PEMBELAJARAN MENURUT
KONSTRUKTIVISME
http://sainsmatika.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-menurut-
konstruktivisme.html
PEMBAHASAN
A. Konstruktivisme
Konsrutivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti
paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen
dkk, 2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi
kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru
yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003).
Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan
untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.
Sedangkan menurut Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa
konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan
melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru.
Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah: “constructivism may be considered
an epistemology ( a philosophical framework or theory of learning ) which argues humans
construct meaning from current knowledge structures” artinya, konstruktivisme dapat dipandang
sebagai suatu epistimologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia dalam
membangun makna dari struktur pengetahuan terkini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran,
konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran,
perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan
pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang
kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan
keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin.1997). Misalnya, ketika siswa diminta
untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata
bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu.
Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasilitator
yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
(Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana
guru mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas.
Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa.
Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk
menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76). Oleh karena itu, guru harus
menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara
aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan,
membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya
(Setyosari, 1997: 53). Berdasarkan konstruktivisme, akibatnya orientasi pembelajaran bergeser
dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered
instruction).
B. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam proses belajar
mengajar adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid
sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
Kelemahan:
Dari dialog guru dan siswa tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme guru mengajak siswa untuk mengemukakan pendapat, mencari solusi atau jawaban atas pertanyaan
yang diajukan oleh guru sehingga siswa diharapkan dapat mengaplikasikan pemahaman dan mengkonstruksi sendiri
tentang konsep bilangan pangkat n yaitu 10 pangkat 3 atau 103 = 1000 dimana nilai n = 3.Jadi 10n = …
Berikut adalah sebuah contoh lain yang masih berhubungan dengan perpangkatan yang disajikan dalam
bentuk ilustrasi/cerita:
“Nah, cu, engkau bisa lihat sendiri, ternyata jumlah keturunan kakek sampai saat ini ada 256. Sekarang kakek ingin
bertanya padamu, 3 jam lagi berapakah jumlah kita?” (Sang cucu menggaruk-garuk kepalanya)
Dari cerita di atas, guru bisa meminta siswa untuk membantu cucu bakteri mencari jawaban atas pertanyaan
kakeknya. Selain itu guru dapat mengarahkan siswa untuk menemukan konsep perpangkatan dengan bilangan pokok
2.
Contoh lain yang dapat dikembangkan oleh guru kepada siswanya adalah cara menentukan rata-rata hitung
dalam proses pembagian. Perhatikan langkah-langkah pembelajarannya :
a. siapkan beberapa menara blok yang tingginya berbeda–beda sebagai benda kongkrit bagi anak, misalnya :
1 2 3 4 5
b. minta anak untuk memotong beberapa menara blok yang lebih tinggi sesuai dengan keinginannya.
c. Tempelkan potongan menara blok yang tertinggi kepada menara yang terpendek, selanjutnya potong sebagian
menara blok yang lebih tinggi dan letakkan atau tempelkan pada menara blok yang kurang tinggi. Lakukan hal
ini seterusnya hingga semua menara blok adalah sama tingginya. Tinggi menara blok tersebut yang sudah rata
disebut rata–rata tinggi. Hasilnya seperti berikut :
1 2 3 4 5
d. Ulangi kegiatan diatas , dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu setiap menara blok dipotong atau dipisahkan
secara vertikal. Hal ini dilakukan secara berturut–turut. Selanjutnya, susun hasil potongan dengan cara
melintang (horizontal) yaitu melengketkan pada kertas atau buku matematika anak, sehingga hasilnya seperti
berikut :
1 2 3
4 5
Dengan menggunakan metode pendekatan kontruktivisme guru mengajak siswa untuk berpikir dan mencari
solusi bagaimana jika menara blok tersebut dibagi oleh lima orang siswa sama banyak? dari sini siswa diharapkan
dapat mengkonstruksi sendiri tentang konsep pembagian yaitu : 25 : 5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara
blok tersebut adalah 5.
Dengan pendekatan seperti di atas, pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya
melalui aktivitas yang dilakukannya. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar secara paksa, anak akan memahami
sendiri apa yang mereka lakukan dan pelajari melalui pengalamannya.
Contoh lain yang menggunakan pendekatan konstruktivisme, misalkan kita mewawancarai tokoh A.
Jumlah kemungkinan jawaban yang diberikan hanyalah dua yaitu benar atau salah. Artinya peluang mendapatkan
informasi benar adalah ½ dan peluang mendapatkan informasi yang salah adalah ½. Misalkan kita ajukan 10
pertanyaan, berapa peluang mendapatkan informasi yang benar dan salah?
Dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan pendapat tentang pertanyaan yang akan dibahas atau dijawab. Setelah siswa mendapatkan jawaban
yaitu peluang mendapatkan informasi yang benar adalah 5/10 atau ½ artinya ada peluang 5 jawaban yang diajukan
tokoh A adalah benar dan 5 jawaban yang lain adalah salah.Setelah itu siswa dan guru mengaplikasikan pemahaman
konseptualnya dengan menentukan rumus yang tepat untuk persoalan tersebut yaitu : dalam teori peluang
(probabilitas) adalah jumlah peluang yang tersedia dibagi jumlah yang diperebutkan peluang secara matematisnya
adalah :
P=x/n
Dimana P = nilai peluang, x = jumlah peluang yang tersedia dan n = jumlah yang memperebutkan peluang.
2. Pembelajaran berbasis eksplorasi fenomena realistic
https://derafitria.wordpress.com/2012/09/29/pendekatan-pengajaran-berpusat-pada-siswa-dan-
konstruktivis/
Pendekatan Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Konstruktivis
Dalam pembelajaran konstruktivis siswa diharapkan untuk menjadi pelajar mandiri artinya
mengetahui tentang strategi pembelajaran efektif dan tahu kapan menggunakannya. Perhimpunan
psikologi Amerika mengemukakan bahwa terdapat 14 prinsip-prinsip psikologi yang berpusat
pada pelajar untuk faktor kognisi dan metakognisi yang secara garis besar menggambarkan
bahwa pelajar aktif mencari pengetahuan dengan menafsirkan kembali informasi dan
pengalaman bagi diri sendiri, termotivasi oleh diri sendiri melalui pencarian pengetahuan,
bekerja sama dengan yang lain untuk membentuk makna dan sadar akan strategi pembelajaran
sendiri dan mampu menerapkannya pada persoalan atau lingkungan yang baru.
Saat ini telah banyak bermunculan metode-metode konstruktivis dalam bidang isi diantaranya :
1. Inkubasi
2. Penangguhan penilaian
3. Iklim yang tepat
4. Analisis
5. Soal yang mengikat
6. Umpan balik
Menurut Kolb ( Tarmudi, 2001 : 1 ) belajar sebaiknya ditempuh sebagai proses bukan sebagai
hasil. Karenanya proses matematisasi menjadi sangat penting dalam kerangka pembelajaran
dengan pendekatan realistik. Pada pendekatan realistik proses belajar merupakan kegiatan yang
penting dalam pembelajaran matematika. Proses pembelajaran matematika akan melekat dan
bermakna bagi siswa apabila proses yang terjadi selama pembelajaran siswa mengkonstruk ide-
ide yang dimilikinya dalam matematika.
Salah satu unsur pokok dalam pengajaran matematika realistik adalah matematika itu sendiri.
Guru matematika realistik harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara
umum yang bersifat nyata. Matematika adalah pengetahuan mengenai kuantitatif dan ruang,
salah satu cabang dari sekian banyak cabang ilmu, yang sistematis, teratur dan eksak.
Matematika adalah angka – angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari kehidupan
manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan-
kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem
numerik. Matematika membahas fakta-fakta dan hubungan – hubungannya serta membahas
ruang dan bentuk.
