpur,
Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic Religious Authority in Contemporarry
Indonesia”, Leiden, Belanda, 2003. “Interfeith Dialogue: Conflict and Peace,” The Luthern
World Federation (LWF) Kopenhagen Denmark, Oktober 2003; “New Direction of Islamic
Thought and Practice: Equality and Plurality”, Yogyakarta, Indonesia, Juni 2004; “Religious
Harmony: Problems, Practice and Education”, Yogyakarta, Indonesia, Oktober 2004; “The Idea
(L) of an Indonesian Islamic University: Contemprary Perspectives”, Yogyakarta, Indonesia, 9-
11 Desember 2004; “University Teaching of Islamic Studies at the International Level: Concept,
Policy and Trends”, Songkla, Southern Thailand, 19-20 Maret 2005;”International Rudolf-Otto-
Symposion”, Philipps Universitat Marburg, Jerman, 8-10 Mei 2005. 15[15]

Ketika kuliah di Turki, Amin Abdullah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987. Pada masa liburan musim panas, dia pernah bekerja part-time
pada Konsulat JenderalRepublik Indonesia, Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan
1990), Mekkah (1998), dan Madinah (1989), Arab Saudi. Tahun 1993-1996, dia menjabat
Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tahun 1998-2001 sebagai Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) IAIN Sunan Kalijaga dan pada
Januari 1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat dari IAIN Sunan
Kalijaga. Dari tahun, Amin Abdullah 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan
Kalijaga.Tahun 2005-2010 sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Periode
kedua.

Sementara itu, dalam organisasi kemasyarakatan, dia menjadi Ketua Divisi Ummat,
ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-
43 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah
satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005). Kini, disamping sebagai
mengajar di beberapa universitas, seperti di Fakultas Ushuluddin dan Program Doktor
Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas
Islam Indonesia, Universitas Gajah Mada, Amin Abdullah juga menjabat sebagai staf ahli
Menteri Agama Republik Indonesia (2011-).

Anda mungkin juga menyukai