Agar pembelajaran matematika bermakna bagi siswa maka pembelajaran seyogianya dimulai
dengan masalah – masalah yang realistik. Kemudian siswa diberi kesempatan menyelesaikan
masalah itu dengan caranya sendiri dengan skema yang dimiliki dalam pikirannya. Artinya siswa
diberi kesempatan melakukan refleksi, interprestasi dan mencari strategi yang sesuai. Keaktifan
siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan
matematisasi baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi dan tidak serta
merta telah melakukan aktivitas konstruksi. Rekontruksi terjadi bila siswa dalam aktivitasnya
melakukan refleksi, interprestasi dan internalisasi. Rekontruksi itu di mungkinkan terjadi dengan
problem yang lebih besar melalui diskusi baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau
berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Guru membimbing mereka untuk menarik kesimpulan
bagi diri masing-masing. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi. Mula –
mula matematisasi berlangsung secara horizontal dan melalui bimbingan guru siswa melakukan
matematisasi vertikal
Penerapan realistik secara tepat guna di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan
ketersediaan materi kurikulum berbasis pembelajaran matematika realistik. Untuk itu diperlukan
materi kurikulum dengan konteks yang mudah dipahami siswa. Berkaitan dengan pengembangan
materi kurikulum pembelajaran matematika realistik beberapa hal berikut perlu mendapat
perhatian: ( 1 ) konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa, ( 2 ) bahasa yang digunakan
harus jelas, dan ( 3 ) gambar harus mendukung konsep.
Menurut Treeffers dan Gofree ( Sabandar Jozua : 2001 , 2 ) konteks memainkan peran utama
dalam semua aspek pendidikan baik dalam pembentukan konsep, pembentukan model dan dalam
mempraktekkan keterampilan – keterampilan dalam memecahkan berbagai masalah. Artinya
konteks sangat berpengaruh bagi proses pembelajaran dan bagi pengembangan materi. Selain itu
konteks membentuk backbone dari kurikulum. Artinya berbagai soal konteks harus disiapkan
sejak awal dalam kurikulum dan dalam mengawali suatu pembelajaran.
Kemampuan siswa bervariasi, sehingga guru tidak harus berasumsi bahwa teks yang digunakan
dalam suatu penyajian soal konstekstual telah cukup untuk dimengerti siswa. Siswa mungkin
lebih memahami ilustrasi yang dilisankan, dari pada memahami soal yang tertulis. Apalagi
dengan menggunakan kalimat – kalimat yang panjang.
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen ( Sabandar Jozua : 2001, 2 ) ada beberapa fungsi konteks
antara lain ::
a. konteks membantu agar soal dapat dipecahkan. Dengan memulai dari situasi – situasi yang
dapat dibayangkan secara mudah, maka murid dengan cukup mudah menangkap maksud dari
permasalahan yang dihadapi.
b. konteks menunjang terbentuknya ruang gerak dan trasparansi dari permasalahan. Artinya
permasalahan yang mempunyai konteks akan memberi peluang yang lebih luas bagi siswa untuk
mendemonstrasikan kemampuan mereka.
c. konteks dapat melahirkan strategi – strategi artinya aspek yang sangat penting dari konteks
dalam mengawali pembelajaran maupun untuk asesmen ( misalkan konteks tersebut dipilih
secara baik dan juga benar untuk fungsi – fungsi lainnya ) yang dapat melahirkan strategi
Menurut Putman ( 1987 : 11 ) tujuan pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar.
Salah satu aspek penting dalam pencapaian transfer belajar matematika itu agar siswa menguasai
konsep -konsep matematika dan keterampilan PMR sehingga dapat diaplikasikan dalam
pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas, tidaklah mengherankan
jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar PMR dari peserta didik masih perlu
dikemas dengan lebih menarik. Menurut Soejadi ( 1992 : 11 ) kelemahan bermatematika siswa
dijenjang SD yang sering diungkapkan oleh beberapa pihak antara lain :
a) siswa tidak dapat dengan cepat mengerjakan perkalian dan pembagian;
b) siswa dalam mengerjakan pecahan selalu mengalami kesulitan ;
c) siswa sulit memahami geograpi ;
d) siswa sulit dalam menyelesaikan soal cerita .
Kelemahan – kelemahan matematika di SD akan berpengaruh terhadap penguasaan materi ajar di
SLTP dan juga di SMU. Selanjutnya penguasaan matematika itu akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan kemampuan melakukan analisis. Apabila kelemahan – kelemahan itu tidak diatasi
sejak dini, maka akan berpengaruh pada penguasaan materi pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi
Dalam hal pertama, pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada siswa untuk mengalami sendiri proses penemuan matematika. Prinsif ini dapat
memberikan inspirasi dengan menerapkan prosedur pemecahan masalah dimana melalui
matematisasi siswa kesempatan untuk melakukan proses penemuan kembali konsep – konsep
matematika yang telah dipelajarinya. Hal ini dapat dicapai apabila pengajaran matematika
realistik yang dilakukan menggunakan sistuasi yang kondusif berupa fenomena yang
mengandung konsep matematika realistik bagi siswa.
Kedua, pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan
aspek aplikasi dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Dalam hal
ini siswa menggunakan pengetahuan matematika informal yang mereka miliki untuk
memecahkan masalah realistik yang mereka hadapi. Strategi – strategi informal yang
dikemukakan siswa akan berpariasi dan strategi – strategi informal yang diberikan oleh guru
tidak sama dengan yang dikemukan siswa, berarti ada peningkatan pengetahuan bagi siswa.
Seorang guru matematika harus mampu mengakomodasi strategi-strategi informal yang
dikemukakan oleh siswa dan dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika
formal.
Ketiga, pemecaham masalah matematika realistik harus dijembatani melalui pengembangan
model – model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau
dari pengetahuan matematika informal ke bentuk pengetahuan matermatika formal. Artinya
model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan masalah yang mampu menciptakan
kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan guru.
Pengalamam proses siklus dari pengembangan dan penelitian secara sadar kemudian
dilaporkannya secara jelas. Pengalaman ini kemudian dapat di trasfer kepada orang lain menjadi
seperti pengalaman sendiri. Dalam proses pengembangan bahan ajar dengan pendekatan realistik
disampaikan dengan dua kerangka yaitu percobaan berpikir dan pengalaman implementasi di
kelas ( Tarmudi, 2003 : 5 ).
Dengan menggunakan dua karakteristik inilah proses pembelajaran senantiasa mengalami
perbaikan dan penyesuaian. Peristiwa siklus antara percobaan berpikir berupa hasil pemikiran
guru dalam mempersiapkan pembelajaran di kelas dan pengalaman inplementasi di kelas yang
berupa praktek pembelajaran di kelas dilukiskan oleh Gravemeijer ( 1994 ) sebagai berikut
Gambar 2.1
Kekuatan dan kelemahan matematika realistik.
Menurut (Treffers, 1991; Van Den Heuvel -Panhuizen. 1998). Ada 5 karakteristik pendekatan
matematika realistik, yaitu:
1. Konteks dunia nyata
Pembelajaran diawali dengan masalah yang kontekstual sehingga memungkinkan siswa
menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
2. Menggunakan model-model (matematisasi)
Siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah, yaitu dengan melihat situasi yang
dekat dengan dunia nyata siswa.
3. Menggunakan produksi dan kontruksi
Siswa diberi kebebasan untuk membuat strategi informal dalam menyelesikan masalah, sehingga
hal tersebut menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut, yaitu
mengkontruksi pengetahuan formal.
4. Interaktif
Hubungan guru dengan siswa merupakan hal yang mendasar dalam penerapan pendekatan
matematika relistik, bentuk interaksi yang berupa tanya jawab, penjelasan, setuju tidak setuju,
refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dan bentu-bentuk informal.
5. Keterkaitan
Dalam matematika realistik, pembelajaran yang dikaitkan dengan bidang yang lain akan
berpengaruh terhadap pemecahan masalah.
https://www.tipsbelajarmatematika.com/2016/11/penanaman-karakter-berbasis-proses.html
Karakter siswa dapat dikembangkan melalui implementasi berbagai model pembelajaran yaitu
guru secara sengaja memilih berbagai model pembelajaran yang diyakini cocok untuk karakter
yang ingin dikembangkan. Berbagai model pembelajaran matematika dapat memfasilitasi
peserta didik untuk mengembangkan karakter diantaranya adalah: Model Pemecahan Masalah,
Model Kooperatif, dan Model Pembelajaran Kontekstual dan Model-model yang menggunakan
Pendekatan Matematika Realistik.
Beberapa strategi pembelajaran yang dapat menciptakan budaya dan iklim sekolah dapat
dikemukakan antara lain (1) pembelajaran berbasis masalah, (2) pembelajaran inquiry, (3)
pembelajaran berbasis proyek/tugas, (4) pembelajaran kooperatif, (5) pembelajaran partisipatory,
dan (6) pembelajaran scaffolding.
Untuk dapat menerapkan strategi pembelajaran berbasis masalah, maka seorang guru
sebaiknya menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks pembelajaran. Melalui dunia
nyata yang terjadi di sekitar mereka, maka siswa dapat belajar mengembangkan cara
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta memperoleh pengetahuan dan
konsep esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran bermakna hanya dimungkinkan terjadi
bila siswa dapat mengerahkan proses berpikir tingkat tinggi, seperti pada level analisis,
sintesis, dan evaluasi. Karena itu, guna merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi dari
siswa, mereka perlu diorientasikan pada situasi/dunia nyata dengan segala problemanya.
Para siswa akan tertantang bagaimana belajar, dengan menggunakan fenomena di dunia
nyata sekitarnya.
Pembelajaran berbasis masalah dapat ditempuh melalui lima tahap sebagai berikut.
Tahap 1: orientasi siswa kepada masalah.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dan melaksana-
kan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan, video, dan model, serta membantu mereka mambagi tugas dengan
temannya.
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-
proses yang mereka gunakan.
Minta siswa menganalisis dan menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, gambar,
bagan, tabel, atau karya lain.
Dalam penyajian di kelas, bangkitkan tanggapan dan penjelasan siswa lain. Minta
tanggapan balik (counter-suggestions) dan selidiki tanggapan siswa. Hadapkan
mereka dengan demonstrasi-demonstrasi tambahan untuk mengeksplorasi lebih
jauh fenomena.
Ciptakan lingkungan yang dapat menerima jawaban salah tapi masuk akal. Selalu
minta siswa memberi alasan atas jawaban-jawaban mereka. Sajikan tugas-tugas
yang berkaitan kemudian cermati dan beri balikan atas pemikiran yang
diajukan siswa.
Menganekaragamkan tugas-tugas
Pilihan tugas yang beraneka ragam dapat menambah daya tarik tugas pekerjaan kelas
dan pekerjaan rumah. Jika tugas belajar yang diberikan cukup bervariasi, siswa
dapat lebih termotivasi dan lebih terlibat aktif dalam mengerjakannya. Pilihan
mengenai tugas belajar tidak terbatas dan tidak ada alasan bagi guru untuk
membuat jenis tugas yang sama dari hari ke hari.
Menetapkan tingkat kesulitan yang cocok atas tugas-tugas yang diberikan kepada
siswa merupakan satu bahan baku penting untuk menjamin keterlibatan
berkelanjutan yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas-tugas tersebut. Jika
siswa diharapkan untuk bekerja secara mandiri, tugas yang diberikan harus
memiliki tingkat kesulitan yang menjamin kemungkinan berhasil tinggi. Siswa
tidak akan tertantang ketika tugas-tugas yang diberikan terlalu mudah. Tugas
yang baik perlu memiliki tingkat kesulitan cukup sehingga kebanyakan siswa
memandangnya sebagai sesuatu yang menantang, namun cukup mudah
sehingga kebanyakan siswa akan menemukan pemecahannya dan mengerjakan
tugas tersebut atas jerih payah sendiri.
Memonitor kemajuan siswa
Salah satu tugas penting guru adalah memonitor tugas-tugas pekerjaan kelas dan
pekerjaan rumah. Monitoring tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah
siswa memahami tugas mereka melalui pemeriksaan pekerjaan siswa dan pe-
ngembalian tugas dengan umpan balik? Guru harus selalu menyediakan waktu
5 atau 10 menit untuk berkeliling di antara siswa yang bekerja untuk
memastikan apakah mereka memahami dan mengerjakan dengan benar tugas
yang diberikan. Apabila siswa bekerja berkelompok, maka guru hendaknya
berada dalam kelompok tersebut secara bergantian dan berkeliling di antara sis-
wa yang bekerja secara mandiri. Selanjutnya, guru perlu menyiapkan waktu
untuk mengoreksi pekerjaan yang dihasilkan siswa dan mengembalikan kepada
mereka dengan umpan balik, termasuk memberi reinforcement dalam bentuk
reward bagi hasil karya yang baik dan catatan-catatan penyempurnaan bagi
karya yang belum optimal.
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling
membantu belajar satu sama lain. Strategi pembelajaran ini, memungkinkan
pengembangan sejumlah kompetensi nurturant pada diri siswa, seperti:
Membangun persahabatan, rasa saling percaya, kebiasaan bekerja sama, dan sikap
prososial.
Setiap tim memiliki anggota heterogen (jenis kelamin, ras, etnik, kemampuan
belajar).
Tiap anggota saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab
atau diskusi.
Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu dilakukan evaluasi
oleh guru untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan yang telah
dipelajari.
Setiap siswa dan setiap tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar.
Siswa atau tim yang meraih prestasi tertinggi atau mencapai standar tertentu
diberi penghargaan.
Seleksi topik, para siswa memilih berbagai sub-topik dalam satu wilayah masalah
umum terkait dengan tujuan pembelajaran.
Organisasi, para siswa dibagi ke dalam kelompok yang berorientasi pada tugas
dan beranggotakan 2 - 6 orang dengan komposisi heterogen.
Libatkan siswa dalam membuat perencanaan dan pilihan tindakan yang diperlukan
dalam proses pembelajaran. Misalnya, dalam memutuskan mengenai strategi umum
yang perlu ditempuh, sumber pembelajaran, cara-cara menyelesaikan tugas, bentuk
dan tugas kelompok, dsb.
Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai
oleh anak.
Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar
atau yang diharapkan.
Sajikan tugas belajar secara berjenjang sesuatu taraf perkembangan siswa. Ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringatan,
dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan, dan
pemberian contoh (modeling).
Berikan dukungan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata
(reminders), dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat memancing siswa
bergerak ke arah kemandirian belajar dan pengarahan diri.
Sehingga dapat diartikan bahwa PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal
pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata lalu dari masalah ini siswa
dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah
mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk
pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan
poin utama dalam penerapanPBL.
Pembelajaran berbasis masalah(PBL) bermaksud untuk memberikan ruang gerak berpikir
yang bebas kepada siswa untuk mencari konsep dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan
materi yang disampaikan oleh guru. Karena pada dasarnya ilmu Matematika bertujuan agar
siswa memahami konsep-konsep Matematika dengan kehidupan sehari-hari. Memiliki
ketrampilan tentang alam sekitar untuk mengembangkan pengetahuan tentang proses alam
sekitar,mampu menerapkan berbagi konsep matematika untuk menjelaskan gejala alam dan
mampu menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah yang ditemukan pada
kehidupan sehari-hari.
Masalah adalah suatu situasi atau kondisi (dapat berupa issu/pertanyaan/soal) yang
disadari dan memerlukan suatu tindakan penyelesaian, serta tidak segera tersedia suatu cara
untuk mengatasi situasi itu. Pengertian tidak segera dalam hal ini adalah bahwa pada saat situasi
tersebut muncul, diperlukan suatu usaha untuk mendapatkan cara yang dapat digunakan
semestinya.
Bell (1981:310) memberikan defenisi masalah sebagai: situasi yang dapat digolongkan
sebagai masalah bagi seseorang adalah: bahwa keadaan ini disadari, ada kemauan dan merasa
perlu melakukan tindakan untuk mengatasinya dan melakukannya, serta tidak segera dapat
ditemukan cara mengatasi situasi tersebut.
Di dalam matematika, suatu pertanyaan atau soal akan merupakan suatu masalah apabila
tidak terdapat aturan/hukum tertentu yang segera dapat digunakan untuk menjawab atau
menyelesaikannya (Hudojo, 1988). Hal ini berarti bahwa suatu soal matematika akan menjadi
masalah apabila tidak segera ditemukan petunjuk pemecahan masalah berdasarkan data yang
terdapat dalam soal.
Sebuah pertanyaan yang merupakan masalah bagi seseorang apabila masalah tersebut
bersifat: 1. Relatif, tergantung situasi dan kondisi seseorang yang menghadapinya, 2. Tidak
dapat diselesaikan secara langsung dengan prosedur rutin tetapi masih memungkinkan orang
tersebut untuk menyelesaikannya melalui seleksi data informasi dan organisasi konsep yang
dimilikinya, 3. Dapat dimengerti, artinya suatu pertanyaan pada bidang tertentu akan merupakan
masalah hanya bagi mereka yang mempelajari atau berkecimpung pada bidang tersebut (Cahya,
2006: 201).
Pemecahan masalah adalah suatu proses yang mempunyai banyak langkah yang harus
ditempuh oleh seseorang dengan menggunakan pola berfikir, mengorganisasikan pembuktian
yang logik dalam mengatasi masalah.
3. Masalah berhubungan dengan dunia siswa. Masalah yang diberikan kepada siswa hendaknya
berkaitan erat dengankehidupan siswa sehari-hari sehingga masalah tersebut tidak asing
bagisiswa, karena hal ini akan memotivasi siswa untuk mencoba mencaripemecahannya.
6. Menuntut siswa untuk menampilkan hasil dari setiap penyelesaian masalahyang ditemukan.
Wee dan Kek dalam Amir (2010:32) mengemukakan beberapa keunggulanmodel pembelajaran
Problem Based Learning, sebagai berikut:
1. Ketika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaanbahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akanmerasa enggan untuk mencoba.
Model penemuan merupakan model belajar yang dipopulerkan oleh Bruner. Model ini
menghendaki keterlibatan aktif siswa dalam memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip,
sedangkan guru mendorong siswa agar memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang
memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Menurut Karso dkk belajar penemuan bukan merupakan cara belajar baru. Cara ini sudah
digunakan puluhan abad yang lalu dan Socrates dianggap sebagai pemula dalam penggunaan
metode ini. Bruner mengatakan bahwa penemuan adalah suatu proses, suatu cara, atau
pendekatan pemecahan masalah, bukan hasil kerja.
Prawironegoro mendefinisikan metode penemuan sebagai prosedur pembelajaran yang
mempunyai tekanan siswa berlatih cakap mencapai tujuan dan siswa aktif mengadakan
percobaan atau penemuan sendiri sebelum membuat kesimpulan dari yang dipelajari. Dengan
demikian, materi yang akan dipelajari siswa tidak disajikan dalam bentuk final. Siswa harus
melakukan aktivitas mental yang mungkin melibatkan aktivitas fisik dalam upaya memperoleh
pemahaman pada materi tertentu. Selama proses penemuan, siswa memanipulasi, membuat
struktur, dan mentransfer informasi sehingga menemukan informasi baru yang berupa
konjekture, hipotesis, atau kebenaran matematika.
Hudojo berpendapat bahwa menemukan berarti menghasilkan sesuatu untuk pertama kali dengan
menggunakan imajinasi, pikiran, atau eksperimen. Penemuan dalam belajar matematika berarti
kegiatan menghasilkan suatu ide matematika, suatu aturan, atau suatu cara penyelesaian masalah
untuk pertama kali. Ide matematika yang pertama kali ditemukan siswa belum tentu ide yang
benar-benar baru, tetapi setidaknya baru bagi siswa. Ide yang ditemukan sendiri akan lebih
dipahami dan diingat oleh si penemu. Karena itu, penemuan digunakan sebagai salah satu
metode dalam belajar matematika. Lebih lanjut, Hudojo menyebut metode penemuan sebagai
suatu cara penyampaian topik matematika yang memungkinkan siswa menemukan sendiri pola-
pola atau struktur-struktur matematika melalui serentetan pengalaman-pengalaman belajar yang
lampau.
Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif
oleh manusia, sehingga belajar dengan penemuan akan memberikan hasil yang paling baik.
Lebih lanjut Bruner mengatakan bahwa belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar
penemuan. Berbeda dengan Bruner, Ausubel pendapat bahwa belajar bermakna tidak hanya
terjadi melalui penemuan. Belajar akan bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa
disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat mengaitkan
informasi baru dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel menambahkan bahwa metode
penemuan aplikasinya terbatas dan membuang-buang waktu, karena itu perlu ada penemuan
terbimbing.
Bell (1981:241) mengatakan bahwa belajar penemuan dapat terjadi di dalam situasi yang sangat
teratur, baik siswa maupun guru mengikuti langkah-langkah yang sistematis. Guru membimbing
dan mengarahkan siswa selangkah demi selangkah dengan mengikuti bentuk tanya jawab yang
telah diatur secara sistematis untuk membuat penemuan. Langkah-langkah kegiatan atau
petunjuk dapat dituangkan dalam lembar kerja yang dibuat guru. Selain itu, diperlukan pula
campur tangan guru untuk membangkitkan perhatian siswa pada tugas yang sedang dihadapi dan
mengurangi pemborosan waktu. Ruseffendi (1988:18) menekankan adanya bimbingan guru
dalam pembelajaran penemuan. Siswa-siswa bukanlah ilmuwan dan sesuatu yang dihadapi
benar-benar merupakan sesuatu yang baru bagi siswa, sehingga petunjuk ataupun instruksi guru
sangatlah diperlukan siswa.
Bell menyebut pembelajaran seperti di atas sebagai pembelajaran penemuan terbimbing yaitu
pembelajaran yang agak berpusat pada guru karena siswa tidak merumuskan sendiri
pertanyaannya. Guru menyiapkan lembar kerja yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan
dijawab siswa dan penentuan urutan pertanyaan benar-benar diperhatikan. Amien sependapat
dengan Bell bahwa dalam “guided discovery” guru memberikan bimbingan atau petunjuk yang
cukup luas kepada siswa selama kegiatan penemuan. Sebagian besar perencanaan dibuat guru,
siswa tidak merumuskan problem, petunjuk yang cukup luas tentang cara menyusun dan
mencatat penemuan diberikan guru.
Gagne dan Brown menyatakan bahwa penemuan terbimbing merupakan metode terbaik untuk
menghasilkan kaidah-kaidah tertentu dalam belajar. Walaupun Ausubel tidak sepenuhnya
mendukung metode penemuan terbimbing, tetapi ia sepakat bahwa penemuan cukup penting
untuk meningkatkan pembelajaran pada anak-anak kecil. Gagne dan Ausubel juga sepakat bahwa
metode ini lebih penting bagi anak-anak kecil daripada anak-anak yang lebih tua. Oleh karena
itu, pembelajaran penemuan terbimbing sesuai dan dapat dilakukan di sekolah.
Sehubungan dengan model penemuan terbimbing, Hudojo (1984:5) menegaskan bahwa siswa
memerlukan bimbingan setapak demi setapak untuk mengembangkan kemampuan memahami
pengetahuan baru. Bimbingan dapat dilakukan melalui instruksi lisan atau tulisan untuk
memperlancar belajar suatu konsep atau hubungan-hubungan matematika (Hudojo,1983:25).
Dengan demikian, pembelajaran penemuan terbimbing melibatkan aktivitas guru dan siswa
secara maksimal. Siswa aktif melakukan penemuan dan guru aktif memberi bimbingan secara
bertahap dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan siswa melakukan proses penemuan.
Hal ini ditegaskan Marks (1988:13) yang mengatakan bahwa pembelajaran penemuan mencakup
penciptaan suasana lingkungan atau cara yang memungkinkan siswa melakukan penyelidikan
dan menemukan sesuatu yang baru bagi mereka.
Dalam geometri, model penemuan terbimbing dapat digunakan dalam pembelajaran materi
Teorema Pythagoras (“kuadrat hipotenusa segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat sisi-
sisinya”). Seperti diketahui, dalam sejarah pengembangan matematika, Pythagoras menemukan
teori ini melalui beberapa kegiatan pengamatan dan pengukuran (Bell, 1981:244). Langkah-
langkah Pythagoras dalam menemukan teori ini dapat diadaptasi sesuai dengan perkembangan
siswa, sehingga dapat digunakan sebagai metode dalam pembelajaran di sekolah. Siswa diajak
melakukan serangkaian kegiatan sehingga ia merasa benar-benar sebagai penemu teori tersebut.
Aplikasi metode penemuan terbimbing di sekolah dapat dilihat pada pembelajaran “penemuan
jumlah ketiga sudut sebuah segitiga dengan cara menggunting ketiga daerah sudutnya dan
menyusunnya kembali” dan “pengertian diagonal dan penentuan banyak diagonal suatu poligon
dengan menggunakan papan berpaku dan karet gelang” (Marks, 1988: 15-122). Pada kedua
pembelajaran tersebut, siswa melakukan pengamatan, mengorganisasikan hasil pengamatan,
membuat dugaan, dan mengujinya. Dugaan atau hasil temuan siswa dapat berupa aturan-aturan,
pola-pola, hubungan-hubungan, atau cara menyelesaikan suatu hal dalam geometri. Jadi,
penerapan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran geometri di sekolah dasar tidak
mengharuskan siswa menemukan suatu konsep atau prinsip geometri yang standar (seperti yang
ditemukan oleh seorang ahli) tetapi kalau di sekolah menengah dituntut harus menemukan
konsepnya. Pada pembelajaran penemuan, siswa sebagai penemu sesuatu yang belum
diketahuinya.
Untuk menghindari kegagalan dan memaksimalkan kegiatan siswa dan guru dalam proses
penemuan, maka pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing harus direncanakan.
Pembuatan perencanaan harus memperhatikan: (a) pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa
dan mendukung proses penemuan; (b) pengetahuan tentang aktivitas yang mungkin dilakukan
siswa; (c) peran guru dalam kegiatan penemuan; (d) sumber atau sarana belajar yang diperlukan,
misalnya lembar kerja: dan (e) hasil akhir yang harus ditemukan siswa.
c. Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa ditulis dengan jelas.
d. Perlu disediakan alat/bahan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan
penemuan.
e. Diskusi pengarahan dilakukan dalam bentuk tanya jawab antara siswa dan guru sebelum
para siswa melakukan kegiatan penemuan.
g. Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya “mental operation” siswa
yang diharapkan dalam kegiatan.
h. Pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pengembangan kegiatan penyelidikan siswa
perlu diberikan.
i. Catatan guru meliputi penjelasan tentang bagian-bagian yang sulit dari pelajaran dan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilannya, terutama bila kegiatan penyelidikan
mengalami kegagalan atau tidak berjalan seperti yang direncanakan.
Sedangkan Menurut Rachmadi (2004: 5-6) agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini
berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru matematika adalah
sebagai berikut :
1. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya,
perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang
ditempuh siswa tidak salah.
2. Dari data yang diberikan oleh guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir dan
menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang
diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang
hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan atau LKS.
4. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat oleh siswa tersebut di atas diperiksa oleh
guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa sehingga akan
menuju arah yang hendak dicapai.
5. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut maka verbalisasi
konjektur sebaiknya diserahkan juga pada siswa untuk menyusunnya. Di samping itu perlu
diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
6. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau
soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar atau tidak.
Pemilihan model penemuan terbimbing sebagai salah satu metode pembelajaran didasarkan pada
beberapa keuntungan yang dimilikinya. Hirdjan (dalam Paeru, 1987:36) mengemukakan
keuntungan metode penemuan adalah: “agar siswa kelak di kemudian hari tabah menghadapi
persoalan baru di dalam masyarakat dan mampu memecahkan atau menemukan sendiri
penyelesaiannya”. Biggs (dalam Orton, 1993:89 ) mengatakan bahwa metode penemuan
merupakan cara terbaik memberi kesenangan nyata anak kepada matematika. Metode ini satu-
satunya cara memberi kesempatan siswa untuk berpikir sendiri sehingga mereka menyadari
potensi dirinya.
Bruner (dalam Amin, 1987:133-134) sebagai pencetus metode penemuan mengemukakan
beberapa keuntungan pembelajaran dengan metode penemuan.
1) Membantu siswa memahami konsep dasar dan ide-ide secara lebih baik.
2) Membantu dalam menggunakan daya ingat dan transfer pada situasi-situasi proses belajar
yang baru.
4) Proses belajar penemuan dibuat “open-ended” sehingga mendorong siswa berpikir inisiatif
dan merumuskan hipotesisnya sendiri.
1) Siswa ikut berpartisipasi secara aktif di dalam kegiatan belajarnya sebab ia harus berpikir,
bukan sekedar mendengarkan informasi atau menelaah seonggok ilmu pengetahuan yang telah
siap.
2) Siswa benar-benar memahami suatu konsep atau rumus sebab mengalami sendiri proses
mendapatkan rumus itu.
3) Metode ini memungkinkan pengembangan sifat ilmiah dan menimbulkan semangat ingin
tahu para siswa.
4) Dengan metode penemuan terbimbing, guru tetap mempunyai kontak pribadi dengan
siswa.
5) Terbukti bahwa siswa yang memperoleh pengetahuan melalui metode penemuan lebih
mampu menstransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
6) Metode ini membatasi guru untuk menambah materi baru bila siswa masih belum
memahami materi yang sedang dipelajari.
1) Memberikan pandangan ilmu yang lebih luas kepada siswa untuk menuju keberhasilan.
2) Melatih siswa lebih banyak belajar sendiri, jadi siswa melibatkan akunya dan memotivasi
diri sendiri untuk belajar.
4) Memberi kesempatan siswa yang pandai untuk bekerja sendiri dan menyelesaikan
pelajarannya lebih dahulu.
Beberapa keuntungan yang dikemukakan di atas menjadi pertimbangan positif dalam memilih
metode penemuan sebagai salah satu model pembelajaran matematika. Agar pembelajaran
dengan metode penemuan dapat mencapai hasil maksimal, maka perlu diwaspadai beberapa
kekurangan atau kelemahannya. Salah satu kekurangan metode ini adalah siswa yang tidak dapat
menyelesaikan tugasnya akan frustasi (Prawironegoro, 1980:6).
1) Memerlukan banyak waktu dan belum dapat dipastikan apakah siswa akan tetap
bersemangat menemukan.
2) Tidak semua guru mempunyai semangat dan kemampuan mengajar dengan metode ini,
terutama guru yang pekerjaannya “sarat muatan”.
3) Tidak setiap siswa dapat diharapkan menjadi seorang “penemu”. Bimbingan yang tidak
sesuai dengan kesiapan intelektual siswa akan merusak struktur kognitifnya.
Marks (1988:19) menambahkan dua kekurangan penggunaan metode penemuan sebagai berikut.
1) Tidak semua materi matematika dapat dikuasai dengan metode penemuan. Jika mungkin,
tidak tersedia waktu yang cukup untuk menggunakan metode penemuan secara eksklusif.
2) Kegiatan yang bersifat fisik kadang-kadang dapat menutupi ide matematika yang hendak
disampaikan. Bimbingan dan pengarahan yang kurang memadai membuat siswa hanya bermain-
main.
http://ofiick.blogspot.com/2012/11/m0del-pembelajaran-penemuan-terbimbing.html
Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu
secara induktif, deduktif atau keduanya.
Dari contoh-contoh dialog tersebut di atas metode ini tepat digunakan apabila : (Martinis
Yamin, 2004: 78) :
a. Siswa telah mengenal atau mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan pokok bahasan
yang akan diajarkan.
b. Yang akan diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan dan
pengambilan keputusan.
c. Guru mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan, terampil mengulang
pertanyaan dan sabar.
d. Waktu yang tersedia cukup panjang.
C. Macam-macam (discovery)
Model penemuan atau pengajaran penemuan dibagi 3 jenis :
1. Penemuan Murni
Pada pembelajaran dengan penemuan murni pembelajaran terpusat pada siswa dan tidak
terpusat pada guru. Siswalah yang menentukan tujuan dan pengalaman belajar yang diinginkan,
guru hanya memberi masalah dan situasi belajar kepada siswa. Siswa mengkaji fakta atau relasi
yang terdapat pada masalah itu dan menarik kesimpulan (generalisasi) dari apa yang siswa
temukan.
Kegiatan penemuan ini hampir tidak mendapatkan bimbingan guru. Penemuan murni
biasanya dilakukan pada kelas yang pandai.
2. Penemuan Terbimbing
Pada pengajaran dengan penemuan terbimbing guru mengarahkan tentang materi
pelajaran. Bentuk bimbingan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, arahan, pertanyaan atau
dialog, sehingga diharapkan siswa dapat menyimpulkan (menggeneralisasikan) sesuai dengan
rancangan guru.
Generalisasi atau kesimpulan yang harus ditemukan oleh siswa harus dirancang secara
jelas oleh guru. Pada pengajaran dengan metode penemuan, siswa harus benar-benar aktif belajar
menemukan sendiri bahan yang dipelajarinya.
3. Penemuan Laboratory
Penemuan laboratory adalah penemuan yang menggunakan objek langsung (media
konkrit) dengan cara mengkaji, menganalisis, dan menemukan secara induktif, merumuskan dan
membuat kesimpulan.
Penemuan laboratory dapat diberikan kepada siswa secara individual atau
kelompok.Penemuan laboratory dapat meningkatkan keinginan belajar siswa, karena belajar
melalui berbuat menyenangkan bagi siswa yang masih berada pada usia senang bermain.
BAB. II : Pembahasan
2.1 Defenisi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Gravemeijer (1994:90-91), mengemukakan bahwa ada tiga prinsip kunci (utama) dalam PMR,
yaitu:
a. Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided
reinvention and progressive mathematizing). Prinsip ini menghendaki bahwa, dalam PMR
melalui penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran, dengan
bimbingan dan petunjuk guru yang diberikan secara terbatas, siswa diarahkan sedemikian rupa
sehingga, seakan-akan siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat
dan rumus-rumus matematika, sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus
matematika itu ditemukan.
b. Menentukan suatu materi. Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena didaktik, yang
menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu materi matematika untuk diajarkan dengan
pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu:
Untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi materi itu yang harus diantisipasi dalam
pembelajaran
Untuk dipertimbangkan pantas tidaknya materi itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu
proses matematisasi secara progresif.
c. Mengembangkan sendiri model-model (self developed models). Prinsip ini berfungsi sebagai
jembatan antara pengetahuan matematika informal dengan pengetahuan matematika formal.
Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk memecahkan masalah
yang ada
2.4 Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
4. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari semua
aktivitas di kelas
Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, menurut Freudenthal, PMR
memiliki lima karakteristik, yaitu:
a. Menggunakan masalah kontekstual (the use of context). Pembelajaran diawali dengan
menggunakan masalah kontekstual sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman
sebelumnya dan pengetahuan awal yang dimilikinya secara langsung, tidak dimulai dari sistem
formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai materi awal dalam pembelajaran harus sesuai
dengan realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami
atau mudah dibayangkan. Menurut Treffers dan Goffree, masalah kontekstual dalam PMR
memiliki empat fungsi, yaitu:
Untuk membantu siswa dalam pembentukan konsep matematika
Untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika
Untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber dan domain aplikasi matematika
Untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata
(realitas). Realitas yang dimaksud di sini sama dengan kontekstual
b. Menggunakan instrumen vertikal seperti model, skema, diagram dan simbol-simbol (use
models, bridging by vertical instrument). Istilah model berkaitan dengan situasi dan model
matematika yang dibangun sendiri oleh siswa (self developed models), yang merupakan jembatan
bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi
informal ke formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah
kontekstual yang merupakan keterkaitan antara model situasi dunia nyata yang relevan dengan
lingkungan siswa ke dalam model matematika. Sehingga dari proses matematisasi horizontal
dapat menuju ke matematisasi vertikal.
e. Terkait dengan topik lainnya (intertwining). Berbagai struktur dan konsep dalam matematika
saling berkaitan, sehingga keterkaitan atau pengintegrasian antar topik atau materi pelajaran
perlu dieksplorasi untuk mendukung agar pembelajaran lebih bermakna. Oleh karena itu dalam
PMR pengintegrasian unit-unit pelajaran matematika merupakan hal yang esensial (penting).
Dengan pengintegrasian itu akan memudahkan siswa untuk memecahkan masalah. Di samping
itu dengan pengintegrasian dalam pembelajaran, waktu pembelajaran menjadi lebih efisien. Hal
ini dapat terlihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.
b. Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa
mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara
memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian
tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
d. Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu
dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah
secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam
kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
e. Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik
kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika realistik juga
diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat diwujudkan dengan cara:
a. Mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar
b. Mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense peserta didik
Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat
menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya. Salah satu upaya
guru untuk merealisasikan pernyataan di atas adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran
yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik PMR.
Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu:
Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi
manusia.
Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa
tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu
dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan
orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan
membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa
diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian
masalah tersebut.
Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang
harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika
dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk
menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari
siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam
cara.
Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan
kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
Salah satu pendekatan yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan
menerapkan matematika dalam pengalaman sehari-hari adalah pendekatan matematika realistik.
Pendekatan ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang menyatakan bahwa pembelajaran
matematika sebaiknya berangkat dari aktifitas manusia karena Mathematics is a human activity
(Suherman,2001:128).
Menurut Zulkardi (dalam Kania, 2006:19), pedekatan matematika realistik memiliki lima
karakteristik, yaitu:
a. The use of context (penggunaan konteks),
b. Theuse of models(penggunaan model),
c. The use of students own production and construction ( penggunaan kontribusi dari siswa
sendiri),
d. The interactive character of teaching process (interaktifitas dalam proses pengajaran, dan
e. The interviewments of various learning strands (terintegrasi dengan berbagai topik pengajaran
lainnya.
Kelima karakteristik pembelajaran menurut filosofi realistik inilah yang menjiwai setiap
aktivitas pembelajaran matematika. Meskipun kelima karakteristik tersebut menjadi acuan dalam
pengembangan pembelajaran matematika, namun dalam desain pembelajaran kadang-kadang
tidak semua prinsip itu dimunculkan.
Menurut Machener (dalam Sumarmo, 1987:24), untuk memahami suatu objek secara
mendalam, seseorang harus mengetahui:
a. Objek itu sendiri.
b. Relasinya dengan objek lain yang sejenis.
c. Relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis.
d. Relasi dual dengan objek lain yang sejenis.
e. Relasi dengan objek dalam teori lainnya.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan dari institude
Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University Belanda.
Nama institut diambil dari nama pendirinya yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905-1990),
seorang penulis, pendidik dan matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda. Sejak tahun
1971, Institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika
yang dikenal dengan R ME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan
pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika dan bagaimana
matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).
Pendidikan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang
berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus
dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain
bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali
(to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention)
ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan
persoalan “dunia riil” (Hadi, 2004).
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif
matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada
penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan
cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang
dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang
berkait dengan konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan
pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas
matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas sehingga mengarah pada
level berpikir matematik yang lebih tinggi. Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang
berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching
and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili
teori belajar secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan
khusus untuk matematika.
Paradigma baru dalam pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap
proses pembelajaran dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri
pengetahuan yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap
individu.
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek
berikut:
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan
pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran
secara bermakna.
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam pelajaran tersebut.
d. Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap
jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban
temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan
melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan pada peserta didik sebagai
manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang.
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PROSES MATEMATISASI BERJENJANG
http://pmatandy.blogspot.com/2008/12/pembelajaran-matematika-melalui-proses.html
A. Landasan Integrasi-Interkoneksi
Hal-hal yang melandasi integrasi-interkoneksi antar ilmu agama dan sains M.Amin Abdullah
adalah sebagai berikut:
1. Landasan Normatif-Teologis,
Al-Qur’an tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama (islam) dan ilmu-ilmu umum
(sains-teknologi dan sosialhumaniora). Ilmu-ilmu agama (islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-
teknologi dan sosialhumaniora) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan Allah SWT
berfirman di dalam surat Al- Qashash ayat ke-77, yang artinya “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita tidak boleh memisahkan antara kepentingan
kehidupan akherat (ilmu-ilmu agama) dan kepentingan kehidupan di dunia (ilmu-ilmu umum).
Firman Allah dalam al-qur’an surat Al- Qashash ayat ke-77 di atas didukung oleh sabda
rasulullah SAW yang artinya “bekerjalah kamu untuk duniamu seolaholah kamu akan hidup
selamanya dan dan bekerjalah untuk akheratmu seolaholah kamu akan meninggal esok hari (HR
Ibnu Asakir)
Al-Qur’an selain berisi ayat-ayat tentang ilmu ilmu agama juga berisi ayat-ayat tentang
ilmu umum temasuk konsep-konsep dalam matematika, sebagai contoh Q.S. 35:1, 37:147,18:25,
29:14, dan lain lain. Al-qur’an juga memuat tentang metode pengembangan ilmu pengetahuan
termasuk ilmu matematika, sebagai contoh Q.S. 2:31 (definisi) dan Q.S. 6: 74-79 (riset).
Selanjutnya mengenai perintah untuk melakukan penelitian (suatu kegiatan yang penting di
dalam pengembangan sains), secara umum dapat dilihat antara lain dalam firman-Nya pada surat
Yunus, ayat ke-101 “Katakanlah Muhammad: lakukanlah nadzor (penelitian dengan
menggunakan metode ilmiah) mengenai apa-apa yang ada di langit dan bumi.
Perintah lebih khusus terdapat dalam surat al-Ghosiyah, ayat ke-17–20 yang artinya:
“Apakah mereka tidak memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan. Dan gunung, bagaimana ia ditancapkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”.
Ayat-ayat tersebut merupakan ayat-ayat metode ilmiah, yang memerintahkan kepada umat
manusia untuk selalu meneliti. Kegiatan penelitian yang mencakup pengamatan, pengukuran,
dan analisa data telah membawa perubahan besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi
termasuk ilmu matematika. “niscaya Allah akan meninggikan orangorang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu amalkan”. (Q.S. Al Mujadilah : 11)2[2]
2. Landasan Historis,
Pada abad modern, tekanan dari ilmu-ilmu agama mulai berkurang bahkan hamper tidak
ada. Berkurangnya/hilangnya tekanan ilmu-ilmu agama, menyebabkan berkembangnya ilmu-
ilmu umum secara pesat. Tidak adanya sentuhan agama pada ilmu-ilmu umum, mengakibatkan
ilmu-ilmu umum berkembang dengan mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan.
3. Landasan Filosofis
Secara ontologis, obyek studi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum termasuk ilmu
matematika, memang dapat dibedakan. Ilmu-ilmu agama mempunyai obyek wahyu, sedangkan
ilmu-ilmu umum mempunyai obyek alam semesta beserta isinya. Tetapi kedua obyek tersebut
sama-sama berasal dari Tuhan (Allah SWT), sehingga pada hakekatnya antara ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum termasuk ilmu matematika, ada kaitan satu dengan yang lain.
4. Landasan kultural
Keberadaan kampus islam di Indonesia, dalam hal ini UIN, berbeda dengan kebudayaan
Arab tempat Islam diturunkan dan kebudayaan Barat tempat berkembangnya ilmu pengetahuan.
Proses pendidikan tidak boleh mengabaikan budaya lokal, baik dalam menerjemahkan Islam
maupun pengembangkan ilmu pengetahuan.
Jika UIN hanya mengembangkan tafsir nilai-nilai keislaman berdasarkan qur’an dan
Hadist (hadlarah al-Nash) dan ilmu pengetahuan (hadlarah al-’Ilm) maka UIN tidak
menghasilkan sarjana yang menghasilkan kontribusi nyata kepada masyarakat Indonesia.
Sehingga diperlukan mendialogkan kedua hadlarah di atas dengan hadlarah falsafah yang
konsen dengan aspek praktis kontekstual dalam kultur lokal masyarakat4[4]
5. Landasan Psikologis
Potensi dari Allah aspek psikologis yang harus dicapai Hadlarah al-Nash hati Iman /
Aqidah yang kuat Hadlarah al-’Ilm akal Ilmu / wawasan yang luas, Hadlarah al-Falsafah Jasad /
badan Amal / kinerja yang produktif. Sosok mahasiswa yang diharapkan yaitu memiliki iman
dan aqidah yang kuat, tertanam menghunjam dalam hati yang kokoh. Memiliki ilmu
pengetahuan yang luas, tidak hanya keilmuan di bidangnya saja. Memiliki amal dan kenerja yang
produktif, memberi kemanfaatan kepada lingkungan masyarakatnya5[5]
Pertentangan ketiga ranah/domain tersebut dalam diri seseorang dapat menimbulkan
keterpecahan kepribadian (personality disorder / split personality) Terjadi konflik antara yang
diyakini dengan yang dipikirkan juga dengan yang dihadapi dalam realitas kehidupan “Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan”. (Ash-Shof : 2-3)
Jika di telusuri lebih jauh,gagasan tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu
umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi diri umat islam
terhadap proses modernisasi dunia yang tengah berlangsung dalam skala global. Islam dan
tantangan miodernitas merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaharuan pemikiran
islam yang di dengungkan oleh para mujaddid islam sepanjang sejarah.
Kekuatan tema ini terutama berkaitan erat dengan realitas kemunduran dan
keterbelakangan umat islam dalam berbagai aspek kehidupan vis a vis kemajuan dunia
barat.Salah satu fokus garapan para pembaharu dalam proses modernisasi islam adalah bidang
pendidikan. Bidang pendidikan ini di pandang sebagai sektor paling terbelakang yang
menghambat laju percepatan modernisasi di dunia islam,akibat pola pikir umat yang
terkondisikan oleh anggapan bahwa antara agama yang bersumber dari wahyu dan sains yang
bersumber dari hasil pikiran manusia merupakan dua entitas berbeda yang tidak berkaitan satu
sama lain.
Akibat pemahaman terbelah ini, karakter pendidikan islam yang semula tidak
memisahkan antara kebutuhan terhadap agama dengan ilmu, iman dengan amal, serta dunia
dengan akhirat lalu kemudian mengalami kemujudan yang berdampak pada penjajahan dunia
islam atas supremasi barat.
Horizon
Jaring Laba-Laba Keilmuan
Teoantroposentrik-Integralistik
dalam Universitas Islam Negeri7[7]
Meskipun sebenarnya kenyataan spesialisasi dan reduksi ini dapat di katakan sifatnya
niscaya karna keterbatasan manusiawi, namun dampak negatif dari kenyataan ini ternyata tidak
terlalu menyenangkan. Dikotomi ilmu agama-ilmu umum, hegemoni bidang ilmu tertentu
terhadap bidang lainnya, superior-inferior feeling dari masing-masing bidang ilmu, hirarki ilmu
utama-ilmu komplementer, adalah akibat-akibat laten yang harus di tanggung dari kenyataan
spesialisasi di atas. Lebih jauh ternyata dampak ini kemudian merambah ke dunia sosial, dunia
pendidikan, dunia politik, dan lain lain, sehingga tidak jarang muncul konflik di ranah sosial
maupun politik akibat adanya ekslusifisme dari masing-masing bidang ilmu.
Pada akhirnya secara psikologis banyak orang yang mengalami kegelisahan luar biasa
karena antara dunia yang dia alami, yang multi-dimensi, dengan keilmuan yang dia hayati, yang
hanya satu dimensi dan yang satu-satunya dia pahami, ternyata tidak sejalan. Orang yang
menghayati ilmu fiqih saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan kenyataan sosial yang
berbeda dengan isi ilmunya.Orang yang menghayati ilmu ekonomi saja pasti gelisah karena
berhadapan dengan “logika zakat dan sedekah” ala fiqih. Orang yang menghayati ilmu geografi
saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan adanya ruang baru yang di sebut dengan “dunia
virtual” atau “dunia maya”.
D. Model Integrasi-Interkoneksi
1. Informatif , Suatu disiplin ilmu memberikan informasi kepada disiplin ilmu yang lain. Misalnya:
Ilmu Islam (Al-qur’an) memberikan informasi kepada ilmu saintek bahwa matahari
memancarkan cahaya sedangkan bulan memantulkan cahaya (Q.S. Yunus: 5)
2. Konfirmatif (klarifikatif), Suatu disiplin ilmu memberikan penegasan kepada disiplin ilmu lain.
Contoh: Informasi tentang tempat-tempat (manaazil) matahari dan bumi dalam Q.S. Yunus: 5,
dipertegas oleh ilmu saintek (orbit bulan mengelilingi matahari berbentuk elips).
3. Korektif , Suatu disiplin ilmu mengoreksi disiplin ilmu yang lain. Contoh: Teori Darwin yang
mengatakan bahwa manusia-kera-tupai mempunyai satu induk, dikoreksi oleh Al-qur’an.
Sedangkan alternatif model Integrasi-Interkoneksi,9[9]adalah berikut ini:
1. Paralelisasi: menyamakan konotasi dari ilmu-ilmu yang berbeda
2. Similarisasi: menyamakan teori-teori dari ilmu-ilmu
3. Komplementasi: Saling mengisi dan saling memperkuat
4. Komparasi: membandingkan konsep teori diantara ilmu-ilmu
5. Induktifikasi: mendukung teori ilmu dengan instrumen dari ilmu lain
6. Verifikasi: menunjang dengan penelitian ilmiah ilmu satu dengan ilmu yang lain.
Skema tiga lingkaran terkait ini merupakan proyek keilmuan yang didengungkan oleh visi
dan misi perubahan IAIN ke UIN. Perubahan IAIN menjadi universitas Islam merupakan
langkah positif dalam rangka pengembangan jangkauan wilayah studi keislaman. Hal ini berarti
jangkauan ilmu-ilmu Islam menjadi semakin luas. Skema di atas menunjukkan bahwa masing-
masing bangunan sektor keilmuan menyadari akan kekurangan-kekurangan yang melekat dalam
diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan
metode dan pendekatan yang digunakan oleh gugusan ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-
kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan
lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu
dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan sehingga yang terlihat
adalah mengedepankan kebersamaan dalam ilmu pengetahuan.10
Bangunan keilmuan yang selalu terkait selaras dan sejajar tersebut menjadi icon
percontohan aplikasi keilmuannya yakni di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat itu
dipimpin oleh tokoh pencetus ide interkonesi dan integrasi. Jika dibandingkan dengan bangunan
keilmuan yang berkembang di UIN Jakarta melalui figur sentral Harun Nasution, kajian Islam di
IAIN masih terbatas hanya pada pengajaran agama yang fiqh oriented. Disamping itu pengajaran
agama baik filsafat, tasawuf maupun sejarah terbatas pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu saja.
Pemahaman Islam yang demikian itu parsial dan hanya melihat Islam secara sempit saja. Oleh
karena itu ia mengusulkan untuk membuat suatu pedoman inti yang melihat Islam secara
komprehensif. Gagasan tersebut untuk pengenalan Islam secara komprehensif, dengan melihat
Islam dari berbagai aspeknya diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional untuk pengajaran
Islam. Pemikiran Harun saat itu dianggap tidak lazim dan pada awal mulanya menjadi
kontroversi. Bagi sebagian kalangan utamanya mereka yang terdidik dalam pola fikir tradisional,
pandangan-pandangan Harun Nasution dianggap tidak bersesuaian dengan pola pemikirn
tradisional dan ini terjadi karena dipengaruhi oleh konsep-konsep Barat.11[11]
Sebenarnya, ilmu merupakan media dalam kehidupan untuk membimbing manusia menuju
ke jalan tugas utamanya, oleh karena itu haruslah secara keseluruhan dipelajari dan diajarkan
dalam rangka menggapai kesuksesannya. Segala keilmuan menurut paradigma ini harus
terintegrasi dalam proses tugas kemanusiaan dalam hidup sebagai khalifah maupun sebagai
hamba Allah yang mencakup pengenalan area keilmuan, penekanan terhadap pemahaman
potensi-potensi manusia yang dimiliki dan aplikasi dinamisnya, konsentrasi dalam perencanaan
serta evaluasi hasil, adanya makna dalam aktivitasnya serta adanya pengaturan hubungan positif
dengan semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan pelaksaan tugas tersebut.12[12] Pada
akhirnya, paradigma interkonektif-integratif dalam idealitas dan realitasnya diharapkan mampu
membentuk pola pikir komunikatif-efektif yang dapat mencairkan pola pikir dikotomis dan
memberikan suasana yang penuh damai antar disiplin keilmuan
Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif. Disertasinya yang berjudul The
Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye
Diyanet Vakfi, 1992).14[14] Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain Falsafah
Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas
Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat
Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), serta Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius
(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah
Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali,
1985), Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).
Selain publikasi, kompetensi akademik Amin Abdullah juga tampak dalam aktifitas
akademik yang dia ikuti, seperti Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan
dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992, tentang
“Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program Majelis
Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; “Islam and 21st
Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996; “Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st
Century”, Universitas Leiden, Juni 1998, ”Islam and Civil Society: Messages from Southeast
Asia“, Tokyo Jepang, 1999; “al-Ta’ri>h} al- Islami>y wa Azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia,
2000; “International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Seminar “New
Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in Islam”Kuala Lumpur,
Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic Religious Authority in Contemporarry
Indonesia”, Leiden, Belanda, 2003. “Interfeith Dialogue: Conflict and Peace,” The Luthern
World Federation (LWF) Kopenhagen Denmark, Oktober 2003; “New Direction of Islamic
Thought and Practice: Equality and Plurality”, Yogyakarta, Indonesia, Juni 2004; “Religious
Harmony: Problems, Practice and Education”, Yogyakarta, Indonesia, Oktober 2004; “The Idea
(L) of an Indonesian Islamic University: Contemprary Perspectives”, Yogyakarta, Indonesia, 9-
11 Desember 2004; “University Teaching of Islamic Studies at the International Level: Concept,
Policy and Trends”, Songkla, Southern Thailand, 19-20 Maret 2005;”International Rudolf-Otto-
Symposion”, Philipps Universitat Marburg, Jerman, 8-10 Mei 2005. 15[15]
Ketika kuliah di Turki, Amin Abdullah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987. Pada masa liburan musim panas, dia pernah bekerja part-time
pada Konsulat JenderalRepublik Indonesia, Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan
1990), Mekkah (1998), dan Madinah (1989), Arab Saudi. Tahun 1993-1996, dia menjabat
Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tahun 1998-2001 sebagai Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) IAIN Sunan Kalijaga dan pada
Januari 1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat dari IAIN Sunan
Kalijaga. Dari tahun, Amin Abdullah 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan
Kalijaga.Tahun 2005-2010 sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Periode
kedua.
Sementara itu, dalam organisasi kemasyarakatan, dia menjadi Ketua Divisi Ummat,
ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-
43 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah
satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005). Kini, disamping sebagai
mengajar di beberapa universitas, seperti di Fakultas Ushuluddin dan Program Doktor
Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas
Islam Indonesia, Universitas Gajah Mada, Amin Abdullah juga menjabat sebagai staf ahli
Menteri Agama Republik Indonesia (2011-).